Mengurai Solusi Kualitas Air Lewat SocioHydrology: Studi Transformasi DAS di Burkina Faso

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

03 Juli 2025, 13.20

pixabay.com

Kualitas air tidak hanya ditentukan oleh curah hujan atau kondisi tanah, tetapi juga oleh keputusan sosial—kesadaran petani, dukungan lembaga lokal, dan arah kebijakan publik. Inilah titik tolak pendekatan sociohydrology, yang dikembangkan untuk menggabungkan aspek manusia dan alam dalam satu sistem dinamis. Melalui studi kasus di Daerah Aliran Sungai (DAS) Black Volta, Burkina Faso, artikel karya Carr et al. (2022) menawarkan narasi transformatif tentang bagaimana kelembagaan lokal dan perilaku masyarakat memainkan peran krusial dalam mengelola kualitas air.

 Konteks Wilayah: Tantangan MultiSumber di DAS Black Volta

Wilayah penelitian berlokasi di barat daya Burkina Faso, meliputi tiga unit kelembagaan bernama CLE (Comité Local de l’Eau): Mouhoun Tâ, Kou, dan Bougouriba 7. Ancaman utama di wilayah ini mencakup sedimentasi sungai, pencemaran air akibat penggunaan pupuk dan pestisida, penggembalaan liar, serta penambangan emas. Sekitar 50% petani dalam survei mengaku menggarap lahan di tepi sungai, dan lebih dari 80% menggunakan pestisida serta pupuk kimia (Balana et al., 2019).

Kebijakan mitigasi utama adalah zona larangan tanam 100 meter dari sempadan sungai yang diperkenalkan tahun 2009. Namun, implementasi terbentur dengan keterbatasan sosialekonomi serta lemahnya kapasitas lembaga pengawas seperti Water Police.

 Model SosioHidrologi: Skema Dinamis Interaksi Sosial dan Alam

Model ini dibangun berbasis pendekatan sistem dinamis, dikode dalam R, dengan asumsi dasar bahwa peningkatan sedimentasi ⇒ kesadaran petani dan institusi meningkat ⇒ perubahan tindakan (berhenti tanam, tanam pohon, mengurangi polusi) ⇒ peningkatan kualitas air.

Variabel utamanya mencakup:

  •  AF (Awareness petani terhadap kualitas air)
  •  WL/WT/WP (Kesediaan berhenti tanam, tanam pohon, dan adopsi praktik ramah lingkungan)
  •  RCLE & RPO (Kapasitas CLE dan Water Police)
  •  C (Konsentrasi sedimen dalam air, digunakan sebagai indikator kualitas)

Skema ini berhasil mensimulasikan perubahan sosial dan ekologis selama 30 tahun terakhir (1990–2020) berdasarkan data empirik dan wawancara lapangan. Misalnya, pada tahun 2010 terjadi insiden sungai tercemar hingga ikan dan kuda nil mati, yang memicu peningkatan kesadaran dan pemberlakuan hukum, meskipun sayangnya tidak berlangsung lama karena perpindahan pejabat lokal.

 Hasil Simulasi: Apa yang Bekerja, Apa yang Tidak

Skenario dasar (baseline) menunjukkan bahwa meskipun kesadaran meningkat secara perlahan, tidak terjadi perbaikan signifikan karena keterbatasan kapasitas dan dukungan kelembagaan.

Skenario simulasi lainnya antara lain:

  •  Fokus pada penghentian tanam di zona sempadan 100m ⇒ penurunan sedimen hanya moderat.
  •  Fokus pada penanaman pohon buah seperti mangga ⇒ dampak sedang, tetapi menjaga produktivitas petani lebih baik.
  •  Fokus pada praktik pertanian rendah polusi ⇒ hasil tertinggi dalam jangka panjang, namun perlu pelatihan dan insentif.

 Gabungan ketiganya + peningkatan kapasitas CLE tiga kali lipat ⇒ dampak tertinggi dan konsisten menurunkan sedimen ke level sebelum 1990.

 Gabungan kebijakan moderat + penegakan hukum lewat denda dari Water Police ⇒ efektif cepat, tapi kesadaran petani naik karena tekanan bukan pemahaman jangka panjang.

 Manfaat Tambahan & Implikasi Kebijakan

Studi ini menyajikan beberapa pelajaran penting:

1. Kesadaran saja tidak cukup, harus disertai dukungan dana dan pelatihan.

2. Penurunan kualitas air selalu melibatkan tradeoff ekonomi: pendapatan petani turun 42–62% bila berpindah ke praktik ramah lingkungan.

3. Model ini bisa digunakan sebagai alat interaktif kebijakan, misalnya untuk menentukan level insentif finansial minimum agar petani mau berhenti menggarap zona sempadan.

4. Kapasitas kelembagaan adalah titik tumpu transformasi: peningkatan efisiensi CLE dan Water Police lebih efektif ketimbang kampanye kesadaran saja.

 Kritik, Opini, dan Koneksi Global

Artikel ini unggul dalam menjembatani pendekatan akademik dan implementasi lapangan. Namun, beberapa keterbatasan patut dicatat:

  •  Asumsi homogen terhadap seluruh petani belum menangkap kompleksitas sosial sepenuhnya (misal: perbedaan gender, akses pasar).
  •  Model tidak memperhitungkan pengaruh harga komoditas global yang bisa mendorong intensifikasi pertanian.

Meski begitu, pendekatan ini sangat relevan bagi negara tropis lainnya seperti Indonesia, di mana pendekatan koproduksi pengetahuan, penyuluhan petani, dan pemberdayaan lembaga desa bisa disimulasikan dengan kerangka serupa.

Penutup

Dengan merangkul paradigma impairthenrepair, model ini membantu kita memahami bahwa krisis kualitas air bukan sekadar masalah teknis, tapi sosial dan institusional. Peningkatan kualitas air bergantung pada keberanian berinovasi di level kebijakan, keberdayaan aktor lokal, dan desain kelembagaan yang inklusif dan visioner.

Sumber :  Carr, G., Barendrecht, M. H., Balana, B. B., & Debevec, L. (2022). Exploring water quality management with a sociohydrological model: A case study from Burkina Faso. Hydrological Sciences Journal, 67(6), 831–846.