Sustainable Practices

Exploring Lean Practices’ Importance in Sustainable Supply Chain Management Trends: An Empirical Study in Canadian Construction Industry

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 April 2025


Industri konstruksi telah lama dikenal boros energi, menghasilkan emisi karbon tinggi, dan kerap menunjukkan performa yang tidak efisien dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, penting bagi pelaku industri untuk menerapkan prinsip lean guna memangkas limbah (waste), meningkatkan nilai proyek, dan mendorong kolaborasi antar pemangku kepentingan. Penelitian ini kemudian memperluas gagasan tersebut dengan menempatkan LC sebagai strategi utama dalam merespons tuntutan keberlanjutan (sustainability), yang mencakup dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Salah satu kontribusi utama artikel ini adalah identifikasi tujuh tren utama CSCM yang diprediksi akan memainkan peran penting dalam beberapa tahun mendatang: integrasi rantai pasok, desain berkelanjutan, transformasi digital, pengadaan berkelanjutan, logistik offsite yang lebih bersih, pelaksanaan onsite yang lebih bersih, serta keselamatan dan keberlanjutan sosial. Dari ketujuh tren ini, integrasi rantai pasok muncul sebagai tren paling vital dengan bobot tertinggi dalam hasil evaluasi para ahli. Hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi lintas organisasi dan komunikasi yang intensif akan menjadi fondasi utama untuk mencapai keberlanjutan proyek secara sistemik.

Dari sisi alat-alat lean yang dinilai, penelitian ini mengevaluasi 30 teknik LC yang dikelompokkan ke dalam empat kategori: desain & rekayasa, perencanaan & kontrol proyek, manajemen pelaksanaan konstruksi di lapangan, serta manajemen keselamatan & kesehatan. Di antara semuanya, alat seperti Virtual Design Construction (VDC), Integrated Project Delivery (IPD), Concurrent Engineering (CE), Last Planner System (LPS), Daily Huddle Meetings (DC/HM), dan Teamwork & Partnering dinilai sangat penting karena berkontribusi besar dalam mendukung berbagai tren CSCM.

Sebagai contoh konkret, VDC (yang biasanya terwujud dalam bentuk Building Information Modeling atau BIM) mampu memfasilitasi simulasi desain, meminimalkan kesalahan perencanaan, serta mengintegrasikan masukan dari berbagai pemangku kepentingan secara digital. Ini sangat bermanfaat dalam mendukung desain berkelanjutan serta transformasi digital proyek. Selain itu, IPD memungkinkan penyatuan tujuan antara pemilik proyek, kontraktor, dan desainer sejak tahap awal. Alat ini tidak hanya memperkuat kolaborasi, tetapi juga meningkatkan efisiensi dengan mengurangi waktu pengerjaan ulang serta konflik desain yang sering terjadi di lapangan.

Data empiris dalam studi ini diperoleh dari 28 pakar industri (20 praktisi dan 8 akademisi) di Kanada yang memiliki pengalaman lebih dari empat tahun di bidang LC dan CSCM. Para partisipan melalui lima putaran diskusi yang difasilitasi dengan pendekatan Delphi, dan selanjutnya, dilakukan pemodelan fuzzy AHP untuk memberikan bobot serta peringkat pada masing-masing alat LC terhadap tujuh tren utama yang telah diidentifikasi. Proses ini sangat penting untuk mengurangi bias subjektif dan meningkatkan akurasi hasil keputusan kolektif.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa LPS adalah alat yang paling berpengaruh dalam hampir seluruh tren, karena kemampuannya mengintegrasikan perencanaan jangka panjang, menengah, hingga mingguan. DC/HM juga mendapatkan posisi penting karena kemampuannya meningkatkan komunikasi dan pemecahan masalah secara kolaboratif antar tim proyek. Dalam konteks pelaksanaan konstruksi onsite, metode seperti 5S, Gemba Walk, dan First-Run Study (FRS) diakui sangat efektif dalam menciptakan lingkungan kerja yang bersih, aman, dan produktif. Alat-alat ini juga terbukti mampu mendukung upaya keberlanjutan sosial seperti kesehatan pekerja dan keselamatan kerja.

Studi kasus yang ditampilkan tidak secara eksplisit berupa satu proyek, melainkan agregasi dari persepsi kolektif para ahli yang memberikan penilaian terhadap efektivitas alat-alat LC dalam berbagai tren keberlanjutan. Namun, dari analisis sensitivitas yang dilakukan peneliti, ditemukan bahwa perubahan bobot signifikan terhadap tren tertentu (misalnya tren digitalisasi atau tren keselamatan sosial) tidak banyak mengubah peringkat alat-alat LC yang dinilai penting. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa alat memiliki kekuatan yang stabil dan dapat diandalkan meskipun arah strategis perusahaan berubah.

Salah satu hasil penting dari analisis sensitivitas adalah konfirmasi terhadap konsistensi dan ketahanan (robustness) dari 21 alat LC yang tetap berada di atas ambang batas relevansi dalam semua skenario perubahan bobot. Ini menunjukkan bahwa alat-alat tersebut merupakan pilar penting dalam implementasi LC yang mendukung keberlanjutan, dan layak dijadikan standar praktik dalam industri konstruksi yang ingin bertransformasi menuju keberlanjutan.

Dari sisi kontribusi teoretis, artikel ini memperkaya literatur dengan menyediakan kerangka kerja konseptual yang mengintegrasikan alat LC dalam kerangka CSCM berkelanjutan. Kerangka ini tidak hanya menampilkan daftar alat, tetapi juga mengaitkannya secara sistematis dengan tren-tren strategis yang telah teridentifikasi. Kerangka ini berpotensi menjadi panduan implementatif bagi pelaku industri yang ingin memetakan penggunaan alat LC berdasarkan prioritas keberlanjutan dalam proyek mereka.

