Mengapa Ketangguhan Bencana Jadi Kunci Masa Depan Kota?
Perubahan iklim, urbanisasi pesat, dan ketimpangan sosial telah memperbesar risiko bencana alam di seluruh dunia. Kota-kota dan permukiman manusia kini menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap tumbuh dan sejahtera di tengah ancaman banjir, gempa, kekeringan, hingga badai? Artikel ini mengulas secara kritis dan praktis hasil riset Muhammad Tariq Iqbal Khan dkk. (2023) yang membedah hubungan antara risiko bencana, ketangguhan (resilience), dan kerugian manusia di 90 negara selama 25 tahun. Dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, artikel ini juga mengaitkan temuan riset dengan tren global, studi kasus nyata, serta memberikan opini dan rekomendasi untuk masa depan kota berkelanjutan.
Apa yang Dimaksud dengan Ketangguhan Bencana?
Ketangguhan bencana adalah kemampuan suatu komunitas atau negara untuk menyerap, merespons, dan pulih dari bencana dengan kerugian seminimal mungkin. Konsep ini tidak hanya soal infrastruktur fisik, tapi juga mencakup kualitas institusi, literasi masyarakat, teknologi, ekonomi, hingga peran perempuan dan modal sosial. Ketangguhan menjadi fondasi utama dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 11 tentang kota dan permukiman yang inklusif, aman, dan berkelanjutan.
Studi Kasus Global: 90 Negara, 25 Tahun, dan Ribuan Bencana
Metodologi Unik: Indeks Risiko dan Ketangguhan
Penelitian ini menggunakan data dari 90 negara (1995–2019) yang dibagi dalam empat kelompok pendapatan: negara berpenghasilan tinggi (HICs), menengah atas (UMICs), menengah bawah (LMICs), dan rendah (LICs). Dua indeks utama dikembangkan:
- Indeks Risiko Bencana: Mengukur tingkat bahaya, paparan, dan kerentanan dengan 15 indikator.
- Indeks Ketangguhan Bencana: Mengukur 9 dimensi ketangguhan (ekonomi, pangan, infrastruktur, tenaga darurat, kualitas institusi, modal manusia, pemberdayaan perempuan, TIK, dan modal sosial) dengan 62 indikator.
Analisis dilakukan menggunakan regresi binomial negatif, metode statistik yang cocok untuk data jumlah korban bencana yang cenderung “loncat-loncat” (overdispersed).
Temuan Angka Kunci
- Rata-rata korban bencana per juta penduduk:
- LMICs: 24.726,8
- LICs: 21.325,0
- UMICs: 17.334,7
- HICs: 2.488,2
- Nilai rata-rata indeks risiko bencana:
- LICs: 0,40 (tertinggi)
- HICs: 0,278 (terendah)
- Nilai rata-rata indeks ketangguhan:
- HICs: 0,674 (tertinggi)
- LICs: 0,314 (terendah)
- Negara dengan risiko bencana tertinggi: Angola, Burundi, Afrika Selatan, Filipina, Gambia, Mozambik, India, Nigeria, Namibia, Zambia, Bangladesh.
- Negara dengan ketangguhan tertinggi: Swiss, Jerman, Prancis, Selandia Baru, Australia, Belgia, Kanada, Austria, Belanda, Italia.
Studi Kasus: Kontras Negara Maju dan Berkembang
Negara Maju (HICs): Ketangguhan Efektif, Kerugian Minim
Negara-negara seperti Swiss, Jerman, dan Belanda memiliki skor ketangguhan di atas 70 (dari 100). Mereka mampu menekan korban bencana secara signifikan. Setiap kenaikan satu poin indeks ketangguhan, jumlah korban bencana turun drastis. Investasi pada infrastruktur, sistem peringatan dini, literasi masyarakat, dan tata kelola yang baik menjadi kunci.
Contoh nyata:
Belanda, meski sebagian besar wilayahnya di bawah permukaan laut, mampu meminimalkan korban banjir berkat sistem tanggul, kanal, dan manajemen air yang canggih. Selain itu, edukasi masyarakat dan kesiapsiagaan menjadi budaya sehari-hari.
Negara Berkembang (LICs & LMICs): Risiko Tinggi, Ketangguhan Lemah
Negara-negara seperti Angola, Bangladesh, dan Myanmar memiliki skor ketangguhan di bawah 30. Di sini, setiap kenaikan risiko bencana langsung berbanding lurus dengan lonjakan korban jiwa dan kerugian ekonomi. Ketangguhan yang rendah disebabkan oleh lemahnya infrastruktur, kurangnya akses teknologi, institusi yang belum efektif, dan rendahnya literasi bencana.
Contoh nyata:
Bangladesh kerap dilanda banjir dan siklon. Meski upaya mitigasi sudah dilakukan, keterbatasan sumber daya dan infrastruktur membuat korban tetap tinggi. Namun, program shelter komunitas dan pelatihan evakuasi mulai menunjukkan hasil positif dalam beberapa tahun terakhir.
Analisis Kritis: Apa yang Membuat Ketangguhan Efektif?
Faktor Penentu Ketangguhan
- Infrastruktur Dasar: Sanitasi, air bersih, listrik, dan fasilitas kesehatan mempercepat pemulihan pasca-bencana.
- Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK): Sistem peringatan dini, aplikasi cuaca, dan komunikasi darurat terbukti menyelamatkan banyak nyawa.
- Kualitas Institusi: Pemerintahan yang transparan, responsif, dan terkoordinasi mempercepat distribusi bantuan dan pemulihan.
