Teknologi Informasi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025
Pendahuluan: Pertemuan Teknologi dan Globalisasi
Di era globalisasi, perusahaan dihadapkan pada tekanan kompetitif yang semakin intens. Perubahan cepat dalam teknologi digital, integrasi ekonomi global, serta tuntutan konsumen membuat perusahaan tidak lagi cukup hanya mengandalkan strategi lokal. Paper ini menyoroti sebuah pertanyaan penting: apakah penggunaan Teknologi Informasi (TI) dan adopsi teknologi Industri 4.0 benar-benar berpengaruh terhadap internasionalisasi serta kinerja bisnis?
Pertanyaan tersebut relevan karena banyak perusahaan, khususnya di negara berkembang, menghadapi dilema: apakah investasi dalam TI dan teknologi baru benar-benar menghasilkan nilai lebih, atau sekadar mengikuti tren? Dengan mengambil 168 perusahaan di Bogotá, Kolombia sebagai sampel, penulis mencoba memberikan jawaban empiris sekaligus menyusun kerangka konseptual mengenai peran teknologi dalam strategi global.
Kerangka Teoretis: Teknologi Sebagai Enabler
Teknologi Informasi dalam Perspektif Strategi
Dalam literatur manajemen, TI sudah lama dipandang sebagai infrastruktur strategis. Paper ini menekankan bahwa TI berperan melampaui fungsi administratif. Ia memungkinkan:
Secara konseptual, penulis menghubungkan peran TI dengan teori resource-based view (RBV). Menurut pandangan ini, keunggulan kompetitif lahir dari sumber daya yang bernilai, langka, sulit ditiru, dan sulit digantikan. TI, bila diimplementasikan dengan baik, memenuhi kriteria tersebut.
Industri 4.0 sebagai Paradigma Baru
Sementara TI dipandang sebagai fondasi, Industri 4.0 dianggap sebagai lompatan paradigma. Teknologi seperti Internet of Things (IoT), big data, cloud computing, dan kecerdasan buatan bukan hanya meningkatkan efisiensi, tetapi menciptakan model bisnis baru.
Paper ini memosisikan Industri 4.0 sebagai transisi dari otomatisasi (era TI tradisional) menuju otonomi. Mesin tidak hanya menjalankan instruksi manusia, tetapi juga mampu menganalisis data, berkomunikasi, dan mengambil keputusan.
Internasionalisasi sebagai Strategi Pertumbuhan
Internasionalisasi dalam penelitian ini tidak hanya diartikan sebagai ekspor, melainkan strategi menyeluruh untuk memasuki pasar global. Hambatan klasik berupa liability of foreignness—seperti keterbatasan informasi, jarak budaya, dan tingginya biaya koordinasi—dapat dikurangi melalui pemanfaatan TI.
Hasil dan Temuan Empiris
Perbedaan Penggunaan TI antara Perusahaan Lokal dan Internasional
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang berorientasi internasional memiliki tingkat penggunaan TI lebih tinggi (rata-rata 3,91) dibanding perusahaan lokal (3,36).
Refleksi: Angka ini menegaskan bahwa TI bukan sekadar “pelengkap” melainkan prasyarat untuk bersaing di pasar global. Tanpa infrastruktur TI yang kuat, perusahaan cenderung hanya mampu bermain di pasar lokal.
TI dan Internasionalisasi
Analisis regresi mengungkap bahwa penggunaan TI mampu menjelaskan 9,6% variabilitas dalam internasionalisasi perusahaan dengan signifikansi tinggi (p = 0,008).
Interpretasi konseptual: meskipun angkanya terlihat kecil, hal ini penting karena internasionalisasi adalah fenomena multifaktor. TI di sini berfungsi sebagai jembatan untuk mengurangi hambatan jarak dan informasi. Tanpa TI, strategi global akan sangat terbatas.
TI dan Kinerja Bisnis
Hubungan TI dengan kinerja terbukti lebih kuat:
Refleksi teoretis: angka seperempat ini menegaskan bahwa TI memiliki peran strategis dalam meningkatkan kinerja, baik melalui efisiensi operasional, pengurangan biaya, maupun peningkatan layanan pelanggan. Namun, fakta bahwa 74,4% kinerja dijelaskan oleh faktor lain juga menjadi pengingat bahwa TI hanyalah satu dari sekian banyak faktor.
Adopsi Teknologi Industri 4.0
Menariknya, tingkat adopsi teknologi Industri 4.0 masih rendah:
Refleksi: rendahnya adopsi menunjukkan bahwa banyak perusahaan di negara berkembang masih berada pada tahap awal transformasi digital.
Industri 4.0 dan Kinerja Bisnis
Meskipun tingkat adopsinya rendah, dampak Industri 4.0 terhadap kinerja justru lebih kuat:
Refleksi konseptual: hasil ini menunjukkan potensi performance leap. Artinya, meskipun sedikit perusahaan yang berinvestasi di teknologi ini, mereka yang melakukannya cenderung mengalami peningkatan kinerja yang signifikan.
