Sumber Daya Alam

Intervensi Adaptasi dan Pengaruhnya Terhadap Kerentanan di Negara Berkembang Bantuan, Hambatan, atau Tidak Relevan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Artikel karya Siri Eriksen dan kolega ini mengulas secara kritis dampak intervensi adaptasi perubahan iklim yang didanai internasional terhadap kerentanan di negara berkembang. Penelitian ini menyoroti bahwa meskipun tujuan utama intervensi adalah mengurangi kerentanan, kenyataannya beberapa intervensi justru memperkuat, mendistribusikan ulang, atau menciptakan sumber kerentanan baru. Artikel ini memberikan analisis mendalam berdasarkan 34 studi empiris dari berbagai negara berkembang, dengan fokus pada mekanisme maladaptasi yang muncul serta rekomendasi untuk perbaikan kebijakan dan praktik adaptasi.

Studi Kasus dan Temuan Kunci

Artikel ini mengidentifikasi tiga pola utama dampak negatif dari intervensi adaptasi:

  1. Memperkuat Kerentanan yang Ada
    • Kasus Kolombia Utara: Proyek dana Adaptation Fund yang memilih penerima manfaat untuk perumahan pasca-bencana dari daftar nasional gagal menjangkau kelompok paling rentan yang tidak mampu mengakses proses birokrasi, sehingga memperparah eksklusi sosial dan meningkatkan migrasi keluar.
    • Kasus Vietnam: Kebijakan bendungan hidroelektrik dan perlindungan hutan membantu mengatur banjir di dataran rendah, namun merugikan masyarakat pegunungan yang kehilangan akses ke tanah dan sumber daya hutan, menurunkan kapasitas adaptif mereka.
    • Kasus Ethiopia: Program pemukiman kembali pastoralis dalam strategi ekonomi hijau menyebabkan marginalisasi lebih lanjut dan penurunan ketahanan pangan bagi kelompok yang sudah rentan.
    • Kasus São Tomé dan Príncipe: Intervensi adaptasi hanya diberikan kepada pemilik tanah, mengabaikan kelompok tanpa tanah.
  2. Redistribusi Kerentanan
    • Infrastruktur seperti bendungan dan embankmen banjir yang melindungi satu komunitas dapat meningkatkan risiko bagi komunitas lain, seperti yang terjadi di Vietnam dan Bangladesh.
    • Perubahan pasar regional akibat penggunaan teknologi pertanian mahal oleh kelompok yang lebih mampu dapat mengalihkan sumber daya dari program pembangunan agraria yang menargetkan kelompok miskin.
  3. Menciptakan Risiko dan Kerentanan Baru
    • Contoh "safe development paradox" di Bangladesh, di mana pembangunan infrastruktur pesisir yang melindungi dari badai justru mendorong penduduk tetap tinggal di zona risiko tinggi, meningkatkan potensi kerugian di masa depan.
    • Intervensi top-down seperti program pemukiman kembali di Mozambik yang menggunakan tekanan militer dan penarikan layanan dasar untuk memindahkan kelompok marginal, menimbulkan kerentanan baru dan konflik sosial.

Angka dan Data Penting

  • Studi terhadap 27 donor bilateral dan multilateral di Malawi menunjukkan bahwa daerah dengan kebutuhan adaptasi tertinggi justru menerima proporsi dana paling kecil, dengan kelompok termiskin paling sedikit mendapatkan bantuan.
  • Kurang dari 50% entitas pelaksana dan LSM menilai kebijakan adaptasi sudah mempertimbangkan aspek gender secara memadai (Adaptation Fund, 2019).
  • Dari 56 kegiatan adaptasi di Kenya yang didukung program DFID StARCK+, dua pertiga fokus pada risiko yang sudah dikenal, dan hanya sedikit yang secara eksplisit menargetkan dampak perubahan iklim yang sudah diamati.

Analisis Mekanisme Maladaptasi

Artikel mengidentifikasi empat mekanisme utama yang menyebabkan intervensi adaptasi gagal mengurangi kerentanan secara adil:

  1. Pemahaman Konteks Kerentanan yang Dangkal
    Banyak intervensi tidak mengkaji secara mendalam konteks sosial-politik yang membentuk kerentanan, seperti hubungan gender, ras, kelas, dan disabilitas. Penilaian kerentanan seringkali menggunakan indikator yang telah ditentukan sebelumnya dan kurang mempertimbangkan dinamika lokal yang kompleks.
  2. Partisipasi Pemangku Kepentingan yang Tidak Adil
    Perencanaan dan pelaksanaan intervensi sering bersifat top-down, sehingga suara kelompok marginal tidak terwakili. Partisipasi yang ada seringkali bersifat simbolis dan tidak mengubah struktur kekuasaan yang ada, sehingga memperkuat ketidaksetaraan.
  3. Retrofitting Adaptasi ke Agenda Pembangunan yang Ada
    Banyak dana adaptasi digunakan untuk proyek pembangunan yang sudah ada dengan label baru "adaptasi", tanpa perubahan signifikan pada tujuan atau metode. Hal ini mengakibatkan adaptasi lebih bersifat inkremental dan tidak mengatasi penyebab mendasar kerentanan.
  4. Definisi ‘Keberhasilan Adaptasi’ yang Terbatas dan Dominan oleh Diskursus Pembangunan
    Keberhasilan adaptasi sering diukur berdasarkan output proyek (misalnya jumlah penerima manfaat) tanpa mengkaji dampak jangka panjang terhadap kerentanan dan ketidaksetaraan. Definisi keberhasilan ini cenderung mengabaikan perspektif kelompok marginal dan mempertahankan status quo.

