Lahan Basah sebagai Aset Strategis Indonesia
Lahan basah, khususnya gambut, menjadi fondasi penting dalam menjaga stabilitas ekologi, ekonomi, dan sosial di Indonesia. Buku “Lahan Basah: Kajian Empirik Sosial Ekonomi dan Lingkungan di Lahan Basah” yang diterbitkan oleh Center of Excellence (CoE) Universitas Riau, menghadirkan analisis multidisipliner berbasis riset lapangan di Riau—provinsi dengan salah satu kawasan gambut terluas di dunia. Buku ini membedah potensi, tantangan, dan solusi pengelolaan lahan basah dari berbagai aspek, mulai dari pertanian, perikanan, kebencanaan, hingga kearifan lokal dan inovasi teknologi.
Artikel ini merangkum dan mengkritisi temuan utama buku tersebut, menyoroti angka-angka penting, studi kasus aktual, serta menghubungkannya dengan tren nasional dan global. Dengan gaya populer dan SEO-friendly, resensi ini diharapkan menjadi rujukan bagi akademisi, pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas yang peduli pada keberlanjutan sumber daya alam Indonesia.
Gambaran Umum: Mengapa Lahan Basah Penting?
Lahan basah di Indonesia meliputi rawa, gambut, mangrove, dan perairan dangkal yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Riau sendiri memiliki lebih dari 4,9 juta hektar lahan gambut, atau sekitar 55% dari luas daratannya. Fungsi lahan basah sangat vital:
- Ekologis: Penyimpan karbon, pengendali banjir, penyangga keanekaragaman hayati.
- Ekonomi: Sumber pertanian, perikanan, perkebunan, dan ekowisata.
- Sosial: Penopang kehidupan masyarakat lokal, warisan budaya, dan kearifan lokal.
Namun, lahan basah juga menghadapi tekanan besar akibat konversi, drainase, kebakaran, dan eksploitasi berlebihan yang berujung pada kerusakan lingkungan dan bencana ekologis.
Studi Kasus dan Data Empirik: Potret Lahan Basah di Riau
1. Potensi Gambut Bengkalis untuk Pertanian Berkelanjutan
Kabupaten Bengkalis, Riau, memiliki 647.962 ha lahan gambut (76,05% dari luas daratan). Komoditas utama yang dikembangkan di lahan ini meliputi kelapa sawit, karet, kelapa, sagu, dan nenas. Data tahun 2016 menunjukkan:
- Luas kebun sawit: 145.246 ha
- Produksi sawit: 1.660.975 ton/tahun
- Luas kebun karet: 30.669 ha (produksi 45.672 ton/tahun)
- Luas kebun sagu: 2.870 ha (produksi 15.124 ton/tahun)
Alih fungsi lahan dari karet ke sawit terjadi hampir merata, didorong oleh jaminan pasar dan produktivitas ekonomi sawit yang lebih tinggi. Namun, konversi ini juga membawa risiko lingkungan seperti penurunan kualitas tanah, kebakaran, dan hilangnya keanekaragaman hayati1.
2. Nilai Ekonomi Budidaya Ikan Baung di Lahan Basah
Budidaya ikan baung (Hemibagrus nemurus) di lahan basah menawarkan nilai ekonomi tinggi. Studi di Riau dan Jambi menunjukkan:
- Pendapatan pembenihan: Rp12.900.000/bulan (skala rumah tangga, 50.000 benih)
- Keuntungan pembesaran di kolam: Rp11.587.500/panen (1.000 kg ikan)
- Keuntungan pembesaran di karamba: Rp10.486.600/panen (3.600 kg ikan)
- Efisiensi pakan: 30% dari biaya produksi, jauh lebih efisien dibanding ikan lain yang rata-rata 60%
Teknologi probiotik dan bioflok terbukti meningkatkan efisiensi pakan dan pertumbuhan ikan, sehingga budidaya ikan baung di lahan basah menjadi alternatif ekonomi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan1.
3. Pencegahan Kebakaran di Pesisir: Pola Usahatani dan Peran Sagu
Kabupaten Bengkalis juga dikenal rawan kebakaran lahan gambut, terutama di musim kemarau. Studi menunjukkan bahwa:
- Biaya buka lahan tanpa bakar: Rp3.000.000–Rp3.600.000/ha
- Biaya buka lahan dengan bakar: Rp700.000–Rp900.000/ha
Masyarakat mulai didorong untuk mengadopsi pola pertanian tanpa bakar dan menanam komoditas lahan basah seperti sagu, yang membutuhkan kondisi lembab dan efektif mencegah kebakaran. Budidaya sagu juga memberikan pendapatan tambahan dan menjaga fungsi ekosistem gambut1.
