Perubahan Iklim

​​​​​​​Ketidakpastian dalam Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengelolaan Lahan: Tantangan Global dan Jalan Menuju Solusi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Dunia yang Semakin Tak Pasti

Ketika perubahan iklim menjadi semakin nyata, muncul satu persoalan besar yang sering terabaikan: ketidakpastian. Tidak hanya dalam proyeksi iklim itu sendiri, tetapi juga dalam adaptasi dan kebijakan yang harus diambil untuk menghadapinya. Paper berjudul “Assessing Uncertainties in Climate Change Adaptation and Land Management” karya Walter Leal Filho dkk. menyoroti dimensi kompleks ketidakpastian yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan, akademisi, dan praktisi di seluruh dunia dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Artikel ini mengungkap bahwa ketidakpastian bukan hanya hambatan teknis, tetapi juga hambatan psikologis dan kebijakan. Tanpa pemahaman dan pengelolaan ketidakpastian yang baik, tindakan adaptasi bisa terhambat atau bahkan gagal.

Memahami Akar Ketidakpastian: Epistemik dan Irreducible

Penulis membedakan dua jenis utama ketidakpastian:

  1. Irreducible uncertainty: Ketidakpastian yang melekat pada sistem alam, misalnya variabilitas iklim yang tidak bisa diprediksi secara sempurna.

  2. Epistemic uncertainty: Ketidakpastian karena keterbatasan pengetahuan atau data yang dapat diperbaiki seiring waktu.

Kedua jenis ini sangat relevan dalam konteks pengelolaan lahan dan adaptasi iklim karena keduanya memengaruhi desain kebijakan dan infrastruktur yang tangguh terhadap perubahan iklim.

Metodologi Global dan Representatif

Studi ini menggunakan survei daring dengan 142 responden dari 50 negara di enam benua. Mayoritas responden berasal dari negara berkembang (sekitar 2/3), dengan kontribusi terbanyak dari Afrika (39,4%), diikuti oleh Eropa (26,1%), dan Amerika Selatan serta Asia masing-masing 10,6%.

Profil responden menunjukkan bahwa:

  • 69,7% memiliki gelar PhD.

  • Sebanyak 87,23% sangat menyadari urgensi adaptasi iklim.

  • Lebih dari separuh responden berusia 41–60 tahun, menunjukkan bahwa tanggapan datang dari kelompok profesional berpengalaman.

Faktor-Faktor Utama yang Mempengaruhi Ketidakpastian

Para responden mengidentifikasi sejumlah faktor yang mempengaruhi ketidakpastian dalam adaptasi iklim dan pengelolaan lahan. Yang paling dominan adalah:

  • Faktor lingkungan: Dianggap paling penting oleh 60% responden.

  • Faktor kesehatan dan sosial: Masing-masing dianggap sangat penting oleh lebih dari 43%.

  • Faktor ekonomi dan politik: Juga mendominasi persepsi ketidakpastian dalam kebijakan publik.

  • Faktor teknis dan etika: Cenderung dianggap kurang penting secara relatif, tetapi tetap berpengaruh dalam konteks teknologi dan keadilan iklim.

Temuan ini menegaskan bahwa adaptasi iklim tidak bisa hanya berbasis sains atau teknologi, tetapi harus memadukan perspektif sosial, politik, dan ekonomi secara integral.

Ketidakpastian dalam Praktik: Studi Kasus dan Dampaknya

1. Infrastruktur Anti-Banjir dan Curah Hujan Tak Menentu

Ketidakpastian dalam pola curah hujan ekstrem menyulitkan perencanaan infrastruktur tahan banjir. Di beberapa negara, ketidaktepatan data menyebabkan pembangunan bendungan atau saluran air yang tidak efektif saat banjir benar-benar terjadi.

2. Integrasi Energi Terbarukan

Studi ini juga menyoroti bahwa ketidakpastian mengenai interaksi antara energi surya, angin, dan air menghambat transisi menuju energi bersih. Belum ada pemahaman menyeluruh bagaimana ketiganya dapat diintegrasikan secara efisien dalam berbagai kondisi iklim.

3. Adaptasi Pertanian

Petani di negara berkembang sering menghadapi kebingungan karena proyeksi iklim yang tidak konsisten. Ketika musim tanam menjadi semakin tidak menentu, dan pola hujan bergeser drastis, mereka sulit menentukan kapan dan bagaimana bercocok tanam. Hal ini memperparah ketahanan pangan.

Alat untuk Mengurangi Ketidakpastian: Apa yang Digunakan Praktisi?

Dalam upaya mengurangi ketidakpastian, para praktisi menggunakan berbagai alat. Berdasarkan hasil survei:

  • 50% mengandalkan studi jangka panjang, seperti laporan IPCC dan kajian akademik.

  • 41,27% mengandalkan dokumen resmi dari PBB.

  • 36,92% mengandalkan opini pakar.

  • 21,36% menggunakan studi yang ditugaskan oleh pemerintah.

  • Hanya 8,99% yang mengandalkan film atau media populer sebagai sumber informasi.

Temuan ini menunjukkan bahwa walaupun komunikasi publik penting, para profesional lebih mempercayai sumber ilmiah yang terverifikasi.

Strategi Pengurangan Ketidakpastian: Konsensus Global dan Lokal

Mayoritas responden setuju bahwa panduan atau pedoman harus disusun di berbagai tingkat:

  • 28,2% mengusulkan pengembangan panduan global dan regional.

  • 16,9% ingin ada pedoman dari tingkat global hingga lokal.

  • Hanya 1,4% yang menyarankan untuk menerima ketidakpastian sebagai bagian dari sistem dan bekerja dengannya.

Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemangku kepentingan masih menganggap ketidakpastian sebagai sesuatu yang harus dikendalikan, bukan dimanfaatkan secara adaptif.

Analisis Kritis: Menakar Realisme dan Harapan

Meskipun artikel ini memberikan kontribusi besar terhadap literatur adaptasi iklim, terdapat beberapa catatan penting:

  1. Responden Didominasi oleh Kelompok Akademik dan Profesional
    Ini bisa menimbulkan bias persepsi karena belum tentu mencerminkan masyarakat umum atau komunitas lokal yang terdampak langsung.

  2. Pandangan Masih Normatif terhadap Ketidakpastian
    Kebanyakan responden menganggap ketidakpastian sebagai hambatan, bukan peluang. Padahal dalam ekologi, ketidakpastian adalah hal alami yang bisa digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan adaptif.

  3. Belum Banyak Dibahas Peran Teknologi Baru seperti AI dan IoT
    Padahal teknologi ini bisa digunakan untuk mempersempit ketidakpastian dalam perencanaan lahan dan mitigasi risiko bencana.

Relevansi Global dan Implikasi Kebijakan

Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap ketidakpastian sangat dipengaruhi oleh konteks geografis dan sosial-politik. Di negara-negara berkembang, ketidakpastian sering dihadapi dengan keterbatasan kapasitas institusional. Oleh karena itu:

  • Pemerintah harus mengembangkan kebijakan berbasis skenario yang fleksibel dan mengakomodasi ketidakpastian.

  • Investasi dalam sistem peringatan dini, riset lokal, dan partisipasi masyarakat sangat penting untuk meningkatkan ketahanan adaptif.

