Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 13 Maret 2025
Rumah adat adalah rumah konvensional yang dibangun dengan gaya arsitektur vernakular Indonesia, yang secara kolektif memiliki tempat pada arsitektur Austronesia. Rumah-rumah dan pemukiman konvensional dari beberapa ratus suku bangsa di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan semuanya memiliki sejarah tersendiri. Ini adalah variasi Indonesia dari teknik Austronesia yang lengkap yang ditemukan di seluruh tempat yang diduduki oleh orang-orang Austronesia dari Pasifik hingga Madagaskar yang masing-masing memiliki sejarah, budaya, dan mode.
Kelompok-kelompok etnis di Indonesia sering dikaitkan dengan klaim mereka yang tidak salah lagi yaitu rumah adat. Rumah-rumah tersebut berada di tengah-tengah jaringan tradisi, hubungan sosial, hukum konvensional, tabu, mitos, dan agama yang mengikat penduduk desa bersama-sama. Rumah menjadi pusat bagi keluarga dan komunitasnya, dan menjadi titik tolak berbagai kegiatan penghuninya. Penduduk desa membangun rumah klaim mereka, atau sebuah komunitas mengumpulkan asetnya untuk sebuah struktur yang dibangun di bawah arahan seorang ahli bangunan atau tukang kayu.
Sebagian besar penduduk Indonesia tidak tinggal di rumah adat, dan jumlahnya menurun dengan cepat karena perubahan finansial, mekanis, dan sosial.
Bentuk umum
Rumah-rumah tradisional di Indonesia, dengan sedikit pengecualian, memiliki kesamaan ciri-ciri karena nenek moyang Austronesia atau hubungannya dengan Sundalandia, sebuah wilayah cekung di Asia Tenggara. Rumah-rumah ini biasanya menampilkan konstruksi kayu dan struktur atap yang rumit. Bangunan Austronesia awal merupakan rumah panjang komunal yang berbentuk panggung, ditandai dengan atap miring yang curam dan atap pelana yang berat, seperti yang terlihat pada rumah adat Batak dan Tongkonan Toraja. Variasi serupa dari rumah panjang komunal juga ditemukan di antara masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Mentawai.
Sistem struktur pada umumnya melibatkan tiang, balok, dan ambang pintu yang memikul beban langsung ke tanah, dengan dinding terbuat dari kayu atau bambu yang tidak menahan beban. Teknik pertukangan kayu tradisional seperti sambungan tanggam dan duri, serta pasak kayu, digunakan sebagai pengganti paku. Bahan alami seperti kayu, bambu, jerami, dan ijuk biasa digunakan dalam pembangunan rumah adat. Kayu keras yang kokoh sering digunakan untuk tiang pancang, sedangkan kombinasi kayu lunak dan keras digunakan untuk dinding bagian atas tanpa beban, yang biasanya terbuat dari kayu ringan atau jerami. Bahan ilalang dapat berupa daun kelapa dan daun enau, rumput alang alang, dan jerami padi.
Tempat tinggal tradisional ini dirancang untuk beradaptasi dengan iklim monsun yang panas dan basah di Indonesia. Kebanyakan rumah adat dibangun di atas panggung, kecuali di Jawa, Bali, dan wilayah lain di Indonesia Timur. Meninggikan rumah panggung mempunyai beberapa tujuan, termasuk mengatur suhu tropis, melindungi dari limpasan air hujan dan lumpur, memungkinkan pembangunan di area lahan basah, mencegah kelembapan dan kelembapan, mengurangi risiko nyamuk pembawa malaria, dan meminimalkan kerusakan akibat busuk kering dan rayap. Atap yang miring dan curam memudahkan limpasan air hujan dengan cepat, sedangkan atap besar yang menjorok menghalangi masuknya air dan memberikan keteduhan. Di daerah pesisir, rumah sering kali memiliki banyak jendela untuk ventilasi silang, sedangkan rumah di daerah pegunungan yang lebih sejuk biasanya memiliki atap yang luas dan jendela yang lebih sedikit.
Contoh-contoh rumah tradisional Indonesia antara lain:
Contoh gambar
Kemunduran Rumah Adat
Kemunduran rumah adat di seluruh Indonesia dimulai pada masa kolonial, ketika pemerintah Belanda menganggap arsitektur tradisional tidak higienis dan tidak sesuai dengan standar modern. Rumah multi-keluarga tidak disukai oleh otoritas agama, sehingga menyebabkan program pembongkaran besar-besaran di beberapa daerah. Otoritas kolonial mengganti rumah tradisional dengan konstruksi gaya Barat yang menggunakan batu bata dan atap besi bergelombang, sehingga meningkatkan sanitasi dan ventilasi yang lebih baik. Pengrajin tradisional dilatih teknik bangunan Barat.