Secara kritis, meskipun artikel ini berhasil membangun pendekatan kuantitatif yang kuat dalam mengevaluasi alat-alat LC, ia masih menyisakan ruang untuk eksplorasi lebih lanjut, terutama dalam penerapan studi kasus nyata yang lebih mendalam. Sebuah perbandingan antara proyek yang menggunakan kombinasi alat-alat LC dengan proyek yang tidak menggunakan pendekatan lean akan memperkuat validitas hasil dan menawarkan dimensi praktis yang lebih konkret. Selain itu, karena studi ini berfokus pada konteks Kanada, akan sangat menarik jika pendekatan serupa diuji di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan serupa dalam keberlanjutan konstruksi namun dengan konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda.

Dalam perspektif industri global, penelitian ini menegaskan bahwa integrasi LC dan CSCM merupakan kebutuhan mendesak bagi sektor konstruksi yang ingin tetap kompetitif dan bertanggung jawab secara lingkungan. Tren digitalisasi, pengadaan hijau, dan pentingnya manajemen keselamatan kerja bukan hanya relevan di Kanada, tetapi juga menjadi bagian dari diskursus internasional yang lebih luas tentang pembangunan berkelanjutan. Maka dari itu, artikel ini patut dibaca tidak hanya oleh akademisi, tetapi juga oleh manajer proyek, konsultan, dan pembuat kebijakan yang tertarik mendorong transformasi industri konstruksi.

Sebagai penutup, artikel ini adalah contoh terbaik dari penelitian interdisipliner yang menggabungkan teknik pengambilan keputusan multi-kriteria, partisipasi pakar, dan visi strategis dalam mendorong keberlanjutan industri. Integrasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam menilai kontribusi alat LC menjadikan artikel ini relevan, aplikatif, dan bernilai tinggi dalam literatur manajemen konstruksi. Ia menyodorkan peta jalan strategis untuk industri konstruksi yang ingin tidak hanya membangun lebih cepat dan efisien, tetapi juga lebih bijak, lebih hijau, dan lebih manusiawi.

Sumber asli artikel:
Le, Phuoc-Luong & Nguyen, Duy-Tan. “Exploring lean practices’ importance in sustainable supply chain management trends: An empirical study in Canadian construction industry.”

 

Selengkapnya
Exploring Lean Practices’ Importance in Sustainable Supply Chain Management Trends: An Empirical Study in Canadian Construction Industry

Sustainable Practices

Sinergi Lean Construction dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam Industri Konstruksi Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 25 April 2025


Lean construction telah berevolusi dari konsep manufaktur ramping yang diperkenalkan oleh Toyota menjadi pendekatan yang inovatif dalam manajemen proyek konstruksi. Filosofi dasarnya bertumpu pada upaya mengurangi limbah, meningkatkan nilai, dan memastikan setiap langkah dalam proses pembangunan memberikan kontribusi signifikan bagi hasil akhir. Dalam artikel berjudul "Lean Construction and SDGs: Delivering value and performance in the built environment", Opoku, Adewumi, Lok, dan Amoh menjabarkan keterkaitan antara pendekatan lean dengan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) dalam lingkungan binaan.

Penelitian ini tidak hanya mengulas aspek teoritis lean construction, tetapi juga menjelajahi bagaimana pendekatan ini dapat memberikan dampak nyata terhadap dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam proyek konstruksi, khususnya di era pasca-pandemi COVID-19 yang penuh tekanan global.

Krisis Global dan Kebutuhan Inovasi dalam Konstruksi

Industri konstruksi global tengah menghadapi tantangan besar: keterbatasan sumber daya, perubahan iklim, tekanan urbanisasi, dan ketidakefisienan dalam proses produksi. Kontribusi sektor konstruksi terhadap produk domestik bruto global sekitar 10%, namun pertumbuhannya kalah jauh dibanding sektor manufaktur. Kondisi ini menandakan kebutuhan akan perubahan mendasar dalam sistem produksi konstruksi.

Lean construction menjadi jawaban dengan meminimalisir aktivitas non-nilai tambah, seperti waktu tunggu, overproduksi, transportasi berlebih, kesalahan desain, dan pemborosan material. Implementasi konsep-konsep seperti Just-in-Time (JIT), Last Planner System (LPS), dan Concurrent Engineering telah terbukti meningkatkan efisiensi serta mengurangi biaya dan waktu pengerjaan proyek.

Studi Kasus dan Data Empiris: Menelisik Efektivitas Lean

Berdasarkan data Lean Construction Institute, sekitar 70% proyek konstruksi mengalami keterlambatan dan pembengkakan biaya. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya fokus pada "flow"—atau aliran kerja—yang ideal. Studi mencatat bahwa hanya 30% waktu kerja efektif digunakan untuk aktivitas transformasi, sisanya habis untuk aktivitas yang tidak memberikan nilai.

Sebagai contoh, satu pertiga biaya material bangunan seringkali terbuang untuk penanganan logistik, penyimpanan, dan pengangkutan limbah. Dengan menerapkan lean thinking, efisiensi ini bisa ditingkatkan drastis. Selain itu, pendekatan seperti 5S, Six Sigma, dan Visual Management dapat meningkatkan keterlibatan pekerja dan mempercepat penyelesaian proyek.

Integrasi Lean dan Sustainability: Menyatukan Dua Agenda Strategis

Lean construction berfokus pada peningkatan efisiensi proses, sementara konstruksi berkelanjutan (sustainable construction) menitikberatkan pada dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari bangunan. Artikel ini menunjukkan bahwa keduanya bukanlah pendekatan yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi.

Contohnya, lean membantu mengurangi konsumsi energi saat pembangunan, sementara keberlanjutan fokus pada efisiensi energi selama masa operasional bangunan. Dengan mengintegrasikan keduanya sejak fase desain, pengembang dapat menciptakan struktur yang hemat energi, aman bagi pekerja, dan ramah lingkungan.

Hambatan Implementasi Lean: Dimensi Budaya dan Struktural

Meskipun potensi lean sangat besar, implementasinya kerap terhambat oleh sejumlah faktor. Beberapa hambatan utama yang diidentifikasi antara lain minimnya pelatihan, kurangnya pemahaman dari manajemen puncak, resistensi terhadap perubahan, serta biaya awal yang tinggi. Studi oleh Friblick et al. (2009) dan Porwal et al. (2010) menyebutkan bahwa keberhasilan lean sangat tergantung pada kesiapan organisasi dalam merombak budaya kerja dan struktur internalnya.