Kritik Metodologis
Refleksi Konseptual Mendalam
TI sebagai Infrastruktur Globalisasi
Data empiris menunjukkan TI lebih berperan dalam internasionalisasi daripada Industri 4.0. Refleksi ini masuk akal: TI menyediakan bahasa komunikasi global melalui e-mail, platform digital, ERP, hingga e-commerce. Tanpa TI, perusahaan akan sulit membangun jaringan internasional.
Industri 4.0 sebagai Mesin Inovasi
Industri 4.0, meski adopsinya rendah, memiliki pengaruh lebih besar terhadap kinerja. Hal ini menegaskan bahwa Industri 4.0 bukan sekadar perpanjangan TI, melainkan paradigma baru yang mampu menghasilkan inovasi produk, layanan, dan model bisnis.
Data sebagai Faktor Produksi Baru
Baik TI maupun Industri 4.0 berpusat pada data. Jika revolusi industri sebelumnya digerakkan oleh energi, maka revolusi keempat ini digerakkan oleh data. Dalam kerangka ekonomi, data kini berperan sebagai faktor produksi baru yang setara dengan modal dan tenaga kerja.
Mesin sebagai Aktor Otonom
Industri 4.0 memperkenalkan ide bahwa mesin bukan sekadar alat, tetapi aktor organisasi dengan kapasitas otonom. Konsep ini menantang teori organisasi tradisional yang selalu menempatkan manusia sebagai pusat pengambilan keputusan.
Implikasi Ilmiah
Kesimpulan: Potensi dan Tantangan
Paper ini berhasil menunjukkan bahwa:
Secara konseptual, penelitian ini memperkuat pemahaman bahwa TI dan Industri 4.0 adalah instrumen strategis dalam era globalisasi. Namun, keterbatasan metodologi dan konteks geografis membuat hasilnya perlu diuji ulang di sektor dan negara lain.
Refleksi akhir: kontribusi utama paper ini adalah memperlihatkan transformasi teknologi dari sekadar alat operasional menjadi sumber daya strategis yang membentuk arah internasionalisasi dan kinerja organisasi. Secara ilmiah, penelitian ini membuka ruang bagi teori baru tentang peran data, teknologi otonom, dan ekosistem digital dalam membentuk daya saing global di abad ke-21.
Sumber Artikel:
Teknologi Informasi
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 02 Agustus 2025
Pendahuluan: Saat Desain Menentukan Kualitas
Di era farmasi berbasis presisi, pendekatan Quality by Design (QbD) telah berkembang menjadi tulang punggung pengembangan produk obat yang berorientasi mutu. Studi karya Emanuele Tomba mengangkat bagaimana QbD dapat diimplementasikan dalam merancang sediaan hidrogel topikal tretinoin, dengan mengedepankan kualitas, kestabilan, dan efektivitas sebagai hasil desain sistematis, bukan hanya uji akhir.
Tretinoin, turunan vitamin A yang banyak digunakan dalam terapi jerawat dan penuaan kulit, dikenal memiliki stabilitas rendah terhadap cahaya dan oksidasi. Oleh karena itu, pendekatan QbD dalam mengembangkan bentuk sediaan hidrogel bukan hanya relevan, tetapi krusial.
Kerangka Teori: QbD sebagai Prinsip Ilmiah dan Strategi Desain
QTPP, CQA, CPP, CMA: Pilar Fondasional
Penulis menyusun pendekatan pengembangan hidrogel tretinoin berbasis empat komponen utama QbD:
Quality Target Product Profile (QTPP): Deskripsi ideal produk, termasuk aplikasi topikal, stabilitas kimia, dan tolerabilitas kulit.
Critical Quality Attributes (CQAs): Parameter yang mencakup kekentalan, ukuran partikel (jika relevan), stabilitas tretinoin, pH, serta profil pelepasan obat.
Critical Material Attributes (CMAs): Termasuk jenis dan konsentrasi polimer pembentuk gel (karbomer), surfaktan, pengawet, dan antioksidan.
Critical Process Parameters (CPPs): Meliputi suhu pencampuran, kecepatan agitasi, dan urutan penambahan bahan.
Pendekatan ini memastikan bahwa kualitas tidak dihasilkan melalui kontrol produk akhir semata, melainkan melalui pemahaman ilmiah terhadap seluruh siklus formulasi.
Desain Formulasi: Sintesis Ilmu Kimia dan Strategi Terapeutik
Mengapa Hidrogel?
Hidrogel dipilih karena menawarkan:
Sensasi non-lengket dan mudah diratakan pada kulit.
Permeabilitas dan hidrasi kulit yang baik untuk penetrasi tretinoin.
Kemampuan membawa bahan aktif dalam lingkungan semi-akuatik, yang dapat mendukung stabilitas kimia.
Pemilihan Polimer dan Eksipien
Penulis mengevaluasi berbagai jenis karbomer (termasuk Carbopol 934 dan 980) sebagai agen pengental. Pemilihan ini mempertimbangkan:
Stabilitas tretinoin dalam pH rendah-menengah.