Sejak kemerdekaan, pemerintah Indonesia lebih memilih mempromosikan 'rumah sederhana sehat' dibandingkan rumah adat. Pergeseran ke arah ekonomi pasar membuat pembangunan rumah adat yang bersifat padat karya menjadi mahal, terutama dengan menipisnya sumber daya kayu keras akibat penggundulan hutan dan pertumbuhan penduduk. Akibatnya, mayoritas masyarakat Indonesia kini tinggal di bangunan modern dibandingkan rumah adat tradisional.
Di daerah yang banyak dikunjungi wisatawan seperti Tanah Toraja, rumah adat dipertahankan sebagai tempat wisata, namun bekas penghuninya sering kali tinggal di tempat lain. Namun di daerah terpencil, beberapa rumah adat masih ada, sedangkan di daerah lain, bangunan bergaya rumah adat dipertahankan untuk keperluan upacara atau resmi.
Adaptasi kontemporer
Pada masa kolonial Hindia Belanda, gaya rumah adat Indonesia sengaja diciptakan kembali dan ditiru untuk mewakili keragaman budaya koloni. Acara meriah seperti Pasar Gambir tahunan menampilkan paviliun dan bangunan yang dibangun dengan gaya rumah adat dari berbagai daerah di nusantara. Demikian pula, paviliun kolonial Belanda pada Pameran Kolonial Paris tahun 1931 memamerkan sintesis arsitektur vernakular Indonesia, yang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai budaya di Hindia Belanda.
Saat ini, bangunan modern terkadang memasukkan unsur gaya dari rumah adat, seperti Rumah Panca Indera di Belanda, yang meniru model rumah gadang Minangkabau. Beberapa orang Eropa pada masa kolonial juga membangun rumah dengan desain hibrida adat Barat.
Di banyak tempat, elemen atau ornamen rumah adat telah menjadi bagian dari identitas daerah, sehingga bangunan pemerintahan dan publik didorong untuk menampilkan elemen arsitektur asli tersebut. Meski dibangun menggunakan teknik kontemporer seperti rangka beton dan dinding bata, bangunan ini sering kali menggunakan atap tradisional, seperti bagonjong Minang atau tongkonan Toraja, yang memberikan perpaduan estetika modern dan tradisional.
Namun, pembangunan rumah adat modern berbingkai beton dan berdinding bata telah menimbulkan kekhawatiran akan ketahanan terhadap gempa. Rumah kayu tradisional umumnya lebih tahan terhadap gempa bumi, sedangkan struktur beton dapat runtuh akibat tekanan gempa, seperti yang terjadi pada gempa Padang tahun 2009. Beberapa komunitas telah mengadopsi konsep rumah adat 'semi-modern', yang menggabungkan elemen tradisional dengan cangkang beton untuk mengatasi permasalahan ini.
Disadur dari: en.wikipedia.org
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 13 Maret 2025
Rumah Gadang, juga dikenal sebagai Rumah Bagonjong, adalah rumah adat tradisional orang Minangkabau di Sumatera Barat, Indonesia. Desain, konstruksi, dekorasi dalam dan luar, serta fungsi rumah tersebut mencerminkan budaya dan nilai-nilai masyarakat Minangkabau. Rumah Gadang berfungsi sebagai tempat tinggal, ruang pertemuan keluarga, dan untuk kegiatan seremonial. Di dalam masyarakat matrilineal Minangkabau, Rumah Gadang dimiliki oleh perempuan yang tinggal di sana; kepemilikan dialihkan dari ibu kepada anak perempuan.
Rumah-rumah ini memiliki struktur atap melengkung dramatis dengan puncak bertingkat, membentuk gonjong yang menyerupai tanduk. Jendela-jendela tertutup dibangun ke dalam dinding yang diukir dengan ukiran bunga yang kaya dan dihias dengan lukisan. Istilah Rumah Gadang biasanya merujuk kepada rumah komunal yang lebih besar, namun rumah-rumah kecil juga memiliki banyak elemen arsitektur yang sama.
Di Sumatera Barat, Rumah Gadang tradisional mencerminkan masyarakat Minangkabau, dan telah menjadi simbol budaya Minangkabau dan Sumatera Barat. Di seluruh wilayah, berbagai bangunan menggambarkan elemen-elemen desain Rumah Gadang, mulai dari struktur kayu vernakular yang dibangun untuk upacara adat, hingga bangunan modern seperti kantor pemerintah dan fasilitas umum. Saat ini, elemen arsitektur Rumah Gadang, terutama atap melengkungnya yang menyerupai tanduk, dapat ditemukan dalam bangunan modern, seperti kantor pemerintahan, pasar, hotel, fasad restoran di Padang, dan Bandara Internasional Minangkabau. Istano Basa, bagaimanapun, adalah contoh terbesar dan paling indah dari gaya tradisional ini.
