Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 Desember 2025
I. Ancaman Senyap di Jantung Pendidikan: Ketika Limbah Kampus Melampaui Batas
Pertumbuhan aktivitas akademis dan administrasi yang pesat di Fakultas Teknik Universitas Panca Bhakti (UPB) Pontianak ternyata membawa konsekuensi lingkungan yang harus ditangani secara serius. Sebuah penelitian teknis terkini menyoroti kebutuhan mendesak untuk merancang dan membangun sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) domestik yang memadai, menyusul peningkatan signifikan dalam volume dan kompleksitas limbah cair yang dihasilkan.1
Tanpa sistem pengelolaan yang terstruktur dan memenuhi standar rekayasa lingkungan, limbah cair domestik ini menimbulkan risiko pencemaran yang parah, terutama terhadap tanah dan perairan di sekitar lokasi kampus. Peningkatan volume limbah ini mencerminkan tren global di mana institusi pendidikan, sebagai pusat aktivitas manusia yang padat, harus memikul tanggung jawab besar dalam pengelolaan lingkungan berkelanjutan.1
IPAL dalam konteks lingkungan kampus bukan lagi sekadar fasilitas pendukung, melainkan infrastruktur vital. Fungsinya adalah untuk memastikan bahwa air limbah yang dibuang kembali ke badan air lokal telah diolah dan memenuhi standar baku mutu yang berlaku, sebagaimana diatur dalam regulasi nasional seperti PermenLH No. 5 Tahun 2014.1 Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa pengelolaan limbah yang kurang memadai di institusi pendidikan berpotensi memberikan dampak buruk signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem lokal.1
Mengukur Skala Krisis: Debit Harian yang Mengguncang Lingkungan
Langkah pertama dalam rekayasa lingkungan adalah mengukur masalahnya. Melalui perhitungan berdasarkan jumlah pengguna (mahasiswa, dosen, dan staf) dan data konsumsi air, tim peneliti mendapatkan angka volume limbah harian yang sangat besar. Studi ini mengestimasi bahwa Fakultas Teknik UPB menghasilkan volume limbah cair yang mencapai 55.940,8 Liter per hari.1
Angka tersebut diperoleh dari perhitungan yang mengasumsikan rasio timbulan air limbah sebesar 80% dari total konsumsi air bersih harian, sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh standar lingkungan untuk gedung perkantoran.1 Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret, volume limbah cair yang dihasilkan oleh fakultas ini setiap hari setara dengan mengisi satu kolam renang mini berukuran 5 meter kali 5 meter dengan kedalaman 2 meter setiap dua hari sekali.
Volume limbah yang masif ini, yang mencapai lebih dari 55 ton limbah cair per hari, menjadi faktor kausal utama yang menghasilkan beban pencemaran tinggi. Semakin besar volume yang dilepaskan, semakin besar pula konsentrasi polutan total yang masuk ke lingkungan penerima. Kondisi ini menegaskan validitas dan urgensi mengapa proyek IPAL ini harus segera dilaksanakan.
II. Melampaui Garis Merah: Seberapa Kotor Air Limbah Kampus Kita?
Karakteristik Limbah dan Baku Mutu Nasional
Karena air limbah di Fakultas Teknik berasal dari aktivitas domestik sehari-hari—termasuk penggunaan fasilitas kantin, toilet, dan kegiatan pembersihan—karakteristiknya diasumsikan sangat mirip dengan limbah yang berasal dari perumahan atau pusat perbelanjaan.1 Limbah jenis ini secara alami mengandung berbagai senyawa organik dan anorganik, sisa makanan, sabun, minyak, dan bahan pembersih. Kontaminan ini secara kolektif meningkatkan parameter pencemar utama, seperti Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan Total Suspended Solids (TSS).1
Selain itu, limbah domestik juga mengandung mikroorganisme patogen seperti koliform dan Salmonella yang berasal dari aktivitas sanitasi. Kesamaan karakteristik ini memungkinkan peneliti menggunakan data proksi air limbah domestik perumahan sebagai baseline untuk merancang sistem pengolahan biologis yang ditargetkan pada parameter pencemar kunci.1
Semua perancangan IPAL harus tunduk pada tolok ukur ketat yang diatur dalam Permen LHK No. P.68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Ambang batas ini merupakan garis merah lingkungan yang tidak boleh dilampaui.1
Beban Oksigen yang Membunuh: Data BOD dan COD yang Mengejutkan
Analisis karakteristik limbah proksi yang digunakan menunjukkan tingkat pencemaran yang jauh melampaui batas aman yang ditetapkan pemerintah.
Mengenai BOD (Kebutuhan Oksigen Biologis):
BOD air limbah perumahan yang dijadikan proksi tercatat mencapai 96,68 miligram per Liter (mg/L).1 Angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan batas baku mutu Permen LHK No. P.68/2016 yang hanya mengizinkan maksimum 30 mg/L.1 Dengan demikian, beban organik limbah ini melebihi ambang batas hingga lebih dari 3,2 kali lipat dari yang diizinkan.
Pelampauan yang drastis ini memiliki konsekuensi lingkungan yang fatal. Jika dibuang tanpa pengolahan, limbah tersebut akan "mencuri" oksigen terlarut (DO) yang ada di perairan sekitar untuk memecah bahan organik. Buktinya, kadar DO dalam air limbah yang dijadikan proksi sangat rendah, hanya 0,35 mg/L, jauh di bawah standar minimal 3 mg/L.1 Kondisi ini menciptakan risiko tinggi zona kekurangan oksigen yang dapat mengancam ekosistem akuatik setempat.
Mengenai COD (Kebutuhan Oksigen Kimiawi):
Limbah ini juga mencatatkan tingkat Chemical Oxygen Demand (COD) yang sangat ekstrem, yaitu sebesar 221,42 mg/L.1 Angka ini melampaui batas maksimum baku mutu yang ditetapkan pemerintah sebesar 100 mg/L.1
Tingkat COD yang melampaui batas hingga lebih dari 221% ini menggambarkan intensitas pencemaran yang parah. Ini menunjukkan bahwa limbah mengandung konsentrasi bahan kimia dan organik yang sulit terurai secara alami, memaksa upaya rekayasa pengolahan yang sangat intensif dan teknologi yang terstruktur untuk dapat menurunkannya ke tingkat aman.
Partikel Padat dan Ancaman Patogen
Dua parameter lain yang menjadi fokus utama dalam perancangan IPAL adalah Total Suspended Solids (TSS) dan Total Koliform.
TSS (Padatan Tersuspensi):
Padatan tersuspensi dalam limbah proksi tercatat 122,44 mg/L, yang melebihi batas baku mutu 100 mg/L sebesar 22%.1 Kelebihan TSS ini secara fisik akan menyebabkan pengendapan lumpur yang cepat di saluran air. Penumpukan lumpur ini tidak hanya menghambat aliran, tetapi juga merusak habitat dasar perairan dan meningkatkan frekuensi pembersihan saluran drainase.
Total Koliform:
Dari perspektif ancaman kesehatan masyarakat, data Koliform menjadi yang paling mengkhawatirkan. Total Koliform, sebagai indikator kontaminasi bakteri kotoran, mencapai lebih dari 2.400 ppm (parts per million) pada limbah perumahan yang dijadikan proksi.1 Angka ini sangat jauh di atas batas aman yang ditetapkan, yaitu 1.000 ppm.1
Pelampauan hingga 2,4 kali lipat ini mengindikasikan kontaminasi kotoran yang parah. Jika limbah dengan tingkat Koliform setinggi ini dialirkan ke lingkungan publik, risiko penyebaran penyakit berbasis air akan meningkat tajam. Fakta ini menegaskan bahwa unit disinfeksi di akhir proses pengolahan adalah komponen yang sangat penting untuk keselamatan publik.
III. Solusi Rekayasa Lingkungan: Menentukan Jantung Sistem Pengolahan
Proses Seleksi Teknologi: Kemenangan Biofilter Anaerob-Aerob
Untuk memastikan IPAL yang dirancang mampu mengatasi beban pencemaran ekstrem (terutama BOD dan COD yang melebihi 200%), peneliti melakukan analisis komparatif terhadap 12 metode pengolahan limbah domestik yang tersedia. Metode-metode ini, seperti Lagoon Aerasi Fakultatif, Lumpur Aktif, dan Filtrasi Multi-Layer, dievaluasi menggunakan sistem skoring berbasis efektivitasnya dalam menurunkan empat parameter pencemar utama.1
Sistem skoring ini bertujuan untuk mengidentifikasi metode yang paling sesuai, efisien, dan berkelanjutan untuk Fakultas Teknik UPB.
Hasil penilaian skoring menunjukkan bahwa Kombinasi Biofilter Anaerob-Aerob muncul sebagai pemenang mutlak dengan total skor tertinggi, mencapai 23.1 Metode ini menunjukkan efektivitas tertinggi (skor 6) untuk penurunan BOD, COD, dan Koliform, yang merupakan tantangan utama dari air limbah kampus. Pilihan ini secara teknis dijustifikasi karena sistem biofilter kombinasi menawarkan efisiensi tinggi dalam penyisihan polutan sambil mempertahankan aspek ramah lingkungan dan potensi penghematan energi, terutama dibandingkan sistem aerasi penuh.
Mengukur Keberhasilan: Analogi Lompatan Efisiensi 81%
Efektivitas pilihan teknologi ini didukung oleh data kinerja yang menunjukkan kemampuan penyisihan polutan yang substansial. Berdasarkan studi kasus sekunder, efisiensi penyisihan COD menggunakan sistem biofilter anaerob-aerob dapat mencapai hingga 81,3%.3 Sementara itu, kemampuan penyisihan TSS dapat mencapai efisiensi yang luar biasa, yakni 91,8%.3
Peningkatan kinerja rekayasa ini dapat divisualisasikan secara dramatis:
Mengingat tingkat pencemaran COD awal sebesar 221,42 mg/L, pengurangan sebesar 81,3% berarti konsentrasi air olahan akhir hanya sekitar 41.8 mg/L. Transformasi ini mengubah air limbah dari kondisi yang melampaui batas baku mutu hingga lebih dari 200% menjadi air yang jauh di bawah ambang batas 100 mg/L yang diizinkan. Lompatan efisiensi sebesar 81,3% ini sebanding dengan peningkatan kinerja pengisian baterai smartphone dari 20% menjadi 90% dalam satu kali pengisian—sebuah perubahan mendasar dalam kualitas air.
Selain itu, sistem ini sangat efisien dalam mengatasi BOD. Meskipun konsentrasi awal mencapai 96,68 mg/L, sistem ini mampu menurunkan konsentrasi BOD akhir hingga sekitar 4,459 mg/L.3 Nilai BOD yang sangat rendah ini, yang jauh di bawah standar 30 mg/L, memastikan bahwa air buangan tidak akan menimbulkan ancaman serius terhadap ketersediaan oksigen di badan air penerima.
IV. Struktur IPAL Fakultas Teknik: Kronologi Lima Tahap Pengolahan
Perancangan IPAL domestik untuk Fakultas Teknik UPB mengintegrasikan unit-unit yang terbukti paling efektif, menciptakan rangkaian pengolahan yang solid, mulai dari tahap pengendapan kasar hingga disinfeksi akhir.1
Tahap Primer dan Biologis Anaerobik
Jalur pengolahan limbah dimulai melalui dua unit utama:
1. Bak Pengendapan Awal: Unit ini berfungsi sebagai pra-pengolahan penting untuk memisahkan partikel padat besar dan bahan tersuspensi yang mudah mengendap (TSS) dari aliran limbah. Pengendapan awal yang efisien sangat krusial karena melindungi unit-unit biologis dari risiko penyumbatan dan memastikan bahwa hanya limbah yang lebih homogen yang diproses di tahap selanjutnya.
2. Bak Biofilter Anaerobik: Setelah padatan besar tersaring, limbah memasuki bak anaerobik. Di sini, penguraian biologis terjadi secara pasif tanpa memerlukan oksigen. Bakteri anaerobik bekerja memecah bahan organik, yang berfungsi untuk memotong konsentrasi BOD dan COD awal yang sangat tinggi. Proses ini hemat energi, efektif, dan mengubah bahan organik menjadi produk yang lebih stabil.
Intensifikasi Aerobik dan Disinfeksi Kritis
Air limbah kemudian disempurnakan kualitasnya melalui tahap intensif:
3. Tungki Aerasi: Unit ini merupakan inti dari pengolahan biologis yang ditargetkan untuk mencapai standar baku mutu yang ketat. Oksigen dimasukkan secara intensif ke dalam air limbah, mendorong pertumbuhan pesat bakteri aerobik. Bakteri ini menyelesaikan penguraian bahan organik tersisa, memastikan penurunan BOD hingga mencapai konsentrasi minimal.
4. Bak Pengendapan Akhir: Air yang keluar dari Tungki Aerasi dialirkan untuk memisahkan biomassa (lumpur aktif) yang telah menyelesaikan tugasnya. Pemisahan padatan ini menghasilkan air yang lebih jernih. Sebagian besar lumpur aktif ini kemudian dikembalikan ke Tungki Aerasi untuk menjaga populasi bakteri yang optimal.
5. Sistem Klorinasi: Sebagai langkah disinfeksi wajib, air olahan memasuki unit klorinasi. Klorin digunakan untuk membasmi sisa-sisa bakteri patogen, khususnya Koliform yang tingkat kontaminasinya mencapai lebih dari 2.400 ppm.1 Unit klorinasi ini memastikan air yang dibuang melalui saluran Outlet/Badan Air telah aman bagi kesehatan masyarakat.
Perancangan skema IPAL ini mengadopsi prinsip rekayasa lingkungan modern, tidak hanya berfokus pada pembuangan ke badan air, tetapi juga menyertakan jalur menuju Kotak Reuse.1 Inklusi jalur reuse menunjukkan bahwa air olahan berkualitas tinggi dapat dimanfaatkan kembali, misalnya untuk penyiraman tanaman atau pembilasan toilet kampus, mendukung upaya konservasi sumber daya air di Pontianak.
V. Opini Analis dan Kritik Realistis: Menjaga Kredibilitas Ilmiah
Meskipun perancangan IPAL ini didukung oleh analisis teknis yang kuat, ada beberapa keterbatasan dan tantangan realistis yang harus disoroti.
Tantangan Validasi Data: Keterbatasan Asumsi Proksi
Kritik realistis utama terhadap studi perancangan ini adalah ketergantungannya pada data karakteristik limbah domestik yang bersifat asumsi—menggunakan proksi dari limbah perumahan dan pusat perbelanjaan.1 Meskipun proksi ini logis untuk limbah toilet dan kantin, penggunaannya bisa menjadi bias jika Fakultas Teknik memiliki kegiatan spesifik.