Selain itu, lean seringkali diterapkan secara parsial dan tidak konsisten. Ini memperlemah dampak yang seharusnya bisa dicapai. Oleh karena itu, pendekatan sistemik dan dukungan dari seluruh lini organisasi menjadi kunci.

Lean Construction dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

Artikel ini memberikan pemetaan yang menarik mengenai kontribusi prinsip-prinsip lean terhadap pencapaian SDGs. Misalnya, penerapan konsep "flow" dan "pull system" membantu mencapai SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), sedangkan fokus pada pengurangan limbah mendukung SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab). Bahkan, SDG 13 (Aksi Iklim) bisa dicapai dengan mengurangi emisi dan penggunaan material berbahaya dalam proyek konstruksi.

Dalam dimensi sosial, lean mampu mendorong partisipasi pekerja, meningkatkan keselamatan kerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat (SDG 3 dan SDG 16). Untuk aspek ekonomi, lean meningkatkan efisiensi anggaran, menghindari pemborosan, dan menciptakan nilai optimal bagi pemilik proyek (SDG 9 dan SDG 11).

Kontribusi Alat Lean terhadap Efektivitas Proyek

Penelitian ini juga merinci berbagai alat lean yang terbukti efektif di lapangan. Beberapa di antaranya adalah:

  • Last Planner System (LPS), yang meningkatkan keandalan jadwal dan mengurangi ketidakpastian.
  • Daily Huddle Meetings, yang memperkuat komunikasi dan koordinasi antar tim proyek.
  • Concurrent Engineering, yang mempercepat waktu siklus desain dan produksi melalui kolaborasi lintas disiplin.

Keberhasilan alat-alat ini sangat tergantung pada penerapan prinsip dasar lean seperti kolaborasi, keterbukaan informasi, dan perbaikan berkelanjutan.

Opini Kritis dan Relevansi Kontekstual

Penulis artikel dengan jitu mengangkat pentingnya perubahan paradigma dalam industri konstruksi global. Namun, implementasi lean tidak bisa dipisahkan dari konteks lokal. Di negara berkembang seperti Indonesia, misalnya, hambatan seperti budaya kerja hierarkis, keterbatasan teknologi, dan regulasi yang belum mendukung bisa menjadi tantangan besar.

Namun demikian, peluang tetap terbuka. Pemerintah Indonesia tengah mendorong program pembangunan berkelanjutan melalui green building dan digitalisasi konstruksi. Integrasi lean construction dalam agenda nasional ini dapat mempercepat pencapaian SDGs sekaligus meningkatkan daya saing sektor konstruksi.

Kesimpulan

Lean construction bukan sekadar metode manajemen proyek, melainkan sebuah filosofi kerja yang menuntut perubahan menyeluruh dalam pola pikir, struktur organisasi, dan budaya kerja. Dengan pendekatan holistik, lean dapat membantu industri konstruksi global—termasuk di Indonesia—mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan secara lebih efisien, hemat biaya, dan berdampak luas.

Penelitian ini menjadi panggilan bagi praktisi, akademisi, dan pembuat kebijakan untuk bersama-sama mendorong transformasi ini. Lean bukan tren sesaat, melainkan kebutuhan masa depan.

Sumber Asli

Opoku, A., Adewumi, A. S., Lok, K. L., & Amoh, E. (2023). Lean Construction and SDGs: Delivering value and performance in the built environment.

 

Selengkapnya
Sinergi Lean Construction dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam Industri Konstruksi Global

Sustainable Practices

Inovasi Strategis Menuju Konstruksi Lean dan Berkelanjutan yang Terintegrasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 April 2025


Industri konstruksi global menghadapi tekanan ganda—di satu sisi harus meningkatkan efisiensi, dan di sisi lain dituntut untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Konsep lean construction hadir untuk meminimalisir pemborosan, sementara keberlanjutan fokus pada dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi. Namun, menurut para penulis, pendekatan ini selama ini berjalan paralel, bukan sinergis. Di sinilah pentingnya LAST Matrix—sebuah kerangka kerja yang mengintegrasikan keduanya.

LAST Matrix: Menyatukan Dua Dunia

LAST Matrix (Lean Approaching Sustainability Tools) dirancang sebagai alat bantu keputusan yang memetakan tools lean terhadap dimensi keberlanjutan. Ada tiga langkah utama dalam pengembangannya:

  1. Klasifikasi Tools Lean ke dalam lima kelompok: lean design, lean procurement, lean construction, lean commissioning, dan lean facility management.
  2. Pemetaan Tools ke Pilar Keberlanjutan: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
  3. Penerapan Matrix: membantu stakeholders memilih tools yang relevan sesuai dengan prioritas proyek.

Matrix ini menawarkan pendekatan praktis dan berbasis data, menjawab kritik terhadap pendekatan teoretis yang kurang aplikatif di lapangan.

Studi Kasus: Aplikasi LAST Matrix di Proyek Infrastruktur

Salah satu bagian paling menarik dari artikel ini adalah studi kasus pada proyek konstruksi jalan raya berskala besar di Inggris. Proyek ini menghadapi tantangan efisiensi waktu dan tekanan dari regulasi keberlanjutan pemerintah.

Melalui LAST Matrix, tim proyek mengidentifikasi sejumlah tools yang efektif secara simultan untuk dua target tersebut:

  • Just-in-Time (JIT) delivery mengurangi kebutuhan ruang penyimpanan dan mempercepat waktu pengerjaan.
  • Design for Environment (DfE) membantu meminimalkan dampak ekologis material bangunan.
  • Visual Management digunakan untuk meningkatkan transparansi dan keterlibatan pekerja, berdampak langsung pada aspek sosial keberlanjutan.

Hasilnya, proyek berhasil menghemat 12% biaya operasional, memangkas waktu konstruksi sebesar 18%, dan menurunkan limbah konstruksi hingga 25%. Angka-angka ini membuktikan nilai aplikatif dari LAST Matrix dalam mencapai efisiensi tanpa mengorbankan prinsip hijau.

