Konsolidasi Peran Teknologi di Tingkat Eksekutif: Lahirnya Era SuperTech Leadership

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

04 November 2025, 10.30

Dalam dua dekade terakhir, struktur kepemimpinan teknologi di banyak organisasi berkembang menjadi semakin kompleks. Setelah kehadiran Chief Information Officer (CIO) pada 1980-an, muncul berbagai jabatan baru seperti Chief Technology Officer (CTO), Chief Data Officer (CDO), Chief Analytics Officer (CAO), Chief Digital Officer (CDigO), hingga Chief AI Officer (CAIO). Fenomena ini mencerminkan meningkatnya pentingnya teknologi dalam strategi bisnis, tetapi juga menimbulkan fragmentasi kepemimpinan dan kebingungan peran di tingkat eksekutif.

Sebuah studi oleh Thoughtworks dan MIT Chief Data Officer Symposium menemukan bahwa lebih dari 80% pemimpin teknologi dan data mengakui adanya tumpang tindih fungsi dan kebingungan tanggung jawab dalam organisasi mereka. Hanya 12% responden yang menyatakan struktur kepemimpinan teknologinya benar-benar jelas. Situasi ini membuat banyak organisasi kesulitan memanfaatkan potensi penuh teknologi dan data untuk inovasi bisnis.

Davenport dan rekan-rekannya mengusulkan solusi yang kini mulai diadopsi oleh sejumlah perusahaan besar: konsolidasi peran-peran teknologi di bawah satu kepemimpinan terpadu, yang mereka sebut sebagai SuperTech Leader. Pemimpin ini tidak hanya mengawasi sistem IT, tetapi juga mengintegrasikan fungsi data, analitik, AI, keamanan siber, dan digitalisasi dalam satu visi bisnis yang kohesif.

 

SuperTech Leadership: Menyatukan Bisnis dan Teknologi 

Transformasi digital modern menuntut bentuk kepemimpinan baru yang melampaui batas tradisional antara teknologi dan bisnis.
Selama bertahun-tahun, organisasi cenderung memisahkan fungsi-fungsi teknologi ke dalam berbagai jabatan khusus CIO untuk infrastruktur, CDO untuk data, CAO untuk analitik, hingga CAIO untuk kecerdasan buatan. Fragmentasi ini awalnya dianggap sebagai solusi untuk mengelola kompleksitas digital, tetapi kini justru menimbulkan masalah koordinasi, tumpang tindih tanggung jawab, dan hilangnya arah strategis yang menyeluruh.

Menurut Thomas H. Davenport dan rekan-rekannya, model baru yang lebih adaptif adalah SuperTech Leadership sebuah pendekatan yang mengintegrasikan seluruh fungsi teknologi di bawah satu kepemimpinan strategis. SuperTech leader bukan sekadar “pemimpin teknologi dengan cakupan lebih luas,” melainkan arsitek organisasi digital yang memahami hubungan antara teknologi, data, strategi bisnis, dan inovasi manusia.

1. Definisi dan Karakteristik SuperTech Leader

SuperTech leader dapat dipahami sebagai pemimpin tingkat eksekutif yang memiliki tanggung jawab menyeluruh terhadap strategi teknologi, data, AI, dan transformasi digital organisasi. Ia bukan hanya pengelola sistem, tetapi juga pembentuk visi strategis berbasis data yang menyatukan seluruh aspek bisnis dan teknologi.

Menurut survei HBR (2024), ada tiga kompetensi utama yang membedakan seorang SuperTech leader dari pemimpin teknologi konvensional:

  1. Kepemimpinan strategis dan komunikasi lintas fungsi — kemampuan untuk menjembatani bahasa bisnis dan bahasa teknis, serta mengoordinasikan visi lintas departemen.

  2. Pemahaman mendalam terhadap strategi bisnis — tidak hanya tahu “bagaimana teknologi bekerja,” tetapi juga “mengapa teknologi penting” dalam konteks pertumbuhan, efisiensi, dan inovasi.

  3. Orientasi pada penciptaan nilai (value creation) — fokus bukan pada proyek teknologi, tetapi pada dampak bisnis yang dapat diukur, seperti peningkatan produktivitas, kepuasan pelanggan, atau efisiensi operasional.