Opini dan Kritik

Artikel ini memberikan kritik tajam terhadap pendekatan adaptasi yang terlalu teknis dan birokratis, yang mengabaikan dimensi sosial-politik dan keadilan. Penulis mengajak untuk menggeser paradigma adaptasi dari proyek yang hanya mengubah praktik masyarakat marginal menjadi proses pembelajaran yang melibatkan organisasi pelaksana dan masyarakat marginal secara setara. Pendekatan ini menuntut refleksi kritis terhadap asumsi dasar pembangunan dan adaptasi, serta keterbukaan terhadap pluralisme pengetahuan dan nilai.

Namun, artikel ini juga mengakui bahwa intervensi adaptasi tetap penting sebagai arena pembelajaran dan eksperimen untuk membentuk jalur adaptasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kritik utama adalah bahwa tanpa perubahan mendasar dalam cara adaptasi dirancang, dibiayai, dan dievaluasi, intervensi berisiko memperburuk kerentanan.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

Artikel ini sangat relevan dengan tren global dalam literatur dan praktik adaptasi yang semakin menekankan pentingnya keadilan sosial, partisipasi inklusif, dan transformasi struktural dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan transformasi adaptasi yang diusulkan selaras dengan gerakan global untuk pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan dan responsif terhadap kebutuhan kelompok marginal.

Dalam konteks industri pembangunan dan bantuan internasional, artikel ini menyoroti perlunya reformasi dalam mekanisme pendanaan dan tata kelola adaptasi agar lebih responsif terhadap konteks lokal dan lebih kritis terhadap asumsi pembangunan dominan. Hal ini mendorong integrasi pengetahuan lokal dan global, serta peningkatan kapasitas organisasi pelaksana untuk belajar dan beradaptasi secara berkelanjutan.

Rekomendasi Strategis

  • Meningkatkan Pemahaman Konteks Kerentanan dengan melakukan asesmen yang lebih mendalam dan kontekstual, termasuk dimensi sosial-politik dan interseksionalitas.
  • Memperluas Partisipasi Inklusif melalui mekanisme deliberatif yang melibatkan berbagai kelompok marginal secara bermakna dalam perencanaan dan evaluasi adaptasi.
  • Menghindari Retrofitting Adaptasi dengan merancang intervensi yang secara eksplisit menargetkan pengurangan kerentanan terhadap risiko iklim masa depan, bukan hanya mengemas ulang proyek pembangunan lama.
  • Mendefinisikan Ulang Keberhasilan Adaptasi dengan indikator yang mempertimbangkan dampak jangka panjang, keadilan sosial, dan perspektif masyarakat yang terpinggirkan.
  • Mendorong Proses Pembelajaran dan Refleksi dalam Organisasi Pelaksana untuk mengatasi bias dan asumsi yang menghambat adaptasi yang efektif dan adil.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan wawasan kritis dan komprehensif mengenai bagaimana intervensi adaptasi perubahan iklim di negara berkembang sering kali gagal mengurangi kerentanan secara adil dan malah dapat memperburuknya. Dengan menggabungkan studi kasus empiris dan analisis mekanisme maladaptasi, penulis menekankan perlunya perubahan paradigma dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi adaptasi. Pendekatan yang lebih inklusif, reflektif, dan kritis terhadap konteks sosial-politik menjadi kunci untuk mencapai adaptasi yang benar-benar efektif dan berkeadilan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Eriksen, S., Schipper, E.L.F., Scoville-Simonds, M., Vincent, K., Adam, H.N., Brooks, N., Harding, B., Khatri, D., Lenaerts, L., Liverman, D., Mills-Novoa, M., Mosberg, M., Movik, S., Muok, B., Nightingale, A., Ojha, H., Sygna, L., Taylor, M., Vogel, C., West, J.J. (2021). Adaptation interventions and their effect on vulnerability in developing countries: Help, hindrance or irrelevance? World Development, 141, 105383.

Selengkapnya
Intervensi Adaptasi dan Pengaruhnya Terhadap Kerentanan di Negara Berkembang Bantuan, Hambatan, atau Tidak Relevan

Sumber Daya Alam

Adaptasi Perubahan Iklim oleh Organisasi Pengelola Air – Enabler dan Hambatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Adaptasi Pengelolaan Air Penting?

