Menapaki Jejak Rumah Tradisional Nusantara: Mengagumi Keindahan Arsitektur Khas Daerah

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana

23 April 2024, 10.38

Sumber: en.wikipedia.org

Rumah adat adalah rumah konvensional yang dibangun dengan gaya arsitektur vernakular Indonesia, yang secara kolektif memiliki tempat pada arsitektur Austronesia. Rumah-rumah dan pemukiman konvensional dari beberapa ratus suku bangsa di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan semuanya memiliki sejarah tersendiri. Ini adalah variasi Indonesia dari teknik Austronesia yang lengkap yang ditemukan di seluruh tempat yang diduduki oleh orang-orang Austronesia dari Pasifik hingga Madagaskar yang masing-masing memiliki sejarah, budaya, dan mode.

Kelompok-kelompok etnis di Indonesia sering dikaitkan dengan klaim mereka yang tidak salah lagi yaitu rumah adat. Rumah-rumah tersebut berada di tengah-tengah jaringan tradisi, hubungan sosial, hukum konvensional, tabu, mitos, dan agama yang mengikat penduduk desa bersama-sama. Rumah menjadi pusat bagi keluarga dan komunitasnya, dan menjadi titik tolak berbagai kegiatan penghuninya. Penduduk desa membangun rumah klaim mereka, atau sebuah komunitas mengumpulkan asetnya untuk sebuah struktur yang dibangun di bawah arahan seorang ahli bangunan atau tukang kayu.

Sebagian besar penduduk Indonesia tidak tinggal di rumah adat, dan jumlahnya menurun dengan cepat karena perubahan finansial, mekanis, dan sosial.

Bentuk umum

Rumah-rumah tradisional di Indonesia, dengan sedikit pengecualian, memiliki kesamaan ciri-ciri karena nenek moyang Austronesia atau hubungannya dengan Sundalandia, sebuah wilayah cekung di Asia Tenggara. Rumah-rumah ini biasanya menampilkan konstruksi kayu dan struktur atap yang rumit. Bangunan Austronesia awal merupakan rumah panjang komunal yang berbentuk panggung, ditandai dengan atap miring yang curam dan atap pelana yang berat, seperti yang terlihat pada rumah adat Batak dan Tongkonan Toraja. Variasi serupa dari rumah panjang komunal juga ditemukan di antara masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Mentawai.

Sistem struktur pada umumnya melibatkan tiang, balok, dan ambang pintu yang memikul beban langsung ke tanah, dengan dinding terbuat dari kayu atau bambu yang tidak menahan beban. Teknik pertukangan kayu tradisional seperti sambungan tanggam dan duri, serta pasak kayu, digunakan sebagai pengganti paku. Bahan alami seperti kayu, bambu, jerami, dan ijuk biasa digunakan dalam pembangunan rumah adat. Kayu keras yang kokoh sering digunakan untuk tiang pancang, sedangkan kombinasi kayu lunak dan keras digunakan untuk dinding bagian atas tanpa beban, yang biasanya terbuat dari kayu ringan atau jerami. Bahan ilalang dapat berupa daun kelapa dan daun enau, rumput alang alang, dan jerami padi.

Tempat tinggal tradisional ini dirancang untuk beradaptasi dengan iklim monsun yang panas dan basah di Indonesia. Kebanyakan rumah adat dibangun di atas panggung, kecuali di Jawa, Bali, dan wilayah lain di Indonesia Timur. Meninggikan rumah panggung mempunyai beberapa tujuan, termasuk mengatur suhu tropis, melindungi dari limpasan air hujan dan lumpur, memungkinkan pembangunan di area lahan basah, mencegah kelembapan dan kelembapan, mengurangi risiko nyamuk pembawa malaria, dan meminimalkan kerusakan akibat busuk kering dan rayap. Atap yang miring dan curam memudahkan limpasan air hujan dengan cepat, sedangkan atap besar yang menjorok menghalangi masuknya air dan memberikan keteduhan. Di daerah pesisir, rumah sering kali memiliki banyak jendela untuk ventilasi silang, sedangkan rumah di daerah pegunungan yang lebih sejuk biasanya memiliki atap yang luas dan jendela yang lebih sedikit.