Dalam praktiknya, SuperTech leader berperan sebagai chief integrator yang menghubungkan keputusan strategis dengan kapabilitas teknis, memastikan bahwa setiap inisiatif digital mengarah pada tujuan bisnis yang jelas.

2. Evolusi dari CIO Menuju SuperTech

Konsep SuperTech merupakan kelanjutan alami dari evolusi jabatan Chief Information Officer (CIO).
Selama dua dekade, peran CIO berkembang dari sekadar pengelola infrastruktur IT menjadi mitra strategis dalam transformasi digital.
Namun, seiring bertambahnya jabatan baru yaitu CDO, CAO, CTO, dan lainnya banyak organisasi kehilangan kejelasan arah dan fokus.

SuperTech leadership hadir untuk mengembalikan kesatuan arah strategis tersebut. Ia menyatukan fungsi-fungsi yang sebelumnya terpisah dan mengubah cara pandang organisasi terhadap teknologi: dari “fungsi pendukung” menjadi pilar utama pertumbuhan dan inovasi.

Dalam beberapa kasus, SuperTech leader memegang peran ganda misalnya CIO sekaligus CDO sehingga dapat mengelola infrastruktur, data, dan analitik dalam satu ekosistem. Model ini terbukti berhasil di perusahaan seperti CarMax, TIAA, dan Vista Equity Partners, di mana penggabungan peran justru mempercepat integrasi digital dan mengurangi biaya koordinasi antar-unit teknologi.

3. Peran Strategis dalam Ekosistem Organisasi Digital

SuperTech leader berfungsi sebagai pengarah arsitektur digital organisasi.
Ia menetapkan arah bagi:

  • Infrastruktur dan sistem inti (melalui kebijakan teknologi yang terintegrasi),

  • Data governance dan analitik,

  • Inovasi berbasis AI dan otomatisasi, serta

  • Keamanan siber dan tata kelola etika teknologi.

Kepemimpinan ini bersifat lintas disiplin. SuperTech tidak bekerja sendirian, tetapi membangun jaringan kepemimpinan kolaboratif yang melibatkan business unit heads, kepala risiko, dan tim teknologi. Dengan demikian, organisasi mampu menghindari jebakan “digital silos” dan memastikan bahwa keputusan strategis selalu berbasis data dan kolaborasi lintas fungsi.

Selain itu, SuperTech leader juga memainkan peran penting dalam membangun budaya organisasi digital (digital-first culture).
Ia mendorong semua karyawan bukan hanya tim teknologi untuk memahami nilai data, memanfaatkan alat digital, dan berpartisipasi aktif dalam inovasi. Dengan kata lain, SuperTech bukan hanya pemimpin teknologi, melainkan penggerak transformasi manusia di era digital.

4. SuperTech sebagai Model Kepemimpinan Masa Depan

Davenport dan rekan-rekannya menegaskan bahwa era pasca-pandemi telah mempercepat kebutuhan akan kepemimpinan terpadu.
Organisasi kini tidak lagi memiliki kemewahan untuk memisahkan fungsi teknologi dari strategi inti bisnis. AI, data, dan keamanan siber telah menjadi pilar kelangsungan organisasi, bukan tambahan.

Dalam konteks ini, SuperTech leadership menjadi model kepemimpinan masa depan yang berorientasi pada:

  • Kecepatan pengambilan keputusan — dengan menghapus rantai komunikasi yang panjang antar fungsi digital.

  • Kohesi strategi digital dan bisnis — semua inisiatif teknologi mengacu pada tujuan organisasi yang sama.

  • Akuntabilitas yang jelas — satu pemimpin bertanggung jawab atas hasil transformasi digital secara menyeluruh.

SuperTech leader bukan hanya posisi jabatan, tetapi juga kerangka berpikir baru: cara memandang teknologi sebagai sistem nilai yang hidup, menyatu dengan arah strategis organisasi.

5. Relevansi bagi Dunia Bisnis dan Pemerintahan di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, model SuperTech memiliki relevansi tinggi karena banyak organisasi masih menjalankan fungsi digital, data, dan TI secara terpisah. Banyak lembaga publik, universitas, dan perusahaan BUMN memiliki jabatan CIO, CDO, dan CAO yang bekerja secara paralel tanpa koordinasi yang erat. Akibatnya, program transformasi digital sering berjalan lambat dan tidak konsisten.

