Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Perubahan iklim tidak hanya membawa bencana, tapi juga keputusan keliru yang memperburuknya. Artikel karya Naufal dkk. (2023) ini mengungkap betapa adaptasi masyarakat terhadap kekeringan di hulu Sungai Saddang, Sulawesi Selatan, justru menjadi pemicu deforestasi, erosi, hingga banjir di hilir. Dengan pendekatan lanskap Daerah Aliran Sungai (DAS), penelitian ini menelaah bagaimana respons masyarakat di enam desa (baik hulu maupun hilir) terhadap bencana iklim periode 2009–2020, dan bagaimana tindakan itu berujung pada maladaptasi sistemik.
Peralihan Komoditas: Dari Kopi ke Jagung
Pada tahun 2009, kekeringan ekstrem melanda desa-desa hulu seperti Ranga, Bokin, Paku, dan Randan Batu. Ribuan pohon kopi gagal panen dan sungai-sungai mengering. Sebagai respons:
Konversi ini didorong juga oleh pasar yang menjanjikan (jagung untuk pakan ternak), tetapi mengorbankan fungsi ekologis DAS.
Maladaptasi Hulu: Meningkatkan Risiko Bencana
Jagung ditanam secara monokultur, tanpa naungan dan dengan penggunaan pupuk kimia yang intensif. Ini menyebabkan:
Pada 2020, hujan deras selama tiga hari memicu longsor di Randan Batu yang menewaskan satu warga dan menghancurkan rumah serta ladang.
Efek Domino di Hilir: Sungai Berubah Arah, Banjir Menjalar
Sedimentasi ekstrem menyumbat aliran sungai di Desa Paria. Akibatnya:
Adaptasi masyarakat:
Namun sayangnya, bendungan pelindung yang dibangun pemerintah pasca-banjir rusak dalam dua tahun, contoh nyata kegagalan teknis dalam adaptasi.
Model Adaptasi Gagal: Perubahan Iklim dan Kebijakan Bertabrakan
Adaptasi petani terhadap kekeringan memicu maladaptasi berlapis:
Program pangan nasional yang seragam di seluruh Indonesia tidak mempertimbangkan topografi DAS Saddang yang curam dan rentan, sehingga memperparah kerusakan.
Dampak Positif? Ada, Tapi Bersyarat
Meskipun didominasi kerugian, beberapa dampak positif muncul:
Namun, peneliti menegaskan: tanpa pengakuan hukum yang jelas dan pengelolaan partisipatif, keuntungan ini bersifat sementara.
Kesimpulan: Pelajaran dari Saddang
DAS bukan hanya jalur air, tapi juga jalur dampak. Apa yang terjadi di hulu akan selalu menular ke hilir. Studi ini menyimpulkan bahwa:
Artikel ini juga merekomendasikan pemanfaatan penginderaan jauh (remote sensing) dan analisis spasial untuk memantau dampak jangka panjang maladaptasi di masa depan.
Sumber : Naufal, N., Mappiasse, M. F., & Nasir, M. I. (2023). Adaptation from maladaptation: A case study of community-based initiatives of the Saddang watershed. Forest and Society, 7(1), 167–183.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Pelestarian daerah aliran sungai (DAS) kerap dikaitkan dengan proyek teknokratis atau kebijakan pemerintah pusat. Namun, studi oleh Norsidi (2016) menunjukkan bahwa masyarakat adat mampu menciptakan sistem konservasi efektif dan berkelanjutan melalui mekanisme sosial dan spiritual, sebagaimana diterapkan dalam tradisi Lubuk Larangan di Desa Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi.
Apa Itu Lubuk Larangan?
Lubuk Larangan adalah kawasan sungai yang ditetapkan melalui musyawarah adat sebagai wilayah larangan penangkapan ikan. Tradisi ini dimulai sejak tahun 1960-an, berangkat dari pengalaman bencana:
Berangkat dari krisis tersebut, masyarakat kemudian menyepakati sistem Lubuk Larangan sebagai bentuk proteksi dan kontrol atas ekosistem DAS.