Sinergi Lean dan Sustainability: Sebuah Paradigma Baru

Tradisionalnya, lean construction berfokus pada efisiensi proses, sementara keberlanjutan lebih menekankan dampak jangka panjang. LAST Matrix menyatukan keduanya, menunjukkan bahwa efisiensi dan tanggung jawab sosial-lingkungan bukan dua kutub yang harus dipertentangkan.

Para penulis menunjukkan bahwa dari 43 lean tools yang dianalisis:

  • 34 tools memberikan kontribusi terhadap aspek ekonomi.
  • 25 tools relevan untuk keberlanjutan lingkungan.
  • 18 tools berdampak langsung pada aspek sosial (kesehatan kerja, partisipasi pekerja, keamanan).

Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar tools lean memang memiliki potensi untuk mendukung keberlanjutan jika dimanfaatkan secara strategis.

Kritik Konstruktif dan Tantangan Implementasi

Meski menjanjikan, implementasi LAST Matrix bukan tanpa tantangan. Salah satu kekhawatiran adalah keterbatasan pemahaman di lapangan, terutama pada proyek berskala kecil yang minim SDM ahli lean maupun keberlanjutan. Oleh karena itu, pelatihan dan pendampingan menjadi aspek penting dalam diseminasi metode ini.

Penulis juga menekankan pentingnya adaptabilitas: matrix ini bukan alat statis, tapi harus dievaluasi dan diperbarui secara berkala berdasarkan dinamika proyek dan perkembangan teknologi konstruksi.

LAST Matrix dan Tren Global

Konsep integratif seperti LAST Matrix sangat relevan dengan tren global, termasuk agenda PBB SDGs (Sustainable Development Goals) dan komitmen berbagai negara terhadap zero carbon construction. Bahkan di Indonesia, implementasi green building mulai digaungkan, dan metode lean sudah masuk dalam kurikulum pendidikan teknik sipil dan arsitektur.

Dengan mengadopsi matrix ini, proyek di negara berkembang bisa mengejar ketertinggalan tanpa mengorbankan aspek lingkungan atau sosial.

Komparasi dengan Penelitian Lain

Dalam konteks akademik, LAST Matrix melampaui pendekatan sebelumnya seperti:

  • Triple Bottom Line (Elkington, 1997) yang terlalu konseptual dan kurang instruktif.
  • Model Green Lean oleh Koskela (2000) yang belum cukup sistematis dalam pemetaan tools.

Keunggulan LAST Matrix adalah formatnya yang langsung dapat digunakan di lapangan—sebagai check-list, panduan pemetaan, hingga dasar untuk audit keberlanjutan proyek konstruksi.

Kesimpulan: LAST Matrix Sebagai Game Changer

LAST Matrix bukan sekadar alat bantu teknis, tapi sebuah paradigma baru yang menekankan bahwa efisiensi dan keberlanjutan bisa berjalan beriringan. Dengan pendekatan berbasis data, studi kasus yang meyakinkan, dan struktur yang fleksibel, matrix ini punya potensi menjadi standar baru dalam manajemen proyek konstruksi, baik di negara maju maupun berkembang.

Para pemangku kepentingan—kontraktor, arsitek, manajer proyek, hingga pemerintah—patut menjadikan LAST Matrix sebagai referensi utama dalam menyusun strategi implementasi konstruksi lean yang ramah lingkungan dan sosial.

Rekomendasi

Bagi praktisi di Indonesia, adopsi LAST Matrix bisa dimulai dari proyek-proyek pemerintah yang sudah punya tuntutan ESG (Environmental, Social, Governance). Di sisi akademik, LAST Matrix dapat dijadikan bahan ajar untuk kuliah “Manajemen Proyek Konstruksi Berkelanjutan” atau “Sistem Lean dalam Konstruksi”.

Bagi industri, integrasi matrix ini dengan software manajemen proyek seperti BIM (Building Information Modeling) akan semakin mempercepat proses transisi menuju konstruksi yang tidak hanya hemat biaya, tetapi juga peduli pada lingkungan dan manusia.

Sumber asli artikel: Mughees Aslam, Zhili Gao, dan Gary Smith. “Development of Lean Approaching Sustainability Tools (LAST) Matrix for Achieving Integrated Lean and Sustainable Construction.” Journal of Cleaner Production, 2024.

 

Selengkapnya
Inovasi Strategis Menuju Konstruksi Lean dan Berkelanjutan yang Terintegrasi

Sustainable Practices

Menakar Performa Rantai Pasok Proyek Konstruksi Jalan Menggunakan Model SCOR

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 April 2025


Dalam dunia konstruksi jalan yang sarat tekanan waktu dan logistik kompleks, ketepatan perencanaan dan kelancaran rantai pasok (supply chain) menjadi penentu utama keberhasilan proyek. Artikel berjudul “The Analysis of Supply Chain Performance Measurement at Construction Project” karya M. Agung Wibowo dan Moh Nur Sholeh membahas secara mendalam bagaimana model SCOR—yang biasa digunakan di industri manufaktur—bisa diadaptasi untuk mengukur kinerja rantai pasok proyek konstruksi, khususnya jalan raya.

Mengapa Rantai Pasok Penting dalam Proyek Jalan?

Konstruksi jalan bukan hanya soal cor beton dan aspal. Material seperti baja, beton, pasir, dan alat berat harus tersedia tepat waktu. Sedikit keterlambatan dalam pengiriman satu komponen saja dapat menyebabkan efek domino, merugikan biaya dan waktu. Di tengah kompleksitas ini, pendekatan SCOR (Supply Chain Operations Reference) menjadi relevan untuk menilai efisiensi dan ketepatan distribusi material serta koordinasi antar pihak.

Dalam konteks proyek infrastruktur Indonesia, model pengukuran seperti SCOR belum banyak digunakan. Padahal, dengan tingginya jumlah proyek jalan nasional dan daerah, kebutuhan akan sistem manajemen pasok yang cerdas dan adaptif sangatlah penting.

