Pertanian

Menapaki Jejak Kebangkitan: Peran Petani Muda dalam Membangun Bisnis Hortikultura Indonesia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 07 Februari 2025


Bukan lagi hal yang mengejutkan kalau petani di seluruh penjuru dunia sedang menua.

Indonesia pun bukan pengecualian. Laporan bertajuk Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Februari 2023 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa angkatan kerja berumur 34 tahun ke bawah hanya mencakup 23% total pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Persentase ini merupakan penurunan signifikan dari 10 tahun sebelumnya. Pada Februari 2013, jumlah pekerja pada kelompok umur yang sama mencapai 34% dari total pekerja.

Meskipun begitu, dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya permintaan pangan, terdapat peluang pasar yang luas. Salah satu komoditas yang kini mulai ramai dilirik kawula muda, yakni hortikultura.

Kebangkitan agribisnis dan berbagi potensi nilai tambah membuka jalan bagi petani muda untuk menciptakan usaha yang inovatif dan menguntungkan. Kebangkitan ini terlihat dari beberapa start up lokal yang tercatat terjun ke komoditas ini, seperti SayurBox, Tani Hub, Kitani, dan Kedai Sayur.

Hortikultura sebenarnya bukan produk, melainkan seperangkat pendekatan dalam menjalankan usaha tani. Dalam bahasa Yunani, hortus berarti kebun. Hortikultura berkenaan dengan usaha tani melalui praktik layaknya merawat sebuah kebun.

Masyarakat awam sering mengaitkan istilah hortikultura dengan hasil taninya, terutama sayur mayur seperti selada, cabai, dan bawang. Namun, produk hortikultura tidak berhenti di sayuran saja. Buah-buahan dan tanaman hias pun termasuk di dalamnya.

Umumnya, skala hortikultura relatif kecil jika dibandingkan dengan komoditas seperti padi, teh, dan kopi. Akan tetapi, produk hortikultura diestimasi mampu menyumbang Rp281,5 triliun pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di tahun 2022. Kontribusinya pun terus naik dari tahun ke tahun.

Selain itu, komoditas ini juga diketahui memiliki imbal hasil yang lebih tinggi. Ini terlihat dari perolehan Nilai Tukar Petani (NTP) hortikultura yang tercatat mencapai 113,15 pada Januari 2023.

NTP di atas angka 100 menunjukkan indeks harga yang petani terima dari penjualan produk lebih besar dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan.

Berkumpul di Hilir

Start up dan UMKM yang terjun di industri hortikultura kebanyakan memilih untuk masuk di sektor hilir, khususnya pemasaran dan distribusi. Hal ini karena, sektor hilir lebih minim resiko dan lebih menguntungkan.

Laporan oleh Asian Development Bank (ADB) berjudul Analysis of Fruit and Vegetable Value Chains in Indonesia (2020) mencatat, banyak kesalahan praktik tani di sektor hulu yang menimbulkan kerugian, seperti metode pemanenan yang keliru, hasil panen yang busuk, dan alur transportasi produk yang buruk.

Kerugian akibat kesalahan praktik ini bisa membengkak sangat besar. Pada komoditas pisang, misalnya, kerugian bisa mencapai Rp26 triliun setiap tahunnya.

Sama halnya dengan sisi laba. Ambil contohnya petani bawang putih dan cabai, yang hanya mendapatkan keuntungan sekitar seperempat dari harga jual. Sementara itu, para distributor dan penjual sayur dapat menerima keuntungan dua kali lipat dari petani.

Selisih untuk produk buah lebih ekstrem lagi. Sebagai contoh, rata-rata harga jeruk per kilogram di pasar Jawa Barat pada 2020 adalah Rp12.000. Keuntungan yang petani dapatkan sekadar Rp1.015 per kilogram. Sementara itu, penjual menerima laba rata-rata Rp8.802 per kilogram, delapan kali lipat keuntungan petani.

Ditambah lagi ada faktor kemutakhiran teknologi. Di sektor pemasaran dan distribusi, keterhubungan melalui internet dan pengelolaan data berbasis kecerdasan buatan sudah menjadi praktik lazim.