Perubahan iklim saat ini secara nyata berdampak pada siklus air global, termasuk perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan kejadian ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Organisasi pengelola air—baik pemerintah, swasta, maupun lembaga non-pemerintah—berperan sentral dalam mengelola sumber daya air yang vital bagi masyarakat dan ekosistem. Namun, kemampuan organisasi-organisasi ini untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim masih menjadi tantangan besar. Paper berjudul “Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers” oleh Adani Azhoni, Simon Jude, dan Ian Holman (2018) mengkaji secara komprehensif faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghambat adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim, dengan fokus pada konteks global dan khususnya negara berkembang.

Kerangka Teoritis: Kapasitas Adaptif dan Hambatan Adaptasi

Kapasitas Adaptif Organisasi

Kapasitas adaptif didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem atau organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim, memanfaatkan peluang, atau merespons konsekuensi negatifnya. Dalam konteks organisasi pengelola air, kapasitas ini mencakup:

  • Kesadaran dan pengetahuan tentang risiko iklim dan opsi adaptasi.
  • Kemampuan teknis dan infrastruktur, seperti teknologi monitoring dan pengelolaan air.
  • Sumber daya ekonomi dan kelembagaan, termasuk dana, kebijakan, dan fleksibilitas organisasi.
  • Kepemimpinan visioner dan struktur organisasi yang mendukung pembelajaran dan pengambilan keputusan adaptif.

Penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada konsensus umum tentang dimensi kapasitas adaptif, evaluasi kapasitas ini sangat kompleks karena sifatnya yang dinamis, kontekstual, dan tersembunyi (latent). Misalnya, indikator kuantitatif sering kali gagal menangkap nuansa lokal dan perubahan waktu yang cepat1.

Hambatan Adaptasi

Hambatan adaptasi adalah faktor-faktor yang menghalangi atau memperlambat kemampuan organisasi untuk melakukan adaptasi efektif. Hambatan ini dapat bersifat:

  • Kognitif, seperti kurangnya pemahaman risiko atau skeptisisme terhadap perubahan iklim.
  • Institusional dan birokratis, termasuk aturan yang kaku, kurangnya koordinasi antar lembaga, dan proses pengambilan keputusan yang lambat.
  • Sosial dan budaya, seperti sikap apatis, kurangnya dukungan politik, dan norma yang menghambat inovasi.
  • Sumber daya terbatas, baik dana maupun teknologi.

Paper ini menegaskan bahwa hambatan-hambatan ini sering saling terkait dan sulit diatasi tanpa pendekatan yang holistik dan kontekstual1.

Studi Kasus dan Temuan Empiris

Paper ini mengulas berbagai studi empiris dari negara maju dan berkembang, menyoroti bagaimana faktor-faktor di atas berperan dalam konteks nyata:

  • India (Himachal Pradesh): Organisasi pengelola air menghadapi hambatan berupa birokrasi yang kompleks dan kurangnya koordinasi antar lembaga, serta keterbatasan sumber daya teknis dan finansial. Hal ini menghambat respons adaptif terhadap perubahan pola curah hujan dan risiko banjir1.
  • Australia dan Inggris: Studi menunjukkan bahwa meskipun ada kesadaran tinggi dan strategi adaptasi yang dirancang, implementasi sering terhambat oleh ketidakjelasan tujuan, kurangnya indikator keberhasilan yang spesifik, dan keterbatasan kapasitas lokal dalam menerjemahkan kebijakan nasional ke tingkat daerah1.
  • Kasus Transboundary Water Management: Organisasi yang mengelola sumber daya air lintas batas negara menghadapi tantangan koordinasi dan kesepakatan kebijakan yang rumit, yang menghambat pengelolaan adaptif yang efektif1.

Strategi Adaptasi yang Diterapkan

Paper ini mengklasifikasikan strategi adaptasi dalam pengelolaan air menjadi beberapa kategori utama:

  1. Manajemen Sisi Pasokan dan Permintaan
    • Konservasi air, peningkatan efisiensi penggunaan, dan pengelolaan ulang sumber daya air.
    • Contoh: Pengurangan kebocoran jaringan distribusi dan penggunaan teknologi pengukuran untuk meningkatkan efisiensi air di Iran2.
  2. Pengoperasian Sistem dan Optimalisasi
    • Pembaruan kurva operasi waduk menggunakan algoritma optimasi untuk mengantisipasi perubahan pola hidrologi akibat iklim.
    • Studi Rheinheimer et al. (2016) menunjukkan bahwa redefinisi indeks klasifikasi tahun air (Water Year Type) efektif untuk adaptasi2.
  3. Pengembangan Infrastruktur dan Teknologi
    • Pembangunan bendungan baru, sistem panen air hujan, dan penerapan teknologi pengolahan air limbah untuk digunakan kembali.
    • Pendekatan ini seringkali mahal dan memerlukan investasi besar, sehingga perlu dikombinasikan dengan strategi non-struktural2.
  4. Pendekatan Bottom-Up dan Partisipatif
    • Meningkatkan ketahanan sistem pengelolaan air melalui keterlibatan masyarakat dan multi-stakeholder, serta penguatan jaringan antar organisasi.
    • Pendekatan ini dianggap penting untuk mengatasi hambatan sosial dan kelembagaan13.