Aturan Adat dan Sanksi Sosial
Lubuk Larangan ditetapkan melalui musyawarah adat yang melibatkan:
Aturan utamanya:
Sanksi adat bagi pelanggar:
Manfaat Lubuk Larangan: Ekologi, Ekonomi, dan Sosial
1. Ekologis
2. Ekonomi
3. Pembangunan
Dana hasil panen digunakan untuk:
Studi Sosial: Modal Budaya dan Komunal
Masyarakat Lubuk Beringin menjunjung tinggi prinsip:
Kebijakan lingkungan seperti Lubuk Larangan hanya bisa bertahan karena kekuatan sosial dan legitimasi adat yang telah tertanam turun-temurun.
Pendekatan Penelitian: Wawancara Kualitatif
Metode penelitian yang digunakan:
Pelajaran Penting dan Relevansi Nasional
Praktik Lubuk Larangan menunjukkan bahwa:
Bagi banyak daerah di Indonesia, pendekatan serupa bisa diperluas dan difasilitasi oleh negara sebagai bagian dari strategi pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi dan inklusif.
Kesimpulan
Kearifan lokal seperti Lubuk Larangan adalah contoh nyata konservasi berbasis komunitas yang menjembatani antara keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Dengan tetap memegang adat dan nilai-nilai Islam, masyarakat Desa Lubuk Beringin telah menunjukkan bahwa pelestarian DAS tidak harus datang dari atas, tetapi bisa tumbuh dari bawah—dari masyarakat itu sendiri.
Sistem ini layak dijadikan model kebijakan nasional untuk konservasi DAS, penguatan sosial desa, dan pengembangan ekowisata berbasis tradisi lokal.
Sumber : Norsidi. (2016). Pelestarian Daerah Aliran Sungai Berbasis Kearifan Lokal Lubuk Larangan Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu. Sosial Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial, 3(2), 274–284.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Air bersih bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga tentang keadilan sosial, hak atas hidup layak, dan pembangunan berkelanjutan. Artikel ilmiah oleh Sameer H. Shah (2021) ini mengupas secara sistematis bagaimana konsep “keamanan air” diterapkan dan didefinisikan dalam konteks penghidupan pedesaan di negara-negara Global South selama dua dekade terakhir. Dengan meninjau 99 jurnal ilmiah terpublikasi antara 2000–2019, riset ini mengungkap kesenjangan konseptual, geografis, dan pendekatan solusi dalam diskursus keamanan air.
Mengapa Konsep Keamanan Air Masih Terbatas?
Hanya 30,3% artikel yang mendefinisikan dengan jelas istilah "keamanan air". Umumnya, definisi tersebut berhenti pada tingkat “kecukupan” air (misalnya: cukup untuk irigasi, konsumsi, dan sanitasi), namun tidak menyentuh aspek produktivitas, kesejahteraan, atau pemberdayaan. Ini menunjukkan pendekatan yang konservatif, yang hanya berfokus pada penghindaran risiko, bukan pada pembangunan kapasitas atau aspirasi hidup warga pedesaan.
Studi Kasus: Ketimpangan dan Solusi yang Canggung
Studi mencatat bahwa sebagian besar solusi berfokus pada:
Sebagai contoh, di Lebanon, petani di Lembah Sungai Litani bersedia membayar lebih demi pemasangan sistem irigasi efisien, menunjukkan ada kemauan kolektif masyarakat bila solusi dirancang inklusif.
Ketimpangan Sosial sebagai Akar Krisis
Riset menemukan bahwa:
Contohnya, di beberapa wilayah Afrika dan Asia, komunitas adat dan perempuan sering kali dikecualikan dari pengambilan keputusan pengelolaan air.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Lebih dari 80% artikel mengidentifikasi pemerintah sebagai aktor utama dalam solusi air, namun tanggung jawab juga disematkan kepada:
Sayangnya, partisipasi masyarakat lokal seringkali hanya dijadikan pelengkap, bukan pusat dari perubahan kebijakan.
Ketimpangan Geografis dalam Penelitian
Mayoritas studi berfokus di India (21), Afrika Selatan (15), dan Tiongkok (13). Wilayah seperti Afrika Tengah, Amerika Selatan bagian tengah, dan Afrika Utara nyaris luput, menunjukkan kebutuhan pemetaan ulang fokus geografis dalam riset air.
Rekomendasi Kritis: Arah Masa Depan
1. Ubah Fokus dari “Risiko” ke “Kesejahteraan”
Keamanan air harus diukur dari kemampuan orang untuk hidup bermartabat, bukan sekadar cukup minum.