Studi Kasus: Proyek Pelebaran Jalan Siliwangi di Semarang

Penelitian ini dilakukan di proyek pelebaran Jalan Siliwangi yang dikerjakan oleh PT Adhi Karya, dengan melibatkan pemasok baja dari Sidoarjo, berjarak sekitar 350 kilometer dari lokasi proyek. Tantangan utama dalam proyek ini adalah keterlambatan pengiriman baja dan gangguan pasokan beton akibat erupsi Gunung Merapi yang memperparah distribusi material bangunan.

Ketika proyek mencapai tahap konstruksi 60 persen, material baja yang sangat dibutuhkan justru mengalami penundaan signifikan. Imbasnya, seluruh jadwal kerja terpaksa direvisi. Inilah yang memicu perlunya pengukuran performa rantai pasok secara sistematis.

Pendekatan dan Metodologi yang Digunakan

Model SCOR yang diadopsi dalam studi ini mencakup lima indikator utama:

  • Tingkat keterpenuhan pesanan yang sempurna (Perfect Order Fulfillment)
  • Waktu pemenuhan pesanan (Order Fulfillment Lead Time)
  • Fleksibilitas produksi (Production Flexibility)
  • Biaya manajemen rantai pasok (Supply Chain Management Cost)
  • Lama waktu penyimpanan inventori (Inventory Days of Supply)

Setiap indikator dievaluasi menggunakan gabungan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan bobot pentingnya, dan OMAX untuk mengukur performa aktual. Hasil akhirnya divisualisasikan dengan sistem warna “traffic light”—merah untuk buruk, kuning untuk sedang, dan hijau untuk baik.

Hasil Penelitian: Kinerja Masih Dalam Kategori “Cukup”

Dari pengukuran yang dilakukan, skor keseluruhan performa rantai pasok dalam proyek ini mencapai angka 6,4 dari skala 10. Ini menempatkan proyek dalam kategori sedang—artinya sudah ada koordinasi yang baik, namun masih banyak ruang untuk perbaikan, khususnya dalam aspek waktu pengiriman dan fleksibilitas.

Sebagai contoh, tingkat keterpenuhan pesanan berada pada angka 94,5 persen, menunjukkan bahwa pesanan yang diterima sesuai dengan spesifikasi proyek. Namun, waktu pemenuhan rata-rata mencapai 12 hari—melewati target ideal yang hanya 7 hari. Hal ini memperlihatkan adanya kendala dalam distribusi logistik atau koordinasi dengan pemasok.

Sementara itu, fleksibilitas produksi juga masih rendah. Artinya, jika terjadi perubahan dalam kebutuhan desain atau permintaan tambahan material di lapangan, sistem rantai pasok tidak cukup tangkas untuk merespons dengan cepat.

Strategi dan Taktik Mitigasi Keterlambatan

Peneliti menemukan bahwa salah satu strategi efektif untuk mengatasi keterlambatan adalah dengan meminjam stok material dari proyek lain milik perusahaan yang sama. Pendekatan ini menjadi solusi darurat yang cukup berhasil menstabilkan progres proyek. Namun, praktik ini hanya mungkin dilakukan jika perusahaan memiliki portofolio proyek yang berdekatan secara geografis.

Selain itu, PT Adhi Karya juga mulai mempertimbangkan penggunaan sistem digital pemantau logistik agar pengiriman bisa dipantau secara real time. Dengan data yang lebih presisi, potensi gangguan pasokan bisa diidentifikasi lebih awal, sehingga kontraktor dapat membuat rencana cadangan yang lebih akurat.

Refleksi atas Penggunaan Model SCOR

Menggunakan SCOR dalam proyek konstruksi adalah pendekatan inovatif, mengingat model ini lebih sering diterapkan di sektor manufaktur. Kelebihannya adalah, SCOR menawarkan struktur dan indikator yang sangat sistematis, sehingga memudahkan manajer proyek dalam membaca performa logistik secara menyeluruh.

Namun, kelemahannya adalah belum sepenuhnya cocok dengan karakteristik proyek konstruksi yang sangat dinamis dan bergantung pada kondisi cuaca, medan, dan regulasi lokal. Oleh karena itu, penerapan SCOR dalam konstruksi sebaiknya disesuaikan dengan realitas lapangan, atau dikombinasikan dengan pendekatan lean construction atau BIM.

Implikasi bagi Dunia Industri dan Akademik

Bagi industri konstruksi, studi ini membuka jalan bagi adopsi model pengukuran rantai pasok berbasis data yang konkret. Jika SCOR bisa diimplementasikan secara konsisten di berbagai proyek, maka manajemen logistik yang selama ini jadi titik lemah dapat ditingkatkan drastis.

Sementara itu, bagi kalangan akademisi dan institusi pendidikan teknik sipil, model SCOR bisa dimasukkan ke dalam kurikulum manajemen proyek. Mahasiswa teknik tidak cukup hanya menguasai desain struktur, tapi juga harus memahami bagaimana material sampai ke lokasi proyek tepat waktu dan sesuai anggaran.

Opini Penulis dan Rekomendasi

Penulis artikel merekomendasikan agar pengukuran rantai pasok seperti ini dilakukan secara berkala, tidak hanya di akhir proyek. Dengan begitu, manajer proyek dapat membuat keputusan berbasis data sejak awal. Mereka juga menyarankan agar perusahaan konstruksi mengembangkan unit khusus logistik internal yang bertugas mengelola alur pasok secara lebih proaktif.

Sebagai pengembangan lanjutan, perlu dilakukan studi lintas proyek—misalnya membandingkan proyek jalan, jembatan, dan perumahan—untuk mengetahui perbedaan performa rantai pasok antar tipe konstruksi.

Penutup

Resensi ini menunjukkan bahwa pengukuran rantai pasok dalam konstruksi bukanlah sekadar aktivitas tambahan, melainkan bagian inti dari strategi sukses proyek. Dengan menggunakan model SCOR, pelaku konstruksi bisa mengidentifikasi titik lemah logistik, mengambil tindakan korektif lebih dini, dan menjaga proyek tetap berjalan di jalurnya.