Peran Jaringan Antar-Organisasi dan Organisasi Transboundary

Salah satu kontribusi penting paper ini adalah penekanan pada pentingnya jaringan antar-organisasi dan organisasi transboundary sebagai pendorong kapasitas adaptif:

  • Jaringan Antar-Organisasi memungkinkan pertukaran pengetahuan, sumber daya, dan koordinasi lintas sektor dan skala pemerintahan.
  • Organisasi Transboundary berperan sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan, serta menghubungkan berbagai aktor yang memiliki kepentingan berbeda.
  • Namun, jaringan ini juga menghadapi risiko dominasi oleh aktor tertentu dan konflik kepentingan yang dapat menghambat adaptasi yang inklusif dan efektif1.

Kritik dan Opini Tambahan

Paper ini memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas adaptasi organisasi pengelola air, namun terdapat beberapa catatan penting:

  • Evaluasi Kapasitas Adaptif dan Keberhasilan Adaptasi masih sangat terbatas, terutama di negara berkembang. Banyak studi fokus pada perencanaan dan kesiapan, namun bukti nyata implementasi dan hasil adaptasi masih minim.
  • Hambatan Sosial dan Politik sering kali kurang mendapat perhatian yang memadai, padahal faktor-faktor ini sangat menentukan keberhasilan adaptasi di lapangan.
  • Pendekatan Integratif yang menggabungkan aspek teknis, sosial, ekonomi, dan kelembagaan sangat diperlukan untuk mengatasi hambatan yang saling terkait.
  • Konteks Lokal harus menjadi fokus utama dalam desain dan evaluasi adaptasi, mengingat perbedaan kondisi sosial-ekonomi dan institusional yang sangat besar antar wilayah.

Dalam konteks tren global, paper ini relevan dengan peningkatan perhatian pada adaptasi berbasis ekosistem, pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi, dan pentingnya governance multi-level dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan bottom-up yang partisipatif dan penggunaan teknologi informasi terkini (big data, monitoring real-time) menjadi kunci masa depan adaptasi pengelolaan air3.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Paper ini menyimpulkan bahwa adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim adalah proses kompleks yang dipengaruhi oleh kapasitas adaptif internal, hambatan eksternal, dan interaksi antar organisasi. Untuk meningkatkan efektivitas adaptasi, diperlukan:

  • Penguatan kapasitas adaptif melalui peningkatan pengetahuan, sumber daya, dan struktur organisasi yang fleksibel.
  • Pengembangan dan pemeliharaan jaringan antar-organisasi serta peran aktif organisasi transboundary.
  • Pendekatan adaptasi yang kontekstual, inklusif, dan mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
  • Penelitian lebih lanjut untuk memahami hambatan adaptasi secara mendalam dan bagaimana mengatasinya dalam berbagai konteks.

Dengan demikian, paper ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, praktisi pengelolaan air, dan peneliti yang ingin memahami tantangan dan peluang adaptasi perubahan iklim dalam sektor air.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Azhoni, A., Jude, S., Holman, I. (2018). Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers. Journal of Hydrology, 559, 736–748.

 

Selengkapnya
Adaptasi Perubahan Iklim oleh Organisasi Pengelola Air – Enabler dan Hambatan

Sumber Daya Alam

Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Tantangan Pengelolaan Risiko di Era Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah menjadi ancaman utama bagi keberlanjutan pembangunan global. Laporan khusus IPCC “Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development” (Bab 7, Climate Change and Land, 2019) membedah keterkaitan antara risiko iklim, pengelolaan lahan, dan pengambilan keputusan dalam pembangunan berkelanjutan. Artikel ini sangat relevan di tengah meningkatnya bencana iklim, krisis pangan, dan tekanan pada sistem ekologi serta sosial. Dengan pendekatan multidisiplin, laporan ini mengulas risiko-risiko utama, studi kasus nyata, serta strategi kebijakan yang dapat diadopsi oleh negara-negara di dunia.

Risiko Perubahan Iklim terhadap Sistem Lahan dan Manusia

Dampak Fisik dan Sosial yang Semakin Kompleks

Peningkatan suhu permukaan global diproyeksikan menyebabkan berbagai dampak serius, seperti degradasi permafrost, erosi pantai, peningkatan kebakaran hutan, penurunan hasil panen di daerah lintang rendah, dan berkurangnya ketersediaan air. Dampak-dampak ini telah diamati di seluruh dunia dan berpotensi menjadi tidak dapat dipulihkan jika suhu terus meningkat1.

Beberapa temuan kunci:

  • Penurunan hasil panen: Di wilayah tropis, termasuk Sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Tengah-Selatan, hasil panen diperkirakan turun drastis akibat suhu tinggi dan kekeringan.
  • Ketersediaan air: Wilayah kering menghadapi risiko kekurangan air yang lebih besar, terutama jika suhu global naik lebih dari 1,5°C.
  • Kesehatan ekosistem dan manusia: Kerusakan ekosistem, migrasi, hingga konflik sosial dipicu oleh ketidakstabilan pangan dan lahan.