Latar Belakang Rumah Gadang
Sumatera, pulau terbesar keenam di dunia, telah lama dikenal sebagai "pulau emas" karena sumber dayanya yang melimpah, termasuk teh, lada, karet, minyak, timah, dan mineral lainnya. Meskipun menghadapi deforestasi berskala besar, Sumatera masih memiliki jutaan hektar hutan hujan yang belum terjamah, yang menyediakan bahan bangunan penting. Namun, pasokan pohon kayu keras yang diperlukan untuk konstruksi ekstensif sekarang sangat terbatas.
Pulau ini merupakan rumah bagi beragam masyarakat, yang tercermin dalam berbagai rumah tradisional yang dikenal sebagai rumah adat. Rumah-rumah ini biasanya dibangun dari bahan-bahan lokal, dengan atap yang miring dan ditinggikan di atas panggung. Di antara gaya yang terkenal adalah rumah gadang Minangkabau, rumah jabu berbentuk perahu milik orang Batak di wilayah Danau Toba, dan rumah omo sebua yang ditegakkan oleh orang Nias.
Suku Minangkabau, yang merupakan penduduk asli Sumatera Tengah, memiliki budaya matrilineal di mana harta benda diwariskan dari ibu ke anak perempuannya, sementara urusan agama dan politik didominasi oleh kaum pria. Meskipun sangat Islami, mereka juga menganut tradisi etnis atau adat, yang berasal dari kepercayaan animisme dan Hindu-Buddha. Wanita biasanya memiliki properti, dan suami hanya diperbolehkan berada di dalam rumah dalam kondisi tertentu, dan sering kali kembali ke rumah saudara perempuan mereka untuk tidur. Banyak pria yang merantau, bepergian ke luar negeri untuk bekerja dan mengirimkan uang kembali ke rumah untuk pembangunan rumah adat yang baru.
Bentuk Rumah Gadang
Rumah Gadang, atau Rumah Bagonjong, adalah rumah adat tradisional orang Minangkabau di Sumatera Barat, Indonesia. Bangunan ini mencerminkan budaya dan nilai-nilai masyarakat Minangkabau. Rumah Gadang berfungsi sebagai tempat tinggal, ruang pertemuan keluarga, dan untuk kegiatan seremonial. Dalam masyarakat matrilineal Minangkabau, rumah ini dimiliki oleh perempuan yang tinggal di sana, dengan kepemilikan dialihkan dari ibu kepada anak perempuan.
Rumah Gadang memiliki atap melengkung dengan puncak bertingkat, membentuk ujung yang menyerupai tanduk kerbau. Biasanya memiliki tiga proyeksi bertingkat dengan tingkat lantai yang bervariasi. Bangunan ini didukung oleh tiang kayu yang tingginya bisa mencapai 3 meter dari permukaan tanah, seringkali dengan sebuah serambi di depan rumah yang digunakan sebagai area resepsi, ruang makan, dan tempat tidur untuk tamu. Berbeda dengan rumah-rumah Batak Toba yang atapnya menciptakan ruang tinggal, atap rumah Minangkabau ini beristirahat pada dinding konvensional. Area memasak dan penyimpanan seringkali berada di bangunan terpisah.
Material utama bangunan ini adalah kayu, dengan pengecualian dinding belakang yang terbuat dari anyaman bambu. Atapnya terdiri dari konstruksi kerangka dan balok silang, biasanya ditutupi dengan daun lontar yang kuat dan dikatakan tahan hingga seratus tahun. Ornamen atap terbuat dari anyaman daun lontar yang diikat dengan hiasan logam, membentuk puncak yang menyerupai tanduk kerbau. Tiang-tiang rumah disusun dalam lima baris yang membagi ruangan dalam menjadi empat ruang panjang yang disebut lanjar.
Rumah Gadang secara tradisional dihiasi dengan motif ukiran kayu yang mencerminkan adat dan budaya Minangkabau. Motif-motifnya meliputi desain bunga yang melimpah, seringkali didasarkan pada struktur geometris sederhana. Motif-motif ini didasarkan pada konsep estetika Minangkabau yang merupakan bagian dari pandangan dunia mereka, di mana ekspresi selalu didasarkan pada lingkungan alam. Ada sekitar 94 motif yang ditemukan pada rumah gadang, termasuk motif flora, fauna, dan manusia.
Rumah Gadang memiliki variasi desain, seperti koto piliang yang mencerminkan struktur sosial aristokratik, dan bodi caniago yang mencerminkan struktur sosial demokratis. Bangunan-bangunan ini juga diadopsi dalam berbagai bangunan modern, seperti kantor pemerintahan dan rumah-rumah modern. Meskipun demikian, pengaruh Islam yang lebih ortodoks telah membawa variasi, seperti modifikasi pada tata letak interior. Di Negeri Sembilan, pemukiman Minangkabau telah mengadopsi konstruksi atap gaya Melayu, namun masih dianggap sebagai bangunan yang anggun dan indah.