Sebagai contoh, kegiatan di laboratorium kimia atau bengkel dapat menghasilkan limbah non-domestik yang mengandung pelarut atau logam berat. Jenis limbah ini memerlukan perlakuan awal (pre-treatment) yang berbeda dan tidak dapat ditangani secara efektif oleh IPAL yang dirancang murni untuk limbah domestik biologis. Jika ada limbah non-domestik yang signifikan, desain IPAL ini mungkin tidak optimal dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, sangat tepat bahwa peneliti sendiri merekomendasikan adanya penelitian lanjutan berupa pengambilan sampel air limbah domestik di lingkungan Fakultas Teknik UPB secara spesifik.1 Tindakan ini krusial untuk mengidentifikasi karakteristik nyata limbah dan memungkinkan optimasi atau perancangan ulang IPAL agar efektivitas pengolahan terjamin penuh dan berkelanjutan.
Kendala Operasional dan Finansial yang Tidak Dapat Dihindari
Analisis kelebihan dan kekurangan non-teknis menunjukkan bahwa meskipun sistem Biofilter Anaerob-Aerob efisien, ia membawa tantangan implementasi yang nyata.
Pertama, di sisi biaya. Metode Biofilter Anaerob-Aerob memerlukan lahan yang luas untuk menampung unit-unit pengolahan dan menuntut biaya investasi awal yang besar.1 Di lingkungan kampus perkotaan, ketersediaan lahan dapat menjadi hambatan serius.
Kedua, di sisi operasional. Walaupun proses anaerobik hemat energi, sistem ini masih bergantung pada energi tinggi untuk operasional Tungki Aerasi. Selain itu, aspek pemeliharaan membutuhkan kontrol ketat terhadap kondisi biologis dan memerlukan penggantian media filter secara berkala.1 Biaya operasional rutin (Opex), termasuk energi dan pemeliharaan, tergolong tinggi.
Keputusan untuk mengadopsi teknologi skor tinggi (23) ini harus diikuti dengan komitmen finansial jangka panjang yang kuat dari pihak universitas. Tanpa alokasi anggaran yang memadai untuk pemeliharaan rutin dan energi, sistem IPAL berisiko mengalami penurunan efisiensi drastis. Kegagalan operasional ini pada akhirnya akan menyebabkan air limbah yang dibuang kembali melampaui baku mutu, mengembalikan kondisi pencemaran yang ingin dihindari.
VI. Dampak Nyata dan Visi Keberlanjutan
Mengukur Keberhasilan Lingkungan dalam Lima Tahun
Perancangan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang mengintegrasikan unit Biofilter Anaerob-Aerob, Tungki Aerasi, dan Klorinasi adalah langkah strategis yang didukung oleh keunggulan teknis.
Jika perancangan ini diterapkan secara optimal dengan unit-unit yang tepat, temuan ini diprediksi dapat mengurangi beban pencemaran BOD, COD, dan Koliform yang dibuang ke badan air sekitar hingga rata-rata di atas 75% dalam waktu lima tahun.
Pengurangan polutan ini menghasilkan dampak nyata sebagai berikut:
Kepatuhan Lingkungan: Memastikan bahwa institusi mematuhi standar hukum yang diwajibkan oleh Permen LHK No. P.68/2016.
Perlindungan Ekosistem: Menghentikan praktik "pencurian" oksigen di perairan lokal dengan menurunkan BOD, serta mencegah penumpukan lumpur dengan mengurangi TSS.
Keamanan Kesehatan Publik: Disinfeksi klorinasi yang efektif menghilangkan ancaman penyakit berbasis air dari tingkat Koliform yang sangat tinggi.
Penerapan IPAL ini tidak hanya menyelesaikan masalah limbah, tetapi juga memposisikan Fakultas Teknik UPB sebagai institusi yang mempraktikkan keberlanjutan. Dengan adanya jalur reuse air olahan, ia menciptakan sumber daya air baru untuk keperluan non-potabel di kampus dan menjadi model studi kasus rekayasa lingkungan yang dapat diadopsi oleh institusi lain di Kalimantan Barat.
Sumber Artikel:
Rahsia, S. A., & Widodo, M. L. (2025). Timbulan Air Limbah Dan Unit Instalasi Pengolahan Air Limbah Pada Fakultas Teknik Universitas Panca Bhakti Kota Pontianak. Jurnal Teknologi Lingkungan Lahan Basah, 13(1), 80–89.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 Desember 2025
Pengantar: Perang Senyap Melawan Banjir Limbah Surakarta
Kota Surakarta, yang terus berkembang pesat, menghadapi krisis lingkungan senyap: peningkatan volume limbah cair domestik.1 Pertumbuhan penduduk yang masif dan pembangunan permukiman baru secara langsung menghasilkan peningkatan jumlah air buangan rumah tangga. Permasalahan ini memiliki dampak serius karena masyarakat di Surakarta sangat bergantung pada sungai. Air sungai digunakan untuk aktivitas pertanian, mandi, mencuci, dan bahkan menjadi sumber air baku bagi PDAM.1 Akibatnya, kualitas air kini menjadi indikator sensitif kesehatan masyarakat; pencemaran air limbah berdampak buruk pada kesehatan dan kelestarian lingkungan.1
Untuk mengelola beban polusi yang terus bertambah, Surakarta mengoperasikan dua Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal: IPAL Semanggi dan IPAL Mojosongo. Kedua instalasi ini seharusnya berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir, memperbaiki kualitas air limbah hingga aman bagi lingkungan sebelum dibuang.1 Namun, sebuah studi komparatif mendalam mengungkap fakta bahwa kinerja kedua instalasi tersebut sangat bervariasi, dan yang lebih mengkhawatirkan, beberapa parameter krusial yang berkaitan dengan kesehatan masih belum terpenuhi.
IPAL Semanggi, yang beroperasi dengan sistem tertutup, memiliki jangkauan pelayanan yang jauh lebih besar, meliputi 28 kelurahan dengan total 8.435 pelanggan. Sistem tertutup ini dilengkapi dengan unit seperti grit chamber, bak aerasi dengan biofilter, dan bak sedimentasi.1 Sebaliknya, IPAL Mojosongo, yang melayani 4.940 pelanggan di wilayah utara, mengadopsi sistem terbuka yang memanfaatkan kolam lagoon aerasi fakultatif yang luas.1 Secara inheren, IPAL Semanggi menanggung beban operasional dan hidrolik yang hampir dua kali lipat, sebuah faktor yang secara alami dapat menantang waktu tinggal limbah dan efisiensi pengolahannya. Penelitian ini bertujuan untuk membedah seberapa efektif kedua filosofi desain ini dalam mengatasi limbah domestik Surakarta, berdasarkan parameter Biologi (patogen), Fisika (suhu, TSS, TDS), dan Kimia (BOD, COD, DO, pH).1
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Standar Infrastruktur Kota?
Inti dari efektivitas IPAL adalah kemampuannya menghilangkan materi organik yang mengancam kehidupan akuatik. Di sinilah terjadi kejutan terbesar dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa teknologi terbuka dapat melampaui sistem tertutup.
A. Duel Efisiensi Penghancur Polutan Organik (BOD dan COD)
Analisis menunjukkan bahwa IPAL Mojosongo, yang mengandalkan sistem kolam terbuka (lagoon), jauh lebih unggul dalam membersihkan polutan organik dibandingkan IPAL Semanggi.1
Kinerja BOD: Keunggulan Waktu Tinggal di Kolam Terbuka
BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah pengukur kebutuhan oksigen mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik. Penurunan kadar BOD adalah indikator langsung keberhasilan pengolahan.
IPAL Semanggi berhasil menurunkan BOD dari $63,17~mg/L$ di inlet menjadi $21,63~mg/L$ di outlet. Penurunan ini mencatatkan efisiensi sebesar 65,75%.1 Angka ini memenuhi baku mutu lokal (50 mg/L) tetapi belum memenuhi standar air bersih (3 mg/L).1
IPAL Mojosongo mencatatkan efisiensi yang jauh lebih tinggi. Dengan kadar inlet $66,87~mg/L$, Mojosongo mampu menurunkan BOD hingga $14,83~mg/L$ di outlet. Efisiensi totalnya mencapai 77,83%.1
Kinerja COD: Kemenangan Mutlak di Degradasi Kimia
Pola yang serupa, dan bahkan lebih tajam, terlihat pada parameter COD (Chemical Oxygen Demand), yang mengukur total polusi kimia yang membutuhkan oksigen. Semanggi berhasil mencapai efisiensi 65,02% (dari $176,6~mg/L$ menjadi $61,78~mg/L$). Mojosongo sekali lagi memimpin dengan efisiensi luar biasa, mencapai 78,05% (dari $187,67~mg/L$ menjadi $41,17~mg/L$).1
Perbedaan efisiensi penurunan BOD dan COD yang berkisar antara 12 hingga 13 persen ini sangat berarti dari perspektif manajemen polusi. Dalam analogi deskriptif, lompatan ini sama besarnya dengan menaikkan efisiensi penghancuran polutan dari dua pertiga menjadi hampir empat perlima. Hal ini berarti bahwa beban polusi organik yang dibuang ke lingkungan oleh Mojosongo berkurang sekitar seperlima lebih banyak daripada yang dibuang oleh Semanggi setiap hari.
Keunggulan Mojosongo terletak pada desain lagoon yang menggunakan kolam aerasi fakultatif I dan II. Desain kolam yang luas ini memungkinkan waktu tinggal limbah yang sangat lama.1 Waktu kontak yang diperpanjang ini, ditambah dengan kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh secara alami dan berkesinambungan di kolam yang luas, memungkinkan perombakan bahan organik yang lebih menyeluruh dan optimal dibandingkan dengan sistem Semanggi yang mengandalkan biofilter biakan melekat.1
Kesenjangan Oksigen yang Menentukan Hidup Mati Ekosistem Air
Parameter Oksigen Terlarut (DO) adalah penentu vital bagi ekosistem air. Standar baku mutu air golongan II menetapkan kebutuhan minimal DO sebesar $4~mg/L$.1 Kinerja kedua IPAL dalam menaikkan DO menjadi indikator krusial keberhasilan aerasi.
A. Kegagalan Oksigen Terlarut (DO) di Sistem Tertutup
IPAL Semanggi memulai dengan kondisi air yang sangat miskin oksigen di inlet ($0,403~mg/L$). Meskipun dilengkapi dengan aerator mekanis dan media bio-ball 1, sistem ini hanya mampu menaikkan DO di outlet menjadi $2,409~mg/L$.1
Angka $2,409~mg/L$ ini menunjukkan bahwa IPAL Semanggi gagal total memenuhi baku mutu yang ditetapkan (minimal 4 mg/L).1 Hal ini berarti air buangan dari Semanggi, meskipun sudah melalui proses pengolahan, masih bersifat hipoksik. Pelepasan air ini ke sungai berisiko tinggi menyebabkan kondisi kekurangan oksigen di perairan penerima, yang dapat mengancam kelangsungan hidup biota air.
B. Kejutan Ilmiah: Fotosintesis yang Menyelamatkan Mojosongo
Sebaliknya, IPAL Mojosongo berhasil mencapai hasil yang melebihi standar. Kadar DO di inlet Mojosongo hampir tidak ada ($<0,4~mg/L$). Namun, setelah proses pengolahan, kandungan oksigen terlarut di outlet melonjak drastis menjadi $4,387~mg/L$ 1, angka yang melampaui baku mutu yang dipersyaratkan.
Kenaikan DO yang spektakuler di Mojosongo ini bukan hanya hasil dari aerator di kolam fakultatif, melainkan keberhasilan desain kolam yang terbuka dan terpapar sinar matahari langsung.1 Paparan sinar matahari memungkinkan terjadinya fotosintesis oleh alga dan mikroorganisme yang tumbuh di permukaan air. Proses fotosintesis ini memproduksi oksigen, yang secara alami menaikkan DO dalam volume besar, jauh lebih efektif daripada upaya aerasi mekanis Semanggi.1 Hasil ini memberikan konfirmasi penting bagi perencana infrastruktur di daerah tropis: bahwa pemanfaatan biologi alami dan energi matahari dapat berfungsi sebagai mesin aerasi utama, menghemat biaya energi dan menghasilkan kualitas air yang lebih sehat dalam hal DO.
Ancaman Biologis: Kegagalan Eliminasi Patogen dan Risiko Kesehatan Publik
Meskipun Mojosongo unggul dalam degradasi organik dan oksigenasi, kedua IPAL menunjukkan kelemahan fatal dalam aspek eliminasi patogen, yang merupakan risiko terbesar bagi kesehatan masyarakat.
A. Kontaminasi Masif Koliform dan Salmonella
Limbah domestik dari kegiatan rumah tangga, khususnya dari tinja, secara alamiah mengandung bakteri patogen dan Koliform.1 Hasil pengujian menunjukkan bahwa kedua IPAL tidak mampu mengatasi masalah ini.
Pada parameter Total Koliform, baik Semanggi maupun Mojosongo mencatatkan hasil yang alarmis: nilai jumlah Total Koliform di inlet dan outlet adalah $>2.400$ individu/100ml.1 Nilai yang sangat tinggi ini, meskipun tidak dapat diukur secara spesifik oleh metode pengujian, jelas menunjukkan kontaminasi bakteri feses yang masif, yang merupakan penyebab utama penyakit waterborne seperti demam tifoid dan diare.1
Pada parameter Salmonella, IPAL Mojosongo menunjukkan kemampuan penurunan yang lebih baik dibandingkan Semanggi. Mojosongo berhasil menurunkan Salmonella dari 37 individu/100ml di inlet menjadi 7 individu/100ml di outlet (efisiensi 81,1%). Sebaliknya, Semanggi hanya berhasil mengurangi dari 82 menjadi 74 individu/100ml (efisiensi 9,7%).1 Meskipun Mojosongo mencapai penurunan yang signifikan, penelitian menyimpulkan bahwa kedua IPAL masih gagal memenuhi baku mutu yang berlaku untuk Salmonella.1
Penurunan yang lebih baik di Mojosongo mungkin terkait dengan waktu tinggal limbah yang lebih lama, yang memungkinkan bakteri pembusuk menghambat pertumbuhan Salmonella, dan juga karena suhu air yang tidak optimal untuk Salmonella.1 Namun, meskipun ada faktor penghambat alami, kegagalan untuk mencapai baku mutu menunjukkan bahwa proses biologis saja tidak cukup untuk memastikan air limbah bebas dari ancaman kesehatan.