Risiko Komposit dan Ketimpangan Wilayah

Risiko tidak tersebar merata. Negara-negara tropis dan berkembang lebih rentan terhadap penurunan hasil panen dan krisis air, sementara wilayah lintang tinggi mungkin mendapat manfaat jangka pendek dari pemanasan global. Namun, wilayah Mediterania, Korea, Gobi, dan Amerika Serikat bagian barat juga menghadapi ancaman kekeringan, badai debu, dan kebakaran hutan1.

Studi Kasus: Proyeksi Risiko Berdasarkan Skenario Pembangunan

Laporan IPCC menggunakan dua skenario utama, SSP1 (pembangunan berkelanjutan) dan SSP3 (pembangunan tidak merata), untuk memproyeksikan risiko di masa depan:

  • SSP1 (Skenario Berkelanjutan):
    • Hanya sekitar 3% populasi daerah kering yang akan terpapar stres air pada suhu 3°C di tahun 2050.
    • Sekitar 2 juta orang diperkirakan terpapar perubahan hasil panen pada suhu 1,5°C.
  • SSP3 (Skenario Tidak Merata):
    • 20% populasi daerah kering sudah terpapar stres air pada suhu 1,5°C, meningkat jadi 24% pada suhu 3°C.
    • Lebih dari 20 juta orang terpapar perubahan hasil panen pada suhu 1,5°C, melonjak ke 854 juta orang pada suhu 3°C1.

Dampak sosialnya sangat besar: kemiskinan meningkat, migrasi terpaksa, dan konflik agraria makin sering terjadi.

Risiko dari Respons Adaptasi dan Mitigasi

Solusi yang Bisa Menjadi Pedang Bermata Dua

Adaptasi dan mitigasi berbasis lahan, seperti perluasan bioenergi dan teknologi penangkapan karbon (BECCS), berpotensi menimbulkan risiko baru. Jika diterapkan secara masif, solusi ini dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk pangan dan mengancam ekosistem. Dalam skenario SSP1, penggunaan lahan untuk bioenergi hingga 4 juta km² masih dianggap berkelanjutan. Namun, pada SSP3, skala ini justru menimbulkan risiko tinggi bagi ketahanan pangan dan ekosistem1.

Studi Kasus: Bioenergi dan Ketahanan Pangan

  • Bioenergi dan BECCS: Dalam skenario pembangunan berkelanjutan (SSP1), penggunaan lahan untuk bioenergi hingga 4 juta km² masih dapat diterima. Namun, dalam skenario pembangunan tidak merata (SSP3), risiko terhadap ketahanan pangan dan ekosistem meningkat drastis bahkan pada skala yang sama1.
  • Dampak pada harga pangan: Kebijakan domestik yang bertujuan melindungi masyarakat dari lonjakan harga pangan akibat krisis iklim justru memperparah kemiskinan global pada pertengahan 2000-an, menunjukkan pentingnya koordinasi kebijakan global1.

Kebijakan dan Instrumen Pengelolaan Risiko

Kebijakan Multi-Level dan Inklusif

Laporan IPCC menekankan perlunya kebijakan lintas sektor dan multi-level, dari lokal hingga nasional, yang terintegrasi dan responsif terhadap perubahan iklim. Instrumen kebijakan yang efektif meliputi:

  • Regulasi penggunaan lahan: Pengaturan tata guna lahan yang ketat dapat mengurangi trade-off antara mitigasi iklim dan ketahanan pangan.
  • Pengurangan ketergantungan pada biomassa tradisional: Transisi ke energi bersih dan efisien sangat penting untuk mengurangi emisi dan tekanan pada lahan.
  • Perlindungan sosial dan ketahanan pangan: Jaringan pengaman sosial dan kebijakan pangan harus disesuaikan dengan risiko iklim yang semakin dinamis.

Studi Kasus: New Zealand Emissions Trading Scheme (ETS)

Salah satu contoh nyata adalah kebijakan ETS di Selandia Baru yang memasukkan sektor pertanian ke dalam skema perdagangan emisi. Kebijakan ini mendorong inovasi dan efisiensi dalam produksi pertanian sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, tantangan tetap ada, seperti perlunya insentif tambahan dan perlindungan bagi petani kecil agar tidak terdampak negatif1.

Studi Kasus: REDD+ di Amazon dan India

Program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di Amazon dan India menjadi contoh instrumen konservasi hutan yang efektif menurunkan emisi sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat lokal. Namun, keberhasilan program sangat tergantung pada tata kelola yang transparan, partisipasi masyarakat, dan perlindungan hak atas tanah1.

Pengambilan Keputusan Adaptif dan Inklusif

Mengelola Ketidakpastian dan Risiko

Pengambilan keputusan dalam pengelolaan risiko iklim harus adaptif, berbasis data, dan inklusif. Pendekatan adaptif memungkinkan kebijakan diubah sesuai perkembangan risiko dan pengetahuan terbaru. Keterlibatan masyarakat lokal, perempuan, dan kelompok rentan sangat penting agar kebijakan lebih adil dan efektif1.