  • Kerja sama internasional diperlukan, bukan hanya dalam pendanaan iklim, tetapi juga dalam berbagi data, teknologi, dan pengalaman.

Mengelola Bukan Menghindari Ketidakpastian

Alih-alih mencoba menghilangkan ketidakpastian, pendekatan yang lebih realistis adalah mengelolanya dengan informasi yang lebih baik, komunikasi yang jelas, dan partisipasi lintas sektor.

Artikel ini berhasil menyoroti bahwa ketidakpastian bukan alasan untuk diam, melainkan panggilan untuk bertindak lebih cerdas, kolaboratif, dan berbasis bukti.

Sumber Artikel:

Leal Filho, W.; Stojanov, R.; Wolf, F.; Matandirotya, N.R.; Ploberger, C.; Ayal, D.Y.; Azam, F.M.S.; AL-Ahdal, T.M.A.; Sarku, R.; Tchiadje, N.F.; et al. Assessing Uncertainties in Climate Change Adaptation and Land Management. Land 2022, 11, 2226. https://doi.org/10.3390/land11122226 dokumen atau ringkasan visual (infografis), saya siap membantu.

Selengkapnya
​​​​​​​Ketidakpastian dalam Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengelolaan Lahan: Tantangan Global dan Jalan Menuju Solusi

Perubahan Iklim

Evaluasi Kinerja Green Climate Fund di Bangladesh — Peluang dan Tantangan dalam Mendukung Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Pentingnya Green Climate Fund bagi Negara Rentan Iklim

Bangladesh merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim global, dengan risiko tinggi banjir, siklon, intrusi salinitas, dan kenaikan permukaan laut. Sebagai negara delta rendah dengan 79% wilayahnya berupa dataran banjir, Bangladesh menghadapi tantangan besar dalam menjaga ketahanan sosial-ekologisnya. Green Climate Fund (GCF) hadir sebagai instrumen pendanaan internasional yang mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di negara-negara berkembang, termasuk Bangladesh. Paper "Forward-Looking Performance Review of the Green Climate Fund: Bangladesh Country Visit Report" (2019) oleh Independent Evaluation Unit (IEU) GCF mengulas secara mendalam bagaimana GCF beroperasi di Bangladesh, termasuk model bisnis, kebijakan, proses, dan hasil yang dicapai sejauh ini.

Model Bisnis dan Struktur Organisasi GCF di Bangladesh

Kepemilikan Negara dan Peran NDA

Bangladesh menunjukkan tingkat kepemilikan yang kuat terhadap program GCF, dengan Economic Relations Division (ERD) di Kementerian Keuangan sebagai National Designated Authority (NDA) dan focal point (FP) GCF. NDA berperan sentral dalam mengkoordinasikan proses no-objection, mengelola pipeline proyek, serta memobilisasi berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, CSO, dan sektor swasta. NDA juga membentuk sekretariat dan komite penasihat dengan anggota dari berbagai sektor untuk mendukung proses pengambilan keputusan.

Entitas Akses Langsung (DAEs) dan Entitas Terakreditasi (AEs)

Bangladesh telah menetapkan enam entitas nasional sebagai calon DAEs, dua di antaranya telah terakreditasi: Infrastructure Development Company Limited (IDCOL) dan Palli Karma-Sahayak Foundation (PKSF). IDCOL fokus pada proyek mitigasi sektor swasta dengan risiko menengah (kategori B), sedangkan PKSF menangani proyek adaptasi sektor publik dengan risiko rendah (kategori C). Namun, keterbatasan kapasitas teknis dan risiko yang dapat ditanggung DAEs membatasi cakupan proyek yang dapat mereka tangani, sehingga sebagian besar proyek masih dikembangkan oleh entitas terakreditasi internasional (iAEs) seperti UNDP, KfW, dan World Bank.

Proses No-Objection dan Pengajuan Proposal

Proses no-objection di Bangladesh dilakukan secara daring melalui platform yang dikembangkan NDA, dengan tahapan screening, konsultasi komite, dan persetujuan akhir oleh NDA. Meskipun proses ini sudah berjalan, beberapa AEs mengeluhkan kompleksitas dan ketidaksesuaian proses GCF dengan konteks nasional, termasuk kebutuhan persetujuan tambahan dari kementerian terkait dan Dewan Ekonomi Nasional untuk proyek dengan nilai lebih dari USD 5,9 juta.

Kebijakan, Proses, dan Tantangan dalam Akses Dana GCF

Kebijakan GCF dan Implementasinya

Kebijakan GCF, terutama yang terkait dengan risiko, lingkungan dan sosial (ESS), serta gender, dianggap relevan namun memberatkan dalam pelaksanaan. Pemerintah Bangladesh, melalui DoE, memiliki kebijakan lingkungan yang sudah mapan, sehingga beberapa persyaratan GCF dianggap kaku dan sulit diadaptasi. Selain itu, pendekatan GCF yang sangat berhati-hati terhadap risiko dinilai menghambat inovasi dan investasi dalam proyek yang lebih berisiko namun potensial berdampak besar.

Proses Akreditasi yang Panjang dan Kompleks

Proses akreditasi DAEs memakan waktu hingga tiga tahun, dengan persyaratan yang sulit dipenuhi terutama oleh lembaga pemerintah yang tidak dapat mengubah kebijakan internal secara cepat. Hal ini menyebabkan beberapa entitas nasional enggan mengajukan akreditasi, meskipun kapasitas mereka sebenarnya cukup untuk mengelola proyek GCF. Disarankan agar GCF mempertimbangkan audit langsung atau akreditasi bersyarat yang disertai dengan penguatan kapasitas untuk mempercepat proses.

Hambatan dalam Pengembangan Proposal dan Implementasi Proyek

Sejauh ini, Bangladesh telah mengajukan sekitar 20 konsep dan proposal pendanaan, namun hanya tiga yang disetujui dan baru satu yang mulai diimplementasikan (FP004). Proses desain dan persetujuan proposal sangat lama, rata-rata memakan waktu dua tahun, yang menyebabkan proyek kehilangan relevansi data baseline dan tumpang tindih dengan inisiatif lain di lapangan. Kurangnya definisi jelas tentang konsep kunci seperti "climate rationale," "country ownership," dan "paradigm shift" juga menambah kebingungan dalam penyusunan proposal.

Studi Kasus Proyek GCF di Bangladesh

FP004: Climate Resilient Infrastructure Mainstreaming (KfW)

  • Durasi: 72 bulan
  • Dana Disburse: USD 0,15 juta (per 2018)
  • Target Manfaat: Meningkatkan kapasitas adaptasi 134.000 orang secara langsung dan 10,4 juta orang secara tidak langsung melalui infrastruktur tahan iklim
  • Penilaian: Tinggi untuk kebutuhan penerima dan kepemilikan negara, namun rendah untuk efisiensi dan efektivitas
  • Tantangan: Proyek terlambat satu tahun dari jadwal awal karena proses persetujuan yang panjang

FP069: Enhancing Adaptive Capacities of Coastal Communities (UNDP)

  • Durasi: 72 bulan
  • Dana Disburse: USD 4,74 juta (per 2019)
  • Target Manfaat: Sekitar 719.229 orang di komunitas pesisir, terutama perempuan, mendapatkan kapasitas adaptasi terhadap salinitas akibat perubahan iklim
  • Penilaian: Tinggi untuk kepemilikan dan kebutuhan penerima, sedang untuk potensi dampak dan paradigma perubahan