Dengan mengadopsi pendekatan SuperTech, organisasi dapat:

  • Menyatukan visi digital dan data ke dalam strategi bisnis nasional,

  • Mengurangi redundansi dalam proyek IT dan data analytics,

  • Meningkatkan akuntabilitas serta efektivitas transformasi digital lintas lembaga, dan

  • Mendorong koordinasi antara kebijakan teknologi, AI, dan keamanan informasi di tingkat eksekutif.

Model kepemimpinan terpadu seperti ini juga dapat mendukung kebijakan nasional seperti Satu Data Indonesia dan Digital Governance Framework dengan memastikan arah digitalisasi yang lebih terstruktur dan terukur.

SuperTech leadership mencerminkan pergeseran paradigma dari kepemimpinan teknologi yang terfragmentasi menuju kepemimpinan digital yang holistik dan kolaboratif. Pemimpin di era ini dituntut untuk menggabungkan kompetensi strategis, pemahaman teknologi, dan kepemimpinan manusia dalam satu visi yang terarah. Mereka bukan sekadar mengelola sistem digital, tetapi membangun organisasi yang hidup di dalamnya organisasi yang berinovasi, belajar, dan tumbuh dengan kecepatan dunia teknologi itu sendiri.

 

Tantangan dan Kritik terhadap Model SuperTech 

Meskipun model SuperTech leadership menghadirkan banyak keuntungan strategis, penerapannya tidak tanpa tantangan.
Konsolidasi peran teknologi ke dalam satu kepemimpinan bisa memunculkan risiko baru terkait tata kelola, beban kerja, dan keseimbangan kekuasaan di dalam organisasi. Banyak perusahaan, terutama yang berskala besar dan kompleks, masih memandang struktur multi-peran sebagai cara menjaga spesialisasi dan pengawasan yang lebih ketat.

Dalam konteks ini, kritik terhadap model SuperTech berakar pada tiga isu utama: (1) risiko konsentrasi kekuasaan teknologi, (2) hilangnya fungsi pengawasan lintas peran, dan (3) kesenjangan kompetensi kepemimpinan.

1. Risiko Konsentrasi Kekuasaan Teknologi

Konsolidasi peran yang terlalu luas dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap sentralisasi kekuasaan digital. Seorang pemimpin yang mengendalikan fungsi IT, data, keamanan, dan AI sekaligus memiliki pengaruh besar terhadap arah organisasi, terutama dalam hal pengambilan keputusan berbasis data. Jika tidak diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas yang kuat, hal ini dapat menyebabkan ketimpangan kekuasaan dan risiko penyalahgunaan otoritas teknologi.

Sebagian ahli tata kelola organisasi berpendapat bahwa pemisahan peran (misalnya antara CDO dan CIO) berfungsi sebagai “checks and balances” yang memastikan tidak ada satu unit yang mendominasi. Scott Hallworth dari Hewlett-Packard menegaskan bahwa perbedaan fungsi antara Chief Digital Officer dan Chief Data Officer dapat membantu organisasi besar menjaga keseimbangan antara kecepatan digitalisasi dan kehati-hatian dalam tata kelola data.

Oleh karena itu, model SuperTech perlu diterapkan dengan struktur pengawasan yang memadai, seperti digital governance board atau executive data council, agar tetap transparan dan akuntabel.

2. Hilangnya Mekanisme Pengawasan dan Spesialisasi

Kritik lain menyebutkan bahwa SuperTech leadership dapat mengikis kedalaman keahlian dan independensi fungsi spesialis. Ketika satu pemimpin mengelola banyak domain sekaligus, perhatian strategis bisa terpecah, dan beberapa area kritikal seperti keamanan siber atau tata kelola data berisiko tidak mendapatkan perhatian memadai.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa konsolidasi bisa menghapus peran pengawas independen yang biasanya berfungsi sebagai filter kebijakan teknologi. Sebagai contoh, dalam struktur tradisional, CISO (Chief Information Security Officer) dapat menolak atau menunda proyek digital yang berisiko tinggi terhadap keamanan informasi. Dalam struktur terintegrasi, keputusan semacam itu mungkin lebih sulit dikontrol karena berada di bawah satu rantai kepemimpinan yang sama.