Interaksi antara karbomer dengan tretinoin dan bahan tambahan.
Kekentalan akhir dan kemudahan aplikasi.
Penambahan Antioksidan dan Pengawet
Butylated hydroxytoluene (BHT) dan EDTA digunakan sebagai antioksidan untuk menghambat degradasi tretinoin akibat oksidasi.
Parabens digunakan sebagai pengawet dengan tujuan mempertahankan kualitas mikrobiologis, mengingat hidrogel bersifat semi-akuatik.
Strategi Eksperimental: Optimalisasi Melalui DoE
Desain Eksperimen sebagai Jantung QbD
Untuk mengidentifikasi kombinasi ideal bahan, penulis menggunakan Design of Experiment (DoE), terutama pendekatan faktorial dan response surface methodology (RSM). Parameter utama yang dimanipulasi meliputi:
Konsentrasi karbomer
Jenis antioksidan
pH akhir sistem
Konsentrasi tretinoin
Hasil dan Refleksi Teoretis
Beberapa temuan utama:
pH optimal berkisar antara 4.0–5.5 — cukup rendah untuk menjaga stabilitas tretinoin tetapi cukup tinggi agar karbomer tetap aktif dan dapat membentuk gel.
Konsentrasi tretinoin optimal di bawah 0.05% menunjukkan bahwa peningkatan dosis tidak secara proporsional meningkatkan efektivitas topikal, melainkan meningkatkan risiko iritasi kulit.
BHT + EDTA sebagai kombinasi antioksidan menunjukkan perlindungan oksidatif paling kuat selama penyimpanan 3 bulan.
Interpretasi ini mendemonstrasikan pemahaman menyeluruh penulis terhadap dinamika kimia-fisika sediaan topikal serta respons biologis kulit.
Pengujian Produk dan Analisis Kritis
Studi Stabilitas
Produk diuji dalam kondisi:
Suhu 25 °C dan 40 °C, disertai pencahayaan (untuk simulasi kondisi penyimpanan dan penggunaan).
Hasil menunjukkan penurunan kadar tretinoin lebih lambat pada sistem dengan antioksidan ganda, dengan degradasi <10% selama 3 bulan.
Uji Organoleptik dan Fisikokimia
Viskositas tetap stabil dengan nilai ideal untuk penggunaan dermal.
pH bertahan di kisaran 4.5–5.2, tanpa fluktuasi drastis.
Aspek sensorial (tekstur, warna, bau) juga dijaga konsisten.
Profil Pelepasan Obat
Dengan menggunakan uji difusi membran sintetis, hidrogel menunjukkan profil pelepasan yang stabil dan terkendali dalam 8 jam. Ini menunjukkan sistem mampu mengantarkan tretinoin secara kontinyu ke permukaan kulit.
Refleksi terhadap Narasi dan Logika Penulis
Kekuatan Argumentasi
Keterkaitan teori dan praktik sangat kuat — setiap keputusan desain didukung dengan data eksperimental.
Logika konseptual berjalan linear, dari QTPP → CQA → DoE → hasil.
Dokumentasi risiko dan kontrol melalui diagram fishbone dan matriks risiko menambah kekokohan pendekatan QbD.
Kritik Metodologis
Uji kompatibilitas bahan aktif dan eksipien secara termal atau spektroskopi tidak dijelaskan mendalam. Ini bisa menguatkan justifikasi stabilitas.
Skala eksperimental terbatas pada laboratorium — belum ada validasi produksi skala pilot/GMP.
Tidak ada uji eks vivo atau in vivo, yang padahal krusial untuk validasi biofarmasetika sediaan topikal.
Signifikansi Angka dan Makna Teoretis
pH 4.5–5.2: Keseimbangan Kimia-Biologis
Stabilitas tretinoin sangat sensitif terhadap pH. Terlalu rendah mengurangi efektivitas topikal, terlalu tinggi mempercepat degradasi. Penulis menemukan bahwa pH sekitar 4.5–5.2 mampu menjaga integritas tretinoin sambil tetap berada dalam rentang toleransi kulit.
Degradasi <10% dalam 3 Bulan: Penanda Stabilitas Nyata
Dalam konteks sediaan tretinoin, degradasi di bawah 10% selama penyimpanan adalah indikator stabilitas formulasi yang layak. Ini menunjukkan bahwa sistem antioksidan bekerja efektif, bahkan tanpa kontrol suhu ekstrem.
Pelepasan Stabil hingga 8 Jam: Menjamin Efikasi Klinis
Studi in vitro menunjukkan bahwa hidrogel dapat melepaskan tretinoin secara perlahan dan konsisten, yang mendukung terapi dengan paparan minimal namun hasil maksimal.
Implikasi Ilmiah dan Masa Depan Formulasi Tretinoin
Formulasi ini membuka jalan untuk:
Produk tretinoin dengan profil stabilitas yang lebih baik, mengurangi pembatasan penyimpanan.