2. Libatkan Ragam Penghidupan
Riset terlalu terfokus pada pertanian, padahal banyak komunitas hidup dari peternakan, perikanan, dan kerja informal.
3. Gugat Struktur yang Tidak Adil
Alih-alih solusi teknis, diperlukan transformasi sistemik: dari tata kelola, hukum air, hingga kepemilikan sumber daya.
4. Wawasan Skala Global
Dinamika air di satu wilayah dapat memengaruhi kawasan lain. Pendekatan multiskala dan lintas negara menjadi kunci menghadapi perubahan iklim dan pasar global.
Kesimpulan
Konsep keamanan air masih terlalu sempit jika hanya diukur dari jumlah air yang tersedia. Artikel ini menegaskan pentingnya menggeser pendekatan dari "sekadar cukup" menuju "keadilan dan kesejahteraan". Kesenjangan konseptual dan geografis dalam studi air harus segera dijembatani dengan riset interdisipliner, pendekatan hak asasi manusia, dan kebijakan berbasis komunitas.
Tanpa perubahan paradigma, penghidupan pedesaan di negara berkembang akan terus berada dalam lingkaran ketidakamanan air. Solusi sejati haruslah holistik, adil, dan berpihak pada yang selama ini tak bersuara.
Sumber : Shah, S. H. (2021). How is water security conceptualized and practiced for rural livelihoods in the global South? A systematic scoping review. Water Policy, 23(5), 1129–1146.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Air bersih adalah hak dasar manusia, namun aksesnya masih menjadi tantangan besar, terutama di wilayah pelosok dan miskin infrastruktur. Buku berjudul Air Bersih Gratis (2023) karya Harun Rasidi dkk. mengangkat secara komprehensif berbagai konsep, teknologi, dan strategi penyediaan air bersih tanpa biaya, mulai dari desain filter, standar kualitas, sumber air baku, hingga pemanfaatan teknologi non-listrik.
Dengan pendekatan praktis dan teknis, buku ini menjadi referensi penting bagi akademisi, teknisi, dan komunitas masyarakat untuk mewujudkan kemandirian air bersih yang terjangkau dan berkelanjutan.
Mengapa Air Bersih Masih Jadi Masalah?
Berdasarkan WHO (2019), 2,2 miliar orang tidak memiliki akses ke air minum aman. Di Indonesia, pertumbuhan permukiman tidak sebanding dengan ketersediaan prasarana air. Permasalahan mencakup:
Filter Minim Perawatan: Solusi Nyata dari Lingkungan
Filter air minim perawatan yang disarankan oleh buku ini mengandalkan media alami:
Filter ini mampu mengubah air baku dari sungai, danau, atau air hujan menjadi air bersih layak MCK, bahkan untuk konsumsi jika dikombinasikan dengan pengolahan lanjutan.
Pompa Air Tanpa Energi Listrik: Teknologi Ramah Lingkungan
Pompa Hidrolik (P.A.T.H.) dikembangkan sebagai solusi pemompaan air tanpa listrik, dengan keunggulan:
Studi kasus:
Teknologi ini telah berhasil diterapkan di Temanggung, Magelang, dan Pacitan melalui uji coba oleh Balai Litbang Sungai.
Standar Kualitas Air dan Regulasi
Mengacu pada Permenkes No. 492/2010, air bersih harus:
Standar kualitas juga mencakup suhu, pH, kekeruhan, dan oksigen terlarut (DO), yang diuji melalui laboratorium.
Sumber Air Baku dan Risiko
Air baku berasal dari:
Masalah utama:
Kualitas fluktuatif karena pencemaran dan perubahan iklim. Oleh karena itu, pemilihan dan pengolahan sumber air sangat krusial.
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan IoT untuk Pengelolaan Air
Buku ini mengulas penerapan Internet of Things (IoT) dan Smart Water Management:
Contoh penerapan internasional:
Di berbagai negara, sensor IoT telah digunakan untuk pemantauan kualitas air muara dan sungai, bahkan hingga ke kran rumah warga.
Deteksi dan Pengendalian Pencemaran Air
Pencemaran air bersih perlu dideteksi sejak dini. Standar WHO dan Permenkes mewajibkan pemantauan terhadap:
Rekomendasi teknis:
Gunakan metode klorinasi dengan kaporit, filter arang aktif, dan uji laboratorium rutin untuk menjaga kualitas air konsumsi.