FP070: Global Clean Cooking Programme (World Bank)

  • Durasi: 42 bulan
  • Dana: Dalam proses negosiasi
  • Target Manfaat: 17,8 juta orang mendapat manfaat dari penggunaan kompor bersih dan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 2,89 juta ton CO2 ekuivalen
  • Penilaian: Tinggi untuk kebutuhan penerima dan kepemilikan, namun iTAP menilai potensi dampak dan paradigma perubahan lebih rendah karena kurang fokus pada kelompok paling rentan

Analisis dan Opini: Peluang dan Tantangan GCF di Bangladesh

Peluang

  • Bangladesh telah menunjukkan komitmen tinggi dengan mengalokasikan 8,82% anggaran nasional untuk perubahan iklim, serta membentuk mekanisme nasional seperti Climate Change Trust Fund (CCTF).
  • Keberadaan DAEs nasional yang mulai terakreditasi membuka peluang untuk meningkatkan akses langsung dan relevansi lokal dalam pelaksanaan proyek.
  • Pipeline proyek yang besar (48 proyek prioritas dari 230 ide) menunjukkan potensi besar untuk pengembangan program adaptasi dan mitigasi.

Tantangan

  • Proses birokrasi yang panjang dan kompleks menghambat percepatan implementasi proyek, yang sangat krusial mengingat kebutuhan adaptasi yang mendesak.
  • Kapasitas teknis DAEs masih terbatas, terutama dalam penyusunan proposal yang memenuhi kriteria GCF, sehingga ketergantungan pada iAEs masih tinggi.
  • Kurangnya definisi dan panduan yang jelas dari GCF mengenai konsep kunci menyebabkan kebingungan dan ketidakefisienan dalam proses pengajuan dan evaluasi proyek.
  • Pergantian personel yang tinggi di NDA mengakibatkan hilangnya memori institusional dan kontinuitas dalam pengelolaan GCF.

Perbandingan dengan Studi Lain

Penemuan ini sejalan dengan studi lain yang menunjukkan bahwa keberhasilan akses dana iklim internasional sangat bergantung pada kapasitas institusional dan kesesuaian prosedur dengan konteks nasional. Negara-negara berkembang dengan mekanisme koordinasi yang kuat dan kepemilikan lokal yang tinggi cenderung lebih berhasil dalam mengimplementasikan proyek adaptasi dan mitigasi.

Rekomendasi untuk Meningkatkan Efektivitas GCF di Bangladesh

  • Penguatan Kapasitas NDA dan DAEs: Penambahan staf teknis yang stabil dan pelatihan intensif untuk meningkatkan kemampuan penyusunan proposal dan manajemen proyek.
  • Penyederhanaan Proses dan Definisi Konsep: GCF perlu menyediakan panduan yang jelas dan praktis terkait climate rationale, country ownership, dan paradigm shift untuk mengurangi kebingungan.
  • Pendekatan Akreditasi yang Fleksibel: Pertimbangkan akreditasi bersyarat dan audit langsung untuk mempercepat proses dan memperluas partisipasi entitas nasional.
  • Peningkatan Komunikasi dan Dukungan Teknis: GCF Secretariat harus lebih proaktif dalam berinteraksi dengan negara dan AEs untuk memberikan dukungan teknis yang konsisten dan responsif.
  • Pengembangan Model Programatik: Mempertimbangkan pendekatan program yang mengintegrasikan beberapa proyek untuk mengoptimalkan dampak dan efisiensi sumber daya.

Kesimpulan

Laporan evaluasi GCF di Bangladesh ini memberikan gambaran yang komprehensif tentang dinamika, capaian, dan hambatan dalam mengakses serta mengimplementasikan dana iklim di negara yang sangat rentan ini. Meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam membangun mekanisme nasional dan pipeline proyek, tantangan birokrasi, kapasitas teknis, dan ketidakjelasan kebijakan masih menjadi hambatan utama. Dengan perbaikan proses, penguatan kapasitas, dan dukungan yang lebih adaptif dari GCF, Bangladesh berpotensi memaksimalkan manfaat dana iklim untuk meningkatkan ketahanan dan mengurangi emisi secara signifikan.

Sumber Artikel Asli:
Independent Evaluation Unit (IEU). (2019). Forward-Looking Performance Review of the Green Climate Fund (FPR) – Bangladesh Country Visit Report. Green Climate Fund.

Selengkapnya
Evaluasi Kinerja Green Climate Fund di Bangladesh — Peluang dan Tantangan dalam Mendukung Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Perubahan Iklim

Membuka Jalan Tata Kelola Air Berkelanjutan Lewat Water Accounting: Strategi Kritis Hadapi Krisis Air Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Krisis Air adalah Krisis Tata Kelola

Di era perubahan iklim, ledakan populasi, dan ekspansi pertumbuhan kota dan pertanian, air menjadi sumber daya yang semakin langka dan diperebutkan. Meski begitu, kita justru kurang memperhatikannya secara sistematis. Air, seperti uang, seharusnya dipantau dan dicatat secara akurat—itulah inti dari water accounting atau akuntansi air.

Menurut laporan FAO dan World Water Council (2018), jika dunia melanjutkan pendekatan pengelolaan air seperti sekarang, maka pada tahun 2050 permintaan global akan air bisa melebihi pasokan lebih dari 40%. Dampaknya mengancam 45% PDB dunia, 52% populasi global, dan 40% produksi gandum. Fakta ini menjadi alarm keras untuk segera merombak sistem pengelolaan air yang ada.

Apa Itu Water Accounting dan Mengapa Ini Penting

Water accounting adalah proses pencatatan sistematis mengenai ketersediaan, penggunaan, distribusi, dan akses terhadap air, di wilayah atau sektor tertentu. Seperti pembukuan keuangan, akuntansi air bertujuan memberikan data yang jelas dan terverifikasi untuk membantu pengambilan keputusan. Tidak cukup hanya mengukur volume air, tetapi juga memahami pola konsumsi antar sektor—rumah tangga, pertanian, industri, lingkungan, dan energi.

Konsep ini tidak hanya membantu mengetahui "berapa banyak air tersedia", tapi juga "siapa yang menggunakannya", "untuk apa", dan "apakah penggunaan tersebut berkelanjutan".

Peran Vital Water Accounting dalam Mewujudkan SDGs

Akuntansi air bukan hanya alat teknis, tapi strategis dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Secara khusus, SDG 6 menargetkan air bersih dan sanitasi untuk semua, tetapi pencapaiannya saling berkaitan dengan SDG 2 (ketahanan pangan), SDG 7 (energi bersih), SDG 13 (aksi iklim), dan SDG 15 (ekosistem darat).

Sebagai contoh, untuk mencapai ketahanan pangan, banyak negara mendorong irigasi besar-besaran. Tapi tanpa penghitungan akurat terhadap pasokan dan penggunaan air, langkah ini justru bisa memperparah kelangkaan air dan merusak ekosistem. Di sinilah akuntansi air hadir sebagai alat untuk menyeimbangkan ambisi pembangunan dengan kenyataan hidrologi.

Studi Kasus: Pelajaran dari Dunia Nyata

Laporan ini menyajikan beberapa studi kasus yang memperlihatkan bagaimana akuntansi air bisa mengubah kebijakan dan memperbaiki tata kelola.