Pengembangan formulasi topikal lain berbasis QbD, seperti asam azelat, adapalen, atau niacinamide.
Integrasi QbD dalam proses akademik dan industri, mempercepat transisi dari laboratorium ke regulasi.
Dengan membuktikan bahwa QbD dapat diterapkan bahkan dalam skala laboratorium, studi ini mendorong pendekatan desain berbasis ilmu sebagai norma baru, bukan pengecualian.
Kesimpulan: Kualitas Tidak Lagi Dipertaruhkan, Tapi Dirancang
Melalui penerapan menyeluruh prinsip QbD, Emanuele Tomba berhasil merancang formulasi hidrogel tretinoin yang stabil, fungsional, dan sesuai dengan kebutuhan terapeutik serta industri. Kekuatan studi ini terletak pada integrasi antara teori farmasi, teknik formulasi, dan evaluasi risiko. Ia membuktikan bahwa kualitas tidak harus diuji di akhir, tapi harus dibangun sejak awal. Ini adalah paradigma baru dalam pengembangan obat topikal — di mana ilmu, desain, dan hasil klinis berjalan seiring.
Teknologi Informasi
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 02 Agustus 2025
Pendahuluan: Las GMAW sebagai Ruang Inovasi Kendali Proses
Gas Metal Arc Welding (GMAW) merupakan salah satu metode pengelasan yang paling banyak digunakan dalam industri manufaktur modern karena keefisienan dan fleksibilitasnya. Namun, performa sambungan las tetap sangat bergantung pada kendali terhadap parameter proses. Dalam paper ini, penulis mengeksplorasi pengaruh parameter las seperti arus, tegangan, dan kecepatan kawat terhadap karakteristik sambungan, menggunakan pendekatan statistik yang sistematis: metodologi desain Taguchi.
Melalui pengujian dan analisis statistik, studi ini bertujuan memformulasikan pengaturan optimal parameter agar diperoleh hasil las dengan kekuatan maksimum. Pendekatan ini tidak hanya bersifat eksperimental, tetapi juga konseptual karena menyelaraskan prinsip kendali mutu dengan efisiensi proses.
Kerangka Teori: Metodologi Taguchi dan Kendali Variasi Proses
Metodologi Taguchi Design of Experiment (DoE) adalah pendekatan statistik yang dirancang untuk meminimalkan variasi proses dan mengoptimalkan performa dengan jumlah eksperimen minimal. Prinsip dasarnya:
Orthogonal Arrays (OA): Rancangan eksperimen yang seimbang untuk menguji kombinasi variabel.
Signal-to-Noise Ratio (S/N): Ukuran kestabilan proses terhadap gangguan.
Faktor dan Level: Penentuan variabel proses dan nilai-nilai yang diuji.
Penulis menerapkan OA L9 (3³), artinya tiga parameter diuji pada tiga level, menghasilkan sembilan kombinasi eksperimen.
Desain Eksperimen dan Parameter Uji
Parameter Proses yang Dipilih
Arus Pengelasan (Welding Current): Level – 80 A, 100 A, 120 A
Tegangan (Voltage): Level – 18 V, 20 V, 22 V
Kecepatan Kawat (Wire Feed Rate): Level – 80 mm/min, 100 mm/min, 120 mm/min
📌 Refleksi teoritis: Pemilihan parameter ini merepresentasikan variabel kontrol utama dalam sistem GMAW dan berkorelasi langsung terhadap kualitas struktur sambungan.
Hasil Eksperimen dan Sorotan Angka
Kekuatan Tarik Maksimum (Ultimate Tensile Strength / UTS)
Dari sembilan eksperimen, kekuatan tarik maksimum bervariasi antara 405 MPa hingga 487 MPa.
🔍 Refleksi: Variasi ini menunjukkan sejauh mana parameter memengaruhi integritas mekanik sambungan. Kombinasi optimal menghasilkan peningkatan hingga 20% dibanding kondisi sub-optimal.
Analisis Rasio Sinyal terhadap Noise (S/N Ratio)
S/N Ratio diinterpretasikan berdasarkan prinsip "lebih besar lebih baik" (higher-the-better). Nilai S/N tertinggi dicapai saat:
Arus = 100 A
Tegangan = 20 V
Kecepatan kawat = 100 mm/min
📌 Makna teoritis: Ini menunjukkan bahwa bukan level maksimum, melainkan kombinasi parameter menengah justru menghasilkan performa terbaik — mendukung prinsip kendali variasi proses ala Taguchi.
Pengaruh Faktor Individu (Main Effects Plot)
Analisis menunjukkan:
Arus pengelasan berpengaruh paling signifikan terhadap UTS
Tegangan dan kecepatan kawat memiliki kontribusi sedang dan rendah secara berturut-turut
🔍 Interpretasi: Ini menandakan bahwa energi input utama (arus) memainkan peran krusial dalam membentuk zona fusi dan mikrostruktur hasil pengelasan.