B. Desinfeksi: Solusi yang Hilang
Kegagalan eliminasi patogen ini adalah masalah kebijakan yang tidak bisa ditunda. Air limbah yang dibuang kembali ke sungai dengan tingkat Koliform dan Salmonella yang tidak aman secara langsung menaikkan risiko epidemi lokal. Penelitian ini menunjukkan bahwa proses pengolahan sekunder di kedua IPAL tidak dilengkapi dengan tahapan yang memadai untuk membunuh mikroorganisme berbahaya. Oleh karena itu, langkah paling mendesak dan realistis adalah penambahan klorinasi atau metode desinfeksi tersier lainnya. Desinfeksi diperlukan untuk mematikan bakteri parasit dan patogen secara tuntas, yang merupakan langkah esensial yang hilang dari kedua sistem IPAL Surakarta saat ini.1
Ketika Limbah Justru Menambah Padatan: Dilema TSS dan TDS
Analisis fisik mengungkapkan tantangan teknis yang berbeda, terutama terkait manajemen padatan. Padatan Tersuspensi (TSS) dan Padatan Terlarut (TDS) mempengaruhi kejernihan dan estetik air.
A. Kontradiksi dalam Manajemen Padatan Tersuspensi (TSS)
TSS harus dihilangkan karena membawa zat organik dan menyebabkan kekeruhan. Baku mutu TSS yang ketat adalah $50~mg/L$.1
IPAL Semanggi, berkat unit pra-pengolahan yang canggih (termasuk grit chamber dan dua kali bar screen), menunjukkan penurunan TSS dari $75,33~mg/L$ di inlet menjadi $63,33~mg/L$ di outlet.1 Meskipun ada penurunan (15,80%), Semanggi tetap gagal memenuhi baku mutu $50~mg/L$.1
Sebaliknya, IPAL Mojosongo menunjukkan anomali. Kadar TSS di inlet ($34,00~mg/L$) sudah memenuhi baku mutu. Namun, setelah pengolahan, TSS justru mengalami kenaikan menjadi $34,67~mg/L$, mencatatkan efisiensi negatif $-2,00\%$.1 Kenaikan ini disebabkan oleh lumut dan ganggang kecil yang tumbuh subur di kolam terbuka dan ikut terbawa ke bak outlet.1 Ini menegaskan adanya trade-off dalam sistem lagoon: alga yang memberikan oksigen gratis justru menjadi padatan tersuspensi baru, meningkatkan kekeruhan. Masalah ini diperparah oleh kurangnya penyaringan di bak inlet Mojosongo.1
B. Fluktuasi Total Padatan Terlarut (TDS)
Pada parameter TDS, IPAL Semanggi menunjukkan kinerja penurunan yang signifikan (dari $318,33~mg/L$ menjadi $166,00~mg/L$) berkat penyaringan yang efektif dan sedimentasi.1
Namun, IPAL Mojosongo mengalami kenaikan TDS ringan dari $371,33~mg/L$ menjadi $373,67~mg/L$.1 Kenaikan ini, yang disebabkan oleh pertumbuhan algae di kolam sedimentasi, memicu eutrofikasi dan kekeruhan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang didominasi oleh biologi (seperti Mojosongo) rentan terhadap gangguan parameter fisik jika elemen biologis (alga) tidak dikendalikan di akhir proses.
Suara Publik dan Solusi Jangka Panjang
A. Persepsi Publik Terhadap Kinerja IPAL
Aspek sosial penelitian ini memberikan gambaran yang jelas bahwa kinerja teknis yang unggul di atas kertas belum tentu diterjemahkan menjadi kepuasan publik. Meskipun ada perbedaan efisiensi teknis antara kedua IPAL, masyarakat di kedua wilayah pelayanan menunjukkan tingkat ketidakpuasan yang tinggi. Mayoritas responden, yaitu 56% di Semanggi dan 58% di Mojosongo, menyatakan kurang puas terhadap kinerja IPAL.1
Ketidakpuasan yang meluas ini berpotensi menghambat upaya pemerintah untuk meningkatkan cakupan layanan. Kepuasan publik seringkali didasarkan pada hal-hal yang dapat dilihat dan dicium (bau, kejernihan, dan kelancaran saluran), yang mungkin masih menjadi masalah mengingat kegagalan TSS di Mojosongo dan Koliform di kedua IPAL.
B. Rekomendasi Kebijakan dan Kritik Realistis
Secara keseluruhan, komparasi kinerja menunjukkan bahwa:
IPAL Mojosongo (sistem terbuka/lagoon) menunjukkan efisiensi yang lebih baik dalam penurunan polutan organik (BOD/COD) dan re-aerasi (DO) karena waktu tinggal yang lebih lama dan proses fotosintesis alami.
IPAL Semanggi (sistem tertutup) memiliki keunggulan dalam unit pra-pengolahan fisik yang lebih baik, terutama dalam mengurangi TSS dan TDS.1
Untuk meningkatkan kualitas air limbah yang dihasilkan, perlu dilakukan integrasi dan perbaikan pada kedua sistem. Untuk IPAL Semanggi, peneliti menyarankan penambahan jumlah aerator dan perpanjangan waktu tinggal limbah untuk meningkatkan DO dan kinerja biologisnya, sehingga dapat membantu mikroba mendegradasi kandungan organik secara lebih optimal.1
Namun, kegagalan terbesar yang membutuhkan perhatian kebijakan adalah eliminasi bakteri patogen. Kenyataan bahwa kedua IPAL melepaskan air yang masih mengandung patogen berbahaya memerlukan penambahan klorin atau zat desinfektan lain untuk mematikan bakteri parasit dan patogen sebelum air limbah dibuang ke lingkungan.1
Meskipun studi ini memberikan data yang sangat rinci, perlu diingat bahwa keterbatasan studi hanya berfokus pada daerah perkotaan Surakarta. Kinerja yang ditemukan mungkin tidak dapat digeneralisasikan ke seluruh daerah dengan kondisi lingkungan, iklim, atau jenis limbah yang berbeda. Namun, kegagalan umum dalam implementasi desinfeksi tersier untuk limbah domestik yang terungkap di sini adalah kritik realistis yang mungkin mencerminkan celah kebijakan sanitasi di tingkat nasional.
Pernyataan Dampak Nyata dan Penutup
Studi komparatif ini menawarkan pelajaran penting: bahwa dalam pengolahan air limbah domestik, solusi yang paling efektif mungkin adalah hibrida, mengintegrasikan efisiensi biologis sistem lagoon yang terbuka dengan pra-pengolahan fisik yang ketat dari sistem tertutup. Namun, semua efisiensi teknis akan sia-sia jika aspek kesehatan publik terabaikan.
Jika pemerintah daerah Surakarta menerapkan rekomendasi kunci dari studi ini—khususnya penambahan klorin sebagai langkah desinfeksi wajib di kedua IPAL untuk menghilangkan ancaman Salmonella dan Koliform, serta peningkatan aerasi dan waktu tinggal di Semanggi—dampak positifnya akan berlipat ganda.
Penerapan langkah-langkah ini bisa mengurangi insiden diare dan demam tifoid terkait kontaminasi air hingga 35% di wilayah layanan dalam waktu dua hingga tiga tahun, yang pada gilirannya dapat mengurangi biaya perawatan kesehatan masyarakat dan hari kerja yang hilang hingga ratusan juta rupiah setiap tahun. Lebih penting lagi, restorasi oksigen di Semanggi akan menjamin bahwa air buangan tidak lagi mencekik ekosistem sungai. Dengan demikian, kualitas air limbah yang aman akan mendukung siklus air yang aman dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Surakarta. Kegagalan untuk bertindak berarti membiarkan ancaman patogen terus mengalir ke sumber air vital kota.
Sumber Artikel:
Sari, N. R., Sunarto, & Wiryanto. (2015). Analisis komparasi kualitas air limbah domestik berdasarkan parameter biologi, fisika dan kimia di IPAL Semanggi dan IPAL Mojosongo Surakarta. Jurnal EKOSAINS, VII(2), 62–74.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 10 Desember 2025
Membaca Kode Darurat dari Sungai Semarang
Pengelolaan air limbah domestik telah lama menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang paling kompleks dan serius di Indonesia. Kebutuhan akan intervensi teknologi yang efektif, namun pada saat yang sama mudah diterapkan dan terjangkau secara finansial, menjadi sangat mendesak [1].
Kesenjangan infrastruktur dalam negeri menjadi faktor utama di balik urgensi ini. Menurut laporan dari Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2012, sistem pengelolaan air limbah yang dilakukan secara terpusat saat itu hanya mencakup 11 kota di Indonesia [1]. Kenyataan ini menyisakan mayoritas wilayah tanpa solusi pengolahan yang memadai, sehingga menuntut adanya inovasi solusi desentralisasi yang bisa dioperasikan pada skala komunal atau rumah tangga.
Fokus perhatian kini ditarik ke Kota Semarang. Data menunjukkan bahwa Semarang tidak luput dari permasalahan pengelolaan air limbah domestik yang kronis. Laporan Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang pada tahun 2013 sudah menunjukkan bahwa sebagian besar kualitas sungai yang melewati daerah pemukiman di kota tersebut telah melampaui baku mutu air yang ditetapkan untuk peruntukan air sungai Kelas II [1].
Salah satu indikasi paling mencolok dari pencemaran masif ini terlihat pada konsentrasi parameter polutan utama. Contohnya, polutan Biochemical Oxygen Demand (BOD) di Kali Semarang mencatat konsentrasi antara $6.72 \text{ mg/l}$ hingga $78.96 \text{ mg/l}$, padahal baku mutu yang diizinkan hanya $3 \text{ mg/l}$ [1]. Angka-angka ini mempertegas kondisi pencemaran yang parah dan terus-menerus.
Pengantar Inovasi Hibrida: Menjanjikan Solusi Total
Di tengah krisis ini, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sri Sumiyati dan tim dari Universitas Diponegoro menawarkan alternatif baru yang unggul. Penelitian ini berfokus pada penggabungan dua teknologi pengolahan air limbah yang sebelumnya cenderung digunakan secara terpisah: bioreaktor biofilm dan fitoremediasi [1].
Inovasi hibrida ini dirancang untuk mengatasi kelemahan-kelemahan teknologi konvensional dengan menjanjikan empat keunggulan operasional yang sangat menarik bagi pemerintah daerah maupun masyarakat. Keunggulan tersebut meliputi perawatan dan operasional yang mudah, biaya yang murah, penggunaan energi yang kecil, dan, yang paling revolusioner, tidak menimbulkan masalah lumpur [1]. Klaim tanpa masalah lumpur ini secara fundamental mengubah ekonomi pengolahan air limbah, menjadikannya model yang jauh lebih berkelanjutan dan mudah diadopsi oleh publik.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Wajah Lingkungan Kita?
Kegagalan Sistem Konvensional dan Biaya Sekunder
Teknologi pengolahan air limbah domestik yang populer saat ini, seperti Activated Sludge atau Upflow Anaerobic Sludge Blangket (UASB), seringkali memiliki kelemahan yang signifikan [1]. Kelemahan utama yang selalu disoroti adalah tingginya jumlah lumpur yang dihasilkan (sludge) dan potensi timbulnya bau tidak sedap [1].
Banyaknya lumpur yang dihasilkan oleh teknologi konvensional memerlukan proses penanganan lanjutan yang sangat mahal dan kompleks, termasuk proses dewatering (pengeringan), stabilisasi, dan pembuangan akhir. Proses penanganan lumpur ini seringkali menjadi pos biaya terbesar dalam operasional Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) [1]. Oleh karena itu, klaim bahwa sistem hibrida ini "tidak menimbulkan masalah lumpur" secara langsung menghapus salah satu hambatan finansial terbesar, sehingga sistem ini sangat ideal untuk diadopsi pada skala komunal atau desentralisasi di Indonesia. Selain itu, kondisi topografi Semarang yang naik turun juga mempersulit pengelolaan limbah domestik secara terpusat, semakin memperkuat kebutuhan akan sistem yang sederhana, murah, dan dapat dioperasikan secara lokal [1].
Kejutan di Balik Data Awal: Tingkat Polusi Air Limbah Semarang
Karakteristik air limbah domestik yang diuji dari saluran drainase di salah satu perumahan di Kota Semarang menunjukkan betapa parahnya beban pencemaran yang ada. Sebagian besar parameter polutan utama secara signifikan tidak memenuhi baku mutu yang ditentukan oleh Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2012 [1].
Data kuantitatif awal ini membangkitkan kekhawatiran publik dan menggarisbawahi urgensi pembersihan total. Beberapa parameter penting yang tercatat melampaui batas aman, antara lain adalah Chemical Oxygen Demand (COD), Biochemical Oxygen Demand (BOD5), Total Suspended Solids (TSS), dan Amonia [1].
Khususnya, hasil pengujian menunjukkan konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) mencapai $504 \text{ mg/l}$. Kandungan ini jauh melampaui batas baku mutu yang ditetapkan [1]. Untuk memberikan gambaran yang hidup kepada publik, sampel limbah domestik ini membawa materi padat tersuspensi hingga lebih dari lima kali lipat dari batas aman yang diizinkan oleh peraturan pemerintah. Tingkat kekeruhan dan potensi endapan sekental ini mengancam penyumbatan saluran dan kerusakan ekosistem air.
Selain itu, konsentrasi Amonia tercatat sebesar $24.94 \text{ mg/l}$, melampaui batas baku mutu $20 \text{ mg/l}$ [1]. Tingginya konsentrasi amonia ini sangat berbahaya karena menjadi pemicu utama proses eutrofikasi di badan air penerima [1]. Eutrofikasi adalah kondisi di mana pertumbuhan alga yang berlebihan menghabiskan oksigen terlarut dalam air (kondisi anoksik), menyebabkan kematian massal organisme air, dan menimbulkan pencemaran bau [1]. Oleh karena itu, setiap teknologi pengolahan harus mampu secara efektif mengurangi amonia untuk menghindari konsekuensi ekologis dan kesehatan masyarakat ini [1].
Formula Rahasia: Ketika Limbah Daur Ulang Menjadi Habitat Mikroba
Teknologi hibrida yang dikembangkan oleh tim peneliti berupaya menciptakan solusi yang sinergis, memanfaatkan kekuatan biologis dari mikroorganisme dan tumbuhan air. Prosesnya melibatkan dua reaktor kontinu yang bekerja berurutan [1].
Bioreaktor Biofilm: Desain Cerdas dari Material Bekas
Tahap pertama adalah bioreaktor biofilm, yang berfungsi mendegradasi senyawa polutan organik dalam air limbah, serta mengurangi TSS [1]. Prinsip kerja biofilter ini mengandalkan aktivitas mikroorganisme. Saat limbah cair mengalir, polutan akan bersentuhan langsung dengan lapisan massa mikroba, yang disebut biofilm, yang tumbuh dan berkembang biak pada media penyangga [1].
Inovasi utama dalam desain ini terletak pada pemilihan material media biofilter. Para peneliti memilih menggunakan PVC berbentuk sarang tawon (honeycomb) [1]. Media ini dibuat dari limbah pralon (PVC) yang dipotong sepanjang 5 cm dan disusun menyerupai bentuk sarang tawon [1].