Analisis Tantangan: Kendala Pengelolaan Lahan Basah
1. Kelembagaan dan Tata Kelola
Belum ada lembaga khusus yang bertanggung jawab penuh atas koordinasi pengelolaan lahan gambut di tingkat lokal maupun nasional. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih kebijakan, lemahnya pengawasan, dan rawan konflik antar pemangku kepentingan.
2. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan lahan gambut masih rendah. Banyak program berjalan tanpa melibatkan kearifan lokal, sehingga sering gagal di lapangan dan menimbulkan resistensi.
3. Kerusakan Tata Air dan Illegal Logging
Pembangunan parit dan saluran tanpa pengelolaan yang baik menyebabkan lahan gambut mengering dan mudah terbakar. Illegal logging dan konversi lahan tanpa reboisasi memperparah kerusakan ekosistem dan meningkatkan risiko bencana.
4. Data dan Informasi Terbatas
Keterbatasan data biofisik, sosial ekonomi, dan kelembagaan menghambat perumusan kebijakan berbasis bukti dan implementasi teknologi tepat guna.
Studi Kasus Inspiratif: Manajemen Komunikasi Lingkungan Berbasis Ekowisata Mangrove
Di Desa Pangkalan Jambi, Kabupaten Bengkalis, PT Pertamina melalui program CSR berhasil mengembangkan ekowisata mangrove berbasis komunitas nelayan. Hasilnya:
- Luas kawasan mangrove: 1.449 ha di Kecamatan Bukit Batu
- Penurunan abrasi dan kerusakan mangrove: 8.090 ha rusak pada 2018, kini mulai pulih berkat pelibatan masyarakat dan edukasi lingkungan
- Peningkatan ekonomi lokal: Masyarakat mendapatkan pendapatan tambahan dari wisata, kuliner, dan produk olahan mangrove
Model komunikasi lingkungan yang diterapkan menekankan partisipasi, gotong royong, dan kolaborasi multipihak (pemerintah, swasta, masyarakat, dan perguruan tinggi). Keberhasilan ini menjadi contoh replikasi nasional untuk pengelolaan ekosistem mangrove dan mitigasi bencana pesisir1.
Kebencanaan Ekologis: Risiko dan Mitigasi di Lahan Gambut
1. Kebakaran Hutan dan Lahan
- 73% kebakaran di Riau terjadi di lahan gambut
- Puncak kejadian: 2005 dan 2014, menurun sejak 2016 berkat restorasi dan pengawasan ketat
- Dampak: Emisi CO2, polusi udara, kerugian ekonomi, dan gangguan kesehatan masyarakat
2. Subsiden dan Banjir
- Laju subsidensi: 1–4 cm/tahun di Sumatera, akibat drainase dan konversi lahan
- Banjir tahunan: Kabupaten Rokan Hilir, Indragiri Hilir, dan Pelalawan mengalami banjir berulang akibat penurunan permukaan tanah dan hilangnya kapasitas resapan gambut
3. Abrasi dan Longsor
- Laju abrasi ekstrem: 30 meter/tahun di Pulau Bengkalis dan Pulau Rangsang
- Fenomena bog-burst: Longsor gambut di tebing pantai, mempercepat hilangnya daratan dan mengancam permukiman
4. Mitigasi dan Restorasi
- Restorasi gambut: Sekat kanal, reboisasi, dan pengelolaan tata air berbasis ekohidro terbukti menurunkan risiko kebakaran dan meningkatkan fungsi ekosistem
- Restorasi pantai: Kombinasi hard-countermeasure (pemecah gelombang) dan soft-countermeasure (penanaman mangrove) efektif memulihkan garis pantai dan menahan abrasi
Inovasi Teknologi dan Kearifan Lokal: Pilar Keberlanjutan
1. Pertanian Ramah Lingkungan
Penggunaan pupuk hayati dan agens hayati (Beauveria bassiana) pada budidaya padi gogo di lahan marginal terbukti meningkatkan hasil panen dan mengurangi penggunaan pupuk kimia hingga 75%. Kombinasi teknologi dan kearifan lokal menjadi kunci pertanian berkelanjutan di lahan basah.