Disadur dari: en.wikipedia.org
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 13 Maret 2025
Desain vernakular, juga dikenal sebagai arsitektur rakyat atau arsitektur tradisional, mengacu pada praktik bangunan yang dilakukan tanpa bimbingan profesional atau kepatuhan terhadap konvensi ilmiah. Ini mencakup berbagai jenis bangunan dari seluruh dunia, baik bersejarah maupun kontemporer, dan mencakup beragam metode konstruksi. Arsitektur vernakular merupakan sebagian besar lingkungan binaan di dunia, yang mencerminkan kebutuhan lokal, material yang tersedia, dan tradisi budaya.
Studi arsitektur vernakular berfokus pada keterampilan desain dan tradisi pembangun lokal daripada arsitek yang terlatih secara formal. Baru-baru ini, terdapat minat untuk mengkaji arsitektur vernakular untuk mengetahui efisiensi dan keberlanjutan energinya, selaras dengan praktik desain dan konstruksi modern.
Namun, mendefinisikan arsitektur vernakular secara tepat terbukti menantang, dan masih terdapat perdebatan di kalangan pakar mengenai batasannya. Hal ini sering digambarkan dalam istilah-istilah negatif, seperti fashion yang tidak bermutu, biasa-biasa saja, atau tidak canggih, meskipun beberapa menggunakan istilah-istilah seperti tradisional atau biasa. Arsitektur vernakular biasanya diabaikan dalam sejarah desain konvensional karena kurangnya gaya tertentu atau karakteristik yang mudah diidentifikasi.
Bangunan vernakular dianggap sebagai ekspresi budaya, yang mencerminkan identitas lokal, regional, atau etnis, dan dipandang sebagai artefak sosial dan juga sebagai artefak arsitektur.
Evolusi frasa
Istilah vernakular berarti 'domestik, asli, pribumi', berasal dari kata verna yang berarti 'budak asli' atau 'budak yang lahir di rumah'. Kemungkinan kata tersebut berasal dari kata Etruscan yang lebih tua. Kata tersebut dipinjam dari bidang linguistik, di mana vernakular mengacu pada penggunaan bahasa yang khas untuk suatu waktu, tempat, atau kelompok.
Penggunaan frasa ini dapat ditelusuri setidaknya sejak tahun 1857, ketika digunakan oleh Sir George Gilbert Scott dalam bab pertama bukunya "Remarks on Secular & Domestic Architecture, Present & Future", serta dalam makalah yang dibacakan di sebuah masyarakat arsitektur di Leicester pada bulan Oktober tahun tersebut. Scott menggunakan istilah ini sebagai ejekan untuk merujuk pada "arsitektur yang berlaku" di Inggris pada saat itu, dibandingkan dengan gaya Gothic yang ingin dia perkenalkan. Dalam kategori "vernakular" ini, Scott termasuk St Paul's Cathedral, Greenwich Hospital, London, dan Castle Howard, meskipun mengakui kebangsawanan relatif mereka.
Istilah ini dipopulerkan dengan konotasi positif dalam pameran tahun 1964 di Museum of Modern Art, New York, yang dirancang oleh arsitek Bernard Rudofsky, dengan buku berikutnya yang berjudul Architecture Without Architects. Pameran tersebut menampilkan fotografi hitam-putih dramatis dari bangunan vernakular di seluruh dunia, dan Rudofsky membawa konsep ini ke mata publik dan arsitektur mainstream. Dia juga menjaga definisi longgar, dan menulis bahwa pameran tersebut "berusaha untuk memecahkan konsep sempit kita tentang seni bangunan dengan memperkenalkan dunia yang tidak biasa dari arsitektur nonpedigree." Buku tersebut mengingatkan akan legitimasi dan pengetahuan yang ada dalam bangunan vernakular, dari gua-gua garam Polandia hingga roda air raksasa di Suriah hingga benteng-benteng gurun Maroko, dan dianggap kontroversial pada saat itu.
Istilah "vernakular komersial" menjadi populer pada akhir tahun 1960-an melalui publikasi Learning from Las Vegas oleh Robert Venturi dan Denise Scott Brown, yang merujuk pada arsitektur pinggiran kota dan komersial Amerika abad ke-20. Meskipun arsitektur vernakular mungkin dirancang oleh orang-orang yang memiliki pelatihan dalam desain, pada tahun 1971 Ronald Brunskill mendefinisikan arsitektur vernakular sebagai bangunan yang dirancang oleh seorang amatir tanpa pelatihan dalam desain, yang dipandu oleh serangkaian konvensi yang dibangun di lokasinya, dengan sedikit memperhatikan mode. Fungsi bangunan menjadi faktor dominan, sementara pertimbangan estetika minimal. Bahan lokal digunakan secara alami, sementara bahan lain dipilih dan diimpor secara terbatas.
Menurut Ensiklopedia Arsitektur Vernakular Dunia yang disunting pada tahun 1997 oleh Paul Oliver dari Oxford Institute for Sustainable Development, arsitektur vernakular terdiri dari tempat tinggal dan semua bangunan lain dari rakyat, yang dibangun sesuai dengan konteks lingkungan dan sumber daya yang tersedia mereka, dengan menggunakan teknologi tradisional dan memenuhi kebutuhan spesifik dari budaya yang memproduksinya.