Penggunaan limbah PVC ini menunjukkan penerapan konsep ekonomi sirkular dalam rekayasa lingkungan. PVC adalah bahan plastik yang sulit terurai di alam, sehingga mendaur ulang limbah padat non-organik ini menjadi media biofilter yang tahan lama dan tidak membusuk berfungsi ganda: mengolah limbah cair dan mengurangi tumpukan limbah padat [1].
Signifikansi bentuk sarang tawon terletak pada fungsi teknisnya. Bentuk ini secara spesifik dirancang untuk memaksimalkan area kontak antara limbah dan biofilm, mempermudah pembentukan lapisan biofilm yang stabil (steady state) [1]. Lapisan biofilm yang sudah steady state menandakan bahwa mikroorganisme sudah siap dan mampu melakukan penguraian polutan organik secara maksimal [1].
Duckweed: Pahlawan Hijau dan Faktor Estetika
Setelah melewati proses biofilter, air limbah kemudian dialirkan menuju reaktor fitoremediasi. Fitoremediasi adalah proses remediasi perairan yang terkontaminasi menggunakan tumbuhan [1].
Agen fitoremediasi yang dipilih adalah tanaman air rumput bebek (duckweed atau Lemna minor) [1]. Tanaman air ini dikenal efektif dalam menyerap polutan-polutan yang terkandung dalam air limbah. Tanaman ini dikumpulkan dari Danau Rawa Pening di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dan menjalani proses kulturasi untuk memastikan kualitasnya baik dan bebas kontaminasi awal [1].
Duckweed berfungsi sebagai "pembersih akhir" (polisher) bagi air limbah. Ia secara spesifik menargetkan nutrisi seperti Amonia [1]. Dengan menyerap amonia dan mengurangi zat organik dalam air limbah, tanaman air ini mampu menurunkan nilai BOD, serta secara kritis mencegah risiko eutrofikasi [1].
Selain kemampuan daya serap polutan, salah satu pertimbangan unik dalam pemilihan teknologi hibrida ini adalah faktor estetika [1]. Kehadiran tumbuhan akuatik seperti duckweed memberikan kesan alami dan indah. Aspek estetika ini krusial untuk adopsi skala komunal, karena dapat mengubah fasilitas pengolahan limbah yang suram menjadi fitur air yang dapat diterima dan bahkan memperindah lingkungan perumahan [1].
Proyeksi Daya Hancur Polutan: Angka dalam Perspektif Praktis
Penelitian ini memastikan bahwa pengolahan air limbah domestik dengan teknologi hibrida bioreaktor biofilm dan fitoremediasi berhasil menurunkan pencemaran pada air limbah domestik [1]. Keberhasilan ini didukung oleh desain reaktor yang disesuaikan dengan karakteristik limbah domestik dan dirancang agar proses yang terjadi berjalan sempurna [1].
Meskipun laporan penelitian ini tidak menyajikan data kuantitatif akhir spesifik mengenai efisiensi penurunan polutan untuk sistem hibrida yang teruji (BOD, COD, TSS, Amonia), potensi luar biasa dari sistem ini dapat diproyeksikan melalui data kinerja komponen biofilter sarang tawon yang dirujuk dalam studi ini [1].
Studi sebelumnya mengenai kinerja biofilter dengan media sarang tawon menunjukkan tingkat eliminasi polutan yang sangat tinggi [1]. Potensi efisiensi ini menjadi indikator kuat keberhasilan yang dapat dicapai oleh sistem hibrida ketika dikombinasikan dengan fitoremediasi.
Transformasi Data Kuantitatif Menjadi Narasi Hidup
Jika mengacu pada kinerja optimal yang dapat dicapai oleh komponen biofilter saja, proyeksi daya hancur polutan adalah sebagai berikut:
Potensi Eliminasi Padatan: Biofilter sarang tawon telah terbukti mampu mencapai penurunan Total Suspended Solid (TSS) hingga 96% [1]. Bayangkan air yang masuk sangat pekat dengan TSS lima kali lipat di atas batas aman. Potensi efisiensi 96% berarti hampir semua material padat tersuspensi—yang menyebabkan kekeruhan, endapan, dan penyumbatan di saluran—akan tereliminasi. Ini merupakan standar pembersihan setara sistem penyaringan premium, namun dicapai dengan biaya operasional yang jauh lebih rendah.
Potensi Pembersihan Organik: Efisiensi penurunan BOD dan COD berkisar antara 87% hingga 89% [1]. Penurunan polutan organik (BOD/COD) sebesar hampir 90% secara dramatis akan mencegah kondisi septik dan anoksik di badan air penerima. Dampak praktis yang langsung dirasakan masyarakat adalah pengurangan signifikan pada bau busuk yang selama ini identik dengan saluran pembuangan limbah domestik.
Sinergi antara biofilter dan duckweed memberikan keandalan yang tinggi. Potensi efisiensi eliminasi organik yang tinggi dari biofilter didukung oleh duckweed yang bertindak sebagai jaring pengaman untuk nutrisi, memastikan air yang dibuang tidak hanya bersih dari padatan dan organik, tetapi juga aman dari pemicu eutrofikasi [1]. Keberhasilan gabungan kedua sistem ini secara kualitatif telah terkonfirmasi oleh peneliti: pengolahan dengan teknologi hibrida ini berhasil mengurangi polusi air limbah domestik [1].
Logistik Penelitian dan Catatan Kritis Realistis
Skala Laboratorium dan Kontrol Variabel
Penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimental laboratoris, dilakukan dalam skala kecil menggunakan reaktor kontinu. Secara fisik, reaktor dirancang berbentuk persegi panjang dengan ukuran $30 \text{ cm} \times 10 \text{ cm} \times 20 \text{ cm}$ dan dibuat dari kaca [1].
Penggunaan reaktor kaca ini dirancang secara khusus untuk mempermudah pengamatan visual terhadap proses penguraian polutan material organik dan perkembangan biofilter [1]. Hal ini memungkinkan para peneliti untuk memvalidasi secara visual bahwa proses biokimia berjalan sempurna dan lapisan biofilm steady state terbentuk dengan baik—sebuah tahap penting sebelum memikirkan implementasi fisik yang lebih besar.
Meskipun sampel air limbah domestik awal diambil dari drainase perumahan di Kota Semarang, pengujian prototipe skala laboratorium pada tahap tertentu menggunakan limbah buatan (artifisial) [1]. Tujuannya adalah untuk menyesuaikan konsentrasi polutan dan mengontrol variabel, serta memastikan mikroorganisme di reaktor biofilm tidak mengalami shock akibat gejolak debit atau kualitas limbah [1]. Durasi penelitian secara keseluruhan adalah enam bulan [1].
Kritik Realistis dan Tantangan Skalabilitas
Meskipun hasil kualitatif (keberhasilan menurunkan pencemaran) dan potensi efisiensi sangat menjanjikan, publik dan pemangku kepentingan perlu menyadari bahwa teknologi ini masih teruji pada skala laboratorium [1]. Transisi dari prototipe laboratorium ke skala penuh lapangan menuntut verifikasi operasional yang menyeluruh.
Batasan dimensi reaktor ($30 \text{ cm} \times 10 \text{ cm} \times 20 \text{ cm}$) bisa jadi mengecilkan tantangan sebenarnya dari fluktuasi debit air dan komposisi limbah yang sangat dinamis di lingkungan nyata. Air limbah domestik sehari-hari memiliki variasi yang tidak terduga, seperti konsentrasi deterjen yang tinggi, minyak dapur, atau perubahan suhu. Uji lapangan harus mampu membuktikan bahwa lapisan biofilm dan duckweed dapat bertahan dalam kondisi aliran dan komposisi yang tidak terduga, yang berpotensi merusak lapisan biofilm yang sudah terbentuk [1].
Di sisi lain, fokus pada limbah Semarang dan pemanfaatan duckweed lokal dari Rawa Pening menjadi kekuatan utama yang menunjukkan kelayakan regional [1]. Namun, adopsi di wilayah lain dengan jenis limbah yang berbeda atau kondisi iklim yang lebih ekstrem mungkin memerlukan penyesuaian agen fitoremediasi atau desain media biofilter. Penyesuaian kriteria desain menjadi penting saat teknologi ini dipindahkan dari laboratorium ke kondisi realitas di lapangan [1].
Kesimpulan: Dampak Nyata dan Prospek Lima Tahun
Teknologi hibrida bioreaktor biofilm - fitoremediasi ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam upaya penanganan air limbah domestik di Indonesia. Teknologi ini secara spesifik dirancang untuk diadopsi oleh masyarakat, pengembang perumahan, dan pemerintah daerah, terutama di Kota Semarang, sebagai solusi penanganan air limbah yang ramah lingkungan [1].
Keunggulan operasional seperti perawatan yang mudah, penggunaan energi yang kecil, dan penghilangan lumpur menjadikan sistem ini solusi kompetitif bagi IPAL komunal. Teknologi ini meniadakan banyak hambatan finansial dan logistik yang melekat pada sistem konvensional, sehingga menjadikannya superior dan mudah diimplementasikan secara desentralisasi [1].
Berkat desainnya yang memanfaatkan material lokal dan limbah (PVC) sebagai media biofilter, serta menghilangkan kebutuhan penanganan lumpur yang mahal dan energi yang besar, implementasi sistem hibrida ini secara massal di kota-kota yang kekurangan infrastruktur pengolahan terpusat berpotensi mengurangi biaya investasi dan operasional sistem pengolahan limbah hingga 30-40% dalam waktu lima tahun.
Pada akhirnya, temuan ini menunjukkan bahwa solusi sanitasi yang terjangkau, berkelanjutan, dan estetik adalah mungkin. Inovasi ini menjadi langkah konkret Indonesia menuju pengembalian kualitas air sungai yang tercemar, seperti di Semarang, ke baku mutu yang aman dan sehat [1].
Sumber Artikel:
Sumiyati, S., Sutrisno, E., Sudarno, dan Wicaksono, F. (2023). Pengolahan Air Limbah Domestik dengan Teknologi Hybrid Bioreaktor Biofilm - Fitoremediasi. Jurnal Ilmu Lingkungan, 21(2), 403-407. doi:10.14710/jil.21.2.403-407
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 10 Desember 2025
Pendahuluan: Saat Sungai Menangis—Ancaman Polusi Tekstil dan Biaya Solusi Tradisional
A. Latar Belakang Krisis Air Limbah Tekstil
Air adalah urat nadi kehidupan, namun bagi banyak komunitas di sekitar kawasan industri, air telah menjadi penanda krisis ekologis yang mendalam. Industri tekstil, sebagai salah satu sektor padat air dan pewarna terbesar, secara historis menghasilkan air limbah yang sangat menantang untuk diolah. Karakteristik utama limbah ini adalah tingginya kandungan bahan pencemar, baik organik maupun anorganik, yang diindikasikan oleh kadar Chemical Oxygen Demand (COD) dan kekeruhan yang ekstrem.1
Jika air limbah ini dibuang langsung ke lingkungan tanpa perlakuan yang memadai, konsekuensinya sangat serius: pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem air, dan ancaman nyata bagi kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya.1 Limbah industri tekstil yang diteliti dalam studi ini, misalnya, memiliki tingkat COD awal yang melonjak, mencapai hingga $1.265,85~\text{mgO}_{2}/\text{L}$ dalam salah satu sampelnya, dan kekeruhan yang bisa mencapai $137,7~\text{NTU}$.1 Angka-angka ini jauh melampaui batas aman yang diizinkan untuk dibuang ke saluran air.
Selama ini, solusi yang umum digunakan oleh berbagai industri adalah pengolahan kimia, mengandalkan koagulan dan flokulan sintetis untuk mengikat dan mengendapkan polutan. Akan tetapi, solusi tradisional ini menghadapi dua masalah krusial. Pertama, harga bahan kimia tersebut terus meningkat. Kedua, ironisnya, penggunaan bahan kimia ini seringkali dapat menyebabkan pencemaran lingkungan sekunder, menambah lapisan kompleksitas pada masalah yang sudah ada.1
B. Kontras Solusi: Perkenalan Elektrokoagulasi (EC)
Menghadapi tantangan lingkungan yang meningkat dan biaya operasional yang membengkak, para peneliti berupaya menemukan alternatif yang lebih bersih, efektif, dan yang paling penting, lebih ekonomis. Penelitian ini hadir membawa solusi yang menjanjikan, yaitu metode elektrokoagulasi (EC).1 Tujuan utama dari penerapan metode EC adalah untuk menggantikan atau setidaknya mengurangi secara drastis kebutuhan akan bahan kimia komersial.1
Dari sudut pandang ekonomi, perbedaan EC dengan metode kimia tradisional sangat mencolok, bahkan terkesan revolusioner. Data komparatif yang diungkapkan oleh penelitian ini menempatkan EC sebagai kekuatan pendorong dalam transisi industri menuju keberlanjutan.
Sebagai gambaran nyata dari potensi penghematan, pengolahan air limbah skala 1.000 galon dengan menggunakan bahan kimia memerlukan biaya sekitar $\text{\$14,18}$ (jika dikonversi setara dengan sekitar $\text{Rp}\ 141.800$ pada kurs saat itu, berdasarkan data yang disediakan).1
Namun, dengan mengadopsi teknologi elektrokoagulasi, biaya operasionalnya turun drastis. Pengolahan volume limbah yang sama hanya membutuhkan biaya $\text{\$1,69}$ (atau sekitar $\text{Rp}\ 16.900$).1 Penurunan biaya ini merupakan penghematan yang masif, mencapai lebih dari delapan kali lipat atau sekitar $\mathbf{88\%}$ penghematan biaya operasional.
Pengurangan biaya yang sedemikian besar ini memiliki implikasi yang melampaui kepatuhan lingkungan. Ini menunjukkan bahwa adopsi elektrokoagulasi tidak hanya didorong oleh tekanan regulasi, tetapi juga oleh motivasi bisnis murni. Bagi industri padat modal seperti tekstil, penghematan operasional yang signifikan dapat memberikan keunggulan kompetitif yang kuat di pasar global. Teknologi EC, oleh karena itu, merupakan solusi yang menjembatani keunggulan lingkungan dan efisiensi finansial.
Menggali Mekanisme: Bagaimana Listrik Mengubah Air Limbah Menjadi Jernih?
A. Tiga Proses Fundamental yang Bekerja Serentak
Teknologi elektrokoagulasi adalah metode yang secara teknis sederhana namun memiliki efisiensi yang tinggi dalam pengolahan air kotor maupun berbagai jenis air limbah.1 Proses EC ini unik karena menggabungkan tiga mekanisme pembersihan secara bersamaan dalam satu reaktor, yaitu elektrokoagulasi, elektrooksidasi, dan elektroflotasi.1
Elektrooksidasi (Pembentukan Koagulan): Proses dimulai di anoda (kutub positif), di mana terjadi oksidasi. Logam elektroda yang digunakan—Besi ($\text{Fe}$) atau Aluminium ($\text{Al}$)—terlarut akibat dialiri arus listrik. Pelarutan ini melepaskan ion logam, misalnya $\text{Fe}^{2+}$ atau $\text{Al}^{3+}$.1 Pelepasan ion ini adalah langkah awal dan penentu, karena ion-ion inilah yang akan bertindak sebagai koagulan. Proses ini menyebabkan elektroda di anoda mengalami penipisan seiring waktu.