Narasi Argumentatif: Rancangan Statistik sebagai Jalan Efisiensi Proses
Penulis menyusun argumen bahwa pendekatan tradisional dalam pengelasan seringkali mengandalkan pengalaman dan trial-error. Di sinilah desain Taguchi menjadi solusinya — memungkinkan eksplorasi sistematis terhadap banyak kombinasi dengan eksperimen minimal.
Narasi yang dibangun menunjukkan bahwa metodologi statistik bukan sekadar alat bantu teknis, melainkan strategi desain proses itu sendiri. Dengan desain orthogonal dan analisis rasio sinyal terhadap noise, penulis mengarahkan pembaca pada paradigma bahwa kualitas sambungan bukan hanya hasil akhir, tapi juga cerminan pengendalian proses yang dirancang secara presisi.
Kontribusi Ilmiah Artikel
Menyediakan pendekatan kuantitatif dalam optimasi pengelasan GMAW
Menggunakan desain eksperimen Taguchi yang efisien
Menyediakan peta pengaruh parameter proses terhadap performa mekanik
Menunjukkan hubungan antara konfigurasi parameter dan variabilitas kualitas
Mengilustrasikan bagaimana kombinasi parameter menengah bisa lebih optimal dari level ekstrim
Daftar Poin: Parameter Optimum dan Efeknya
Kombinasi Parameter Optimum:
Arus = 100 A
Tegangan = 20 V
Wire Feed = 100 mm/min
Efek yang Dihasilkan:
UTS Maksimum: ~487 MPa
S/N Ratio: Tertinggi dari seluruh eksperimen
Stabilitas: Terbukti dari variansi antar ulangan yang rendah
Kritik terhadap Pendekatan Penulis
Kekuatan:
Pemanfaatan metode Taguchi secara tepat dan proporsional
Penjelasan sistematis tiap langkah eksperimen
Penyajian data numerik yang ringkas dan mudah dipahami
Kelemahan:
Tidak dibahas aspek mikrostruktur atau metalurgi hasil pengelasan.
Tidak ada validasi eksperimen lanjutan di luar 9 kombinasi awal.
Tidak dibahas biaya atau efisiensi energi dari konfigurasi optimal.
📌 Saran: Penelitian lanjutan bisa mengeksplorasi hubungan antara parameter optimum dan karakteristik mikrostruktur, serta menilai keberlanjutan proses dari sisi konsumsi energi.
Refleksi Teoritis: Signifikansi Studi dalam Konteks Industri
Studi ini menegaskan bahwa optimasi proses industri bisa dilakukan dengan cara yang ekonomis dan ilmiah sekaligus. Dengan sembilan eksperimen saja, penulis mampu:
Memetakan sensitivitas parameter
Menemukan kombinasi optimum
Mengurangi ketidakpastian dalam produksi
🔍 Makna strategis: Di dunia industri, waktu dan sumber daya sangat terbatas. Desain Taguchi menjadi solusi optimal untuk pengambilan keputusan berbasis data dalam proses-proses kompleks seperti pengelasan.
Implikasi Ilmiah dan Praktis
Penelitian ini memberikan kontribusi pada dua bidang utama:
1. Ilmiah:
Memperluas aplikasi desain Taguchi dalam proses manufaktur logam
Menyediakan referensi kuat untuk korelasi antara variabel proses dan performa mekanik
2. Industri:
Membantu insinyur menetapkan standar pengelasan berbasis data
Mengurangi kegagalan sambungan akibat trial-error
Menyediakan dasar untuk otomatisasi dan digitalisasi kontrol proses
Kesimpulan: Las yang Kuat Dimulai dari Desain yang Cermat
Paper ini menunjukkan bahwa penguatan kualitas sambungan tidak harus menunggu hasil akhir, tetapi bisa dibangun sejak proses dirancang. Dengan menggunakan desain Taguchi, penulis berhasil:
Menetapkan konfigurasi parameter optimal
Mengungkap faktor dominan dalam mutu sambungan
Menyediakan model pendekatan efisien bagi proses manufaktur lain
Lebih dari sekadar eksperimen laboratorium, studi ini mencerminkan evolusi cara berpikir dalam kendali mutu industri — dari empiris ke sistematis, dari spekulatif ke prediktif.
Teknologi Informasi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan: Ketika Inovasi Tertahan oleh Realita Industri
Di era digital, adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) seharusnya menjadi hal yang niscaya di berbagai sektor, termasuk konstruksi. Namun, realitanya, sektor ini justru menjadi salah satu yang paling lambat dalam menerima inovasi. Penelitian yang dilakukan oleh Thejasvi Andipakula di sebuah perusahaan konstruksi di Nevada, AS, mengupas tuntas apa saja penghambat utama adopsi ICT dan bagaimana strategi mengatasinya.
Latar Belakang Penelitian: Manfaat ICT vs Realita Lapangan
ICT dalam industri konstruksi mampu meningkatkan efisiensi biaya, mempercepat proses pembangunan, dan memperkuat koordinasi antar pemangku kepentingan. Namun, proses implementasinya tidak sesederhana itu. Beragam studi telah mencatat adanya tantangan, mulai dari keterbatasan anggaran, budaya organisasi yang konvensional, hingga resistensi individu terhadap teknologi.