Pada tahun 2007, Allen Noble menulis diskusi panjang tentang istilah yang relevan, dan menyimpulkan bahwa "arsitektur rakyat" dibangun oleh orang-orang yang tidak memiliki pelatihan profesional dalam seni bangunan. "Arsitektur vernakular" adalah bangunan yang berasal dari masyarakat umum, tetapi mungkin dibangun oleh profesional yang terlatih, menggunakan desain dan bahan lokal yang tradisional. "Arsitektur tradisional" adalah arsitektur yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, terutama secara lisan, dan "arsitektur primitif" adalah istilah yang kurang disarankan untuk digunakan. Istilah "arsitektur populer" digunakan lebih banyak di Eropa Timur dan merupakan sinonim dari arsitektur rakyat atau vernakular.
Vernakular dan arsitek
Rekayasa yang dirancang oleh para perencana terlatih seringkali tidak dianggap sebagai vernakular. Bahkan, dapat diperdebatkan bahwa proses yang sangat disengaja dalam merancang sebuah bangunan membuatnya bukanlah vernakular. Paul Oliver, dalam bukunya yang berjudul Residences, menyatakan bahwa "arsitektur populer" yang dirancang oleh perancang profesional atau pembangun komersial untuk penggunaan umum, tidak masuk dalam lingkup vernakular. Oliver juga menawarkan definisi sederhana berikut dari arsitektur vernakular: "desain dari masyarakat, dan oleh masyarakat, tetapi tidak untuk masyarakat."
Frank Lloyd Wright menggambarkan arsitektur vernakular sebagai "bangunan masyarakat yang berkembang sebagai respons terhadap kebutuhan nyata, disesuaikan dengan lingkungan oleh orang-orang yang tidak tahu cara lain selain menyesuaikannya dengan perasaan lokal." Ini mengisyaratkan bahwa itu adalah bentuk primitif dari desain, tanpa pemikiran yang cermat, tetapi dia juga menyatakan bahwa itu "lebih berharga bagi kita untuk mempertimbangkan daripada semua upaya intelektual yang sangat disadari secara tinggi di Eropa."
Sejak gerakan Arsitektur dan Seni Rupa, banyak arsitek modern yang telah mempelajari bangunan vernakular dan mengklaim mendapatkan inspirasi dari mereka, termasuk aspek-aspek vernakular dalam desain mereka. Pada tahun 1946, arsitek Mesir Hassan Fathy ditugaskan untuk merancang desa Modern Gourna dekat Luxor. Setelah mempelajari pemukiman dan teknologi tradisional Nubia, ia menggabungkan kubah bata lumpur tradisional dari pemukiman Nubia dalam desainnya. Namun, upaya ini gagal karena berbagai alasan sosial dan ekonomi.
Arsitek Sri Lanka, Geoffrey Bawa, dianggap sebagai perintis teknologi regional di Asia Selatan. Bersama dengannya, pendukung modern penggunaan vernakular dalam desain arsitektur termasuk Charles Correa, arsitek India terkenal; Muzharul Islam dan Bashirul Haq, arsitek Bangladesh yang dikenal secara internasional; Balkrishna Doshi, arsitek India lainnya, yang mendirikan Vastu-Shilpa Institute di Ahmedabad untuk meneliti arsitektur vernakular di wilayah tersebut; dan Sheila Sri Prakash yang telah menggunakan arsitektur India pedesaan sebagai inspirasi untuk pembangunan dalam desain dan perencanaan yang ramah lingkungan dan sosio-ekonomi.
Oliver mengklaim bahwa meskipun belum ada disiplin yang jelas dan teknis untuk mempelajari tempat tinggal atau lingkup arsitektur vernakular, arsitektur vernakular menjadi semakin populer sebagai contoh arsitektur yang berkelanjutan. Desain komplementer modern banyak dipengaruhi oleh arsitektur vernakular.
Disadur dari: en.wikipedia.org
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 13 Maret 2025
Kayu lapis atau plywood merupakan material berbahan dasar kayu berbentuk panel yang terbuat dari beberapa lapisan kayu tipis. Material kayu ini direkatkan secara melintang dengan sudut 90 derajat satu sama lain dan dibentuk dari lembaran kayu dalam jumlah ganjil. Dikutip dari Start Word Working Now, plywood memiliki kualitas yang berbeda sesuai dengan produk yang diinginkan. Kualitas kayu lapis sebagian besar tergantung pada perekatan atau jumlah lapisan veneer yang digunakan. Kayu lapis sudah ada dari zaman di Mesir kuno. Ini dibuktikan dengan potongan-potongan furnitur yang terbuat dari kayu lapis ditemukan.