Contoh-contoh rumah tradisional Indonesia antara lain:

  • Rumoh Aceh: Rumah tradisional besar masyarakat Aceh yang memiliki ciri khas atap runcing dari kayu yang dihiasi dengan ukiran kayu bermotif bunga atau geometris.
  • Arsitektur Batak: Termasuk rumah jabu berbentuk perahu dari masyarakat Batak Toba dan rumah Batak Karo yang beratap tinggi.
  • Rumah gadang Minangkabau: Dikenal dengan atap pelana yang banyak dengan ujung bubungan yang menanjak secara dramatis.
  • Nias omo sebua: Rumah kepala suku yang dibangun di atas pilar kayu ulin yang besar dengan konstruksi yang fleksibel dan tanpa paku agar tahan terhadap gempa.
  • Rumah panjang Mentawai Uma: Rumah komunal berbentuk persegi panjang dengan beranda di kedua ujungnya.
  • Rumah Melayu Rumah Melayu: Dibangun di atas panggung dengan berbagai gaya termasuk atap melengkung, atap runcing, dan atap limas.
  • Nuwo Balak dari Lampung: Rumah besar dengan atap berlapis tembaga yang terbuat dari kayu bulat yang disusun sejajar.
  • Imah Sunda: Atap rumbia yang terbuat dari jerami dengan dinding bambu yang dibangun di atas panggung pendek.
  • Omah Jawa: Dipengaruhi oleh elemen arsitektur Eropa dan tidak dibangun di atas tiang.
  • Rumah tradisional Bali: Kumpulan bangunan terbuka di dalam kompleks taman berdinding tinggi.
  • Rumah panjang komunal Dayak: Dibangun di atas tiang pancang, panjangnya bisa melebihi 300 meter.
  • Bubungan Tinggi Banjar: Rumah besar dengan atap miring untuk keluarga kerajaan dan bangsawan.
  • Lumbung Sasak: Lumbung padi beratap tumpang yang dibangun di atas tiang.
  • Sumbawa Dalam Loka: Bekas kediaman sultan dengan bentuk rumah panggung kembar yang memanjang dan beratap runcing.
  • Saoraja Bugis-Makassar: Rumah panggung dengan atap runcing yang khas dan penutup atap timpalaja.
  • Toraja tongkonan: Rumah yang dibangun di atas tiang pancang dengan atap pelana yang besar.
  • Walewangko Minahasa: Tempat tinggal para tetua adat dengan dua tangga dan atap runcing.
  • Flores sa'o atau mosalaki: Rumah tradisional dengan atap trapesium.
  • Alor Lopo: Rumah dengan atap berbentuk limas yang ditopang oleh tiang-tiang kayu.
  • Sumba Uma Kalada: Rumah dengan atap jerami "topi tinggi" yang khas dan beranda yang terlindung.
  • Timor Ume Le'u: Rumah tradisional dengan atap berbentuk kerucut dan bentuknya membulat.
  • Honai di dataran tinggi Papua: Gubuk melingkar dengan atap kubah jerami.
  • Tobati dan Sentani kariwari atau khombo: Rumah-rumah berbentuk kerucut yang dibangun di sekitar Danau Sentani.
  • Rumsram Biak Numfor: Rumah berbentuk persegi dengan atap berbentuk perahu yang terbalik.
  • Mimika karapao: Rumah tradisional dengan banyak pintu dan beralaskan tikar pandan.
  • Jew Asmat: Rumah panggung berbentuk persegi panjang yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya para pria yang belum menikah.
  • Contoh-contoh ini mewakili keragaman arsitektur tradisional yang ditemukan di berbagai suku dan daerah di Indonesia.