India: Krisis Air Tanah dan Polusi Udara

Di wilayah Punjab dan Haryana, petani menggunakan listrik bersubsidi untuk memompa air tanah demi menanam padi dan gandum. Akibatnya, terjadi penurunan air tanah secara ekstrem. Ironisnya, setelah panen, mereka membakar jerami untuk menghemat waktu dan biaya, yang menyebabkan kabut asap di Delhi dan memperparah krisis kesehatan.

Tanpa akuntansi air, pemerintah tidak punya dasar data kuat untuk mengubah kebijakan subsidi atau memodifikasi pola tanam. Akuntansi air bisa mengungkap total konsumsi, efisiensi penggunaan, serta dampaknya terhadap energi dan kesehatan publik.

Nebraska, AS: Pengelolaan Air Tanah yang Efektif

Di Nebraska, akuntansi air menunjukkan bahwa penggunaan air tanah untuk irigasi melebihi batas pengisian alami (recharge). Pemerintah negara bagian merespons dengan mewajibkan meteran air, mengatur kuota, dan membentuk kelompok pengguna air yang mengelola distribusi secara mandiri. Ini bukan hanya menyelamatkan akuifer, tapi juga mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan air secara transparan.

Australia: Transparansi dan Pasar Air di Murray-Darling Basin

Dengan standar nasional untuk akuntansi air, Australia berhasil mengintegrasikan data air ke dalam pasar berbasis kuota. Informasi tentang siapa menggunakan air, berapa banyak, dan untuk apa, bisa diakses publik. Ini menciptakan sistem yang lebih adil dan efisien, serta mengurangi konflik antar pengguna air, terutama antara sektor pertanian dan kota.

Brasil: Meningkatkan Efisiensi Petani Lewat Data

Program Irrigation Advisory Service di Brasil memberikan informasi efisiensi air kepada petani melalui SMS dan platform digital. Awalnya, tingkat efisiensi sistem irigasi hanya sekitar 67%. Setelah intervensi berbasis data dan pelatihan, efisiensi meningkat menjadi 85%, sementara penggunaan energi juga menurun. Keberhasilan ini memperlihatkan bagaimana akuntansi air berkontribusi pada efisiensi operasional dan keberlanjutan ekonomi pertanian.

Membongkar Mitos dengan Data

Salah satu kontribusi terbesar akuntansi air adalah membongkar mitos populer yang tidak terbukti secara ilmiah. Contohnya, drip irrigation sering dianggap selalu menghemat air. Padahal, dalam banyak kasus, petani justru memperluas lahan tanam dengan 'air yang dihemat', sehingga total konsumsi air malah meningkat.

Mitos lain seperti "waduk selalu menambah pasokan air" atau "hutan meningkatkan air tanah" juga sering disalahartikan. Dalam iklim kering, waduk bisa menguapkan lebih banyak air daripada yang bisa disuplai. Beberapa jenis hutan justru menyerap air tanah dalam jumlah besar dan mengurangi aliran sungai.

Melalui pendekatan kuantitatif dan berbasis hukum konservasi massa, akuntansi air menyingkap kenyataan bahwa tidak semua solusi ‘alami’ atau ‘teknologi canggih’ cocok di setiap konteks.

Dari Data ke Tata Kelola: Akuntansi Air sebagai Basis Kebijakan

Water accounting tidak hanya berhenti pada pencatatan data, tetapi juga memberi masukan penting untuk water auditing dan reformasi kebijakan. Ketika pemerintah tahu berapa banyak air yang dimiliki, siapa yang menggunakannya, dan bagaimana dampaknya terhadap ekosistem, maka kebijakan bisa diarahkan pada prinsip keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan.

Akuntansi air membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci bagi pembuat kebijakan:

  • Apakah rencana pembangunan ini sesuai dengan kapasitas air yang ada?
  • Apakah subsidi atau harga air sudah adil?
  • Bagaimana dampak proyek seperti bendungan, irigasi, atau kawasan industri terhadap air?

Mendukung Pemantauan SDGs dan Pertumbuhan Ekonomi

Indikator dalam SDGs seperti “akses air bersih”, “efisiensi penggunaan air”, dan “kualitas air” hanya bisa dimonitor secara akurat jika negara memiliki sistem akuntansi air yang kuat. Selain itu, perencanaan ekonomi juga membutuhkan informasi hidrologis. Tanpa data yang baik, banyak proyek pembangunan bisa menjadi stranded investment—misalnya kawasan industri yang tidak bisa beroperasi karena krisis air.

Texas State Water Plan tahun 2017 memberikan contoh yang baik: mereka menggunakan akuntansi air untuk menyusun rencana jangka panjang terhadap pertumbuhan populasi dan ekonomi yang pesat, agar tidak terjadi kelangkaan air di masa depan.

Rekomendasi: Arah Masa Depan untuk Akuntansi Air

FAO dan World Water Council menyarankan langkah-langkah berikut bagi negara dan institusi:

  1. Bangun institusi akuntansi air nasional.
    Setiap negara perlu memiliki unit khusus dengan mandat dan sumber daya yang cukup.
  2. Investasi dalam pengumpulan dan analisis data.
    Banyak negara masih kekurangan infrastruktur pemantauan seperti pengukur curah hujan, debit sungai, atau data pemakaian sektor.
  3. Promosikan keterbukaan data.
    Data air seringkali disimpan sebagai "aset strategis" yang tertutup. Padahal transparansi akan memperkuat kepercayaan dan partisipasi publik.
  4. Dorong kolaborasi lintas sektor.
    Institusi pertanian, industri, dan lingkungan harus bekerja sama, bukan berjalan dalam silo.
  5. Dukung riset dan inovasi.
    Metode akuntansi air harus terus diperbarui dengan memanfaatkan satelit, teknologi mobile, dan pengamatan lapangan.
  6. Bentuk pusat keunggulan global.
    Dunia butuh tempat berbagi metode, pelatihan, dan inovasi dalam akuntansi air.

Setiap Tetes Air Harus Dihitung

Mengelola air tanpa data adalah seperti mengelola keuangan tanpa laporan. Kita tidak bisa menyusun kebijakan, menyelamatkan ekosistem, atau membangun ekonomi tanpa mengetahui dengan pasti berapa banyak air yang tersedia, digunakan, dan dibutuhkan.

Water accounting memberikan bahasa bersama, alat ukur, dan transparansi yang dibutuhkan dunia untuk memastikan bahwa air—sumber kehidupan—tetap tersedia bagi semua, hari ini dan untuk generasi mendatang.

Sumber Artikel:
FAO & World Water Council. (2018). Water Accounting for Water Governance and Sustainable Development. White Paper. ISBN 978-92-5-130427-3.

 

Selengkapnya
Membuka Jalan Tata Kelola Air Berkelanjutan Lewat Water Accounting: Strategi Kritis Hadapi Krisis Air Global

Perubahan Iklim

Mengungkap Korupsi Besar dalam Kebijakan Iklim: Ancaman Nyata bagi Transisi Energi dan Keuangan Hijau

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Ketika Perubahan Iklim Bertemu Kepentingan Elit Global

Krisis iklim saat ini bukan hanya soal emisi karbon dan target net-zero, tetapi juga soal siapa yang mengendalikan arah kebijakan, aliran dana, dan distribusi sumber daya. Laporan "Grand Corruption and Climate Change Policies" yang diterbitkan oleh U4 Anti-Corruption Helpdesk (2022) secara gamblang mengungkap sisi gelap dari upaya global menanggulangi perubahan iklim—yakni korupsi besar (grand corruption).