Peran Pemerintah dan Kesetaraan Akses
Pemerintah memiliki tanggung jawab memastikan:
Tanpa peran aktif pemerintah, ketimpangan akses air akan terus memburuk, terutama bagi masyarakat miskin dan daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Air bersih gratis bukan utopia, tetapi keniscayaan teknologi dan kehendak politik. Buku ini membuktikan bahwa:
Solusi air bersih yang murah dan ramah lingkungan tidak lagi terbatas pada kota besar atau fasilitas mewah. Melalui kolaborasi antara masyarakat, akademisi, dan pemerintah, akses air bersih dapat menjadi hak universal, bukan sekadar kebutuhan elit.
Sumber asli : Rasidi, H., Mulyanda, D., Karimuna, S. R., Hamka, M. S., Sumarlin, Ningtyas, R., Paharuddin, Kartina, D., Qomaliyah, E. N., Aini, Gaffar, S., & Kasmi, M. (2023). Air Bersih Gratis. Penerbit Widina Media Utama. ISBN 978-623-459-579-6.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Perubahan iklim menjadi tantangan nyata, terutama di kawasan pesisir yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Penelitian berjudul “Kajian Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim Berbasis Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kota Semarang” oleh Dwi Rahmawati dan Trida Ridho Fariz (2024) memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana masyarakat memanfaatkan lima sumber daya utama untuk bertahan dan pulih dari dampak perubahan iklim: alam, manusia, finansial, sosial, dan fisik.
Latar Belakang: Krisis Iklim dan Pesisir Semarang
Data BNPB menunjukkan bahwa 99,1% dari 1.675 bencana yang terjadi dari Januari hingga Mei 2023 merupakan bencana hidrometeorologi. Kota Semarang, khususnya Kelurahan Tugurejo, menghadapi ancaman multibencana seperti banjir, rob, dan intrusi air laut. Dua wilayah krusial dalam studi ini—RT 06/RW 01 dan RT 07/RW 05—diidentifikasi sebagai lokasi dengan tingkat kerentanan tertinggi.
Metodologi: Pendekatan Holistik dan Partisipatif
Penelitian ini menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif (mixed method), dengan total responden 85 KK. Pendekatan yang digunakan adalah penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood approach), yang mencakup:
Temuan Utama: Kekuatan Sosial dan Kelemahan Akses Alam
1. Sumber Daya Manusia – Terkuat
Keduanya memiliki tingkat kesehatan masyarakat yang sangat baik, dengan >97% responden tanpa penyakit kronis atau disabilitas. Pendidikan warga RT 07 menunjukkan 27,5% lulusan perguruan tinggi.
2. Sumber Daya Alam – Terlemah
Hanya 4,5% masyarakat yang bekerja sebagai petani tambak. Sebagian besar tidak memiliki tambak atau lahan produktif, bahkan beberapa tinggal di tanah milik PT KAI atau KORPRI.
3. Sumber Daya Finansial
Mayoritas penduduk bekerja sebagai buruh industri dengan pendapatan setara UMR. Tabungan dan aset finansial masih terbatas, namun cukup stabil untuk kebutuhan dasar.
4. Sumber Daya Sosial
Adanya Kelompok Wanita Tani (KWT) dan organisasi seperti Karang Taruna memperkuat jaringan sosial warga. Aktivitas seperti urban farming juga mendukung ketahanan pangan lokal.
5. Sumber Daya Fisik
Masyarakat memiliki rumah milik pribadi, namun sebagian berdiri di atas lahan yang bukan milik mereka. Hal ini berdampak pada keamanan jangka panjang dan nilai properti.
Studi Kasus Lokal: Strategi Adaptasi Masyarakat
Contoh nyata dari upaya adaptasi meliputi:
Faktor Penentu Konsistensi Skor
Skor antara kedua wilayah relatif homogen karena:
Namun, perbedaan preferensi kerja dan status lahan memengaruhi dinamika ekonomi dan keberlanjutan jangka panjang di kedua RT.