Studi ini memfokuskan pada:
Alat ICT yang umum digunakan
Hambatan utama dalam adopsi ICT
Strategi yang digunakan perusahaan untuk mengatasinya
	 
Metodologi: Studi Kasus dan Pendekatan Kualitatif
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis studi kasus. Data dikumpulkan melalui 9 wawancara mendalam dengan karyawan dari tiga divisi (perumahan, komersial, industri) dan dianalisis menggunakan pendekatan tematik melalui perangkat lunak NVivo.
Model Innovation Diffusion Theory (Rogers, 1983) digunakan untuk mengkategorikan sikap individu terhadap adopsi teknologi (innovator, early adopter, late majority, dll.).
Hasil dan Temuan Utama: Penerimaan Tinggi, Implementasi Tertahan
1. Karyawan sadar pentingnya ICT, namun belum semua siap menggunakannya secara aktif.
Contoh: Seorang manajer proyek menyatakan “Saya tahu BIM sangat membantu, tapi saya belum punya waktu cukup untuk mempelajarinya.”
2. Hambatan utama adopsi ICT dikategorikan menjadi tiga level:
A. Organisasi
Kurangnya waktu untuk pelatihan
Ketidakcocokan antara proses bisnis lama dan teknologi baru
Rendahnya dukungan kebijakan jangka panjang
	 
B. Individu
Minimnya keahlian komputer dasar
Ketidaknyamanan menghadapi teknologi baru
Waktu kerja yang padat membuat belajar ICT terasa “tidak realistis”
	 
C. Kelompok
Jarak geografis antartim menyulitkan proses learning by observation
Minimnya diskusi antar anggota tim seputar teknologi
	 
3. Faktor Finansial ternyata bukan hambatan utama
Menariknya, perusahaan studi kasus memiliki dana cukup dan bahkan dukungan dari top manajemen. Namun, kendala muncul di level implementasi dan budaya kerja.
Strategi Mengatasi Hambatan: Belajar dari Lapangan
1. Pelatihan Terstruktur
Perusahaan menyediakan pelatihan in-house rutin. Namun pelatihan teknis saja tidak cukup—harus dikaitkan langsung dengan tugas harian.
2. Pemberdayaan “Champion” Teknologi
Seorang anggota tim dijadikan pionir yang menjadi jembatan antara teknologi dan pengguna awam.
3. Budaya Observasional
Tim didorong untuk saling memperlihatkan manfaat ICT dalam pekerjaan mereka—strategi ini terbukti efektif pada karyawan yang enggan belajar formal.
4. Dukungan Manajemen
Pimpinan proyek mendorong penggunaan ICT meskipun produktivitas sempat menurun di awal. Ini menunjukkan adanya toleransi adaptasi sebagai bagian dari transisi.
Analisis dan Perbandingan
Dibandingkan Studi Serupa
Penelitian ini selaras dengan temuan Peansupap & Walker (2005) bahwa faktor manusia dan budaya organisasi lebih dominan menghambat ICT daripada teknologi itu sendiri. Studi juga menegaskan temuan Wong & Lam (2010) bahwa resistensi kultural adalah batu sandungan utama.
Kelebihan Penelitian
Menggunakan pendekatan tematik dan teori adopsi inovasi Rogers
Data primer dari wawancara nyata
Fokus pada persepsi dan pengalaman nyata karyawan
	 
Kritik
Hanya menggunakan satu perusahaan sebagai sampel
Tidak membandingkan efektivitas ICT secara kuantitatif
Belum menyentuh isu keberlanjutan atau pengaruh eksternal seperti kebijakan pemerintah
	 
Implikasi Praktis
Untuk Perusahaan Konstruksi:
Jangan hanya beli software—bangun budaya dan pelatihan internal
Evaluasi kesiapan organisasi, bukan sekadar kesiapan teknologi
Identifikasi siapa champion teknologi Anda di setiap proyek
	 
Untuk Dunia Pendidikan:
Perlu integrasi kurikulum ICT dalam pendidikan teknik sipil dan manajemen konstruksi
	 
Untuk Regulator:
Perlunya standardisasi digital readiness bagi perusahaan konstruksi
	 
Kesimpulan
Studi ini membuktikan bahwa adopsi ICT dalam konstruksi bukan soal teknologi, tapi soal manusia, budaya, dan waktu. Bahkan ketika dana dan teknologi tersedia, tantangan sejati ada pada resistensi budaya, kurangnya waktu belajar, serta miskomunikasi antar tim. Untuk mengatasi hal ini, pendekatan multidimensi yang mencakup pelatihan, champion teknologi, dukungan manajerial, dan pembelajaran antar rekan kerja menjadi solusi yang paling efektif.
Sumber Artikel
Andipakula, T. (2017). A Case Study of Barriers Inhibiting the Growth of Information and Communication Technology (ICT) in a Construction Firm. Colorado State University.