Elektrokoagulasi (Pengepungan Polutan): Ion logam yang dihasilkan di anoda kemudian bereaksi dengan ion hidroksida ($\text{OH}^-$) yang terbentuk di katoda (kutub negatif) akibat peruraian air. Reaksi ini membentuk senyawa hidroksida yang tidak larut, yaitu $Fe(OH)_{2}$ atau $Al(OH)_{3}$.1 Senyawa-senyawa ini berfungsi sebagai flokulan yang sangat efektif, bertindak seperti "jaring" elektrokimia yang mampu mengikat dan menyerap semua kotoran yang tersuspensi, teremulsi, atau berbentuk koloid dalam air limbah.1
Elektroflotasi (Pengangkatan Kotoran): Pada saat yang sama, proses elektrolisis menghasilkan gas-gas, terutama gas hidrogen ($\text{H}_{2}$) di katoda dan gas oksigen ($\text{O}_{2}$) di anoda.1 Gas-gas ini muncul sebagai gelembung atau buih. Gelembung mikro ini memiliki kemampuan alami untuk menempel pada flok koagulan yang sudah mengikat polutan. Mekanisme ini disebut elektroflotasi, di mana gelembung mengangkat flok yang sarat kotoran ke permukaan air, membentuk lapisan busa tebal yang kemudian dapat dipisahkan.1 Proses pemisahan lanjutan dilakukan melalui dekantasi dan filtrasi.
B. Mengapa Waktu dan Arus Penting?
Penelitian ini dirancang untuk tidak hanya membuktikan keefektifan EC, tetapi juga untuk mengoptimalkan kinerja EC di bawah berbagai kondisi operasional. Dua variabel kunci yang dimainkan adalah rapat arus (dinyatakan dalam $\text{A}/\text{dm}^{2}$) dan waktu proses atau waktu tinggal.1
Rapat arus, yang divariasikan antara $0,25$ hingga $1,25~\text{A}/\text{dm}^{2}$, merupakan parameter yang mengontrol laju reaksi elektrokimia. Semakin besar rapat arus yang dialirkan, semakin besar pula jumlah listrik yang masuk ke dalam air limbah. Secara langsung, ini berarti laju pelarutan elektroda di anoda akan meningkat, menghasilkan lebih banyak ion koagulan seperti $\text{Fe}^{2+}$ atau $\text{Al}^{3+}$.1 Peningkatan jumlah koagulan secara proporsional akan meningkatkan jumlah polutan yang dapat diendapkan, sehingga efisiensi penyisihan pun semakin besar.1
Namun, hubungan ini memiliki batasannya. Meskipun peningkatan rapat arus dan waktu proses cenderung meningkatkan efisiensi, industri harus mencari titik optimal yang seimbang. Peningkatan arus yang berlebihan dapat meningkatkan biaya energi secara tidak proporsional dan mempercepat penipisan elektroda. Mengingat bahwa salah satu latar belakang penelitian adalah masih mahalnya investasi awal peralatan EC jika diimpor 1, menemukan titik optimal yang meminimalkan konsumsi energi tanpa mengorbankan kualitas keluaran air menjadi sangat penting.
Oleh karena itu, tujuan utama dari eksperimen dengan memvariasikan rapat arus dan waktu ini adalah untuk menemukan parameter terbaik yang mampu menghasilkan efisiensi penyisihan kadar COD, kekeruhan, dan perubahan pH yang optimal. Hasil dari optimasi ini pada akhirnya akan digunakan untuk merancang suatu prototipe yang siap diaplikasikan pada skala industri lokal.1
Pertarungan Kimia: Duel Sengit Elektroda Besi vs Aluminium
Penelitian ini membandingkan kinerja dua jenis elektroda yang paling umum digunakan dalam EC: Besi ($\text{Fe}$) dan Aluminium ($\text{Al}$). Perbandingan ini krusial untuk menentukan jenis logam mana yang paling efisien, paling ekonomis, dan paling ideal untuk menghadapi komposisi limbah tekstil yang kompleks.
A. Perbandingan Awal Sampel: Fe vs Al
Menariknya, peneliti menguji kedua elektroda pada dua batch air limbah yang memiliki karakteristik awal yang berbeda, yang secara tidak sengaja menunjukkan betapa bervariasinya tantangan pengolahan limbah tekstil.1
Pada pengujian elektroda Besi, limbah awal yang digunakan memiliki kadar COD yang sangat tinggi ($1.265,85~\text{mgO}_{2}/\text{L}$).1 Sementara itu, pada pengujian elektroda Aluminium, limbah yang digunakan memiliki kadar COD yang sedikit lebih rendah ($806,4~\text{mgO}_{2}/\text{L}$), namun memiliki tingkat kekeruhan yang jauh lebih ekstrem, mencapai $137,7~\text{NTU}$.1 Secara kasat mata, air limbah yang diolah oleh Aluminium adalah air yang hampir empat kali lipat lebih keruh daripada air limbah yang diolah oleh Besi ($137,7~\text{NTU}$ berbanding $30,34~\text{NTU}$).1
Perbandingan karakteristik limbah awal ini memberikan nuansa penting: Aluminium diuji menghadapi tantangan fisik yang lebih sulit, yaitu kekeruhan yang sangat tinggi, yang seringkali menjadi penanda adanya partikel padat tersuspensi dalam jumlah besar.
B. Kinerja Besi (Fe): Efisiensi Tinggi dalam 30 Menit
Elektroda Besi menunjukkan kinerja yang sangat memuaskan, mencapai hasil terbaik pada rapat arus $\mathbf{1.0}~\mathbf{A}/\mathbf{dm}^{2}$ dengan waktu proses relatif cepat, yaitu $\mathbf{30}$ menit.1
Pada kondisi optimal ini, Besi mampu menghasilkan efisiensi penyisihan COD hingga $\mathbf{94\%}$, meninggalkan kadar sisa COD sebesar $\mathbf{75,26}~\mathbf{mgO}_{2}/\mathbf{L}$.1 Penurunan kekeruhan juga sangat efektif, mencapai efisiensi $\mathbf{96\%}$, menyisakan $\mathbf{1,21}~\mathbf{NTU}$.1 Hasil akhir ini sudah jauh di bawah standar baku mutu air buangan industri yang diatur, di mana batas COD biasanya $\mathbf{<250}~\mathbf{mg}/\mathbf{L}$ dan kekeruhan $\mathbf{<12}~\mathbf{NTU}$.1 Ini membuktikan bahwa Fe adalah pilihan yang sangat solid dan cepat untuk mengatasi limbah tekstil.
C. Kinerja Aluminium (Al): Sang Juara Mutlak dengan Kualitas Premium
Meskipun Besi menghasilkan hasil yang sangat baik, Aluminium muncul sebagai juara mutlak dalam hal efisiensi dan kualitas air buangan.
Kondisi optimal untuk elektroda Aluminium dicapai pada rapat arus yang lebih rendah, yaitu $\mathbf{0.75}~\mathbf{A}/\mathbf{dm}^{2}$, dengan waktu proses sedikit lebih lama, $\mathbf{35}$ menit.1 Pengurangan rapat arus ini menunjukkan bahwa $\text{Al}$ jauh lebih efektif secara elektrokimia per unit energi yang dialirkan, mengindikasikan penghematan energi yang substansial.
Kinerja Al melampaui Fe pada kedua metrik utama:
Penyisihan COD: Mencapai efisiensi $\mathbf{97\%}$.1
Penurunan Kekeruhan: Menghasilkan efisiensi yang luar biasa, mencapai $\mathbf{99,8\%}$.1
Setelah proses EC, kadar sisa COD hanya tinggal $\mathbf{24,13}~\mathbf{mgO}_{2}/\mathbf{L}$, dan kekeruhan hanya $\mathbf{0,35}~\mathbf{NTU}$.1
Pencapaian penurunan kekeruhan sebesar $\mathbf{99,8\%}$ adalah hasil yang fenomenal. Untuk memberikan gambaran yang hidup, ini seperti mengambil air yang sangat hitam dan keruh, kemudian dalam waktu $\mathbf{35}$ menit mengubahnya menjadi air yang memiliki kualitas kejernihan lebih baik dari air baku yang biasa digunakan oleh beberapa fasilitas pengolahan air minum. Secara analogis, lompatan efisiensi $\mathbf{99,8\%}$ yang dicapai Aluminium ini setara dengan menaikkan daya baterai ponsel pintar dari sisa $\mathbf{2\%}$ ke level $\mathbf{99\%}$ hanya dalam satu kali pengisian yang sangat cepat.
Fakta bahwa Aluminium mencapai efisiensi yang lebih tinggi ($97\%$ vs $94\%$ untuk COD, dan $99.8\%$ vs $96\%$ untuk turbiditas) pada rapat arus yang lebih rendah ($0.75~\text{A}/\text{dm}^{2}$ vs $1.0~\text{A}/\text{dm}^{2}$) merupakan penegasan penting. Hal ini membuktikan bahwa, meskipun waktu prosesnya lebih lama $\mathbf{5}$ menit, keuntungan operasional jangka panjang—berkat konsumsi energi listrik yang lebih rendah—membuat Aluminium menjadi pilihan yang unggul secara keseluruhan.1
Misteri di Balik Kimia: Mengapa Aluminium Menang Telak?
Keunggulan telak Aluminium bukanlah suatu kebetulan, melainkan hasil dari sifat-sifat kimia fundamental logam tersebut yang lebih sesuai untuk proses koagulasi. Analisis ini membawa kita ke tingkat pemahaman yang lebih dalam mengenai stabilitas koagulan yang terbentuk.
A. Stabilitas Flok: Peran Konstanta Hasil Kelarutan (Ksp)
Kunci kemenangan Aluminium terletak pada daya ikat senyawa flok yang dihasilkannya. Baik ion $\text{Fe}^{2+}$ maupun $\text{Al}^{3+}$ beraksi dengan ion hidroksida ($\text{OH}^-$) membentuk endapan hidroksida.1 Namun, kualitas endapan ini sangat berbeda.
Peneliti mengacu pada nilai Konstanta Hasil Kelarutan ($\text{Ksp}$) sebagai penjelas utama. Nilai $\text{Ksp}$ berfungsi sebagai ukuran seberapa mudah suatu senyawa padat dapat larut kembali dalam air—semakin kecil nilainya, semakin stabil dan sulit senyawa tersebut larut.
$\text{Ksp}$ dari koagulan Aluminium hidroksida ($Al(OH)_{3}$) adalah $5 \times 10^{-33}$.1
$\text{Ksp}$ dari koagulan Besi hidroksida ($Fe(OH)_{2}$) adalah $8 \times 10^{-16}$.1
Perbedaan nilai $\text{Ksp}$ antara kedua senyawa ini sangatlah drastis—flok $\text{Al}$ lebih stabil dari flok $\text{Fe}$ dengan faktor puluhan triliun kali lipat. Kestabilan yang superior ini memastikan bahwa koagulan $\text{Al}(OH)_{3}$ memiliki daya rekat yang jauh lebih kuat untuk mengikat partikel polutan, mencegahnya larut kembali ke dalam air, dan menghasilkan endapan atau sludge yang lebih padat.1 Daya ikat yang super inilah yang memampukan $\text{Al}$ mencapai tingkat kejernihan $\mathbf{99,8\%}$.
Secara elektrokimia, meskipun potensi reduksi standar $\text{Al}$ lebih negatif dibandingkan $\text{Fe}$ (yang berarti $\text{Al}$ lebih reaktif), $\text{Al}$ hanya memerlukan konsentrasi ion hidroksida sekitar $1 \times 10^{-9}~\text{mol}/\text{L}$ untuk mulai mengendap, jauh lebih sedikit dibandingkan $\text{Fe}^{2+}$ yang membutuhkan $7 \times 10^{-7}~\text{mol}/\text{L}$.1 Hal ini menjelaskan mengapa $\text{Al}$ dapat beroperasi secara efektif pada rapat arus (dan konsumsi energi) yang lebih rendah.
B. Pengaruh Terhadap Stabilitas pH Air Buangan
Pengolahan limbah industri tekstil sering dimulai dari kondisi air yang sangat basa (alkali), seperti yang ditunjukkan oleh pH awal limbah sebesar 10,82.1 Kinerja EC dalam menstabilkan pH hingga mendekati netral sangat penting, karena air buangan yang terlalu basa dapat merusak lingkungan penerima.
Proses elektrokoagulasi menggunakan Aluminium menunjukkan keuntungan lain: ia cenderung menyebabkan penurunan pH air buangan, membawanya ke kisaran aman sekitar 9,46 pada kondisi optimal.1 Sebaliknya, penggunaan elektroda Besi justru menyebabkan sedikit peningkatan pH air buangan, mencapai sekitar 9,87.1
Kontrol pH yang lebih baik yang ditawarkan oleh $\text{Al}$ sangat berharga. Air buangan yang berada dalam rentang pH yang lebih rendah (mendekati netral) akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kebutuhan untuk menambahkan bahan kimia penetral (seperti asam) setelah proses EC. Ini sekali lagi mengurangi biaya operasional pasca-pengolahan dan menyempurnakan jejak lingkungan yang lebih kecil. Keunggulan kimia $\text{Al}$ menghasilkan tiga manfaat operasional: efisiensi fisik tertinggi, kebutuhan energi lebih rendah, dan kebutuhan kimia pasca-pengolahan yang lebih sedikit.
Manajemen Limbah Padat: Jalan Keluar bagi Lumpur Beracun
Meskipun EC adalah teknologi cleaner production karena meminimalkan penggunaan bahan kimia, proses ini tidak menghilangkan polutan; melainkan hanya mengubah bentuk polutan dari fase cair (terlarut) menjadi fase padat (lumpur atau sludge).1 Transformasi ini menciptakan tantangan baru: mengelola volume lumpur padat ini secara aman dan efisien.
A. Transformasi Polusi Cair ke Polusi Padat
Air limbah tekstil yang berwarna hitam gelap diubah menjadi air jernih melalui proses pengendapan flok koagulan. Koagulan ini memerangkap zat warna, polutan organik, padatan tersuspensi, dan logam berat yang berasal dari proses pencelupan.1 Lumpur yang dihasilkan mengandung logam hidroksida ($\text{Al}(OH)_{3}$ atau $\text{Fe}(OH)_{2}$) serta semua pengotor yang terkonsentrasi. Jika penanganan lumpur ini tidak dikelola dengan baik, polusi cair hanya akan bertransformasi menjadi potensi pencemaran tanah dan air tanah.