Berbeda dari korupsi kecil seperti suap harian atau pungli, grand corruption melibatkan aktor politik tingkat tinggi, pengusaha besar, dan institusi multinasional yang memanipulasi hukum, regulasi, dan alokasi anggaran untuk kepentingan sempit. Di tengah kebutuhan akan investasi triliunan dolar untuk transisi energi dan perlindungan keanekaragaman hayati, korupsi jenis ini berisiko menggagalkan seluruh agenda keberlanjutan global.

Apa Itu Grand Corruption?

Grand corruption didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan tingkat tinggi yang mendistorsi fungsi inti pemerintahan demi kepentingan pribadi. Ciri utamanya meliputi:

  • Skala besar dan lintas batas negara,
  • Adanya keterlibatan pejabat tinggi dan aktor transnasional,
  • Perampasan sumber daya publik yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan umum.

Tiga bentuk utama dari grand corruption adalah:

  1. State capture – ketika kebijakan dirancang sesuai kepentingan elite.
  2. Regulatory capture – ketika badan pengawas dikendalikan oleh industri.
  3. Institutionalised grand corruption – ketika pelaksanaan kebijakan rutin dimanipulasi untuk kepentingan jaringan tertentu.

Grand Corruption dalam Transisi Energi: Di Balik Revolusi Hijau

1. Decarbonisation: Tarik Ulur Kepentingan dalam Pajak Karbon

Pajak karbon adalah instrumen penting untuk mengurangi emisi, namun penerapannya rawan manipulasi. Contohnya, di Indonesia, resistensi terhadap pajak karbon dipengaruhi oleh elite bisnis yang juga terlibat dalam politik. Studi menyebutkan bahwa keterlibatan pengusaha dalam partai politik menjadi alasan utama penundaan dan lemahnya desain kebijakan ini. Meski telah diumumkan, tarif pajak karbon di Indonesia sangat rendah dan penerapannya telah dua kali tertunda.

2. Revolving Door dan Regulatory Capture: Kasus Amerika Serikat

Di bawah pemerintahan Donald Trump, praktik "revolving door" tampak jelas ketika mantan pelobi batubara, Andrew Wheeler, diangkat menjadi pimpinan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA). Kebijakan EPA bergeser tajam ke arah yang menguntungkan industri bahan bakar fosil. Fenomena ini menunjukkan bagaimana regulasi dapat dikendalikan oleh aktor industri yang sebelumnya berada di dalam atau dekat pusat kekuasaan.

3. Korupsi Institusional dalam Subsidi Energi Fosil

Fossil fuel subsidies—yang mencapai US$423 miliar per tahun—adalah salah satu bentuk alokasi anggaran yang rentan disalahgunakan. Di Nigeria, perusahaan minyak nasional NNPC terbukti tidak menyetor US$16 miliar ke pemerintah karena dikorupsi oleh elite politik. Indonesia pun tidak luput, di mana reformasi subsidi BBM kerap terhambat oleh tekanan dari pelaku industri dan politisi.

Studi Kasus: Kekuasaan, Korupsi, dan Energi Hijau di Balkan dan Afrika

Montenegro dan Makedonia Utara

Di Montenegro, sistem insentif energi terbarukan digunakan untuk menguntungkan lingkaran dekat Presiden Milo Đukanović. Proyek hydropower kecil yang seharusnya ramah lingkungan justru dikuasai oleh kroni politik. Dari 47 konsesi proyek, lebih dari separuh dikaitkan dengan partai penguasa saat itu.

Di Makedonia Utara, aturan energi terbarukan secara eksplisit menguntungkan perusahaan milik keluarga Wakil Perdana Menteri Ekonomi, Kočo Angjušev. Angjušev mengendalikan sepertiga proyek hydropower kecil di negara itu—praktik yang diduga sebagai bentuk state capture dan konflik kepentingan.

Uganda dan Malaysia

Di Uganda, dana dari skema GET FiT (feed-in-tariff energi hijau) justru digunakan untuk mendanai kampanye politik partai penguasa. Di Malaysia, proyek dam besar di Sarawak disalurkan ke perusahaan yang dikendalikan keluarga politikus Mahmud Taib—bukti bahwa proyek iklim besar pun bisa menjadi ladang korupsi.

Grand Corruption dalam Biodiversity Loss: Kerusakan yang Dilindungi Kekuasaan

Biodiversitas menjadi korban dari korupsi besar. Praktik suap, konversi lahan ilegal, dan pengabaian aturan konservasi terjadi atas restu aktor elite dan bisnis besar.

Contoh: Brasil dan Amazon

Eksploitasi hutan Amazon sering kali terjadi karena hubungan mesra antara politisi dan industri agribisnis atau pertambangan. Perizinan dikondisikan melalui donasi politik, dan pengawasan dilemahkan lewat penempatan loyalis industri dalam lembaga pengawasan lingkungan.

Mekanisme yang Sama, Dampak Lebih Luas

  • Lembaga konservasi dipolitisasi
  • Tindak tegas pelanggaran dilemahkan
  • Komunitas lokal kehilangan hak atas lahan

Grand Corruption dalam Climate Finance: Uang Hijau, Tujuan Kelabu

Dana iklim global bernilai miliaran dolar dari lembaga seperti Green Climate Fund, Bank Dunia, dan UNFCCC menjadi incaran jaringan korupsi.

Praktik yang Ditemukan:

  • Penunjukan proyek iklim fiktif
  • Tender proyek hanya untuk perusahaan tertentu
  • Dana diselewengkan untuk kepentingan politik

Kasus: Kroasia

Tiga orang, termasuk wali kota Nova Gradiska, dihukum karena memanipulasi pengadaan untuk proyek pembangkit surya dan pengolahan air limbah yang didanai oleh Uni Eropa. Skema ini menunjukkan bahwa korupsi skala besar dapat berlangsung bahkan dalam konteks negara maju.

Komoditas Baru, Korupsi Lama: Critical Minerals untuk Energi Terbarukan

Mengapa Rentan?

  • Lokasi tambang kritis (nikel, lithium, rare earth) banyak terdapat di negara-negara dengan tata kelola lemah.
  • Penambahan tekanan dari investor asing yang mengejar akses bahan baku.
  • Negara melakukan pelonggaran regulasi untuk menarik investasi.

Contoh:

  • Indonesia: Proses perizinan pertambangan rawan suap. Gubernur provinsi diduga menerima suap untuk mengeluarkan izin tambang dan mengalihfungsikan hutan.
  • Zambia: Menteri Pertambangan terbukti mengintervensi proses tender tambang.
  • Guatemala: Mantan pejabat tambang terlibat dalam perizinan yang menguntungkan perusahaan keluarganya.