Jika ingin menciptakan proyek jalan yang efisien, bebas dari keterlambatan dan pemborosan, maka rantai pasok bukan lagi urusan belakang layar—tetapi harus menjadi bagian dari manajemen utama yang dirancang sejak hari pertama.

Sumber artikel asli:
M. Agung Wibowo dan Moh Nur Sholeh. The Analysis of Supply Chain Performance Measurement at Construction Project. Procedia Engineering 125 (2015): 25–31.

 

Selengkapnya
Menakar Performa Rantai Pasok Proyek Konstruksi Jalan Menggunakan Model SCOR

Sustainable Practices

Strategi Integrasi Lean dan Sustainable Construction dari Perspektif Pemangku Kepentingan di Malaysia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 April 2025


Industri konstruksi global sedang mengalami transformasi besar-besaran. Dua pendekatan manajemen yang sering diperbincangkan untuk meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan adalah Lean Construction (LC) dan Sustainable Construction (SC). Namun, dalam praktiknya, integrasi dua pendekatan ini belum optimal, terutama di negara berkembang seperti Malaysia. Dalam artikel “The Integration of Lean Construction and Sustainable Construction: A Stakeholder Perspective in Analyzing Sustainable Lean Construction Strategies in Malaysia,” Ahmad Huzaimi Abd Jamil dan Mohamad Syazli Fathi mencoba menjembatani kesenjangan ini dengan menyusun kerangka kerja konseptual yang mendalam, berbasis kajian pustaka dan pendekatan pemangku kepentingan (stakeholder).

Lean dan Sustainable Construction: Dua Pilar yang Seharusnya Saling Menguatkan

Secara prinsip, baik LC maupun SC sama-sama berupaya menghilangkan pemborosan (waste), hanya saja orientasinya berbeda. LC fokus pada efisiensi proses dan nilai pelanggan, sementara SC menekankan keseimbangan antara aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dalam artikel ini, penulis menunjukkan bahwa sinergi antara keduanya bisa menghasilkan manfaat ganda—meningkatkan profitabilitas sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Namun, hasil literatur dari 118 studi menunjukkan bahwa integrasi LC dan SC belum banyak dipraktikkan secara holistik, bahkan cenderung berjalan sendiri-sendiri. Banyak proyek konstruksi yang gagal karena kurangnya perhatian pada aspek lingkungan dan ketidakterlibatan pemangku kepentingan secara penuh.

Metodologi dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini bersifat konseptual dengan metode integrative literature review dan kerangka pengodean (coding framework). Tujuannya adalah membangun pemahaman teoritis dan praktis dari integrasi LC dan SC menjadi Sustainable Lean Construction (SLC). Fokus utama ditujukan pada bagaimana keterlibatan pemangku kepentingan dapat meningkatkan keberhasilan implementasi SLC.

Penulis juga mengembangkan sebuah model integrasi berdasarkan kajian literatur terdahulu, khususnya dari Koranda et al. (2012), namun memperluasnya dengan pendekatan analisis pemangku kepentingan yang lebih komprehensif.

Pilar-Pilar Sustainable Construction (SC)

SC dalam konteks ini mencakup tujuh komponen utama:

  1. Integrasi Aspek Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
  2. Desain dan Pengadaan Hijau
  3. Teknologi dan Inovasi
  4. Struktur Organisasi dan Proses
  5. Pendidikan dan Pelatihan
  6. Pengukuran dan Pelaporan
  7. Strategi Bisnis Inovatif

Beberapa studi menyatakan bahwa keberhasilan implementasi SC sangat tergantung pada pengetahuan dan komitmen stakeholder. Studi dari Abdullah et al. (2009) menyebutkan bahwa kurangnya pemahaman SC menjadi salah satu hambatan utama. Lam et al. (2010) mengidentifikasi kendala lainnya seperti hambatan budaya, kurangnya teknologi hijau, serta rendahnya keterlibatan pemangku kepentingan.

Pilar-Pilar Lean Construction (LC)

LC memiliki akar dari industri manufaktur dan berfokus pada pengelolaan produksi berbasis nilai tambah. Prinsip utama LC meliputi:

  • Penghapusan aktivitas yang tidak bernilai tambah
  • Optimalisasi penggunaan sumber daya
  • Komunikasi terbuka dan transparan
  • Komitmen terhadap perbaikan berkelanjutan

Namun, dalam praktik di Malaysia, LC masih terhambat. Studi oleh Johansen dan Walter (2007) menunjukkan bahwa implementasi LC di industri konstruksi Malaysia tergolong lambat. Hambatan yang sering muncul antara lain rendahnya kesadaran lean, kurangnya dukungan manajemen puncak, serta lemahnya sistem kolaborasi antar-stakeholder.

Studi Kasus: Proyek Pentagon dan Toyota South Campus

Dua studi kasus penting yang dibahas dalam artikel ini adalah renovasi Pentagon dan pembangunan kampus Toyota South di Amerika Serikat. Keduanya berhasil menerapkan integrasi SC dan LC melalui:

  • Penggunaan metode design-build
  • Komunikasi terbuka antara kontraktor dan desainer
  • Strategi kontrak inovatif yang mengurangi konflik
  • Penghapusan inventori berlebih di lokasi

Dalam proyek Pentagon, integrasi SC dan LC menghasilkan penghematan biaya dan waktu yang signifikan. Strategi pengadaan yang fleksibel menjadi kunci keberhasilan.

Model Integrasi LC dan SC (Koranda et al., 2012)

Penulis mengadopsi dan memodifikasi model Koranda untuk merancang pendekatan implementasi SLC di Malaysia. Model ini menekankan:

  • Identifikasi nilai proyek sejak tahap perencanaan
  • Eliminasi pemborosan dari hulu ke hilir
  • Indikator kinerja sebagai alat ukur kemajuan
  • Kolaborasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan (arsitek, kontraktor, supplier, manajer proyek)

Dalam konteks Malaysia, pendekatan ini sangat penting karena 45,9% keterlambatan proyek konstruksi terjadi pada fase pelaksanaan (Abdul Rahman et al., 2006). Selain itu, masalah klasik seperti banjir kilat, erosi tanah, dan pencemaran suara adalah indikator lemahnya implementasi SC.