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Studi ini relevan bagi penyusunan kebijakan adaptasi iklim berbasis lokal, khususnya untuk:
Rekomendasi strategis mencakup:
Kesimpulan
Kapasitas masyarakat menghadapi perubahan iklim bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga daya adaptasi sosial, pengetahuan lokal, dan partisipasi komunitas. Temuan penting menunjukkan bahwa:
Studi ini dapat menjadi model praktik baik untuk daerah pesisir lain di Indonesia yang menghadapi ancaman serupa. Dengan pendekatan berbasis aset dan penghidupan berkelanjutan, ketahanan lokal bisa dibangun dari bawah ke atas, dengan memanfaatkan apa yang dimiliki, bukan apa yang tidak dimiliki.
Sumber : Rahmawati, D., & Fariz, T. R. (2024). Kajian Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim Berbasis Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman, 6(2), 150–161.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Layanan air dan sanitasi bukan hanya soal infrastruktur, melainkan tentang visi peradaban. Itulah pelajaran penting yang dapat dipetik dari studi komprehensif “Managing Water and Wastewater Services in Finland, 1860–2020 and Beyond” karya Katko dkk. (2022). Artikel ini mengeksplorasi 160 tahun perkembangan layanan air di Finlandia, dari sistem kayu pedesaan hingga infrastruktur canggih dan tahan krisis, menggunakan kerangka PESTEL (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Ekologi, Legal).
Konteks Historis: Air, Api, dan Miasma
Layanan air di Finlandia berakar pada kebutuhan dasar: mencegah kebakaran, memenuhi kebutuhan domestik, dan menjaga kebersihan. Kota Helsinki membangun sistem air publik pertama pada 1876, dipicu oleh risiko kebakaran besar dan kepercayaan masa itu terhadap teori miasma (udara kotor penyebab penyakit). Di pedesaan, sistem pipa kayu dari pinus mulai digunakan sejak 1872, digerakkan oleh kebutuhan peternakan sapi perah.
Keputusan Penting yang Meninggalkan Jejak
Beberapa kebijakan strategis memberi dampak panjang, seperti:
Finlandia menunjukkan bahwa “path dependence”—atau keputusan masa lalu—tidak harus menjadi beban, tapi bisa jadi dasar kuat pembangunan berkelanjutan.
Transformasi Teknologi dan Lingkungan
Perkembangan teknologi air berjalan seiring perubahan sosial:
Tantangan Infrastruktur: Pipa Tua dan Cuaca Ekstrem
Sebagian besar infrastruktur air Finlandia dibangun pasca-Perang Dunia II. Kini, usia pipa dan jaringan mulai menua, menuntut investasi besar dalam peremajaan. Di wilayah utara, masalah seperti tanah beku dan curah hujan tinggi menambah tantangan teknis.
Finlandia menggunakan teknik no-dig untuk rehabilitasi jaringan, memanfaatkan teknologi pengawasan jarak jauh, dan sistem pemompaan cerdas. Namun, kebutuhan akan pendanaan dan inovasi kelembagaan tetap mendesak.
Keberhasilan Pengendalian Polusi Air
Sejak UU Air 1962, Finlandia mewajibkan industri dan kota memperoleh izin pembuangan limbah. Hanya dalam dua dekade, seluruh negara telah memiliki instalasi pengolahan limbah modern.
Industri pulp dan kertas, sempat menjadi penyumbang utama pencemaran, akhirnya tunduk pada tekanan sosial dan regulasi:
Ragam Kelembagaan: Dari Koperasi ke Jaringan Supra-Municipal
Finlandia memiliki model kelembagaan majemuk, termasuk:
Sebagai catatan, pada 2021, Parlemen Finlandia melarang privatisasi utilitas air dan mengesahkan inisiatif rakyat secara bulat—sebuah preseden politik penting di Eropa.
PESTEL: Pilar Analitik Layanan Air di Finlandia
Relevansi Global: Apa yang Bisa Dipelajari?
Bagi negara berkembang, kisah Finlandia memberi pelajaran:
Kesimpulan
Layanan air bukan sekadar pipa dan pompa, tapi refleksi dari visi sosial dan komitmen politik jangka panjang. Studi ini membuktikan bahwa dengan pendekatan integratif—teknologi, regulasi, dan partisipasi—sebuah negara kecil seperti Finlandia dapat menjadi contoh dunia dalam mewujudkan akses air bersih dan sanitasi universal yang berkelanjutan.
Sumber : Katko, T. S., Juuti, P. S., Juuti, R. P., & Nealer, E. J. (2022). Managing Water and Wastewater Services in Finland, 1860–2020 and Beyond. Earth, 3(2), 590–613.