- Pemberdayaan Perempuan: Peran aktif perempuan dalam komunitas terbukti memperkuat jejaring sosial dan distribusi bantuan.
- Modal Sosial: Solidaritas, gotong royong, dan partisipasi masyarakat mempercepat adaptasi dan pemulihan.
Tantangan di Negara Berkembang
- Ketimpangan Akses: Banyak wilayah pedesaan belum menikmati infrastruktur dasar dan akses TIK.
- Keterbatasan Dana: Anggaran mitigasi dan pemulihan bencana masih minim.
- Kualitas Data: Kurangnya data akurat menyulitkan perencanaan dan evaluasi kebijakan.
- Budaya dan Literasi: Rendahnya kesadaran dan edukasi bencana membuat masyarakat kurang siap menghadapi risiko.
Perbandingan dengan Studi Lain & Tren Global
Sendai Framework dan SDGs
Penelitian ini sejalan dengan kerangka Sendai Framework 2015–2030 yang menekankan empat prioritas: pemahaman risiko, penguatan tata kelola, investasi pada pengurangan risiko, dan kesiapsiagaan. Studi ini juga menegaskan pentingnya integrasi kebijakan DRR (Disaster Risk Reduction) dengan SDGs, terutama dalam konteks pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan.
Studi Lain: Konsistensi dan Perbedaan
- Toya & Skidmore (2007): Menemukan bahwa pendidikan, pendapatan, dan keterbukaan perdagangan menurunkan kerugian bencana—selaras dengan temuan studi ini.
- Padli et al. (2018): Menyoroti pentingnya pembangunan ekonomi dan investasi pemerintah dalam menekan korban bencana.
- Taghizadeh-Hesary et al. (2019, 2021): Infrastruktur berkualitas dan tata kelola yang baik menurunkan kerugian bencana di Asia dan Pasifik.
Namun, studi Khan dkk. lebih komprehensif karena mengembangkan indeks risiko dan ketangguhan yang multidimensi, serta membedakan dampak berdasarkan kelompok pendapatan negara.
Opini & Rekomendasi: Jalan Menuju Kota Tangguh dan Berkelanjutan
Peluang
- Digitalisasi dan Smart City: Kota-kota yang mengadopsi teknologi digital untuk sistem peringatan dini, pemetaan risiko, dan manajemen bencana akan lebih siap menghadapi ancaman masa depan.
- Kolaborasi Global: Negara maju dapat berperan sebagai “mentor” bagi negara berkembang melalui transfer teknologi, pendanaan, dan pelatihan.
- Inovasi Pembiayaan: Skema asuransi bencana, obligasi hijau, dan dana darurat berbasis komunitas dapat memperkuat ketangguhan finansial.
Tantangan
- Kesenjangan Kapasitas: Tanpa investasi besar-besaran pada infrastruktur dan SDM, negara berkembang akan terus tertinggal dalam membangun ketangguhan.
- Perubahan Iklim: Intensitas dan frekuensi bencana diprediksi meningkat, sehingga adaptasi harus menjadi agenda utama.
- Keterlibatan Masyarakat: Ketangguhan tidak bisa dibangun hanya dari atas; partisipasi aktif masyarakat adalah kunci.
Rekomendasi Praktis
- Investasi Infrastruktur Dasar: Prioritaskan pembangunan sanitasi, air bersih, listrik, dan fasilitas kesehatan di wilayah rawan bencana.
- Penguatan Sistem Peringatan Dini: Integrasikan TIK dan data real-time untuk deteksi dan respons cepat.
- Edukasi dan Literasi Bencana: Libatkan sekolah, media, dan komunitas dalam kampanye sadar bencana.
- Pemberdayaan Perempuan dan Kelompok Rentan: Berikan ruang dan peran strategis dalam perencanaan dan respons bencana.
- Penguatan Institusi dan Tata Kelola: Reformasi birokrasi dan peningkatan transparansi untuk mempercepat distribusi bantuan dan pemulihan.
Studi Kasus Inspiratif: Indonesia dan Ketangguhan Komunitas
Sebagai negara rawan bencana, Indonesia telah mengembangkan berbagai inisiatif ketangguhan berbasis komunitas. Program Desa Tangguh Bencana (Destana) misalnya, melibatkan masyarakat dalam pemetaan risiko, pelatihan evakuasi, dan simulasi bencana. Hasilnya, respons masyarakat terhadap gempa dan tsunami di beberapa wilayah menjadi lebih cepat dan terkoordinasi. Namun, tantangan masih besar, terutama dalam hal pendanaan, infrastruktur, dan literasi bencana di daerah terpencil.
Kesimpulan: Ketangguhan adalah Investasi Masa Depan
Penelitian Khan dkk. menegaskan bahwa membangun kota dan permukiman yang tangguh bencana bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak di era perubahan iklim dan urbanisasi. Ketangguhan terbukti menurunkan korban jiwa dan kerugian ekonomi, terutama di negara-negara maju. Namun, negara berkembang masih menghadapi tantangan besar dalam membangun ketangguhan yang efektif. Investasi pada infrastruktur, teknologi, institusi, dan pemberdayaan masyarakat harus menjadi prioritas utama. Kolaborasi lintas sektor dan negara, inovasi pembiayaan, serta edukasi berkelanjutan akan menjadi kunci menuju masa depan kota yang aman, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Khan, M. T. I., Anwar, S., Sarkodie, S. A., Yaseen, M. R., Nadeem, A. M., & Ali, Q. (2023). Natural disasters, resilience-building, and risk: achieving sustainable cities and human settlements. Natural Hazards, 10.1007/s11069-023-06021-x.