Dampak Besar Grand Corruption terhadap Perubahan Iklim

Korupsi besar memperlambat, bahkan menggagalkan, agenda iklim global melalui berbagai cara:

1. Lingkungan

  • Eksploitasi sumber daya yang merusak (hutan, sungai, tambang)
  • Penundaan proyek energi bersih

2. Ekonomi

  • Alokasi anggaran tak efisien
  • Subsidi energi fosil justru memperparah ketergantungan

3. Kesehatan & HAM

  • Polusi dan degradasi ekosistem
  • Peminggiran komunitas lokal dan adat

4. Kepercayaan Publik

  • Ketidakpercayaan terhadap kebijakan iklim
  • Resistensi terhadap reformasi pajak karbon dan pencabutan subsidi

Kritik dan Rekomendasi: Jalan Menuju Transisi yang Bersih dan Transparan

🔍 Kritik

  • Laporan ini fokus pada dampak, namun belum banyak menggali upaya pencegahan konkret.
  • Perlu eksplorasi lebih lanjut pada peran lembaga internasional dan solusi berbasis masyarakat sipil.

Rekomendasi Kunci

  • Transparansi mutlak dalam pengadaan dan alokasi dana iklim
  • Regulasi ketat atas konflik kepentingan dan praktik revolving door
  • Penguatan kapasitas masyarakat sipil dan media investigatif
  • Mekanisme pelaporan publik yang aman dan inklusif

Mengapa Respon terhadap Perubahan Iklim Harus Antikorupsi

Laporan ini memperlihatkan bahwa tidak ada transisi energi, perlindungan biodiversitas, atau pendanaan iklim yang dapat berhasil tanpa membongkar dan menghentikan grand corruption. Keberhasilan kebijakan iklim bukan hanya soal teknologi dan dana, tetapi juga soal keadilan, tata kelola, dan integritas publik.

Indonesia, sebagai negara kaya sumber daya sekaligus rentan terhadap dampak iklim, harus belajar dari temuan ini. Kita perlu mendorong kebijakan iklim yang bukan hanya hijau di atas kertas, tetapi juga bersih dari pengaruh koruptif.

Sumber Artikel Asli:
Resimić, M. (2022). Grand Corruption and Climate Change Policies: Overview of Grand Corruption Evidence in Energy Transition, Biodiversity Loss and Climate Finance. U4 Anti-Corruption Helpdesk Answer, Transparency International.

Jika Anda ingin menyesuaikan artikel ini untuk publikasi web (dengan visual, infografik, atau internal linking tambahan), saya siap membantu menyempurnakannya.

 

Selengkapnya
Mengungkap Korupsi Besar dalam Kebijakan Iklim: Ancaman Nyata bagi Transisi Energi dan Keuangan Hijau

Perubahan Iklim

​​​​​​​Transformasi Sanitasi Berkelanjutan di Kawasan Karibia: Panduan Komprehensif dari GIZ 2022

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Krisis Sanitasi di Tengah Perubahan Iklim Global

Sanitasi adalah salah satu pilar utama pembangunan berkelanjutan yang kerap terpinggirkan dalam diskursus kebijakan publik, terutama di negara berkembang dan kawasan rentan perubahan iklim seperti Wilayah Karibia (Wider Caribbean Region/WCR). Dengan hanya 0–30% wilayah terhubung ke sistem pengolahan air limbah terpusat, dan mayoritas masyarakat mengandalkan tangki septik serta solusi on-site lainnya, tantangan pengelolaan sanitasi di WCR tidak bisa dianggap sepele.

Dokumen Compendium of Sanitation Systems and Technologies for the Wider Caribbean Region yang disusun oleh GIZ (2022), berfungsi sebagai panduan teknis sekaligus strategis dalam merancang sistem sanitasi berkelanjutan, tangguh iklim, dan berbasis masyarakat. Compendium ini menjadi rujukan penting dalam menjawab tantangan multidimensi sanitasi dengan pendekatan terintegrasi dan berbasis sistem.

Apa yang Membuat Kompendium Ini Berbeda?

Dokumen ini merupakan adaptasi regional dari Eawag Compendium edisi 2008 dan 2014 yang telah menjadi acuan global dalam sektor sanitasi. Namun, versi Karibia ini menghadirkan sejumlah inovasi penting:

  • Hanya mencantumkan 6 sistem sanitasi (bukan 9), dengan 48 lembar teknologi terfokus.
  • Memasukkan biochar sebagai produk keluaran baru dalam pendekatan karbon-negatif.
  • Menambahkan bagian khusus tentang perencanaan & pengambilan keputusan yang responsif terhadap iklim.
  • Menghadirkan 6 studi kasus riil dari negara-negara seperti Panama, Guatemala, hingga Republik Dominika.

Pendekatan baru ini bertujuan menjawab krisis yang semakin kompleks, terutama di tengah keterbatasan infrastruktur, kapasitas lembaga, dan dampak iklim seperti badai tropis, intrusi air laut, dan kekeringan ekstrem.

Konteks Sanitasi di Kawasan Karibia: Lima Temuan Kunci

  1. Rendahnya Cakupan Infrastruktur Terpusat
    Hanya 0–30% wilayah memiliki jaringan pengolahan air limbah terpusat. Sebagian besar penduduk menggunakan septik tank atau sistem on-site lainnya, dan pit latrines masih digunakan terutama di kawasan informal.
  2. Prioritas yang Salah Kaprah
    Utilitas air di Karibia seringkali lebih fokus pada pengurangan non-revenue water (kehilangan air tanpa pendapatan) yang berkisar antara 20–70%, sementara aspek sanitasi dianggap sekunder, meskipun buruknya layanan justru menurunkan kemauan bayar masyarakat.
  3. Dilema Tarif dan Investasi
    Banyak utilitas menghadapi paradoks: diharapkan meningkatkan layanan, namun terhambat oleh tarif rendah yang bahkan tak menutup biaya operasional.
  4. Dampak Eksternal Perubahan Iklim
    Termasuk banjir, naiknya muka laut, dan badai ekstrem yang merusak infrastruktur dan mempercepat degradasi lingkungan.
  5. Peluang untuk Inovasi Sirkular
    Minimnya infrastruktur lama membuka jalan bagi pendekatan berbasis ekonomi sirkular dan solusi berbasis alam yang lebih efisien dan hemat biaya.

Struktur Kompendium: Kerangka Sistemik dan Teknologis

Kompendium dibagi ke dalam 4 bagian utama:

1. Template Sistem Sanitasi

Menawarkan enam konfigurasi sistem sanitasi terintegrasi, mulai dari sistem blackwater on-site hingga sistem berbasis kontainer (Container-Based Sanitation). Setiap template disesuaikan dengan kondisi geografis, sosial, dan teknis kawasan WCR.

2. Lembar Informasi Teknologi (Technology Sheets)

Terdiri atas 48 teknologi dari 5 kelompok fungsional:

  • U: User Interface
  • S: Collection & Storage
  • C: Conveyance
  • T: Treatment
  • R: Reuse & Disposal

Setiap teknologi dilengkapi informasi tentang keunggulan, keterbatasan, biaya, dan konteks penerapan.

3. Isu Lintas Sektor untuk Perencanaan

Membahas pentingnya:

  • Partisipasi pemangku kepentingan
  • Responsif gender
  • Ketahanan iklim
  • Tata kelola air dan sanitasi berkelanjutan

4. Studi Kasus Lapangan

Bagian ini menjadi nilai tambah penting, menghadirkan implementasi nyata, pelajaran dari kegagalan, serta inovasi berbasis komunitas.