Tersedia di: https://mountainscholar.org/handle/10217/185805
Teknologi Informasi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 29 April 2025
Dalam pemrosesan sinyal, pengambilan sampel adalah reduksi sinyal waktu kontinu menjadi sinyal waktu diskrit. Contoh umum adalah mengubah gelombang suara menjadi rangkaian "sampel". Sampel adalah nilai suatu sinyal dalam waktu dan/atau ruang; definisi ini berbeda dari penggunaan istilah dalam statistik untuk merujuk pada sekumpulan nilai tersebut. [A] Sampler adalah subsistem atau fungsi yang mengekstraksi sampel dari sinyal kontinu. Sampler ideal teoritis menghasilkan sampel yang sesuai dengan nilai sesaat dari sinyal kontinu pada titik yang diinginkan. Sinyal asli dapat direkonstruksi dari rangkaian sampel hingga batas Nyquist dengan melewatkan urutan sampel melalui filter rekonstruksi.
![]()
Signal sampling representation. The continuous signal S(t) is represented with a green colored line while the discrete samples are indicated by the blue vertical lines.
Teori
Laju sampel atau laju sampel fs adalah jumlah rata-rata sampel yang diterima per detik, yaitu fs = 1/T, satuan sampel per detik, kadang disebut hertz, mis. 48kHz adalah 48.000 sampel per detik.
Rekonstruksi fungsi kontinu dari sampel dilakukan dengan menggunakan algoritma interpolasi. Rumus interpolasi Whittaker – Shannon secara matematis setara dengan filter low-pass ideal yang masukannya berupa rangkaian fungsi delta Dirac yang dimodulasi (dikalikan) dengan nilai sampel. Jika selang waktu antara sampel yang berdekatan adalah konstan (T), rangkaian fungsi delta disebut sisir Dirac. Secara matematis, sisir Dirac yang termodulasi sesuai dengan produk fungsi sisir dengan s(t). Abstraksi matematis ini kadang-kadang disebut pengambilan sampel impuls.
Kebanyakan sinyal sampel tidak direkam atau direkonstruksi. Akurasi rekonstruksi teoretis adalah ukuran umum efisiensi pengambilan sampel. Akurasi ini berkurang jika s(t) berisi komponen frekuensi dengan panjang siklus (periode) lebih kecil dari 2 interval pengambilan sampel (lihat Alias). Batas frekuensi ekuivalen dalam siklus per detik (hertz) adalah 0,5 siklus per sampel × fs sampel/detik = fs/2, yang dikenal sebagai laju pengambilan sampel Nyquist. Oleh karena itu, s(t) biasanya merupakan keluaran dari filter low-pass yang dikenal sebagai filter anti-aliasing. Tanpa filter antialiasing, frekuensi di atas frekuensi Nyquist mempengaruhi sampel dengan cara yang disalahartikan oleh proses interpolasi.
Pertimbangan praktis
Dalam praktiknya, sinyal kontinu diambil sampelnya menggunakan konverter analog-ke-digital (ADC), yang memiliki berbagai keterbatasan fisik. Hal ini menyebabkan penyimpangan dari rekonstruksi yang secara teoritis sempurna, yang secara kolektif dikenal sebagai distorsi.
Berbagai jenis distorsi dapat terjadi, termasuk:
Meskipun penggunaan oversampling dapat sepenuhnya menghilangkan kesalahan apertur dan aliasing dengan memindahkannya keluar dari bandwidth, teknik ini tidak dapat digunakan dalam praktiknya di atas beberapa GHz dan bisa sangat mahal pada frekuensi yang jauh lebih rendah. Selain itu, meskipun pengambilan sampel berlebihan dapat mengurangi kesalahan kuantisasi dan nonlinier, hal ini tidak dapat sepenuhnya menghilangkannya. Oleh karena itu, ADC praktis pada frekuensi audio biasanya tidak menunjukkan aliasing, kesalahan aperture, dan tidak dibatasi oleh kesalahan kuantisasi. Sebaliknya, noise analog mendominasi. Pada frekuensi RF dan gelombang mikro, ketika oversampling tidak praktis dan filter mahal, kesalahan aperture, kesalahan kuantisasi, dan anti-aliasing dapat menjadi batasan yang signifikan.
Aplikasi
Audio digital menggunakan modulasi kode pulsa (PCM) dan sinyal digital untuk mereproduksi suara. Ini termasuk konversi analog-ke-digital (ADC), konversi digital-ke-analog (DAC), penyimpanan dan transmisi. Faktanya, sistem yang sering disebut sebagai digital sebenarnya adalah analog tingkat diskrit dan waktu diskrit dari analog listrik sebelumnya. Meskipun sistem modern bisa sangat rumit dalam metodenya, keuntungan utama sistem digital adalah kemampuannya untuk menyimpan, memperoleh, dan mengirimkan sinyal tanpa kehilangan kualitas.