2. Kearifan Lokal dan Hukum Adat
Model pengelolaan lingkungan berbasis adat seperti Andiko 44 di Kabupaten Kampar menunjukkan bahwa integrasi nilai adat, peran ninik mamak, dan hukum negara efektif menjaga kelestarian hutan dan mencegah kebakaran. Nilai-nilai seperti larangan menebang pohon tanpa izin, pemanfaatan hasil hutan secara bijak, dan pengawasan kolektif menjadi basis pengelolaan berkelanjutan.
Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Buku ini menegaskan pentingnya pendekatan multidisipliner dan partisipatif dalam pengelolaan lahan basah. Jika dibandingkan dengan riset internasional (misal Warren dkk., 2016; Lilleskov dkk., 2019), temuan buku ini konsisten bahwa lahan gambut Asia Tenggara sangat rentan terhadap deforestasi, drainase, dan kebakaran. Namun, kekuatan buku ini terletak pada kedalaman studi kasus lokal, keterlibatan masyarakat, dan aplikasi teknologi tepat guna.
Kritik utama adalah perlunya penguatan kelembagaan dan harmonisasi kebijakan lintas sektor, serta peningkatan akses data dan teknologi bagi petani dan masyarakat lokal. Selain itu, insentif ekonomi untuk konservasi dan restorasi masih minim, sehingga adopsi praktik ramah lingkungan berjalan lambat.
Kaitan dengan Tren Global dan Industri
- Perubahan Iklim: Lahan gambut Indonesia menyimpan 15–30% karbon dunia. Kerusakan gambut berkontribusi signifikan pada emisi karbon global.
- Ekonomi Hijau dan Circular Economy: Pengembangan komoditas non-kayu, ekowisata, dan jasa lingkungan (carbon credit) menjadi peluang ekonomi baru yang mendukung SDGs dan Paris Agreement.
- Digitalisasi dan Industri 4.0: Adopsi teknologi digital (IoT, SIG, smart farming) di lahan basah dapat meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan monitoring lingkungan secara real time.
Rekomendasi Strategis
- Penguatan Tata Kelola dan Kelembagaan: Bentuk lembaga khusus lintas sektor untuk koordinasi pengelolaan lahan basah di tingkat lokal dan nasional.
- Pemberdayaan Masyarakat dan Kearifan Lokal: Libatkan masyarakat adat, petani, dan nelayan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaan lahan basah.
- Inovasi Teknologi dan Diversifikasi Ekonomi: Kembangkan pertanian ramah lingkungan, perikanan budidaya, dan ekowisata berbasis lahan basah.
- Restorasi dan Mitigasi Kebencanaan: Prioritaskan restorasi gambut dan mangrove, serta pengelolaan tata air berbasis ekohidro dan sekat kanal.
- Insentif Ekonomi dan Skema Pembiayaan Hijau: Dorong adopsi carbon credit, pembayaran jasa lingkungan, dan investasi swasta untuk konservasi dan restorasi lahan basah.
Lahan Basah sebagai Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan
Buku “Lahan Basah: Kajian Empirik Sosial Ekonomi dan Lingkungan di Lahan Basah” menegaskan bahwa lahan basah bukan sekadar aset ekologis, tetapi juga fondasi ekonomi dan sosial bagi pembangunan berkelanjutan Indonesia. Studi kasus di Riau membuktikan bahwa integrasi ilmu pengetahuan, teknologi, kearifan lokal, dan tata kelola partisipatif adalah kunci untuk mengatasi krisis lingkungan dan bencana ekologi di lahan basah.
Dengan mengadopsi rekomendasi dan inovasi yang ditawarkan, Indonesia dapat menjadi pelopor pengelolaan lahan basah berkelanjutan di tingkat global, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga warisan alam untuk generasi mendatang.
Sumber Asli
Bakce, D., Syahza, A., Suwondo, S., Wawan, W., Suprayogi, I., Sulaiman, R., Mustofan, R., Asmit, B., (2021). Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Cetakan Pertama. Unri Press, Pekabaru
LAHAN BASAH: Kajian Empirik Sosial Ekonomi dan Lingkungan di Lahan Basah
Center of Excellence (CoE) Universitas Riau