Air—yang sering dikelola atas nama efisiensi ekonomi—menyimpan makna jauh lebih dalam bagi banyak komunitas. Dalam penelitian Heinrichs dan Rojas (2022), pendekatan budaya menjadi fokus utama dalam memahami bagaimana nilainilai dan cara pandang masyarakat memengaruhi tata kelola serta pengelolaan air secara global. Melalui kajian literatur sistematis terhadap 52 studi dari berbagai belahan dunia, artikel ini menggambarkan peta lengkap teori budaya (theories of culture) yang digunakan dalam ranah tata kelola air.
Yang menarik, pendekatan ini menyoroti bahwa krisis air sering bukan semata krisis fisik, melainkan krisis tata kelola yang abai terhadap pluralitas nilai budaya.
Fokus Kajian: Celah Antara Teori, Nilai Budaya, dan Implementasi Nyata
Penelitian ini bertujuan:
- Mengidentifikasi teori budaya yang paling dominan dalam literatur tata kelola air.
- Membedakan nilainilai budaya yang muncul dalam konteks manajemen air versus tata kelola air.
- Menganalisis seberapa jauh teori/nilai budaya tersebut diterapkan secara nyata dalam perencanaan atau model pengelolaan air.
Hasilnya cukup mengejutkan sebagian besar studi hanya mengulas teori tanpa melibatkan praktik konkret di lapangan.
Dominasi Cultural Theory dan Ketimpangan Implementasi
Cultural Theory karya Mary Douglas mendominasi kajian ini. Teori ini mengelompokkan individu ke dalam empat kategori berdasarkan struktur sosial dan cara menghadapi risiko:
- Egalitarian
- Hierarchist
- Individualist
- Fatalist
Nilainilai ini muncul di mayoritas studi, menunjukkan kecenderungan peneliti memilih pendekatan yang sederhana dan mudah diukur. Namun, studi juga menunjukkan bahwa pendekatan ini cenderung statis dan kurang menangkap dinamika nilainilai lokal atau adat yang kompleks dan kontekstual.
Meningkatnya Pengakuan terhadap Indigenous Knowledges
Meski Cultural Theory dominan, muncul tren baru yang kuat: pengakuan terhadap Indigenous Knowledges sebagai kerangka teoritis dan praksis. Dari 52 studi, 9 menggunakan pendekatan ini—sebagian besar dari konteks Australia.
Nilai nilai yang muncul mencakup:
- Lore dan heritage
- Spiritualitas dan keterhubungan dengan alam
- Tempat sebagai identitas (placebased values)
Namun, dalam praktiknya nilai ini masih lebih sering muncul dalam bentuk wacana budaya, bukan sebagai dasar pengambilan kebijakann
Water Governance vs. Water Management: Mana yang Lebih Responsif Budaya?
Tata Kelola Air (governance) menampilkan nilai seperti lore, country, dan river, mencerminkan keterhubungan manusia dengan lingkungan.
Sebaliknya, Manajemen Air (management) cenderung lebih antroposentris—menekankan nilai seperti health, use, dan productivity. Hal ini menunjukkan bias ekonomi dalam pendekatan manajemen teknokratis, sekaligus memperkuat tantangan menjembatani nilainilai lokal dengan kebutuhan perencanaan operasional.
Studi Kasus & Implementasi: Di Mana Nilai Budaya Berperan Nyata?
Hanya 30 dari 52 studi yang mengimplementasikan teori budaya ke dalam praktik, antara lain lewat:
- Model statistik (misalnya regresi, struktur persamaan)
- Pendekatan agen berbasis model (agentbased modeling)
- Analisis jaringan sosial dan pemetaan budaya
- Game theory dan simulasi perilaku petani terhadap kebijakan air
Contohnya, penelitian oleh CastillaRho et al. menggunakan model sosial berbasis Cultural Theory untuk memodelkan risiko reputasi petani dalam pelaporan pencurian air tanah. Penelitian ini mengintegrasikan data nilainilai budaya ke dalam perhitungan model manajemen akuifer di AS, Australia, dan India.
Masalah dan Kritik: Statis, BaratSentris, dan Kurang Kontekstual
Beberapa kritik penting terhadap pendekatan dominan:
Cultural Theory cenderung mengabaikan keragaman nilai komunitas adat dan lokal yang lebih dinamis.
Banyak studi tidak menyebut secara jelas dari disiplin mana teori budaya itu berasal, sehingga pendekatannya kurang reflektif terhadap paradigma asalnya (misal: positivistik vs. kritikal).
Implementasi nyata masih terbatas pada analisis statistik—jarang yang masuk ke ranah desain kebijakan.
Rekomendasi: Bergerak ke ‘Theories of Culture’ yang Plural dan Adaptif
Penulis menyarankan agar pendekatan ke depan berpindah dari mencari “the best cultural theory” ke pendekatan yang lebih fleksibel—“theories of culture” yang bisa disesuaikan dengan konteks spesifik.
Salah satu alternatif adalah Schwartz’s Cultural Value Theory, yang menawarkan sepuluh nilai lintas budaya, antara lain:
- Selfdirection
- Universalism
- Tradition
- Security
- Benevolence
Model ini lebih adaptif dan bisa diterapkan dalam pemodelan kebijakan serta telah divalidasi lintas negara.
Koneksi Global dan Implikasi Masa Depan
Dengan tantangan air global yang semakin akut—dari konflik sungai lintas negara hingga akses air bersih—pemahaman lintas budaya menjadi fondasi untuk menciptakan tata kelola yang inklusif dan adil.
Konteks negara berkembang seperti Indonesia, dengan keberagaman nilai lokal, kepercayaan adat, serta kesenjangan akses air, sangat membutuhkan pendekatan yang mampu menjembatani sains, kebijakan, dan nilai komunitas.
Kesimpulan
Artikel Heinrichs dan Rojas mengingatkan bahwa air adalah refleksi dari relasi sosial, bukan semata sumber daya teknis. Untuk menciptakan tata kelola yang berkelanjutan, kita butuh lebih dari sekadar pipa dan kebijakan—kita butuh nilai, narasi, dan sensitivitas budaya.
Sumber Artikel :
Heinrichs, D. H., & Rojas, R. (2022). Cultural values in water management and governance: Where do we stand? Water, 14(803), 1–22.