Jika diperlukan untuk menangkap suara yang mencakup seluruh rentang pendengaran manusia 20-20.000 Hz, seperti saat merekam musik atau berbagai peristiwa akustik, bentuk gelombang audio biasanya ditangkap pada 44,1 kHz (CD), 48 kHz. , 88,2 kHz atau 96 kHz. Persyaratan kecepatan kira-kira dua kali lipat adalah konsekuensi dari teorema Nyquist. Kecepatan pengambilan sampel di atas 50kHz hingga 60kHz tidak dapat memberikan informasi yang lebih berguna bagi pendengar manusia. Produsen audio profesional awal memilih laju pengambilan sampel antara 40 dan 50 kHz karena alasan ini.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/wiki/Sampling_(signal_processing)
Teknologi Informasi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 29 April 2025
Sejarah antarmuka pengguna dapat dibagi menjadi beberapa fase berikut sesuai dengan jenis antarmuka pengguna yang dominan:
1945–1968: Antarmuka Pertama.
![]()
IBM 029
Di era kuno, daya komputasi sangat langka dan mahal. Antarmuka pengguna masih belum sempurna. Pengguna harus beradaptasi dengan komputer dan bukan sebaliknya; antarmuka pengguna dianggap mubazir dan perangkat lunak dirancang untuk memaksimalkan pemanfaatan prosesor dengan overhead sesedikit mungkin.
Sisi masukan antarmuka mesin pengemas sebagian besar berupa kartu berlubang atau bahan serupa seperti pita kertas. Sisi pencetakan menambahkan printer linier ke materi ini. Selain operator sistem dan konsol, tidak ada interaksi manusia secara real-time dengan mesin pemukul.
Mengirimkan sejumlah pekerjaan ke mesin terlebih dahulu melibatkan pembuatan setumpuk kartu yang menjelaskan program dan kumpulan data. Kartu program tidak dilubangi oleh komputer itu sendiri, namun dengan penekanan tombol pada mesin khusus seperti mesin tik yang terkenal besar, tak kenal ampun, dan rentan terhadap kegagalan mekanis. Antarmuka perangkat lunak juga tidak kenal ampun, dengan sintaksis yang sangat ketat yang dirancang untuk mengurai sesedikit mungkin kompiler dan juru bahasa.
1969–sekarang: Antarmuka pengguna baris perintah.
![]()
Teletype Model 33 ASR
Antarmuka baris perintah (CLI) berevolusi dari layar grup yang terhubung ke konsol sistem. Model interaksi mereka adalah rangkaian peristiwa permintaan-respons, di mana permintaan dinyatakan sebagai perintah teks dalam kosakata khusus. Waktu latensi jauh lebih rendah dibandingkan sistem batch, menurun dari hari atau jam menjadi detik. Dengan demikian, sistem baris perintah memungkinkan pengguna untuk mengubah pikirannya tentang tahapan selanjutnya dari suatu peristiwa sebagai respons terhadap umpan balik real-time atau hampir real-time tentang hasil sebelumnya. Perangkat lunak dapat bersifat eksploratif dan interaktif dengan cara yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya. Namun, antarmuka tersebut terus memberikan beban memori yang relatif besar pada pengguna, sehingga memerlukan upaya serius dan waktu belajar untuk mengelolanya.
Sistem baris perintah paling awal menghubungkan teleprinter ke komputer, mengadaptasi teknologi matang yang telah terbukti efektif dalam mengirimkan informasi melalui kabel antar manusia. Teleprinter awalnya ditemukan sebagai perangkat transmisi dan penerimaan telegraf otomatis; sejarahnya dimulai pada tahun 1902, dan sejak tahun 1920-an mereka telah dibuat di kantor editorial dan di tempat lain. Daur ulang barang-barang tersebut tentu saja mempertimbangkan aspek ekonomi, namun psikologi dan peraturan yang paling tidak mengejutkan juga berperan; teleprinter menyediakan titik koneksi ke sistem yang familiar bagi banyak insinyur dan pengguna.
1985: Antarmuka pengguna SAA atau antarmuka pengguna berbasis teks.
![]()
DEC VT100 terminal
Pada tahun 1985, dengan diperkenalkannya Windows dan antarmuka pengguna grafis lainnya, IBM menciptakan apa yang disebut standar Arsitektur Aplikasi Sistem (SAA), yang mencakup turunan dari Common User Access (CUA). CUA berhasil menciptakan apa yang kita kenal dan gunakan saat ini di Windows, dan merupakan standar yang digunakan oleh sebagian besar aplikasi konsol DOS atau Windows terbaru.
Hal ini menetapkan bahwa sistem dropdown harus berada di bagian atas layar, bilah status di bagian bawah, tombol harus tetap sama untuk semua fungsi umum (misalnya F2 - Terbuka akan berfungsi di semua aplikasi yang kompatibel dengan SAA). Hal ini berkontribusi besar terhadap kecepatan pengguna dalam mempelajari aplikasi, sehingga aplikasi ini dengan cepat menjadi populer dan menjadi standar industri.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/wiki/User_interface