Organisasi yang berhasil menerapkan model SuperTech, seperti TIAA dan Vista Equity Partners, mengatasi risiko ini dengan memperkuat governance committee dan cross-functional review board. Langkah tersebut memastikan bahwa setiap kebijakan teknologi tetap diuji secara independen oleh berbagai pihak di dalam organisasi.

3. Tantangan Kompetensi dan Kapasitas Pemimpin

SuperTech leadership menuntut sosok yang memiliki kombinasi langka antara pengetahuan teknologi mendalam dan kemampuan bisnis strategis. Keterampilan ini sulit ditemukan karena sebagian besar pemimpin teknologi tumbuh dari jalur karier teknis yang kuat tetapi kurang berpengalaman dalam strategi bisnis, atau sebaliknya. Survei HBR (2024) mencatat bahwa hanya sekitar 10–15% CIO global yang dianggap memiliki kemampuan penuh untuk menjalankan peran SuperTech secara efektif.

Tantangan ini menjadi semakin nyata di negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana masih terbatas jumlah pemimpin yang mampu mengintegrasikan pemikiran teknologi dan bisnis secara utuh. Banyak organisasi masih memisahkan antara “pihak IT” dan “pihak manajemen”  sebuah warisan struktural yang membuat transformasi digital sulit dilakukan secara menyeluruh.

Untuk menjembatani kesenjangan ini, perlu ada investasi besar dalam pengembangan kepemimpinan digital lintas disiplin, baik melalui program pelatihan nasional, universitas, maupun lembaga seperti Diklatkerja. Pelatihan yang menggabungkan business acumen, digital fluency, dan strategic leadership akan menjadi kunci mencetak pemimpin SuperTech masa depan.

4. Tantangan Budaya Organisasi

Konsolidasi juga sering berbenturan dengan budaya organisasi yang hierarkis atau silo-based. Dalam organisasi besar, setiap fungsi teknologi biasanya memiliki identitas dan dinamika kerja sendiri. Upaya menggabungkan semuanya di bawah satu kepemimpinan sering menghadapi resistensi internal, terutama dari pejabat atau tim yang kehilangan otonomi dan ruang pengaruh.

Keberhasilan implementasi SuperTech sangat bergantung pada kemampuan pemimpin dalam mengelola perubahan budaya (cultural change management). Ia harus membangun narasi bersama bahwa konsolidasi bukanlah pengurangan peran, melainkan penyelarasan tujuan. Pemimpin yang mampu menumbuhkan rasa kepemilikan bersama terhadap transformasi akan lebih mudah mendapatkan dukungan lintas fungsi.

Pendekatan yang digunakan Microsoft dan DBS Bank menjadi contoh penting. Kedua organisasi ini tidak hanya melakukan restrukturisasi peran, tetapi juga mengembangkan budaya “shared mission” antara teknologi dan bisnis, sehingga seluruh unit merasa menjadi bagian dari strategi digital bersama.

5. Adaptasi untuk Konteks Indonesia

Dalam konteks Indonesia, tantangan penerapan model SuperTech tidak hanya bersifat struktural tetapi juga sistemik. Banyak organisasi publik dan BUMN memiliki struktur manajemen yang sangat berlapis dan terikat pada regulasi birokrasi. Perubahan peran di tingkat eksekutif sering memerlukan penyesuaian hukum dan kebijakan internal yang kompleks.

Selain itu, kapasitas SDM digital di tingkat menengah ke atas masih belum merata. Data Indonesia Digital Talent Outlook (2024) menunjukkan bahwa hanya 8% profesional teknologi di Indonesia memiliki pengalaman strategis di level manajemen atas. Artinya, untuk mengimplementasikan model SuperTech secara efektif, Indonesia perlu memperkuat ekosistem kepemimpinan digital nasional, termasuk pelatihan lintas sektor antara pemerintah, swasta, dan akademisi.