Pengolahan kayu jenis ini sayangnya terlupakan dan tidak digunakan lagi sampai pertengahan abad ke-19. Memasuki era revolusi industri, kayu lapis mulai populer dan kemudian diproduksi dalam jumlah besar. Hal tersebut karena kayu lapis banyak digunakan dalam industri otomotif dan konstruksi pesawat terbang. Material ini banyak digunakan dalam berbagai bidang mulai dari bahan bangunan, furnitur hingga kerangka kapal karena sifatnya yang tahan air. Terlebih bahan ini mudah dibuat lengkungan dibandingkan dengan kebanyakan kayu konvensional.
Pembuatan kayu lapis dimulai dengan pengupasan batang pohon yang kemudian dikukus dan dilunakkan. Hal ini dilakukan untuk membuka gulungan batang menjadi lembaran datar. Beberapa lapisan kayu kemudian direkatkan dan ditekan bersama-sama, bergantian dengan arah serat kayu. Ini yang memberikan ketahanan pada kayu lapis meski bentuk apapun.
Untuk merekatkan lembaran-lembaran kayu diperlukan alat tekan sebesar panel yang digunakan untuk membuat panel chipboard. Biasanya dalam proses produksi plywood, digunakan lem fenolik (lem tahan air). Proses terakhir dalam produksi plywood adalah pengamplasan untuk menghaluskan permukaan lembaran kayu lapis. Beberapa jenis plywood juga diberi lapisan senyawa khusus seperti melamin atau akrilik.
Kayu yang paling banyak digunakan untuk produksi plywood adalah kayu lunak seperti kayu Cemara, kayu Birch atau Poplar. Namun beberapa kayu lapis juga dibuat yang miliki harga lebih tinggi seperti jati. Kayu lapis memiliki kekuatan yang besar dan stabilitas dimensi yang tinggi. Karena efek saling mengunci pada setiap lapisannya, plywood memiliki sifat mengembang dan menyusut yang lebih baik dibandingkan dengan panel kayu solid.
Karena itulah, kayu lapis digunakan pada konstruksi-konstruksi yang memiliki beban tinggi namun ada pada area berpenampang tipis. Kayu lapis bersifat ringan, mudah dipadukan dengan bahan lain, mudah diproses, tahan terhadap perubahan suhu, dan memiliki tampilan yang estetis.
Sumber: www.kompas.com
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 13 Maret 2025
Apakah Anda tahu bahan-bahan bangunan yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (Puskim) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)? Ternyata, Puskim telah mengembangkan bahan bangunan dengan memanfaatkan limbah-limbah dan lumpur tak terpakai. Melalui inovasi tersebut, limbah dan lumpur yang terbuang sia-sia menjadi barang yang berguna bagi kehidupan. Bahkan, bahan bangunan yang diciptakan mampu mengurangi pemakaian sumber daya alam yang berlebih.
Berikut material bangunan tersebut:
Residual Cracking Catalyst (RCC) adalah produk limbah yang dihasilkan selama proses pemurnian minyak mentah di reaktor. Penggunaan limbah minyak bumi sebagai bahan bangunan merupakan upaya untuk mengurangi pencemaran limbah. RCC telah terbukti efektif digunakan dalam pembuatan dinding gedung bertingkat. Balok beton ringan yang dibuat menggunakan RCC memiliki komposisi campuran sebesar 75% RCC, 25% pasir kuarsa, dan 1,6% bahan pembusa. Balok beton ringan ini memiliki kekuatan tekan sebesar n35Kgf/cm2 dan dikembangkan dengan menggantikan bahan pembusa.
Lumpur Lapindo (LUSI) dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi dengan lokasi produksi yang berdekatan dengan lokasi semburan lumpur. Penggunaan lumpur ini bertujuan untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan, mengurangi penumpukan lumpur, dan meningkatkan ketersediaan bahan bangunan. Berbagai jenis bahan bangunan telah dikembangkan menggunakan lumpur ini, termasuk beton ringan, polimer, keramik, balok beton, batu paving, dan genteng semen. Bahan bangunan yang terbuat dari lumpur ini memiliki sifat tahan api dan ringan.
Fly ash merupakan sisa hasil pembakaran limbah batubara dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Pengolahan limbah batubara dilakukan untuk mengatasi masalah lingkungan yang diakibatkan oleh industri pengguna batubara. Proses pengolahan limbah batubara dilakukan di berbagai daerah dan menghasilkan berbagai jenis produk, termasuk balok beton berongga, balok komposit, genteng beton, dan batu paving. Campuran agregat yang digunakan biasanya terdiri dari 60% fly ash dan 40% pasir.