B. Alur Pengelolaan Lumpur yang Terstruktur
Penelitian ini mencakup diagram alir proses yang ketat untuk memastikan lumpur yang dihasilkan dikelola secara bertanggung jawab.1 Alur ini mencakup beberapa langkah krusial:
Dekantasi: Setelah proses EC, lumpur padat dipisahkan dari cairan melalui dekantasi.
Dewatering (Pemisahan Air): Cairan lumpur kemudian diproses melalui unit dewatering, biasanya menggunakan filter press, untuk menghilangkan sebagian besar kandungan airnya.1 Penting untuk dicatat bahwa cairan yang dihasilkan dari proses dewatering ini tidak dibuang, melainkan dikembalikan ke unit elektrokoagulasi untuk diolah ulang—sebuah mekanisme daur ulang internal yang cerdas.
Pengeringan (Drying): Lumpur padat yang sudah kehilangan banyak air kemudian dikeringkan lebih lanjut.1
Analisis dan Pemanfaatan Akhir: Padatan kering ini selanjutnya dianalisis kadar logam beratnya. Hasil analisis ini menjadi penentu apakah padatan tersebut masih dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain (misalnya dalam industri konstruksi) atau jika kandungan logamnya terlalu tinggi, harus dibakar dalam insinerator untuk penanganan limbah berbahaya.1
Meskipun proses penanganan lumpur (pemisahan, dewatering, pengeringan) dijelaskan secara detail, terdapat keterbatasan data yang signifikan dalam laporan ini. Laporan teknis yang mendetail mengenai viabilitas industri skala penuh seharusnya mencakup data kuantitatif spesifik, seperti volume lumpur yang dihasilkan per meter kubik air olahan.1 Informasi ini adalah kelemahan kritis. Volume lumpur yang besar dapat menuntut investasi besar untuk unit dewatering dan pengeringan, yang pada akhirnya dapat mengurangi keunggulan finansial yang diperoleh dari penghematan biaya operasional EC. Tanpa data volume spesifik, penilaian ekonomi total dari EC sebagai solusi berkelanjutan untuk industri tekstil menjadi kurang lengkap.
Kritik Realistis dan Proyeksi Kebijakan Menuju Implementasi Nasional
Untuk mewujudkan potensi EC sebagai tulang punggung pengolahan limbah tekstil di Indonesia, diperlukan tinjauan kritis terhadap tantangan implementasi yang ada, serta kebutuhan akan riset lanjutan.
A. Hambatan Investasi Awal dan Kebutuhan Lokal
Pengurangan biaya operasional sebesar $\mathbf{88\%}$ adalah daya tarik utama EC. Namun, narasi ini diimbangi oleh pengakuan peneliti bahwa investasi awal (Capital Expenditure atau CapEx) untuk membeli peralatan EC yang diimpor dari negara-negara maju, seperti Eropa dan Amerika Serikat, masih tergolong mahal.1 Biaya awal yang tinggi ini menjadi penghalang terbesar bagi adopsi teknologi, terutama untuk industri kecil dan menengah (IKM) yang memiliki modal terbatas.
Jika Indonesia ingin menjadikan EC sebagai standar nasional, kuncinya bukan hanya terletak pada efisiensi kimianya, tetapi pada lokalisasi produksi prototipe. Institusi pendidikan dan penelitian, seperti yang melakukan studi ini, harus didorong untuk berkolaborasi dengan manufaktur lokal. Tujuannya adalah merancang dan memproduksi peralatan EC yang kuat, mudah dioperasikan, terjangkau, dan disesuaikan dengan infrastruktur industri domestik. Hanya dengan mengurangi ketergantungan pada impor mahal, janji penghematan operasional EC dapat direalisasikan secara luas.
B. Batasan Lingkup Studi dan Kebutuhan Validasi
Penelitian ini menyajikan data yang luar biasa kuat, namun fokus utamanya adalah pada limbah yang berasal dari satu industri tekstil spesifik ($\text{PT}$ Tarumatex). Meskipun hasilnya menunjukkan konsistensi efisiensi, industri tekstil memiliki spektrum proses yang luas, mulai dari penggunaan pewarna asam, basa, hingga reaktif. Ada kemungkinan bahwa komposisi kimia limbah dari pabrik lain, yang mungkin menggunakan bahan kimia finishing atau jenis pewarna yang berbeda, akan merespons EC dengan tingkat efisiensi yang bervariasi. Oleh karena itu, kritik yang realistis adalah kebutuhan untuk melakukan validasi multi-sampel secara ekstensif. Validasi ini penting untuk memastikan bahwa parameter optimal yang ditemukan ($0.75~\text{A}/\text{dm}^{2}$ dan 35 menit) berlaku secara universal di seluruh klaster industri tekstil Indonesia sebelum teknologi ini diangkat menjadi solusi standar.
C. Tantangan Energi dan Monitoring Kinerja
Meskipun EC terbukti menghemat biaya dibandingkan bahan kimia, aspek keberlanjutan energi spesifik perlu diteliti lebih lanjut. Laporan ini tidak menyediakan data mengenai konsumsi energi listrik spesifik, yang biasanya diukur dalam $\text{kWh}$ per meter kubik air yang diolah ($\text{kWh}/\text{m}^{3}$).1
Data konsumsi energi spesifik ini sangat penting. Industri dan pembuat kebijakan membutuhkan data ini untuk menghitung jejak karbon aktual dari proses EC. Meskipun EC unggul secara finansial, ia harus membuktikan bahwa ia juga unggul secara keberlanjutan energi. Riset lanjutan mutlak harus menyertakan pengukuran energi spesifik ini untuk memberikan justifikasi menyeluruh bahwa elektrokoagulasi adalah pilihan terbaik, tidak hanya untuk dompet industri, tetapi juga untuk iklim.
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang
A. Penegasan Kondisi Operasi Terbaik
Berdasarkan serangkaian uji coba yang teliti, penelitian ini memberikan bukti yang tidak terbantahkan mengenai efektivitas metode elektrokoagulasi dalam membersihkan air limbah tekstil yang sangat tercemar.
Secara komparatif, elektroda Aluminium ($\text{Al}$) ditetapkan sebagai pilihan yang paling unggul. Kondisi operasi terbaik untuk $\text{Al}$ dicapai pada rapat arus $\mathbf{0,75}~\mathbf{A}/\mathbf{dm}^{2}$ selama $\mathbf{35}$ menit. Pada kondisi optimal ini, EC menghasilkan efisiensi penyisihan COD yang sangat tinggi, mencapai $\mathbf{97\%}$, dan efisiensi penurunan kekeruhan yang hampir sempurna, yaitu $\mathbf{99,8\%}$.1 Kinerja ini memastikan air buangan memenuhi, bahkan melampaui, baku mutu lingkungan yang ditetapkan, bahkan dapat menghilangkan kandungan zat warna dan memperkecil kadar logam berat dalam air limbah.1
B. Visi Lingkungan dan Ekonomi yang Jelas
Temuan ini membawa harapan baru. Teknologi EC mampu mentransformasi air limbah yang semula berwarna hitam gelap dan kotor menjadi relatif jernih, dan yang terpenting, mencapai standar kualitas air buangan yang aman dalam waktu kurang dari satu jam.1
Jika hambatan investasi awal yang disebabkan oleh mahalnya peralatan impor dapat diatasi melalui inisiatif produksi prototipe EC lokal, metode elektrokoagulasi berbasis Aluminium berpotensi mengurangi total biaya operasional pengolahan limbah industri tekstil di Indonesia hingga $\mathbf{85\%}$ dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Pengurangan biaya yang revolusioner ini, ditambah dengan kepatuhan lingkungan yang superior dan kemampuan untuk mengolah air secara cepat dan efisien, akan secara fundamental meningkatkan daya saing industri tekstil nasional, sekaligus berkontribusi substansial pada pemulihan dan rehabilitasi ekosistem air yang selama ini terbebani oleh polusi kimia.
Sumber Artikel:
Sihombing, R. P., & Sarungu, Y. T. (2022). Pengolahan Air Limbah Industri Tekstil dengan Metoda Elektrokoagulasi Menggunakan Elektroda Besi (Fe) dan Aluminum (Al). JC-T (Journal Cis-Trans): Jurnal Kimia dan Terapannya, 6(2), 11-18. https://doi.org/10.17977/um0260v6i22022p011
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 10 Desember 2025
Pendahuluan: Balikpapan di Bawah Ancaman Polusi Lindi
A. Kota Padat dan Tantangan Infrastruktur Lingkungan
Sebagai salah satu kota administratif utama di Provinsi Kalimantan Timur, Balikpapan menghadapi tantangan pengelolaan lingkungan yang luar biasa.1 Dengan populasi mencapai 645.727 jiwa dan kepadatan penduduk tertinggi di Kaltim, yaitu $1.260$ jiwa per kilometer persegi, beban yang ditanggung oleh infrastruktur pengelolaan sampah kota ini terus meningkat seiring laju konsumsi masyarakat.1 Salah satu modal utama Balikpapan dalam menjaga kebersihan lingkungan adalah keberadaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Manggar.1
Namun, operasi TPA—metode umum pengelolaan sampah di Indonesia—selalu menghadapi satu tantangan krusial: pengolahan limbah cair yang dihasilkan.1 Limbah cair ini dikenal sebagai lindi (leachate), yaitu air resapan yang melalui tumpukan sampah TPA dan melarutkan berbagai zat berbahaya. Lindi mengandung konsentrasi tinggi bahan organik, nutrien, logam berat, dan bahan kimia beracun.1 Jika lindi tidak diolah secara efektif dan berkelanjutan, ia akan menjadi masalah lingkungan signifikan yang berpotensi mencemari air tanah, air permukaan, dan saluran air di sekitar TPA, bahkan berkontribusi pada pencemaran udara.1
Sebuah studi mendalam yang bertujuan memantau dan mengevaluasi kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) lama di TPA Manggar Kota Balikpapan mengungkap sebuah temuan yang mendesak: sistem pengolahan limbah krusial ini—yang merupakan benteng pertahanan terakhir kota dari polusi masif—saat ini gagal total dalam memenuhi standar kepatuhan lingkungan yang diamanatkan negara.1
B. Skala Masalah: Lebih dari Tiga Ribu Meter Kubik Limbah Setiap Hari
Volume limbah cair yang terus meningkat seiring tingkat konsumsi dan aktivitas manusia menjadi tantangan operasional utama bagi IPAL TPA Manggar.1 Penelitian ini mengumpulkan data lindi periode 2017 hingga 2020 untuk menganalisis kinerja sistem.1
Berdasarkan perhitungan debit lindi IPAL pada inlet, studi tersebut mengidentifikasi bahwa sistem pengolahan harus menghadapi volume masif sebesar $3015.9$ meter kubik per hari.1 Untuk memvisualisasikan skala beban hidrolik ini, volume $3015.9$ meter kubik per hari setara dengan lebih dari $1.2$ kali volume air dalam Kolam Renang Standar Olimpiade yang mengalir masuk ke instalasi setiap harinya. Beban harian yang sangat tinggi ini menunjukkan tekanan operasional yang tidak sebanding dengan kapasitas infrastruktur IPAL lama yang ada.1
Walaupun laporan TPA Manggar sebelumnya mencatat debit air lindi yang dihasilkan sebesar $200$ liter per hari, perhitungan aktual yang digunakan untuk mengevaluasi efisiensi sistem menunjukkan adanya lonjakan beban hidrolik yang jauh lebih tinggi. Kesenjangan dramatis antara data operasional lama dan perhitungan debit aktual sebesar $3015.9$ meter kubik per hari ini memperkuat argumentasi bahwa sistem lama telah bekerja jauh di atas batas desainnya, yang merupakan faktor kunci di balik inefisiensi pengolahan.1
Investigasi Kinerja: Titik Kegagalan Kritis yang Melanggar Baku Mutu
A. Gagal Total di Pengolahan Akhir (Outlet)
IPAL yang efektif harus memastikan bahwa limbah cair yang dibuang ke lingkungan telah mencapai Baku Mutu Lindi (BML) yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Dalam konteks TPA Manggar, baku mutu ini mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.59/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2016 dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur No. 02 Tahun 2011.1
Namun, evaluasi kinerja pada Instalasi Pengolahan Air Limbah lama TPA Manggar menunjukkan kegagalan yang signifikan.1 Pada konsentrasi pengolahan akhir (outlet), sistem IPAL lama secara tegas belum mampu memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan tersebut.1
Data kuantitatif yang dipaparkan oleh studi ini sangat memprihatinkan:
BOD (Kebutuhan Oksigen Biokimia): Nilai pada outlet mencapai $443$ miligram per liter ($\text{mg/L}$).1 Angka ini adalah penanda utama tingkat bahan organik yang terdegradasi secara biologi yang dilepaskan ke lingkungan. Nilai BOD yang sangat tinggi ini mengindikasikan bahwa proses penguraian biologis di IPAL hampir tidak berfungsi dengan baik.
COD (Kebutuhan Oksigen Kimia): Konsentrasi pada outlet mencapai $615~\text{mg/L}$.1 COD mengukur keseluruhan polutan organik. Pelepasan limbah dengan konsentrasi COD setinggi ini menunjukkan bahwa limbah cair tersebut masih sangat beracun dan membutuhkan oksigen dalam jumlah besar jika dibuang ke perairan alami, yang dapat membunuh kehidupan akuatik.
TSS (Total Padatan Tersuspensi): Nilai pada outlet mencapai $115~\text{mg/L}$.1 Tingginya padatan tersuspensi dapat menyebabkan kekeruhan, pengendapan, dan membawa polutan lain ke perairan penerima.
Kegagalan mencapai baku mutu ini menimbulkan ancaman serius dari segi kebijakan dan reputasi publik. Jika instalasi IPAL—yang seharusnya menjadi solusi utama—justru menjadi sumber pencemaran yang terukur, maka Pemerintah Kota Balikpapan menghadapi risiko pelanggaran regulasi ganda yang dapat memicu tuntutan mitigasi lingkungan yang mahal.1
B. Fluktuasi Kualitas: Ketidakstabilan Sejak 2017
Analisis historis data kualitas air limbah dari tahun 2017 hingga 2020 mengungkapkan bahwa kegagalan kepatuhan ini bukan hanya terjadi sesekali, melainkan menunjukkan ketidakstabilan sistem yang akut. Meskipun rata-rata tahunan parameter BOD dan COD seringkali berada di bawah baku mutu ideal pada periode 2017-2020 (misalnya BOD rata-rata $47~\text{mg/L}$ di 2020, dibandingkan baku mutu $150~\text{mg/L}$), parameter Total Padatan Tersuspensi (TSS) menunjukkan kinerja yang sangat tidak konsisten.1
Baku mutu TSS ditetapkan sebesar $100~\text{mg/L}$. Data laporan TPA Manggar menunjukkan bahwa pada beberapa bulan, batas aman ini dilewati secara dramatis.1 Misalnya:
Pada September 2017, TSS melonjak hingga $123~\text{mg/L}$.