Namun, aplikasi teknologi serupa di hulu masih jauh merayap di belakang. Petani masih hampir sepenuhnya bertumpu pada kerja-kerja manual yang tentunya dihindari pemuda saat ini.

Pemuda Kosmopolitan

Sektor pertanian sangat kompetitif, namun terdapat peluang bagi petani muda yang mau berinovasi dan mengambil risiko. Petani muda dapat menggunakan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi mereka, dan mereka juga dapat fokus pada pasar khusus atau produk bernilai tambah.

Integrasi teknologi dalam pertanian telah merevolusi sektor ini dan menjadikannya lebih menarik bagi kaum muda. Dari pertanian presisi hingga aplikasi seluler dan drone, teknologi telah meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan dalam praktik pertanian.

Para petani muda memanfaatkan kemajuan ini untuk mengoptimalkan produksi, mengelola sumber daya secara efektif, dan membuat keputusan.

Literasi teknologi, memang merupakan salah satu ciri khas petani muda. Penelitian Maryani dkk (2021) terhadap petani muda komoditas cabai di Kabupaten Garut mengidentifikasi kefasihan teknologi sebagai sikap kosmopolitan.

Sikap ini mengacu pada keingintahuan para petani muda untuk mendapatkan akses informasi dari luar desa. Hal tersebut mencakup pemahaman terhadap teknologi, keterjejaringan, dan bentuk-bentuk informasi lain yang tidak bisa didapatkan di dalam desa.

Janu Muhammad merupakan salah satu petani muda dari Yogyakarta yang berkancah lewat Sayur Sleman. Sebuah platform e-commerce yang menjual berbagai macam sayur, buah, bahkan lauk pauk.

Ide ini berawal dari pengamatan Janu terhadap lockdown pada 2020, ketika masyarakat terkurung di rumah masing-masing dan tidak bisa membeli bahan pangan untuk kebutuhan sehari-hari.

“Konsumsi rumah tangga membutuhkan bahan pokok termasuk sayur, buah, dan lauk. Itu pasti dibutuhkan setiap hari. Gak mengenal ada Covid atau tidak,” katanya.

Seperti banyak perusahaan rintisan di bidang pemasaran produk tani, Sayur Sleman menghubungkan petani lokal langsung dengan konsumen. Namun, transaksi lewat ruang virtual tersebut diyakini Janu tidak menyudutkan pedagang tradisional.

Musababnya, Sayur Sleman telah menemukan pasar yang stabil di kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Perilaku konsumsi mereka yang serba praktis melalui gawai memisahkan konsumen Sayur Sleman dari pasar konvensional, apalagi tradisional.

“Jadi tidak serta merta mengambil alih toko yang di pinggir jalan,” tegas Janu.

Walaupun bertajuk Sayur Sleman, pelanggan platform ini telah meluas sampai ke luar Kabupaten Sleman, bahkan merambah Jawa Tengah.

Lebih lanjut, Walaupun tidak semutakhir sektor hilir, para petani muda di sektor hulu juga bergeliat memanfaatkan teknologi dalam aktvitas harian mereka. Iqbal Habibi, petani muda dari Kabupaten Sukabumi, adalah salah satu contohnya.

Dengan menerapkan pendekatan smart farming, Iqbal mengetahui secara presisi kebutuhan tanaman budidayanya. Sensor dapat mendeteksi berbagai parameter tanah seperti tingkat keasaman dan kadar nitrogen. Dengan begitu, ia mampu memberikan pupuk dengan kadar yang akurat sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Saat ini, Iqbal juga menjangkau sektor hilir dengan melakukan pemasaran turunan produk hortikultura, seperti mengolah cabai menjadi sambal. Strategi memberikan nilai tambah sekaligus menjaga produknya dari fluktuasi harga pasar yang kerap menyerang cabai dengan ganas.

Teknologi untuk Keberlanjutan

Selayaknya bisnis pertanian, usaha hortikultura tidak terhindar dari krisis ekologi berupa tantangan iklim dan cuaca, serta degradasi lahan.

Janu menuturkan, petani mitra Sayur Sleman kini harus mengirit air sebagai imbas El Nino yang berkepanjangan. Irigasi konvensional terlalu boros.