Sumber: www.kompas.com
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 13 Maret 2025
Pengajar Arsitektur Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta James Erich Dominggus Rilatupa mengulas karakter kayu dalam memengaruhi suatu bangunan. Hal tersebut tercantum dalam tulisannya yang berjudul ‘Ekspresi Bahan Bangunan Kayu Pada Karya Arsitektur’ pada September 2021. James mengatakan, material kayu merupakan salah satu solusi untuk memenuhi struktur berkelanjutan pada arsitektur modern dan arsitektur digital. Karena kayu dapat menawarkan emisi gas rumah kaca (CO2) yang lebih rendah, polusi udara dan air juga lebih sedikit. Kemudian volume limbah padat juga lebih rendah dan penggunaan sumber daya ekologis yang lebih sedikit daripada material bangunan lainnya.
Peningkatan proporsi kayu dalam konstruksi dapat memfasilitasi pengurangan dalam penggunaan material konstruksi lainnya, seperti beton, baja dan batu bata. Material konstruksi ini tidak berasal dari bahan baku terbarukan, membutuhkan banyak energi untuk produksinya dan memerlukan emisi CO2 yang lebih tinggi. Sementara, material kayu yang telah direkayasa menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Berarti potensi untuk membangun gedung pencakar langit ramah lingkungan sekarang menjadi hal nyata yang dapat digunakan para arsitek. Kayu yang dilapis silang (CLT), yang dibuat dengan merekatkan tiga, lima atau tujuh bagian kayu pada sudut yang tepat, kuat dan dapat digunakan untuk membuat struktur masif.
Saat ini sudah banyak arsitektur modern yang menggunakan material kayu sebagai bagian bahan bangunannya. Umumnya bangunan-bangunan post-modern telah banyak menggunakan kayu rekayasa sebagai material bangunannya, meskipun demikian masih ada juga yang menggunakan kayu solid. Penggunaan kayu rekayasa lebih menguntungkan, karena dapat dibentuk sesuai dengan keinginan arsitek atau pemilik bangunan. Hal ini disebabkan kayu rekayasa memiliki desain, kekuatan struktural, sifat maupun bentuk sesuai dengan kebutuhan atau keinginan dari pengguna kayu olahan tersebut. Berikut ini beberapa bangunan dengan gaya arsitektur post-modern yang menggunakan kayu sebagai material bangunannya.
Microlibrary Warak Kayu(Dok. SHAU)
1. Microlibrary Warak Kayu di Semarang
Microlibrary Warak Kayu memiliki luas 90 meter persegi dengan tinggi 6,65 meter. Menggabungkan desain rumah panggung tradisional Indonesia yang terbuka dengan sistem konstruksi fasad dari Jerman. Yaitu Zollinger Bauweise yang dikembangkan pada tahun 1920 an. Teknik ini mengatur alur ventilasi udara, pencahayaan dan multifungsi suatu ruangan. Sebuah perpustakaan kecil di Semarang mencuri perhatian dunia.
Microlibrary Warak Kayu, yang terletak di samping Taman Kasmaran, tidak jauh dari Kampung Pelangi, menjadi salah satu finalis 'Architizer A+ Awards' untuk arsitektur perpustakaan terbaik di dunia. SHAU (Suryawinata Haizelman Architecture Urbanism) Indonesia merancang arsitektur bangunan. Kemudian, PT Kayu Lapis Indonesia memasok kayu-kau prefabrikasi hasil olahan kayu limbah pabrik yang sudah tidak terpakai.
Sementara pemerintah daerah Semarang menyediakan lahan dan ijin pembangunan, dan sebuah perusahaan swasta menanggung biaya pembangunannya. Ada pula Harvey Center, sebuah kelompok derma yang mengelola perpustakaan ini agar dapat dipergunakan warga tanpa biaya sama sekali.
Gedung Mjøstårnet di Norwegia(Ricardo Foto/Archdaily)
2. Mjøstårnet di Norwegia
Mjøstårnet dinobatkan sebagai 'Bangunan Kayu Tertinggi Dunia' oleh Council of Tall Building and Urban Habitat (CTBUH) pada September 2018. Sekaligus sebagai bangunan tertinggi ketiga di Norwegia. Struktur kayu yang dirancang oleh Voll Arkitekter ini merupakan bangunan mixed-use yang akan difungsikan sebagai hunian, perkantoran, dan hotel itu dibangun dengan 18 lantai atau setinggi 85,4 meter di Brumunddal, Norwegia.
Gedung ini terletak tepat di daerah Norwegia yang dikenal dengan industri kehutanan dan pengolahan kayu, atau hanya beberapa meter dari Mjøsa, danau terbesar di negara itu. Menurut CTBUH, gedung ini memenuhi beberapa syarat bangunan kayu, yakni elemen struktur vertikal atau lateral harus dibangun dari kayu.
Meski berbahan dasar kayu, struktur bangunan kayu menurut CTBUH juga masih memperbolehkan penggunaan sistem lantai papan beton, atau lempengan beton di atas balok kayu. Karena elemen beton tidak bertindak sebagai struktur utama. Moelven Limitre, insinyur struktur proyek ini menggunakan berbagai olahan kayu seperti glulam, balok dan diagonal, poros lift CLT, tangga, dan pelat lantai. Bahan ini dipilih sebagai bahan struktural karena kemajuan inovasi dalam dunia konstruksi. Selain itu, kayu dipilih karena merupakan satu-satunya bahan bangunan yang benar-benar terbarukan di dunia, yang dapat menyerap karbon sepanjang siklus hidupnya.