Peran Kritis Stakeholder dalam SLC

Salah satu sumbangan utama paper ini adalah memperluas pendekatan lean menjadi berbasis stakeholder. Menurut Aaltonen (2011), persepsi pemangku kepentingan tentang keberhasilan proyek dapat sangat berbeda. Oleh karena itu, keterlibatan aktif mereka dari tahap awal sangat penting. Hal ini diperkuat oleh studi Davis (2014) yang menyatakan bahwa pemahaman terhadap lingkungan stakeholder akan menentukan pendekatan strategi SC dan LC yang digunakan.

Studi ini menegaskan bahwa komunikasi lintas fungsi, seperti pada proyek Integrated Project Delivery (IPD), mampu mereduksi konflik desain dan meningkatkan efisiensi waktu.

Tantangan Utama dan Saran Ke Depan

Berikut adalah beberapa tantangan utama yang diidentifikasi:

  • Budaya organisasi yang resistif terhadap perubahan
  • Minimnya pelatihan lean dan keberlanjutan
  • Struktur kontrak tradisional yang menghambat kolaborasi
  • Ketidakseimbangan antara tujuan ekonomi dan lingkungan

Untuk menjawab tantangan tersebut, penulis menyarankan:

  • Pengembangan sistem insentif berbasis performa SC dan LC
  • Integrasi teknologi seperti BIM dan Industrialized Building System (IBS)
  • Penyusunan kurikulum pelatihan LC-SC untuk seluruh rantai pasok
  • Implementasi analisis kendala untuk identifikasi hambatan proses

Model yang dikembangkan diharapkan menjadi panduan praktis bagi pemangku kepentingan untuk mengartikulasikan kebutuhan dan tujuan proyek secara lebih strategis.

Simpulan

Paper ini menjadi landasan penting bagi perumusan strategi Sustainable Lean Construction di negara berkembang seperti Malaysia. Dengan pendekatan berbasis stakeholder dan model integrasi yang jelas, artikel ini bukan hanya memperkaya literatur akademik, tetapi juga memberikan arahan praktis bagi pelaku industri konstruksi.

Keberhasilan integrasi LC dan SC sangat tergantung pada kolaborasi lintas fungsi, kepemimpinan yang visioner, dan kemampuan memahami dinamika lokal. Apabila diterapkan secara konsisten, strategi ini dapat menjadi alat transformatif bagi industri konstruksi yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan berorientasi sosial.

Sumber artikel asli:
Ahmad Huzaimi Abd Jamil dan Mohamad Syazli Fathi. “The Integration of Lean Construction and Sustainable Construction: A Stakeholder Perspective in Analyzing Sustainable Lean Construction Strategies in Malaysia.” Procedia Computer Science, 100 (2016) 634–643.

 

Selengkapnya
Strategi Integrasi Lean dan Sustainable Construction dari Perspektif Pemangku Kepentingan di Malaysia

Sustainable Practices

Menuju Konstruksi Lean yang Berkelanjutan: Resensi Kritis terhadap Literatur Holistik Lean-Sustainable Construction

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 April 2025


Dalam beberapa dekade terakhir, sektor konstruksi menghadapi tekanan besar untuk bertransformasi menjadi industri yang tidak hanya efisien secara ekonomi tetapi juga berkontribusi terhadap keberlanjutan sosial dan lingkungan. Paper berjudul “Toward a Holistic View on Lean Sustainable Construction: A Literature Review” karya Sam Solaimani dan Mohamad Sedighi menjadi upaya penting dalam menjembatani kesenjangan pemahaman tentang bagaimana prinsip-prinsip Lean dapat berkontribusi secara nyata terhadap triple bottom line: people (sosial), planet (lingkungan), dan profit (ekonomi). Resensi ini mengulas paper tersebut secara komprehensif, dengan menganalisis data, menyajikan studi kasus, serta mengaitkannya dengan praktik industri dan arah masa depan konstruksi berkelanjutan.

Membedah Integrasi Lean dan Keberlanjutan: Mengapa Perlu?

Lean Construction, yang berakar dari sistem produksi Toyota, pada awalnya berfokus pada efisiensi dan pengurangan limbah (waste) dalam proses. Namun, dalam perkembangan terbaru, pendekatan ini mulai diperluas ke ranah keberlanjutan. Solaimani dan Sedighi menggunakan metode Systematic Literature Review (SLR) terhadap 118 artikel dari tahun 1998–2017 untuk menjawab satu pertanyaan mendasar: Bagaimana Lean Construction berkontribusi terhadap keberlanjutan secara menyeluruh?

Hasil studi ini menunjukkan bahwa sebagian besar literatur masih condong ke aspek ekonomi, sementara aspek sosial dan lingkungan kurang mendapatkan porsi perhatian yang seimbang. Paper ini kemudian menyusun framework holistik berdasarkan tiga dimensi utama: aktor (supplier, developer, customer), fase konstruksi (dari ekstraksi hingga okupansi), dan dimensi keberlanjutan (ekonomi, lingkungan, sosial).

Dimensi Ekonomi: Efisiensi dan Efektivitas Proses

Studi Kasus: JIT dan VSM untuk Efisiensi Material

Dalam fase extraction and processing, penggunaan strategi Just-In-Time (JIT) terbukti mampu mengurangi biaya inventaris dan limbah material. Sebagai contoh, penerapan VSM (Value Stream Mapping) oleh Mullens (2008) dalam pabrik prefab menunjukkan peningkatan signifikan dalam alur kerja dan efisiensi waktu.

Solaimani dan Sedighi juga menyoroti bagaimana pemanfaatan pull-based production dan kemitraan jangka panjang dengan supplier dapat mengurangi variasi pasokan dan meningkatkan keandalan distribusi. Hal ini diperkuat oleh pendekatan Kaizen (perbaikan berkelanjutan) serta 5S dalam pengaturan ruang kerja.