Contoh gambar

  • Rumoh Aceh, Aceh
    Rumoh Aceh, Aceh

  • A traditional Batak Toba house, North Sumatra
    A traditional Batak Toba house, North Sumatra

  • Karo house, North Sumatra
    Karo house, North Sumatra

  • Rumah Gadang, West Sumatra
    Rumah Gadang, West Sumatra

  • Bangkinang Malay house, Riau
    Bangkinang Malay house, Riau

  • Rumah Kebaya, Jakarta
    Rumah Kebaya, Jakarta

  • Sundanese Kampung house, West Java
    Sundanese Kampung house, West Java

  • Balinese pavilion, Bali
    Balinese pavilion, Bali

  • Rumah Bubungan Tinggi, South Kalimantan
    Rumah Bubungan Tinggi, South Kalimantan

  • Bugis house, South Sulawesi
    Bugis house, South Sulawesi

  • Houses in a Torajan village, South Sulawesi
    Houses in a Torajan village, South Sulawesi

  • Sumba house, East Nusa Tenggara
    Sumba house, East Nusa Tenggara

  • Mbaru Niang house, East Nusa Tenggara
    Mbaru Niang house, East Nusa Tenggara

Kemunduran Rumah Adat 

Kemunduran rumah adat di seluruh Indonesia dimulai pada masa kolonial, ketika pemerintah Belanda menganggap arsitektur tradisional tidak higienis dan tidak sesuai dengan standar modern. Rumah multi-keluarga tidak disukai oleh otoritas agama, sehingga menyebabkan program pembongkaran besar-besaran di beberapa daerah. Otoritas kolonial mengganti rumah tradisional dengan konstruksi gaya Barat yang menggunakan batu bata dan atap besi bergelombang, sehingga meningkatkan sanitasi dan ventilasi yang lebih baik. Pengrajin tradisional dilatih teknik bangunan Barat.

Sejak kemerdekaan, pemerintah Indonesia lebih memilih mempromosikan 'rumah sederhana sehat' dibandingkan rumah adat. Pergeseran ke arah ekonomi pasar membuat pembangunan rumah adat yang bersifat padat karya menjadi mahal, terutama dengan menipisnya sumber daya kayu keras akibat penggundulan hutan dan pertumbuhan penduduk. Akibatnya, mayoritas masyarakat Indonesia kini tinggal di bangunan modern dibandingkan rumah adat tradisional.

Di daerah yang banyak dikunjungi wisatawan seperti Tanah Toraja, rumah adat dipertahankan sebagai tempat wisata, namun bekas penghuninya sering kali tinggal di tempat lain. Namun di daerah terpencil, beberapa rumah adat masih ada, sedangkan di daerah lain, bangunan bergaya rumah adat dipertahankan untuk keperluan upacara atau resmi.

Adaptasi kontemporer

Pada masa kolonial Hindia Belanda, gaya rumah adat Indonesia sengaja diciptakan kembali dan ditiru untuk mewakili keragaman budaya koloni. Acara meriah seperti Pasar Gambir tahunan menampilkan paviliun dan bangunan yang dibangun dengan gaya rumah adat dari berbagai daerah di nusantara. Demikian pula, paviliun kolonial Belanda pada Pameran Kolonial Paris tahun 1931 memamerkan sintesis arsitektur vernakular Indonesia, yang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai budaya di Hindia Belanda.

Saat ini, bangunan modern terkadang memasukkan unsur gaya dari rumah adat, seperti Rumah Panca Indera di Belanda, yang meniru model rumah gadang Minangkabau. Beberapa orang Eropa pada masa kolonial juga membangun rumah dengan desain hibrida adat Barat.

Di banyak tempat, elemen atau ornamen rumah adat telah menjadi bagian dari identitas daerah, sehingga bangunan pemerintahan dan publik didorong untuk menampilkan elemen arsitektur asli tersebut. Meski dibangun menggunakan teknik kontemporer seperti rangka beton dan dinding bata, bangunan ini sering kali menggunakan atap tradisional, seperti bagonjong Minang atau tongkonan Toraja, yang memberikan perpaduan estetika modern dan tradisional.

Namun, pembangunan rumah adat modern berbingkai beton dan berdinding bata telah menimbulkan kekhawatiran akan ketahanan terhadap gempa. Rumah kayu tradisional umumnya lebih tahan terhadap gempa bumi, sedangkan struktur beton dapat runtuh akibat tekanan gempa, seperti yang terjadi pada gempa Padang tahun 2009. Beberapa komunitas telah mengadopsi konsep rumah adat 'semi-modern', yang menggabungkan elemen tradisional dengan cangkang beton untuk mengatasi permasalahan ini.


Disadur dari: en.wikipedia.org