Studi Kasus: Konflik Bioenergi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati

Pembangunan energi terbarukan seperti bioenergi, tenaga air, dan solar skala besar dapat berdampak negatif pada keanekaragaman hayati dan ekosistem air. Misalnya, pembangunan bendungan kecil secara berkelompok dapat mengganggu konektivitas sungai dan habitat ikan, sementara ladang solar dan turbin angin skala besar bisa mengancam spesies langka dan merusak habitat alami1.

Peran Pengetahuan Lokal dan Adat

Pengetahuan lokal dan adat terbukti efektif dalam mengelola risiko iklim dan lahan. Kolaborasi antara ilmuwan, pembuat kebijakan, dan komunitas lokal dapat menghasilkan solusi inovatif dan berkelanjutan. Misalnya, praktik pertanian tradisional di beberapa wilayah Afrika dan Asia mampu meningkatkan ketahanan pangan dan konservasi lahan1.

Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri

Kritik dan Nilai Tambah

Laporan IPCC ini lebih komprehensif daripada banyak studi sebelumnya karena mengintegrasikan aspek fisik, sosial, ekonomi, dan tata kelola dalam satu kerangka analisis. Banyak penelitian terdahulu hanya fokus pada aspek mitigasi teknis atau adaptasi ekologis, tanpa memperhatikan dampak sosial dan distribusi risiko. Pendekatan IPCC yang holistik ini sangat penting di era krisis iklim yang multidimensi.

Relevansi Industri dan Praktik Bisnis

Sektor agribisnis, energi, dan keuangan kini semakin memperhitungkan risiko iklim dalam strategi bisnis mereka. Misalnya, perusahaan multinasional mulai mengadopsi standar ESG (Environmental, Social, Governance) dan melakukan investasi pada rantai pasok yang lebih tahan iklim. Industri energi juga mulai mempertimbangkan dampak ekologis dari proyek-proyek energi terbarukan dan mencari solusi yang lebih ramah lingkungan dan sosial.

Rekomendasi: Menuju Tata Kelola Risiko yang Berkelanjutan

Langkah Strategis untuk Pemerintah dan Pelaku Industri

  • Integrasi kebijakan lintas sektor: Pemerintah perlu mengintegrasikan kebijakan iklim, pangan, energi, dan konservasi lahan secara terpadu.
  • Peningkatan kapasitas adaptasi lokal: Investasi pada pendidikan, teknologi ramah lingkungan, dan perlindungan sosial sangat penting untuk memperkuat ketahanan masyarakat.
  • Penguatan tata kelola dan partisipasi: Keterlibatan masyarakat lokal, pelaku usaha, dan kelompok rentan harus menjadi prioritas dalam setiap pengambilan keputusan.
  • Pengelolaan trade-off: Setiap kebijakan mitigasi dan adaptasi harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ketahanan pangan, ekosistem, dan kesejahteraan sosial.

Pentingnya Aksi Dini dan Kolaborasi Global

Menunda aksi mitigasi di sektor lain dan membebankan beban pada sektor lahan justru meningkatkan risiko kegagalan mitigasi dan memperburuk dampak perubahan iklim bagi generasi mendatang. Prioritas utama harus pada dekarbonisasi dini dan minimalisasi ketergantungan pada teknologi penyerapan karbon yang masih belum matang1.

Kesimpulan: Pengelolaan Risiko sebagai Kunci Pembangunan Berkelanjutan

Bab 7 laporan IPCC ini menegaskan bahwa pengelolaan risiko perubahan iklim dan pengambilan keputusan yang adaptif adalah kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Risiko iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada sistem sosial, ekonomi, dan politik. Kebijakan yang inklusif, berbasis data, dan responsif terhadap perubahan sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan keadilan bagi semua.

Dengan mengangkat studi kasus nyata dan data kuantitatif, laporan ini memberikan panduan praktis bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama menghadapi tantangan perubahan iklim. Integrasi antara sains, kebijakan, dan kearifan lokal menjadi fondasi utama menuju masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Sumber artikel asli:

Hurlbert, M., J. Krishnaswamy, E. Davin, F.X. Johnson, C.F. Mena, J. Morton, S. Myeong, D. Viner, K. Warner, A. Wreford, S. Zakieldeen, Z. Zommers, 2019: Risk Management and Decision making in Relation to Sustainable Development. In: Climate Change and Land: an IPCC special report on climate change, desertification, land degradation, sustainable land management, food security, and greenhouse gas fluxes in terrestrial ecosystems [P.R. Shukla, J. Skea, E. Calvo Buendia, V. Masson-Delmotte, H.-O. Pörtner, D.C. Roberts, P. Zhai, R. Slade, S. Connors, R. van Diemen, M. Ferrat, E. Haughey, S. Luz, S. Neogi, M. Pathak, J. Petzold, J. Portugal Pereira, P. Vyas, E. Huntley, K. Kissick, M. Belkacemi, J. Malley, (eds.)]. In press.