Di sisi lain, ada peluang besar: konsep SuperTech sejalan dengan arah kebijakan nasional seperti Digital Leadership Development Program oleh Kemenkominfo dan Indonesia Digital Economy Framework 2045. Jika diintegrasikan dengan strategi pembangunan nasional, SuperTech leadership bisa menjadi katalis menuju tata kelola digital yang lebih efisien dan responsif.

6. Menjaga Keseimbangan antara Integrasi dan Pengawasan

Kritik yang paling konstruktif terhadap model SuperTech bukan menolak ide konsolidasi, melainkan menekankan perlunya keseimbangan antara integrasi dan pengawasan. Organisasi perlu menghindari jebakan ekstrem baik terlalu banyak jabatan yang terpisah, maupun terlalu terpusat pada satu orang. Kunci keberhasilan terletak pada desain tata kelola yang cerdas: satu pemimpin memegang arah strategis, sementara fungsi-fungsi teknis tetap memiliki otonomi profesional dalam batas yang jelas.

Dengan struktur seperti ini, organisasi dapat menikmati manfaat koordinasi dan kecepatan pengambilan keputusan, tanpa kehilangan integritas dan transparansi yang diperlukan dalam pengelolaan teknologi tingkat tinggi.

 

Implikasi bagi Organisasi di Indonesia

Perubahan lanskap digital global menempatkan Indonesia dalam fase penting untuk menata kembali strategi kepemimpinan teknologinya. Transformasi digital yang tengah berlangsung di berbagai lembaga pemerintahan, BUMN, dan perusahaan swasta menunjukkan bahwa tantangan utama bukan hanya adopsi teknologi, tetapi koordinasi antarfungsi digital yang belum terintegrasi secara efektif.

Model SuperTech leadership menawarkan arah baru bagi organisasi di Indonesia untuk membangun tata kelola teknologi yang lebih efisien, kolaboratif, dan strategis. Pendekatan ini dapat menjadi solusi bagi beberapa persoalan klasik transformasi digital nasional—mulai dari tumpang tindih program, duplikasi anggaran, hingga lambatnya pengambilan keputusan lintas direktorat.

1. Membangun Tata Kelola Digital yang Terpadu

Banyak lembaga publik di Indonesia masih menerapkan struktur teknologi yang terpisah: direktorat TI, direktorat data, dan unit digitalisasi sering berjalan sendiri-sendiri. Kondisi ini menyebabkan kebijakan digitalisasi nasional sulit dieksekusi secara sinkron.
SuperTech leadership dapat membantu menyatukan arah strategis tersebut dengan menciptakan satu pusat pengambilan keputusan digital di tingkat pimpinan eksekutif.

Misalnya, pada proyek nasional seperti Satu Data Indonesia atau Digital Government Architecture, pendekatan ini memungkinkan integrasi lintas kementerian dan lembaga dengan lebih efektif. Pemimpin teknologi nasional tidak hanya mengelola sistem, tetapi juga memandu arah kebijakan digital berdasarkan data yang terkonsolidasi dan terbuka.

2. Penguatan Kapasitas Kepemimpinan Digital Nasional

Agar model ini berhasil, Indonesia perlu memperkuat kapasitas SDM digital di tingkat strategis. SuperTech leadership menuntut kombinasi keterampilan yang jarang dimiliki secara bersamaan penguasaan teknologi, visi bisnis, dan kepemimpinan kolaboratif. Kesenjangan ini menjadi tantangan utama yang perlu dijembatani melalui program pengembangan kepemimpinan digital lintas sektor.

Inisiatif seperti Digital Leadership Academy (Kominfo) dan National Digital Talent Program bisa menjadi wadah penting untuk mencetak generasi pemimpin digital yang mampu memimpin lintas domain. Di sektor swasta, pelatihan yang menggabungkan data strategy, AI governance, dan business transformation akan memperkuat kemampuan manajerial dalam mengelola organisasi berbasis data.

Selain pelatihan formal, kolaborasi antara dunia industri dan akademisi perlu diperluas agar lahir ekosistem pembelajaran berkelanjutan yang mendukung tumbuhnya pemimpin digital baru.