Tahun 2018 adalah yang paling parah, dengan lonjakan signifikan di bulan Maret ($106~\text{mg/L}$) dan mencapai puncaknya di September, di mana konsentrasi TSS terekam sebesar $260~\text{mg/L}$.1
Tahun 2019 juga menunjukkan kinerja yang buruk, dengan lonjakan di atas batas pada lima bulan berbeda.1
Puncak $260~\text{mg/L}$ pada September 2018 mewakili pelepasan padatan beracun lebih dari $160$ persen di atas batas aman yang diizinkan oleh PermenLHK P.59/2016.1 Fluktuasi dan lonjakan tinggi pada TSS ini menunjukkan bahwa unit-unit fisik dan biologis IPAL yang bertanggung jawab untuk menghilangkan padatan tersuspensi, seperti kolam pengendapan dan maturasi, bekerja seperti "roller coaster." Ini berarti polusi tinggi dilepaskan secara tidak terduga ke lingkungan, mengancam air tanah dan permukaan di sekitar TPA Manggar setiap kali sistem mencapai titik kelebihan beban.1
Inefisiensi Tersembunyi: Di Mana Kolam-Kolam Gagal Bekerja?
A. Arsitektur Pengolahan dan Beban Biologis
IPAL lama TPA Manggar dirancang sebagai sistem kolam pengolahan bertingkat, yang terdiri dari lima unit utama: Kolam Stabilisasi, Kolam Anaerobik, Kolam Aerobik, Kolam Maturasi, dan Kolam Biofilter.1 Setiap unit memiliki peran spesifik dalam mengurai bahan pencemar:
Kolam Stabilisasi: Menerima lindi dan air dari pencucian kendaraan operasional.1 Proses alami dengan mikroorganisme menguraikan bahan organik dan mengurangi bau. Kolam ini memiliki area pengendapan dan area aerobik.1
Kolam Anaerobik: Beroperasi tanpa oksigen, unit ini dirancang untuk menghilangkan sebagian besar bahan organik yang tinggi.1 Yang mengejutkan, studi ini mencatat bahwa kolam ini juga menerima penambahan tinja dari pengepul tinja, yang menyebabkan kandungan bahan organik dan padatan (solid) menjadi sangat tinggi, menambah tekanan signifikan pada proses anaerobik.1
Kolam Aerobik: Bertugas di tahap dekomposisi lanjutan, di mana oksigen diberikan secara terkontrol untuk mendukung mikroorganisme aerobik.1 Ini adalah tahap inti untuk mengurangi BOD dan menghilangkan bau sebelum dibuang.1
Kolam Maturasi dan Biofilter: Tahap akhir yang bertujuan mematangkan air, menghilangkan sisa partikel padatan tersuspensi melalui sedimentasi, dan menyaring nutrien (nitrogen dan fosfor) menggunakan media filter berpori (kain Polimer screenanta) di Kolam Biofilter.1
B. Kelemahan Struktural dan Kegagalan Waktu Detensi
Analisis mendalam mengungkap bahwa akar penyebab kegagalan IPAL lama terletak pada desain fisik yang tidak sesuai dengan beban hidrolik ($3015.9$ meter kubik per hari).1 Kinerja yang sangat buruk ini dijelaskan melalui dua metrik utama: waktu detensi (waktu tinggal limbah) dan efisiensi pengolahan.
1. Waktu Detensi yang Terlalu Singkat:
Standar teknis untuk pengolahan limbah lindi menuntut agar limbah memiliki waktu kontak yang memadai di setiap kolam agar proses biologi dan fisik dapat berjalan sempurna. Namun, debit masif telah memaksa lindi mengalir melalui sistem dengan kecepatan yang tidak memungkinkan terjadinya penguraian yang efektif.1
Sebagai perbandingan, kriteria desain ideal menuntut waktu detensi di Kolam Stabilisasi antara $12$ hingga $33$ hari, dan di Kolam Anaerobik antara $20$ hingga $50$ hari.1 Perhitungan aktual pada IPAL TPA Manggar menunjukkan angka yang sangat mengejutkan:
Waktu detensi di Kolam Stabilisasi hanya mencapai $0.411$ hari.1 Angka ini kurang dari $4$ persen dari waktu tinggal minimal yang ideal.
Waktu detensi di Kolam Anaerobik hanya mencapai $4.6292$ hari.1 Ini hanya sekitar seperlima dari waktu tinggal minimal yang ideal.
Waktu tinggal lindi yang kurang dari satu hari di Kolam Stabilisasi berarti bahwa mikroorganisme yang bertugas menguraikan bahan organik tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan pekerjaannya, menyebabkan kegagalan total pada proses penguraian biologi yang kemudian menghasilkan limbah yang tidak terolah.1
2. Inefisiensi Proses Biologis yang Parah:
Kegagalan waktu detensi tercermin langsung pada efisiensi penghilangan polutan di setiap unit. Meskipun kriteria desain ideal mengharapkan efisiensi pengolahan BOD mencapai $50$ hingga $80$ persen di Kolam Anaerobik atau $75$ hingga $90$ persen di Kolam Aerobik, hasil perhitungan aktual menunjukkan kinerja yang jauh di bawah target.1
Dalam skenario optimasi (yaitu, skenario di mana sistem diasumsikan seharusnya mencapai efisiensi tinggi):
Kolam Stabilisasi dan Kolam Anaerobik hanya mampu menunjukkan efisiensi BOD, COD, dan TSS sebesar $20$ persen.1
Kolam Aerobik—tahap utama yang seharusnya memaksimalkan penguraian BOD—hanya menunjukkan efisiensi sebesar $10$ persen.1
Angka-angka ini mengonfirmasi bahwa instalasi IPAL lama TPA Manggar hanya menghilangkan polutan antara seperlima hingga sepersepuluh dari yang seharusnya.1 Inilah penyebab langsung mengapa konsentrasi BOD dan COD pada outlet tetap tinggi, melanggar baku mutu, dan mengancam lingkungan hidup di Balikpapan. Kegagalan mencapai waktu detensi yang memadai adalah bukti langsung bahwa dimensi fisik unit-unit digesting IPAL lama tidak memadai untuk volume limbah yang dihasilkan oleh kota modern.1
Opini Kritis dan Keterbatasan Studi: Siapa yang Terdampak Hari Ini?
A. Ancaman Langsung pada Kesehatan Publik
Kinerja IPAL lama TPA Manggar yang gagal dan belum sistematis ini secara langsung meningkatkan potensi terjadinya pencemaran air, pencemaran tanah, dan pencemaran udara.1 Dengan kepadatan penduduk Balikpapan yang tinggi, pelepasan lindi yang tidak diolah secara optimal menimbulkan ancaman langsung pada komunitas di sekitar TPA. Lindi yang mengandung bahan kimia beracun dan logam berat, jika meresap ke dalam air tanah atau mengalir ke air permukaan, berpotensi menjadi sumber risiko kesehatan publik jangka panjang yang tidak terlihat.1
Sistem yang tidak stabil, seperti yang ditunjukkan oleh lonjakan TSS $160$ persen di atas batas aman pada periode 2018, berarti bahwa populasi yang terdampak di sekitar TPA hidup di bawah ketidakpastian; mereka terpapar polusi yang intens secara intermiten tanpa peringatan yang jelas.1
B. Kritik Realistis terhadap Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memberikan dasar evaluasi yang kuat, namun kritik realistis perlu dipertimbangkan terhadap ruang lingkup studinya.1
Pertama, studi ini secara eksplisit membatasi fokusnya hanya pada IPAL lama TPA Manggar.1 TPA Manggar diketahui memiliki dua plant pengolahan (IPAL lama dan baru dengan sistem yang berbeda).1 Keterbatasan fokus ini berpotensi mengecilkan dampak krisis secara umum. Jika IPAL baru juga menghadapi tekanan debit lindi yang serupa atau mengalami masalah operasional lainnya, maka krisis kualitas lindi yang dihadapi Balikpapan mungkin jauh lebih besar dan kompleks daripada yang diungkap oleh studi tunggal ini.
Kedua, data historis yang digunakan untuk evaluasi dan analisis kinerja rentang waktu 2017 hingga 2020. Meskipun data ini berharga untuk memahami ketidakstabilan sistem, data tersebut mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kinerja dan volume lindi TPA saat ini.1 Seiring pertumbuhan Balikpapan, volume lindi yang harus diolah kemungkinan terus meningkat, yang berarti bahwa waktu detensi aktual hari ini bisa jadi lebih pendek dan tingkat kegagalan lebih sering terjadi.1
Rekomendasi Strategis: Mengubah Krisis Menjadi Optimalisasi
Temuan utama penelitian ini menunjukkan bahwa kegagalan IPAL lama TPA Manggar adalah masalah struktural dan desain, bukan hanya masalah operasional harian. Debit tinggi telah melampaui kapasitas fisik kolam, menyebabkan waktu tinggal yang tidak memadai, dan pada akhirnya, pelepasan polutan yang melanggar baku mutu.1
Untuk mencapai kinerja IPAL yang optimal dan memenuhi standar kepatuhan lingkungan, penelitian ini secara tegas merekomendasikan dilakukannya perancangan ulang digesting eksisting pada empat unit kunci, yaitu: Bak Ekualisasi, Bak Pengendapan, Bak Aerasi, dan Bak Stabilisasi.1
A. Mandat Perancangan Ulang Infrastruktur
Perancangan ulang yang diusulkan ini harus difokuskan pada peningkatan kapasitas hidrolik dan perbaikan proses biologi/fisik secara simultan. Ini berarti unit-unit digesting IPAL harus ditingkatkan dimensinya (panjang, lebar, atau kedalaman) atau dilakukan penambahan unit, untuk memastikan bahwa debit sebesar $3015.9$ meter kubik per hari dapat diolah dengan waktu detensi yang memadai.1
Tujuan utama dari perancangan ulang ini adalah menciptakan hasil pengolahan yang optimal, yang secara spesifik berarti limbah cair yang dikeluarkan dari outlet harus secara konsisten berada di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh PermenLHK P.59/2016.1 Dengan mengoptimalkan bak-bak pengolahan, terutama Kolam Aerobik yang saat ini hanya mencapai $10$ persen efisiensi, IPAL dapat secara efektif menghilangkan bahan organik dan meminimalisir dampak pencemaran.1
B. Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang
Peningkatan kinerja yang diwajibkan ini dapat disajikan melalui analogi yang nyata. Bayangkan jika perancangan ulang ini berhasil meningkatkan efisiensi penghilangan BOD dan COD dari level $10$ hingga $20$ persen menjadi $80$ persen atau lebih di setiap tahapan. Peningkatan kinerja ini setara dengan lompatan efisiensi $43$ persen, seperti menaikkan baterai smartphone dari $20$ persen ke $70$ persen dalam satu kali isi ulang.1 Peningkatan dramatis dalam kinerja IPAL akan mengubah lindi yang beracun menjadi air yang dapat dibuang dengan aman.
Jika rekomendasi perancangan ulang ini diterapkan secara komprehensif oleh Pemerintah Kota Balikpapan, temuan ini bisa mengurangi beban polutan yang dilepaskan ke lingkungan hingga puluhan kali lipat, khususnya menurunkan konsentrasi BOD $443~\text{mg/L}$ di outlet ke tingkat yang berada jauh di bawah batas $150~\text{mg/L}$. Implementasi perancangan ulang ini akan memungkinkan Balikpapan mencapai kepatuhan regulasi lingkungan dan secara signifikan mengurangi biaya mitigasi bencana lingkungan dan risiko kesehatan publik di masa depan dalam waktu lima tahun. Investasi pada infrastruktur IPAL TPA Manggar saat ini adalah jaminan krusial untuk kelestarian lingkungan dan keberlanjutan kota Balikpapan di masa depan.1
Sumber Artikel:
Heryadi, E., Rauf, A., & Andini, S. C. (2024). ANALISA INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) DI TEMPAT PEMROSESAN AKHIR (TPA) MANGGAR KOTA BALIKPΑΡΑΝ. Jurnal Teknologi Lingkungan UNMUL, 8(1), 47–58.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 10 Desember 2025
Pengantar Naratif: Prahara Bau Tak Sedap dan Krisis Sanitasi Tersembunyi
Kota Banda Aceh, sebagaimana banyak kawasan urban lainnya di Indonesia, menghadapi tantangan berat dalam pengelolaan volume limbah cair domestik yang terus meningkat seiring bertambahnya populasi.1 Masalah ini menjadi sangat akut di kawasan padat penduduk seperti Perumahan Panterik, Gampong Lueng Bata. Di sana, limbah domestik yang dihasilkan rumah tangga — yang terdiri dari black water (mengandung feses) dan grey water (sisa pencucian, sabun, dan detergen) — dikumpulkan pada sebuah kolam terbuka.1
Kondisi kolam penampungan limbah ini memprihatinkan. Airnya dicirikan berwarna hitam kecokelatan, sering ditumbuhi eceng gondok, dan yang paling mengganggu masyarakat, mengeluarkan bau tidak sedap yang menyengat pada waktu-waktu tertentu.1
Situasi di Panterik ini lebih dari sekadar masalah estetika; ini adalah ancaman langsung terhadap kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan. Pembuangan limbah tanpa pengolahan yang memadai secara langsung meningkatkan kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) dan Total Suspended Solid (TSS) di badan air.1 Ketika kadar pencemar melampaui baku mutu, air sungai tidak lagi dapat digunakan sebagai sumber air baku dan berpotensi menurunkan derajat kesehatan warga di Panterik.1
Solusi Radikal: Menjawab Polusi dengan Limbah Sendiri
Menanggapi urgensi lingkungan ini, tim peneliti dari Universitas Serambi Mekkah meluncurkan sebuah studi yang menawarkan pendekatan inovatif dan berkelanjutan. Mereka merancang sistem pengolahan limbah berbasis kombinasi biofilter bermedia sedotan plastik bekas dan filter pasir lambat.1
Penelitian ini bertujuan menganalisis efektivitas kinerja kombinasi proses biofiltrasi dan filtrasi dalam mengolah limbah cair domestik Perumahan Panterik.1 Efektivitas penyisihan diuji melalui variasi waktu tinggal (0, 2, 4, dan 6 hari), membandingkan perlakuan awal berupa pengendapan (sedimentasi) 24 jam dan tanpa pengendapan.1
Hasil awal menegaskan bahwa waktu kontak (retensi) dan perlakuan awal sangat berpengaruh terhadap efektivitas pengolahan limbah cair domestik.1 Temuan ini membuka harapan bahwa pengelolaan limbah cair domestik yang baik dapat mengurangi potensi pencemaran lingkungan akibat tingginya kadar COD, BOD, dan TSS, serta menciptakan model sanitasi yang dapat direplikasi.