Selengkapnya
Risk Management and Decision-Making in Relation to Sustainable Development

Sumber Daya Alam

Memahami Critical Institutionalism: Resensi Mendalam dan Studi Kasus Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Critical Institutionalism dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Dalam era perubahan lingkungan dan sosial yang cepat, pengelolaan sumber daya alam bersama (common-pool resources/CPR) menjadi semakin kompleks. Paper “Furthering critical institutionalism” karya Frances Cleaver dan Jessica de Koning (2015) menawarkan perspektif mutakhir dalam memahami dinamika institusi yang mengatur hubungan manusia dengan sumber daya alam. Critical institutionalism (CI) hadir sebagai pendekatan yang menyoroti kerumitan, sejarah, kekuasaan, dan keadilan sosial dalam pembentukan serta perubahan institusi.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana kegagalan banyak intervensi pengelolaan sumber daya seringkali berakar pada pemahaman institusi yang terlalu sederhana. Dengan menekankan konsep “institutional bricolage”, paper ini mengajak pembaca untuk melihat institusi bukan sebagai struktur baku, melainkan hasil rakitan kreatif manusia yang terus berubah.

Critical Institutionalism: Konsep, Tema, dan Perbedaannya dengan Mainstream Institutionalism

Mengapa Critical Institutionalism Penting?

Pendekatan institusional klasik, seperti yang dipopulerkan Elinor Ostrom, menekankan desain aturan yang efisien dan rasionalitas aktor. Namun, CI mengkritik asumsi-asumsi ini dengan menyoroti:

  • Kompleksitas dan ketidakpastian dalam interaksi sosial-ekologis
  • Peran sejarah, budaya, dan kekuasaan dalam membentuk institusi
  • Pentingnya keadilan sosial, bukan sekadar efisiensi ekonomi
  • Dinamika antara formal-informal, tradisional-modern, serta skala lokal-global

CI menolak pandangan bahwa institusi dapat “dirancang” secara sempurna, dan justru menekankan proses adaptasi, negosiasi, dan improvisasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep Kunci: Institutional Bricolage

“Institutional bricolage” adalah proses di mana individu dan kelompok secara sadar maupun tidak sadar merakit, mengadaptasi, dan menggabungkan aturan, norma, serta praktik dari berbagai sumber untuk mengelola sumber daya. Proses ini:

  • Menggabungkan elemen lama dan baru, formal dan informal
  • Menyesuaikan institusi dengan kebutuhan, identitas, dan legitimasi sosial setempat
  • Menghasilkan institusi yang multifungsi, seringkali melampaui tujuan awalnya

Sebagai contoh, kelompok simpan pinjam perempuan di Afrika Timur yang juga memungut tarif air, atau asosiasi pengelola hutan yang berfungsi sebagai jaring pengaman sosial saat ada anggota sakit.

Pluralitas, Hibriditas, dan Skala

CI menekankan pluralitas (keragaman) institusi dan hibriditas (campuran) antara berbagai aturan dan praktik. Pengelolaan sumber daya tidak hanya terjadi di satu skala (lokal), melainkan dipengaruhi oleh kebijakan nasional, global, dan bahkan sejarah kolonial. Proses “leakage of meaning” menggambarkan bagaimana makna dan praktik institusi bisa berubah saat berpindah skala atau konteks.

Studi Kasus: Institutional Bricolage dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

1. Pengelolaan Hutan di Indonesia: Adaptasi dan Resistensi

Di banyak wilayah Indonesia, pengelolaan hutan adat menjadi contoh nyata institutional bricolage. Ketika program pemerintah memperkenalkan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), masyarakat tidak serta-merta meninggalkan aturan adat. Sebaliknya, mereka menggabungkan struktur LMDH dengan pranata adat seperti “lembaga kerapatan adat” atau “tokoh tua”. Proses ini melibatkan:

  • Aggregation: Mencampur aturan formal (LMDH) dengan norma adat, misalnya dalam pembagian hasil kayu.
  • Alteration: Menyesuaikan aturan baru agar sesuai dengan logika lokal, misalnya mengatur waktu panen atau ritual syukuran.
  • Articulation: Menegaskan identitas adat sebagai bentuk resistensi terhadap aturan yang dianggap tidak adil.

Data dari beberapa studi menunjukkan, lebih dari 60% LMDH di Jawa mengadopsi pranata adat dalam praktik sehari-hari, meski secara formal tunduk pada aturan Perhutani.

2. Pengelolaan Irigasi di Afrika Timur: Multifungsi dan Legitimasi

Cleaver (2002) mencontohkan kelompok simpan pinjam perempuan di Tanzania yang awalnya didirikan untuk membantu keuangan anggota, namun kemudian juga mengambil peran dalam pemungutan tarif air dan pemeliharaan saluran irigasi. Legitimasi kelompok ini tidak hanya berasal dari aturan formal, tetapi juga dari kepercayaan sosial dan kedekatan antar anggota.

