Mengapa Keadilan Representasi Muncul sebagai Agenda Penelitian Baru
Socio-hydrology, sebagai studi tentang interaksi manusia dan air, belum secara komprehensif membahas siapa yang membuat keputusan dalam pengelolaan sumber daya air. Artikel ini menyoroti ketimpangan gender, ras, dan posisi sosial dalam sektor air, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat.
Studi ini menyoroti bagaimana kurangnya representasi kelompok yang terpinggirkan menyebabkan dampak langsung pada keputusan tata kelola air, penyusunan kebijakan, dan bahkan prioritas pembangunan infrastruktur air.
Studi Kasus: Survei Tenaga Kerja Sektor Air di AS
Penelitian ini menggunakan survei eksploratif terhadap 496 pekerja sektor air di Amerika Serikat. Hasil utamanya:
- 57,2% perempuan merasa mengalami diskriminasi berbasis gender
- Hanya 1,8% laki-laki yang merasa demikian
- 18,1% perempuan merasa didiskriminasi karena kehamilan/anak
- Minoritized women (misalnya ras non-kulit putih) lebih sering menyampaikan pengalaman diskriminasi, terutama dalam bentuk mikroagresi dan marginalisasi
- 100% minoritized women menuliskan tanggapan naratif dalam survei—ini menunjukkan betapa relevannya pengalaman tersebut bagi mereka
Tiga Temuan Kunci
1. Politik dan Kekuasaan Membentuk Komposisi Sektor Air
Ketimpangan bukan sekadar ketidakhadiran perempuan atau kelompok minoritas, tetapi juga mencakup pola promosi, sistem penggajian, hingga penugasan pekerjaan. Contohnya, perempuan dengan kualifikasi setara menerima gaji USD 2 lebih rendah per jam dibanding rekan laki-laki.
2. Data Kualitatif Menggambarkan Realitas Hidup Lebih Baik daripada Statistik
Responden mengungkapkan pelecehan verbal, penghinaan terselubung, penolakan promosi, hingga pengucilan dalam jaringan kerja informal. Seorang perempuan melaporkan tak diikutkan dalam acara minum bersama klien—saluran penting untuk membangun jejaring dan promosi.
3. Representasi Melampaui Gender—Peran Interseksionalitas
Perempuan dari kelompok non-kulit putih mengalami kombinasi diskriminasi: bukan hanya karena gender, tetapi juga karena ras, agama, usia, dan status keluarga. Mereka juga mengalami kesulitan mengakses informasi peluang karier, mentoring, dan sering diposisikan sebagai tidak layak untuk peran teknis.
Kerangka Teori: Feminist Political Ecology dan Inequality Regimes
Feminist Political Ecology (FPE) memandang pengelolaan air bukan hanya sebagai isu teknis, tetapi juga sebagai arena politik sosial yang dipengaruhi oleh norma gender dan relasi kekuasaan.
Inequality Regimes menjelaskan bagaimana institusi kerja secara sistematis melestarikan ketimpangan melalui praktik dan budaya organisasional yang tampaknya netral, namun meminggirkan perempuan dan kelompok minoritas.
Ketimpangan dalam Praktek: Cerita Nyata dari Pekerja Sektor Air
Beberapa kutipan nyata dari survei:
- “Saya punya sertifikasi sama dengan pria, tapi dibayar lebih rendah.”
- “Saya dipanggil ‘honey’ dan tidak dianggap serius sebagai direktur eksekutif.”
- “Pekerjaan saya sering dikecilkan karena saya bukan insinyur.”
- “Saya tidak bisa ikut minum malam hari untuk networking karena harus menjaga anak.”
Dampak Sistemik dari Kurangnya Representasi
Kekurangan representasi bukan hanya isu etis atau moral, tapi juga berimplikasi langsung pada hasil tata kelola air:
- Keputusan investasi tidak mencerminkan kebutuhan komunitas yang terdampak
- Data dan indikator model socio-hydrology menjadi bias
- Terjadi perputaran tenaga kerja tinggi karena marginalisasi
- Ilmu pengetahuan dan kebijakan menjadi tidak selaras dengan pengalaman hidup publik
Model Alternatif: Representasi Sebagai Titik Awal Penguatan Socio-Hydrology
Penulis mengusulkan kerangka baru: Justice-Based Representation Model, di mana representasi bukan sekadar soal jumlah, tapi soal keterlibatan bermakna dalam keputusan.
Dalam model ini:
- Data lebih komprehensif dan kontekstual
- Model lebih mencerminkan kenyataan sosial dan politik
- Keputusan tata kelola air lebih adil dan berkelanjutan
Analisis Kritis dan Opini
Kekuatan Artikel:
- Menggabungkan data kuantitatif dan kualitatif secara seimbang
- Menawarkan kerangka teoritik baru dan aplikatif
- Relevan dalam konteks global, bahkan di negara maju seperti AS
Kritik Konstruktif:
- Studi ini fokus di AS, perlu perbandingan dengan negara berkembang
- Solusi konkret kebijakan atau desain organisasi masih terbuka untuk eksplorasi lanjutan
Relevansi Global dan Industri:
- Dapat diadopsi oleh perusahaan air, lembaga pemerintah, hingga NGO di berbagai negara
- Membantu membangun sistem yang inklusif, kolaboratif, dan berbasis keadilan
- Sangat cocok untuk mendukung pencapaian SDG 6 (Clean Water) dan SDG 5 (Gender Equality)
Kesimpulan: Saatnya Socio-Hydrology Memandang Representasi sebagai Prioritas
Keadilan representasi bukan sekadar isu tambahan dalam pengelolaan air, tetapi inti dari solusi jangka panjang untuk mencapai ketahanan air, keadilan sosial, dan efektivitas kebijakan. Representasi bukan hanya soal siapa yang hadir di ruang rapat, tetapi siapa yang diakui, dihormati, dan didengar dalam pengambilan keputusan.
Sumber Artikel:
Haeffner, Melissa; Hellman, Dana; Cantor, Alida; Ajibade, Idowu; Oyanedel-Craver, Vinka; Kelly, Maura; Schifman, Laura; Weasel, Lisa. (2021). Representation Justice as a Research Agenda for Socio-Hydrology and Water Governance. Hydrological Sciences Journal, 66(11), 1611–1624.