Banyak arsitek kini berlomba-lomba untuk membangun gedung berbahan dasar kayu dibanding dengan baja dan besi. Selain karena strukturnya yang ringan, kayu juga mampu menyerap emisi karbon(Steven Errico)
3. Brock Commons Tallwood House
University of British Columbia, salah satu universitas yang ada di Kanada, memiliki komitmen kuat untuk integrasi pengajaran dan penelitian yang keberlanjutan tentang bangunan kayu. Pada Mei 2017, University of British Columbia menyelesaikan bangunan perumahan kayu tinggi pertama. Bangunan tersebut memiliki tinggi 53 meter yang terdiri dari 18 lantai dan diberi nama Brock Commons Tallwood House yang berada di Vancouver (University of British Columbia, 2018).
Bangunan yang dapat menampung 404 mahasiswa ini, terdiri dari 101 unit kamar. Setiap unit kamarnya dapat mempunyai empat tempat tidur. Pada bangunan tersebut tersedia ruang belajar dan sosial, serta ruang kegiatan mahasiswa di lantai paling atas. Dengan desain dan tim konstruksi yang bekerja secara bersamaan sejak awal, proses ini disederhanakan dengan pengujian menyeluruh mengenai koneksi kayu ke kayu sebelum konstruksi di lokasi.
Dengan demikian tim dapat melakukan pengujian mengenai stabilitas struktural, tetapi juga membantu menyempurnakan ketepatan waktu dari proyek tersebut. Struktur bangunan merupakan hibrida kayu secara massal. Pondasi, lantai dasar, pelat lantai dua, dan teras tangga atau elevator terbuat dari beton.
Dinding bangunan terbuat dari kayu glulam (GLT atau Glued Laminated Timber), sedangkan bagan lantainya terbuat dari panel kayu lapis yang dilapisi secara menyilang (CLT atau Cross Laminated Timber). Sementara penutup bangunan terdiri dari bahan bangunan prefabrikasi, yaitu panel rangka baja dengan lapisan kayu laminasi.
4. Forte Living di Australia
Forte Living merupakan bangunan pertama dan tertinggi yang terbuat dari kayu di Australia. Struktur baja dan semen yang biasanya digunakan dalam bangunan gedung diganti dengan material CLT (Cross Laminated Timber). Forte Livung dirancang dan dibangun oleh Pengembang Lendlease, dan proses pembangunannya selesai dalam jangka waktu 11 bulan. Gedung ini diklaim mampu mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) hingga 1.400 ton.
Forte Living adalah bangunan apartemen 10 lantai yang terbuat dari kayu laminasi silang (CLT). Tinggi gedung ini adalah 32,2 meter dan merupakan gedung apartemen kayu modern di Australia yang dibuat dari CLT. Bangunan ini terdiri dari 759 panel CLT dari pohon cemara Eropa (Picea abies), dengan berat total 485 ton. Potongan-potongan panel untuk gedung ini dibuat seperti perabot flat pack, termasuk 5.500 sudut siku dari bahan logam dan 34.550 sekrup yang diperlukan untuk memasang panel-panel kayu tersebut. Lantai dasar Forte dan lantai pertama dibangun dari beton geopolimer.
Hal ini dilakukan untuk menjauhkan kayu dari tanah. Begitu beton telah dipasang, panel CLT diangkut dari tempat penyimpanannya dan ditempatkan ke posisi yang telah ditentukan. Panel-panel CLT tersebut kemudian dihubungkan bersama dengan sekrup dan logam yang berbentuk sudut. Panel pertama yang didirikan adalah yang membentuk tangga dan mengangkat core, yang berdiri secara vertikal. Setelah core berada di tempat, panel ditempatkan pada sisi core untuk membentuk dinding internal dan eksternal.
Lebar panel CLT adalah tinggi dari setiap lantai gedung Forte Living. Panel kemudian diletakkan di atas dinding untuk membentuk lantai. Proses itu diulang sampai ketinggian gedung tersebut tercapai. Atapnya dibangun dengan metode yang sama dengan setiap lantai.
Selain bangunan-bangunan yang telah disebutkan, masih banyak bangunan-bangunan kayu lainnya yang telah terbangun maupun yang akan dibangun. Contoh bangunan yang telah terbangun adalah Superior Dome di Michigan, Tamedia Office Building di Zurich, Community Church of Knarvik di Norway (Skandinavia), Murray Grove di London, dan sebagainya. Sementara itu bangunan-bangunan kayu yang sedang dan akan dibangun antara lain, 5 King Street di Brisbane, Dalstone Lane di London, proyek W350 di Tokyo, Kampus NTU di Singapura, dan sebagainya.
Sumber: www.kompas.com