Angka-angka menunjukkan, kelompok seperti ini mampu meningkatkan tingkat pembayaran tarif air hingga 80%, jauh di atas rata-rata kelompok yang hanya mengandalkan aturan formal.

3. Community Forest Management di Ghana: Fungsi Ganda dan Adaptasi

De Koning (2011) mengamati asosiasi pengelola hutan di Ghana yang awalnya dibentuk untuk konservasi, namun juga berfungsi sebagai lembaga sosial yang membantu anggota saat sakit atau menghadapi bencana. Ini memperlihatkan bagaimana institusi yang “dirakit” bisa berkembang menjadi multifungsi dan lebih adaptif terhadap kebutuhan nyata masyarakat.

Kritik terhadap Pendekatan Mainstream dan Nilai Tambah Critical Institutionalism

Keterbatasan Teori CPR Konvensional

Pendekatan klasik sering gagal memahami:

  • Heterogenitas komunitas: Anggapan bahwa masyarakat lokal homogen sering menyesatkan, padahal ada perbedaan kelas, gender, dan kekuasaan.
  • Politik kebijakan: Banyak intervensi gagal karena mengabaikan dinamika kekuasaan lokal dan nasional.
  • Makna sosial: Aturan formal sering tidak berjalan jika tidak sesuai dengan nilai dan identitas lokal.

Keunggulan Critical Institutionalism

CI menawarkan lensa yang lebih tajam untuk:

  • Memahami kegagalan dan keberhasilan program pengelolaan sumber daya bersama
  • Mengidentifikasi peran aktor “bricoleur” (perakit institusi) dalam inovasi sosial
  • Menyoroti pentingnya legitimasi sosial dan keadilan dalam keberlanjutan institusi

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan

Pengelolaan Sumber Daya di Era ESG dan SDGs

Industri kini semakin menekankan aspek ESG (Environmental, Social, Governance) dan SDGs (Sustainable Development Goals). CI sangat relevan karena:

  • Membantu perusahaan memahami konteks sosial dan politik dalam proyek CSR atau konservasi
  • Menghindari kegagalan akibat “copy-paste” institusi dari luar tanpa adaptasi lokal
  • Mendorong partisipasi bermakna dan keadilan dalam proyek-proyek pembangunan

Contoh Nyata: REDD+ dan Konservasi Hutan

Program REDD+ sering gagal jika hanya mengandalkan aturan formal tanpa memperhatikan pranata lokal. Studi di Kalimantan dan Papua menunjukkan, adaptasi aturan REDD+ dengan norma adat (misal, pembagian manfaat berbasis marga atau suku) mampu meningkatkan partisipasi dan mengurangi konflik.

Opini dan Rekomendasi

Mengapa Critical Institutionalism Layak Diadopsi?

  • Lebih Realistis: CI mengakui bahwa perubahan sosial tidak linier dan institusi selalu dalam proses menjadi, bukan sekadar hasil akhir.
  • Lebih Adil: Dengan menekankan keadilan sosial, CI membantu memastikan manfaat pengelolaan sumber daya tidak hanya dinikmati elit.
  • Lebih Adaptif: CI mendorong inovasi sosial dan adaptasi berkelanjutan, kunci menghadapi perubahan iklim dan tekanan global.

Saran untuk Peneliti dan Praktisi

  • Libatkan aktor lokal sebagai bricoleur: Dorong inovasi dari bawah, bukan sekadar top-down.
  • Pahami sejarah dan makna institusi: Jangan hanya meniru model luar, tetapi adaptasi dengan konteks lokal.
  • Perkuat legitimasi sosial: Pastikan aturan baru diterima dan dianggap sah oleh masyarakat.

Kesimpulan: Menuju Pengelolaan Sumber Daya yang Lebih Kontekstual dan Berkeadilan

Paper Cleaver dan de Koning (2015) memberikan kontribusi penting dalam studi pengelolaan sumber daya alam. Dengan critical institutionalism dan konsep institutional bricolage, mereka menawarkan cara pandang baru yang lebih kaya, adaptif, dan adil. Studi kasus dari berbagai belahan dunia memperlihatkan bahwa keberhasilan pengelolaan sumber daya sangat bergantung pada kemampuan masyarakat merakit, menyesuaikan, dan melegitimasi institusi sesuai kebutuhan dan identitas mereka.

Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti, pendekatan ini menjadi panduan penting untuk menghindari jebakan desain institusi yang kaku dan tidak kontekstual. Dengan mengadopsi critical institutionalism, kita dapat membangun tata kelola sumber daya yang lebih berkelanjutan, inklusif, dan responsif terhadap tantangan zaman.

Sumber artikel asli:

Cleaver, F. & de Koning, J. (2015). Furthering critical institutionalism. International Journal of the Commons, 9(1), 1–18.

Selengkapnya
Memahami Critical Institutionalism: Resensi Mendalam dan Studi Kasus Pengelolaan Sumber Daya Alam
page 1 of 1