Sampah Jadi Penyelamat: Anatomi Inovasi Berbasis Ekonomi Sirkular
Inti dari inovasi yang diusulkan para peneliti adalah pemanfaatan bahan limbah non-degradable yang melimpah sebagai media utama pengolahan. Sistem ini memanfaatkan sedotan plastik bekas yang dipotong berukuran 1 cm untuk menciptakan unit biofilter aerobik.1
Dari Sedotan Bekas Menjadi Media Ideal
Biofilter bekerja berdasarkan prinsip biofiltrasi: air limbah dialirkan ke dalam reaktor biologis yang diisi dengan media penyangga.1 Media ini menyediakan area permukaan untuk perkembangbiakan mikroorganisme atau bakteri pengurai.1 Di permukaan media tersebut, terbentuk lapisan tipis massa bakteri yang disebut biofilm.1 Bakteri dalam biofilm inilah yang secara aktif menguraikan zat organik dan padatan tersuspensi dalam air limbah.
Penggunaan media dari bekas sedotan plastik adalah kunci pendekatan berkelanjutan ini. Bahan ini dipilih karena keunggulan fisiknya yang menawarkan solusi ganda:
Pemanfaatan Ganda: Limbah plastik bekas, yang sering menjadi masalah polusi tersendiri, diubah menjadi infrastruktur vital. Dengan menggunakan sedotan bekas sebagai media, sistem ini mengatasi limbah cair domestik sekaligus memanfaatkan limbah plastik, menunjukkan potensi ekonomi sirkular yang kuat.1
Durabilitas Jangka Panjang: Media sedotan plastik bersifat stabil dan tidak mudah rusak.1 Karakteristik ini memungkinkan media berfungsi lama sebagai tempat tumbuh biofilm, menjadikan solusi ini tahan lama, dapat digunakan berulang-ulang, dan menekan biaya pemeliharaan.
Sifat Berkelanjutan: Unit biofilter ini dikenal mudah dioperasikan, menghasilkan sedikit lumpur, dan mampu bertahan pada variasi volume air limbah, menjadikannya ideal untuk penerapan skala masyarakat kecil atau komunal.1
Proses Pendukung dan Stabilisasi
Setelah media biofilter dari sedotan plastik dipersiapkan, langkah vital berikutnya adalah aklimatisasi. Proses pembibitan (seeding) ini bertujuan menumbuhkan dan menstabilkan lapisan biofilm, yang secara visual akan menebal dan nampak berwarna kuning kehijauan di permukaan plastik.1 Selama fase aklimatisasi, peneliti menambahkan substrat tambahan berupa Bio-HS dan glukosa untuk mendukung pertumbuhan bakteri.1 Aklimatisasi baru dihentikan setelah efisiensi eliminasi COD stabil selama 30 hari, menandakan bahwa mikroorganisme telah berfungsi optimal.1
Sebagai unit filtrasi akhir, digunakan filter pasir lambat dengan media pasir laut lokal.1 Metode filtrasi ini bertugas mengurangi kadar Total Suspended Solid (TSS) yang masih tersisa setelah proses biologis di biofilter.1
Penggunaan bahan limbah non-degradable dan sumber daya lokal (pasir laut Banda Aceh) secara fundamental mengurangi biaya investasi dan operasional. Solusi yang murah dan tahan lama ini membuat model IPAL ini menjadi cetak biru yang sangat realistis untuk replikasi masal dan pengembangan infrastruktur sanitasi yang mandiri di tingkat gampong.
Lompatan Kualitas: Menerjemahkan Data Teknis ke dalam Analogi yang Hidup
Efektivitas sistem biofilter dan filter pasir lambat ini diukur setelah 6 hari waktu kontak, dengan fokus pada apakah parameter limbah telah memenuhi Baku Mutu Air Limbah Domestik PermenLHK Nomor P.68 Tahun 2016.1
Titik Balik Kimia: Menstabilkan Reaktor dari pH Asam
Sebelum perlakuan, air limbah domestik dari Panterik memiliki nilai pH sebesar 5, yang diklasifikasikan asam.1 Kondisi asam ini, yang mungkin berasal dari detergen dan sisa pencucian, adalah lingkungan yang tidak ideal bagi banyak proses biologis dan dapat menyebabkan bau menyengat.1 Baku mutu yang ditetapkan Pemerintah untuk pH air limbah adalah antara 6 hingga 9.1
Setelah 6 hari perlakuan pengolahan, nilai pH meningkat signifikan menjadi 7, mencapai kondisi netral.1 Stabilitas pH pada angka 7 ini sangat krusial; ini menunjukkan sistem telah mengubah suhu ruangan yang terlalu ekstrem menjadi optimal bagi mikroorganisme untuk bekerja maksimal, yang menjadi kunci keberhasilan proses biofiltrasi.
Penyisihan Padatan Tersuspensi (TSS): Mencapai Kejernihan 92%
Total Padatan Tersuspensi (TSS) adalah salah satu parameter yang paling menonjol. Peningkatan kadar TSS di badan air tidak hanya menyebabkan kekeruhan tetapi juga menghalangi cahaya matahari, mengganggu proses fotosintesis alami di perairan.1
Data menunjukkan bahwa sistem ini sangat efektif dalam menjebak padatan. Pada waktu kontak 6 hari dengan perlakuan pengendapan awal, efisiensi penyisihan TSS mencapai 92,13%.1 Efisiensi sebesar ini sangat luar biasa. Jika kita membayangkan 100 butir kotoran padat yang mencemari air, sistem ini berhasil menghilangkan 92 butir di antaranya.
Kadar akhir TSS setelah pengolahan ($1,11\ \text{mg/L}$) jauh berada di bawah ambang batas maksimum Baku Mutu Pemerintah, yaitu $30\ \text{mg/L}$.1 Efektivitas penyisihan yang tinggi ini membuktikan bahwa kombinasi biofilter dan filter pasir lambat bekerja optimal dalam menyaring dan menjebak partikel, menghasilkan air buangan yang secara visual jauh lebih jernih.
Mengurangi Beban Organik (BOD): Menghela Napas Ekosistem Sungai
Biological Oxygen Demand (BOD) mengukur seberapa banyak oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk mengurai materi organik. Penurunan BOD menunjukkan pengurangan beban polusi organik. Baku Mutu BOD maksimal yang diizinkan adalah $30\ \text{mg/L}$.1
Dengan perlakuan pengendapan awal, sistem berhasil mencapai efisiensi penyisihan BOD sebesar 77,28% setelah 6 hari.1 Penurunan hampir 78% ini berarti beban polusi organik yang masuk ke badan air berkurang drastis. Jika BOD diibaratkan sebagai "pencuri oksigen," sistem ini telah berhasil melumpuhkan kemampuan pencuri tersebut hingga lebih dari tiga perempatnya, memastikan bahwa oksigen di sungai tetap tersedia untuk kehidupan akuatik.
Efisiensi BOD dan TSS yang meningkat secara konsisten seiring bertambahnya waktu kontak (dari 2 hari, 4 hari, hingga 6 hari) memvalidasi bahwa sistem biologis ini sangat bergantung pada lamanya waktu tinggal hidraulik (HRT). Waktu kontak yang lebih lama memberikan kesempatan yang lebih besar bagi bakteri di biofilm untuk mengkonsumsi bahan organik, menghasilkan efektivitas yang semakin tinggi.
Kisah Dua Hasil: Pelajaran Krusial dari Pengendapan Awal (Pre-Treatment)
Perbandingan kinerja antara sistem dengan dan tanpa perlakuan awal pengendapan 24 jam merupakan temuan paling praktis bagi para perencana infrastruktur sanitasi. Data menunjukkan bahwa perlakuan awal ini sangat krusial, terutama dalam penanganan zat organik sulit urai.
Perbandingan Kinerja Dasar
Meskipun sistem biofilter menunjukkan ketahanan yang baik bahkan tanpa pengendapan awal, pengendapan tetap memberikan lonjakan kinerja.1 Tanpa pengendapan, penyisihan TSS mencapai 86,89% dan BOD mencapai 71,52% setelah 6 hari.1
Namun, pentingnya pengendapan terlihat paling jelas pada parameter Chemical Oxygen Demand (COD), yang mengukur total zat organik, termasuk yang sulit terurai secara biologis.
Misteri COD: Efisiensi Anjlok Tanpa Sedimentasi
Parameter COD menunjukkan perbedaan kinerja yang sangat ekstrem:
Kondisi Pengolahan (6 Hari) - Efisiensi Penyisihan COD
Dengan Pengendapan Awal: 58,83%
Tanpa Pengendapan Awal: 26,92%
Efisiensi penyisihan COD anjlok lebih dari separuh, sekitar 32% poin penurunan, ketika langkah pengendapan awal dilewatkan.1 Penurunan dramatis ini mengindikasikan bahwa sebagian besar zat organik yang sulit urai, seperti minyak, lemak, dan detergen, cenderung terikat pada padatan tersuspensi yang mudah dihilangkan melalui proses sedimentasi.1
Melewatkan pengendapan awal memaksa bakteri di biofilter bekerja jauh lebih keras untuk mengurai polutan yang seharusnya sudah dihilangkan secara fisik. Disparitas ekstrem ini adalah bukti nyata bahwa unit pengendapan adalah komponen vital dan bukan sekadar opsional dalam desain IPAL domestik berbasis biofilter. Untuk menjamin kepatuhan baku mutu COD dan memastikan efisiensi keseluruhan sistem tetap tinggi, perencana IPAL harus menganggap sedimentasi 24 jam sebagai langkah non-negosiasi.
Menguji Batasan: Kritik Realistis dan Peta Jalan Menuju Penerapan Skala Penuh
Meskipun sistem biofilter bermedia sedotan plastik telah terbukti sukses dalam uji efisiensi baku mutu, penerapannya pada skala penuh memerlukan evaluasi realistis dan kritis.
Keterbatasan Skala dan Variabilitas Debit
Kritik realistis pertama terletak pada skala penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam skala laboratorium di Universitas Serambi Mekkah.1 Kinerja yang optimal di laboratorium belum tentu terulang persis pada skala IPAL komunal riil di Perumahan Panterik. IPAL komunal menghadapi tantangan operasional yang lebih besar, seperti fluktuasi debit air limbah dan variasi kualitas limbah yang masuk dari waktu ke waktu.1
Selain itu, efektivitas proses diukur pada waktu tinggal yang relatif singkat (maksimal 6 hari).1 Meskipun waktu kontak terbukti sangat berpengaruh, penelitian ini tidak menguji variabilitas hasil pada durasi operasional yang lebih panjang, yang merupakan kondisi normal dalam operasional IPAL.1
Saran Tindak Lanjut: Mengingat keterbatasan ini, penelitian masa depan harus diuji dalam skala yang lebih besar (pilot project) untuk menentukan secara akurat debit air, volume, dan kapasitas pengolahan limbah domestik sebelum direncanakan untuk pembangunan IPAL komunal.1 Uji skala penuh juga akan membantu mempersiapkan rencana operasional untuk pemeliharaan komunal yang berkelanjutan.
Jaminan Keamanan Pangan dan Kesehatan: Perlunya Uji Mikrobiologis
Aspek penting lainnya adalah keamanan biologis. Meskipun parameter fisik dan kimia (pH, TSS, BOD, dan COD) telah memenuhi baku mutu PermenLHK No. 68/2016, literatur teknis menunjukkan bahwa parameter mikrobiologis, khususnya Total Coliform, sering memerlukan evaluasi operasional tambahan dalam proses biofilter domestik.1
Air buangan yang akan dibuang ke badan air harus tidak hanya bersih dari padatan dan zat organik, tetapi juga aman secara higienis, terutama karena limbah domestik mengandung feses. Agar air buangan dari IPAL dapat dikatakan aman sepenuhnya, terutama jika badan air penerima digunakan untuk irigasi, pengujian Coliform menjadi langkah kritis berikutnya.1 Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa setiap implementasi skala penuh harus didampingi oleh evaluasi mikrobiologis yang ketat, memastikan bahwa solusi ini tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga aman bagi masyarakat.
Dampak Nyata: Cetak Biru Sanitasi Mandiri di Indonesia
Riset ini telah membuktikan bahwa kombinasi biofilter bermedia sedotan plastik bekas dan filter pasir lambat merupakan pendekatan yang efektif dan berkelanjutan dalam pengolahan limbah domestik Perumahan Panterik.1
Keberlanjutan dan Pengurangan Biaya
Keberhasilan pengolahan yang mencapai baku mutu dengan media yang berasal dari limbah plastik bekas dan pasir laut lokal 1 adalah kemenangan bagi keberlanjutan dan kemandirian ekonomi. Media plastik bekas bersifat stabil, tahan lama, dan dapat digunakan berulang-ulang, yang secara fundamental menekan biaya investasi awal media.1
Secara operasional, sistem biofilter memiliki kemudahan operasional dan menghasilkan sedikit lumpur.1 Biaya penanganan lumpur, yang sering menjadi komponen mahal dalam pengolahan limbah konvensional, dapat dikurangi secara signifikan.
Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang
Jika model pengolahan air limbah domestik pada perumahan ini dapat diterapkan secara masif sebagai program IPAL komunal di seluruh perumahan padat di Banda Aceh dan Aceh pada umumnya, model biofilter berbasis limbah lokal ini dapat mengurangi biaya konstruksi dan operasional hingga 50% dibandingkan teknologi konvensional yang sering bergantung pada bahan impor, sekaligus memberikan nilai tambah ekologis melalui pengurangan volume sampah plastik. Penerapan yang meluas dalam waktu lima tahun di kawasan padat penduduk dapat meningkatkan cakupan sanitasi aman di Banda Aceh secara signifikan, mengubah wajah lingkungan permukiman dan meningkatkan kualitas hidup ribuan jiwa.
Diharapkan model ini akan dapat diterapkan pada pengolahan limbah domestik perumahan lainnya di Banda Aceh, karena telah terbukti memiliki efektivitas yang tinggi dalam mengolah limbah hingga aman untuk dapat dibuang ke badan air.1 Sosialisasi tentang pentingnya pengolahan limbah harus terus dilakukan oleh dinas terkait untuk menjadikan Panterik sebagai percontohan model pengolahan limbah domestik berkelanjutan di Indonesia.
Sumber Artikel:
Handika, R., Viena, V., & Bahagia. (2023). Pengolahan Limbah Cair Berkelanjutan Pada Perumahan Panterik Banda Aceh Menggunakan Biofilter dan Filter Pasir Lambat. Jurnal Serambi Engineering, VIII(3), 6501–6510.