Studi Kasus Menonjol: Solusi Nyata di Tengah Keterbatasan

🔍 Case 5: Container-Based Sanitation (CBS) di Danau Atitlán, Guatemala

Tantangan:

  • Komunitas periurban tanpa akses ke saluran air limbah
  • Tingginya pencemaran air tanah dan danau

Solusi:

  • Sistem toilet kontainer kering dengan pengumpulan terjadwal
  • Urine dan feses diangkut ke pusat pengolahan

Dampak:

  • 95% pengurangan kontaminasi fekal ke lingkungan
  • Penurunan drastis penyakit diare
  • Peningkatan kenyamanan dan keselamatan bagi perempuan

CBS terbukti menjadi solusi ekonomis dan cepat diimplementasikan untuk wilayah padat dan sulit dijangkau jaringan konvensional.

Teknologi Unggulan: Inovasi Menuju Sanitasi Masa Depan

💡 Biochar: Teknologi Karbon Negatif

Salah satu pembaruan dalam dokumen ini adalah pengakuan terhadap biochar—produk karbonisasi dari lumpur tinja atau limbah organik—sebagai solusi multi-manfaat:

  • Meningkatkan kualitas tanah dan hasil pertanian
  • Menyerap karbon dari atmosfer
  • Mengurangi emisi gas rumah kaca dari pengelolaan limbah

💧 Wetland Treatment Systems

Sistem seperti Floating Treatment Wetlands dan Free-Water Surface Wetlands memberikan solusi alami untuk pengolahan air limbah:

  • Biaya rendah, konsumsi energi minimal
  • Efektif menyerap nutrien dan kontaminan
  • Memberi manfaat ekologis tambahan (biodiversitas, estetika)

Kekuatan dan Kelemahan Pendekatan Kompendium

Kekuatan:

  • Komprehensif: Merangkum teknologi, sistem, dan strategi kebijakan dalam satu dokumen.
  • Kontekstual: Disesuaikan dengan kebutuhan kawasan Karibia, tapi relevan secara global.
  • Partisipatif: Mendorong pendekatan community-centered, bukan expert-driven.
  • Terintegrasi: Memperkuat relasi antara sanitasi, iklim, dan ekonomi sirkular.

Kelemahan:

  • Keterbatasan Praktis: Meskipun aplikatif, implementasi tetap bergantung pada dukungan politik, kapasitas teknis, dan pembiayaan.
  • Kurang Bahasan Teknis Mendalam: Untuk teknologi tingkat lanjut, informasi masih bersifat pengantar dan perlu rujukan lanjutan.

Relevansi Global: Pelajaran bagi Indonesia dan Dunia

Meskipun ditujukan untuk Karibia, pelajaran dari kompendium ini sangat relevan bagi Indonesia yang juga:

  • Menghadapi masalah sanitasi di kawasan periurban dan pesisir
  • Terdampak serius oleh perubahan iklim
  • Butuh solusi cepat dan terjangkau di daerah terpencil

Contohnya, pendekatan CBS atau wetland treatment bisa diterapkan di wilayah seperti pesisir Papua, Kepulauan Riau, atau daerah banjir di Jakarta Utara. Pendekatan desentralisasi juga cocok untuk mengatasi tantangan geografis Indonesia yang tersebar di ribuan pulau.

Menuju Sanitasi Inklusif, Tangguh, dan Berkelanjutan

Dokumen Compendium of Sanitation Systems and Technologies for the Wider Caribbean Region bukan sekadar panduan teknis, tetapi juga manifesto untuk perubahan paradigma dari sanitasi sebagai urusan teknis menjadi sanitasi sebagai hak dasar dan komponen utama pembangunan berkelanjutan.

Dengan struktur yang sistematis, pendekatan lintas sektor, dan keberanian mengusung teknologi inovatif seperti biochar dan CBS, kompendium ini patut menjadi acuan internasional, termasuk di Indonesia. Tantangannya kini bukan pada ketersediaan teknologi, tapi pada komitmen untuk menerapkannya secara partisipatif, kontekstual, dan berkelanjutan.

Referensi

GIZ. (2022). Compendium of Sanitation Systems and Technologies for the Wider Caribbean Region. Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, Inter-American Development Bank, United Nations Environment Programme, Caribbean Water and Wastewater Association (CWWA), CAWASA, BORDA, and EAWAG.

Selengkapnya
​​​​​​​Transformasi Sanitasi Berkelanjutan di Kawasan Karibia: Panduan Komprehensif dari GIZ 2022

Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Air Adaptif di Sungai Transboundary Timur Afrika Selatan: Peran Umpan Balik Sistemik untuk Pembelajaran dan Adaptasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Konteks dan Signifikansi

Paper ini mengkaji evolusi tata kelola air adaptif (Adaptive Water Governance, AWG) di Afrika Selatan, khususnya di dua daerah aliran sungai transboundary di bagian timur negara tersebut, yakni Cekungan Sungai Crocodile dan Olifants. AWG dipandang sebagai pendekatan tata kelola sumber daya air yang fleksibel, berbasis pembelajaran, dan kolaboratif antara aktor negara dan non-negara, dengan tujuan mengelola sistem sosial-ekologis secara adaptif di tengah ketidakpastian, seperti perubahan iklim. Studi ini menyoroti bagaimana reformasi kebijakan nasional sejak 1998—terutama melalui National Water Act—mendorong implementasi Integrated Water Resources Management (IWRM) yang berorientasi pada keberlanjutan, keadilan, dan desentralisasi pengelolaan air, yang kemudian menjadi landasan bagi praktek AWG di Afrika Selatan1.

Kerangka Teoretis: Dari IWRM ke AWG

IWRM di Afrika Selatan didefinisikan sebagai proses manajemen terkoordinasi sumber daya air, tanah, dan sumber daya terkait untuk memaksimalkan manfaat sosial dan ekonomi secara adil tanpa mengorbankan ekosistem. AWG, yang tidak secara eksplisit disebutkan pada awal reformasi, merupakan evolusi dari IWRM dengan fokus pada tata kelola yang adaptif dan pembelajaran sosial. Konsep kunci dalam AWG adalah pengelolaan hubungan sosial dan aturan yang bersifat dinamis dan responsif terhadap umpan balik sosial-ekologis. Paper ini menegaskan bahwa AWG dan IWRM saling terkait erat di Afrika Selatan, dengan AWG sebagai kerangka yang lebih luas yang menekankan pembelajaran, fleksibilitas, dan kolaborasi multi-skala1.

Metodologi: Studi Kasus Longitudinal dan Pendekatan Sistemik

Penelitian ini menggunakan pendekatan meta-inquiry selama enam tahun (2013–2019) yang menggabungkan Soft Systems Methodology (SSM) dan grounded theory, untuk mengevaluasi evolusi tata kelola air adaptif di tiga kasus dalam dua cekungan sungai tersebut. Data dikumpulkan melalui action-research dan monitoring, evaluation, reporting, and learning (MERL) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan lokal dan nasional. Fokus utama adalah pada penguatan umpan balik sistemik yang mendukung pembelajaran dan adaptasi dalam pengelolaan air, serta bagaimana institusi dan jaringan tata kelola berkembang untuk mengakomodasi hal ini1.