3. Adaptasi untuk Sektor BUMN dan Pemerintahan

BUMN dan lembaga publik di Indonesia menghadapi tantangan unik: birokrasi yang kompleks dan budaya organisasi yang masih hierarkis. Penerapan model SuperTech di lingkungan ini membutuhkan pendekatan bertahap dan berbasis tata kelola (governance-based approach).

Langkah pertama adalah mengidentifikasi fungsi teknologi yang masih tumpang tindih dan menyatukannya ke dalam struktur koordinasi terpadu di bawah pimpinan yang memiliki kewenangan lintas sektor Langkah berikutnya adalah memastikan adanya accountability mechanism misalnya komite transformasi digital lintas direktorat untuk menjaga transparansi dan objektivitas keputusan.

Beberapa BUMN besar seperti Telkom Indonesia dan PLN mulai mengarah ke pola ini, dengan mengonsolidasikan fungsi teknologi, data, dan inovasi di bawah Chief Digital Transformation Officer (CDTO). Pendekatan ini terbukti mempercepat integrasi layanan, efisiensi biaya, dan peningkatan respons terhadap kebutuhan pelanggan.

4. Penguatan Kolaborasi antara Pemerintah dan Swasta

SuperTech leadership tidak dapat berdiri sendiri tanpa ekosistem pendukung. Pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama membangun arsitektur kolaborasi digital nasional yang memungkinkan berbagi data, inovasi, dan praktik terbaik lintas industri.
Kolaborasi ini penting untuk mempercepat adopsi AI, analitik, dan keamanan siber di seluruh sektor.

Model kemitraan seperti public–private digital consortium dapat menjadi solusi praktis. Dengan melibatkan universitas, startup, dan lembaga penelitian, Indonesia dapat membangun laboratorium inovasi kepemimpinan digital yang mempersiapkan pemimpin masa depan dengan kompetensi SuperTech.

5. Mendorong Transformasi yang Human-Centered

Konsep SuperTech bukan semata soal efisiensi atau konsolidasi struktur, tetapi tentang menempatkan manusia di pusat transformasi digital. Pemimpin SuperTech harus memastikan bahwa setiap kebijakan dan inovasi teknologi meningkatkan kemampuan manusia, bukan menggantikannya. Di Indonesia, hal ini berarti memberdayakan pegawai negeri, pekerja industri, dan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan digital melalui literasi dan pelatihan berkelanjutan.

Transformasi digital yang inklusif akan memperkuat produktivitas nasional sekaligus mengurangi kesenjangan digital antarwilayah.
Kepemimpinan yang memadukan teknologi dan empati menjadi kunci agar digitalisasi tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan berkelanjutan.

 

Kesimpulan

SuperTech leadership mewakili arah baru dalam kepemimpinan organisasi modern sebuah paradigma yang menuntut integrasi antara strategi bisnis, teknologi, dan tata kelola digital dalam satu visi terpadu. Bagi Indonesia, pendekatan ini bisa menjadi pendorong utama akselerasi transformasi digital nasional, terutama jika diiringi dengan reformasi budaya organisasi dan penguatan kapasitas kepemimpinan digital.

Konsolidasi peran teknologi di tingkat eksekutif bukan sekadar penyederhanaan struktur, melainkan investasi strategis untuk membangun organisasi yang adaptif, inovatif, dan berkelanjutan. Dengan menerapkan prinsip SuperTech leadership, organisasi di Indonesia dapat melangkah lebih jauh tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta nilai baru di era ekonomi digital global.

 

Daftar Pustaka:

Davenport, T. H., Spens, J., & Gupta, S. (2024). Why companies should consolidate tech roles in the C-suite. Harvard Business Review, 102(2), 54–62.

Davenport, T. H., & Westerman, G. (2018). Why so many high-profile digital transformations fail. Harvard Business Review. 

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). The digital transformation of SMEs. Paris: OECD Publishing.

Schein, E. H., & Schein, P. A. (2017). Organizational culture and leadership (5th ed.). Wiley.

World Economic Forum. (2024). Future readiness of organizations: Leading in the age of AI. Geneva: WEF.

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2024). Digital Leadership Academy: Roadmap 2024–2029. Jakarta: Kominfo.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2025). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

World Bank. (2024). Digital government for development: Building capacity and trust. Washington, DC: World Bank Group.