Visualisasi dan BIM dalam Perencanaan

Di tahap design and planning, penggunaan BIM (Building Information Modeling) dan perangkat lunak simulasi seperti CAD dan TEKLA membantu mengantisipasi bottleneck, meningkatkan kolaborasi, dan mendukung pengambilan keputusan berbasis data. Studi oleh Sacks et al. menunjukkan bahwa BIM mampu mengurangi kesalahan desain dan mempercepat proses perencanaan hingga 30%.

Dimensi Lingkungan: Efisiensi Energi dan Minimasi Limbah

Lean Construction tidak hanya tentang biaya, tetapi juga tentang bagaimana mengurangi dampak lingkungan. Paper ini menunjukkan bahwa dalam fase logistik dan distribusi, kelebihan pengiriman material merupakan salah satu sumber utama emisi karbon. Upaya mengoptimalkan estimasi material dan pemesanan yang tepat waktu menjadi kunci.

Studi Kasus: Proyek Net-Zero Energy

Dalam proyek skala besar yang menerapkan prinsip net-zero energy, monitoring konsumsi energi dan penggunaan bahan lokal mampu menurunkan jejak karbon secara signifikan. Koranda et al. (2012) mencatat bahwa pengurangan emisi CO2 hingga 20% dicapai hanya dengan mengurangi jarak distribusi material.

Namun, paper ini juga mencatat adanya ketimpangan antara proyek besar dan kecil. Proyek besar cenderung lebih siap secara struktur dan pendanaan untuk menerapkan prinsip Lean dan ramah lingkungan, sedangkan proyek kecil sering kali kesulitan.

Dimensi Sosial: Kesejahteraan, Keselamatan, dan Keadilan

Aspek sosial menjadi bagian yang paling menantang karena sulit diukur secara kuantitatif. Namun, penting untuk tidak diabaikan.

Autonomation untuk Keselamatan Pekerja

Konsep autonomation, yaitu pemberian kewenangan kepada pekerja untuk menghentikan proses produksi jika terdeteksi potensi bahaya, menjadi salah satu pilar Lean yang berkontribusi pada keselamatan kerja. Ikuma et al. (2011) menekankan bahwa sistem ini menurunkan risiko cedera kerja secara signifikan dalam proyek high-rise dengan tingkat repetisi tinggi.

Modulasi dan Ergonomi

Penerapan modularisasi mengurangi pekerjaan manual dan meningkatkan ergonomi di lokasi kerja. Ini bukan hanya efisien secara operasional, tetapi juga mengurangi kelelahan dan cedera. Visualisasi juga membantu meningkatkan koordinasi dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat.

Cakupan Global dan Pola Penelitian

Sebagian besar studi Lean-Sustainable Construction berasal dari AS, Inggris, dan India, dengan pendekatan yang sangat didominasi oleh studi kasus (40 studi tunggal dan 18 multi-kasus). Ini mencerminkan betapa kontekstualnya implementasi Lean dan pentingnya mempertimbangkan kondisi lokal dalam adopsinya.

Namun, masih sedikit studi yang menggunakan pendekatan kuantitatif atau eksploratif jangka panjang seperti longitudinal atau action research. Padahal, hal ini penting untuk menguji efektivitas jangka panjang dari integrasi Lean dan keberlanjutan.

Trade-off dan Tantangan Integrasi

Paper ini tidak mengabaikan adanya potensi konflik antara tiga pilar keberlanjutan. Misalnya:

  • Penerapan panel surya (lingkungan) dapat meningkatkan biaya awal (ekonomi).
  • Modulasi (efisiensi) dapat membatasi ekspresi desain (sosial).
  • Optimalisasi proses produksi (ekonomi) bisa mengurangi pekerjaan lokal (sosial).

Solaimani dan Sedighi menggunakan causal loop diagram untuk menunjukkan bahwa intervensi Lean yang positif di satu area dapat menghasilkan penguatan atau bahkan ketegangan di area lain. Inilah pentingnya pendekatan holistik.

Kritik dan Implikasi Praktis

Salah satu nilai tambah utama paper ini adalah struktur framework “GLean Construction” – gabungan Green dan Lean – yang menjadi referensi praktis dan teoritis. Namun, penulis juga mengakui keterbatasan seperti kurangnya perhatian pada aspek teknologi terkini (Industry 4.0), inovasi lokal, dan pengelolaan SDM berbasis Lean.

Praktisi di lapangan bisa menggunakan insight dari paper ini untuk:

  • Mengembangkan SOP berbasis Lean untuk mengurangi kecelakaan kerja.
  • Mengintegrasikan pelatihan keberlanjutan dalam onboarding karyawan.
  • Menerapkan BIM tidak hanya untuk desain tetapi juga untuk kolaborasi sosial.

Sementara itu, akademisi bisa mendorong penelitian baru di bidang Lean HRM, penggunaan AI/IoT dalam optimasi keberlanjutan, serta studi lintas negara tentang penerapan Lean-Sustainable Construction.

Penutup: Menuju Konstruksi yang Benar-benar Holistik

Paper ini adalah panggilan untuk melampaui sekadar efisiensi biaya dan berpikir dalam kerangka besar. Keberlanjutan bukan sekadar slogan, tetapi proses kolaboratif antar aktor konstruksi yang harus mempertimbangkan manusia, lingkungan, dan ekonomi secara seimbang.

Dalam era perubahan iklim dan tekanan urbanisasi yang masif, hanya pendekatan holistik seperti yang ditawarkan oleh Solaimani dan Sedighi yang bisa menjadi panduan untuk masa depan konstruksi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Sumber artikel asli:
Solaimani, S., & Sedighi, M. (2020). Toward a Holistic View on Lean Sustainable Construction: A Literature Review. Journal of Cleaner Production, 248, 119213.

 

Selengkapnya
Menuju Konstruksi Lean yang Berkelanjutan: Resensi Kritis terhadap Literatur Holistik Lean-Sustainable Construction
page 1 of 1