Hasil Studi Kasus

1. Pengelolaan Dinamika Aliran di Sungai Crocodile

Cekungan Sungai Crocodile menghadapi defisit air dan tantangan kualitas air, dengan pengaturan aliran yang melibatkan negara tetangga Eswatini dan Mozambik melalui perjanjian aliran bersama (IIMA 2002). Pembentukan Inkomati-Usuthu Catchment Management Agency (IUCMA) pada 2004 menjadi titik penting dalam penerapan IWRM dan AWG. Melalui pembentukan komite operasi sungai (CROCOC) dan pengembangan sistem respons cepat, terjadi peningkatan kepatuhan terhadap standar aliran minimum (reserve) dan kualitas air. Kolaborasi antara IUCMA, dewan irigasi, dan Taman Nasional Kruger selama kekeringan 2015 menunjukkan keberhasilan pengelolaan aliran secara adaptif dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi lintas batas. Meskipun otoritas IUCMA sempat dicabut pada 2016, jaringan kolaboratif tetap beroperasi dan mempertahankan kondisi ekologis sungai1.

2. Menjamin Aliran di Sungai Olifants Selama Kekeringan Terparah

Cekungan Sungai Olifants merupakan wilayah yang paling tertekan di antara cekungan transboundary di Afrika Selatan bagian timur, dengan penurunan kualitas dan kuantitas air yang signifikan. Program RESILIM-Olifants yang dipimpin oleh AWARD berupaya mendukung manajemen adaptif strategis melalui pembelajaran sosial sistemik dan pengembangan alat monitoring real-time seperti FlowTracker dan INWARDS DSS. Selama kekeringan 2015–2020, jaringan tata kelola yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan berhasil mempertahankan aliran air dengan mengatur pelepasan air dari bendungan yang lebih besar, meskipun kapasitas kelembagaan seperti proto-CMA sempat dibekukan oleh pemerintah pusat. Keberhasilan ini menunjukkan pentingnya jaringan tata kelola yang responsif dan transparan, meskipun keberlanjutan jangka panjang masih diragukan tanpa institusi yang kuat1.

3. Pengelolaan Limbah Cair di Sungai Selati (Anak Sungai Olifants)

Masalah pencemaran dari limbah tambang dan pengolahan air limbah di Sungai Selati mengancam pasokan air untuk kota Phalaborwa, Taman Nasional Kruger, dan Mozambik. Kolaborasi antara AWARD, taman nasional, dan otoritas pengelolaan air berfokus pada pengembangan strategi adaptif jangka panjang dan praktik transformasional dalam pengelolaan limbah cair. Model "wagon wheel" dikembangkan untuk memperbaiki komunikasi dan umpan balik antara staf teknis dan pimpinan politik di tingkat pemerintahan lokal, sehingga meningkatkan alokasi sumber daya dan kesadaran akan konsekuensi ketidakpatuhan. Meski ada kemajuan, keterbatasan sumber daya, kapasitas, serta intervensi politik dan korupsi menjadi kendala utama1.

Diskusi: Faktor Pendukung dan Penghambat AWG

Penelitian mengidentifikasi sejumlah faktor kunci yang mendukung keberhasilan AWG, antara lain:

  • Kepemimpinan dan Peran Champion/Watchdog: Pemimpin yang berkualitas dan adanya pengawas independen memperkuat kepercayaan dan kolaborasi.
  • Visi Bersama dan Standar Hukum (Reserve): Penetapan tujuan bersama dan patokan hukum menjadi acuan dalam pengambilan keputusan.
  • Jaringan Tata Kelola Multi-skala (Polycentric Governance): Adanya jaringan formal dan informal yang dapat beradaptasi dan belajar bersama.
  • Alat dan Protokol Sistemik: Penggunaan aplikasi monitoring real-time dan sistem pendukung keputusan meningkatkan transparansi.
  • Komunikasi Terbuka dan Ruang Kolaboratif: Forum diskusi yang aman memungkinkan eksperimen dan refleksi bersama.
  • Kepercayaan dan Partisipasi Inklusif: Membangun kepercayaan antara pemangku kepentingan dan melibatkan berbagai pihak secara aktif.

Namun, paper juga menyoroti kerentanan tata kelola tanpa institusi meta-governor yang kuat seperti CMA, yang berfungsi sebagai rumah institusional untuk pembelajaran dan adaptasi. Kasus Olifants menunjukkan bahwa tanpa kepemimpinan dan dukungan kelembagaan yang memadai, jaringan tata kelola sulit bertahan dalam jangka panjang, apalagi di tengah tekanan politik dan korupsi. Hal ini menegaskan perlunya meta-governance yang bersifat fasilitatif, bukan otoriter, untuk mendukung inovasi lokal dan adaptasi berkelanjutan1.

Implikasi dan Rekomendasi

Paper ini memberikan beberapa rekomendasi penting untuk pengembangan AWG di Afrika Selatan dan konteks global:

  • Penguatan Institusi Meta-Governor: Memastikan keberadaan dan dukungan bagi lembaga seperti CMA yang dapat mengintegrasikan berbagai skala tata kelola.
  • Pengembangan Jaringan dan Alat Monitoring: Melanjutkan inovasi dalam alat digital untuk transparansi dan pengambilan keputusan berbasis bukti.
  • Pengelolaan Umpan Balik Multi-Skala: Memperhatikan interaksi dan umpan balik antar tingkat pemerintahan dan pemangku kepentingan.
  • Penanganan Korupsi dan Intervensi Politik: Meningkatkan akuntabilitas dan integritas dalam tata kelola air untuk menjaga kepercayaan.
  • Pendekatan Sistemik dan Pembelajaran Sosial: Mendorong kolaborasi yang inklusif dan berkelanjutan sebagai inti dari tata kelola adaptif.

Dengan mempertimbangkan tantangan perubahan iklim dan kompleksitas sosial-ekologis, paper ini menegaskan bahwa tata kelola air adaptif yang berbasis pembelajaran sistemik dan kolaborasi multi-aktor adalah kunci untuk mencapai keberlanjutan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya air1.

Kesimpulan

Penelitian ini secara komprehensif menggambarkan perjalanan dan tantangan penerapan adaptive water governance di Afrika Selatan, khususnya di dua cekungan sungai transboundary yang kritis. Melalui tiga studi kasus, ditemukan bahwa keberhasilan AWG sangat bergantung pada penguatan umpan balik sistemik yang mendukung pembelajaran dan adaptasi, serta adanya institusi meta-governor yang memfasilitasi kolaborasi multi-skala. Paper ini tidak hanya memberikan wawasan akademis, tetapi juga contoh nyata dan angka-angka penting yang menunjukkan dinamika pengelolaan air di lapangan, seperti pengelolaan aliran selama kekeringan ekstrem dan pengelolaan limbah cair yang kompleks. Temuan ini relevan untuk negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa dalam tata kelola sumber daya air di era perubahan iklim dan ketidakpastian sosial-politik.

Sumber Artikel Asli:

Pollard, S. R., E. Riddell, D. R. du Toit, D. C. Retief, and R. L. Ison. 2023. Toward adaptive water governance: the role of systemic feedbacks for learning and adaptation in the eastern transboundary rivers of South Africa. Ecology and Society 28(1):47. Copyright © 2023 by the author(s). Published under license by the Resilience Alliance.

Selengkapnya
Menuju Tata Kelola Air Adaptif di Sungai Transboundary Timur Afrika Selatan: Peran Umpan Balik Sistemik untuk Pembelajaran dan Adaptasi
page 1 of 5 Next Last »