Merespons tantangan tersebut, Janu menyiapkan praktik irigasi tetes yang lebih hemat air. Selain itu, metode hidroponik dan penggunaan greenhouse juga merupakan salah satu usaha menjawab minimnya lahan dan ancaman hama yang rentan menyerang tanaman di ruang terbuka. Dirinya menyatakan, greenhouse akan menjadi tren saat ini.

“Tahun ini, di Korea [Selatan] sudah hampir semua [produk hortikultura] panen dari greenhouse,” katanya.

Janu berpesan, tantangan ini tidak bisa sekadar dibebankan kepada petani muda saja. Pemerintah juga perlu mendukung keberlanjutan lahan sebagai salah satu kebutuhan dasar petani.

“Di sini kami juga berharap ada dukungan pemerintah di sisi kebijakan. Salah satunya bagaimana memastikan lahan yang produktif tetap dijaga, tetap hijau. Itu yang paling penting,” jelas Janu.

Berbagai lembaga mulai menyalurkan dukungan bagi bisnis hortikultura merespons maraknya krisis ekologi. Baru Agustus lalu, ADB mengucurkan pinjaman sebesar Rp1,3 triliun untuk pengembangan hortikultura Indonesia, di mana sekitar seperenam anggaran diharapkan datang dari pemerintah.

Pendanaan ini berfokus pada praktik hortikultura di kawasan lahan kering yang paling rentan terhadap masalah lingkungan. Terdapat 12 kabupaten sasaran, mulai dari Karo di Sumatra Utara, Sumedang di Jawa Barat, sampai Ende di Nusa Tenggara Timur.

Program utamanya termasuk pengadaan infrastruktur, pelatihan kapasitas petani, peningkatan akses terhadap pasar, dan penguatan institusi pertanian pada desa sasaran. Sejumlah 25 ribu rumah tangga ditargetkan mendapatkan manfaat proyek ini dengan perempuan dan pemuda sebagai kelompok yang menjadi prioritas utama.

Meningkatnya generasi muda yang memasuki sektor pertanian menandakan perubahan transformatif dalam lanskap pertanian di negeri ini. Mulai dari mengatasi pengangguran hingga memanfaatkan kemajuan teknologi, para petani muda membentuk kembali persepsi bahwa bertani sebagai pilihan karier yang layak dan bermanfaat.

Menurut Janu, peran stakeholders terutama pemerintah daerah sangat penting untuk membangun ekosistem yang mendukung komunitas petani muda.

“[Minat petani muda] tergantung juga dengan keaktifan Dinas Pertanian setempat untuk mau turun ke lapangan,” katanya.

Dengan dukungan yang berkesinambungan dari berbagai elemen, generasi muda memiliki potensi untuk mendorong pembangunan pertanian berkelanjutan, berkontribusi terhadap ketahanan pangan, dan menciptakan masa depan yang sejahtera bagi diri mereka sendiri dan bangsa.

Sumber: https://tirto.id

Selengkapnya
Menapaki Jejak Kebangkitan: Peran Petani Muda dalam Membangun Bisnis Hortikultura Indonesia

Pertanian

Smart Greenhouse: Inovasi Pertanian Era Digital 4.0

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 07 Februari 2025


Greenhouse atau disebut juga “Rumah Tanam” adalah suatu bangunan konstruksi yang memiliki struktur atap dan dinding yang bersifat tembus cahaya. Penggunaan greenhouse berfungsi untuk menghindari kondisi lingkungan di luar greenhouse yang tidak stabil dan menciptakan lingkungan dengan kondisi yang optimum bagi pertumbuhan tanaman dan budidaya tanaman. Umumnya, jenis tanaman yang dapat dibudidayakan di dalam greenhouse yaitu tanaman hortikultura, khususnya tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias. Tanaman-tanaman hortikultura yang cocok dibudidayakan di dalam greenhouse yaitu sawi, selada, bayam, tomat, timun, stroberi, dan beberapa tanaman hias seperti, anthurium, aglaonema, monstera, dan krisan.

Penggunaan greenhouse dalam sektor pertanian, terutama komoditas hortikultura sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas hasil pertanian. Namun, pembangunan greenhouse di Indonesia yang belum sepenuhnya sesuai dengan keadaan iklim yang tidak stabil dan cenderung sulit diprediksi menyebabkan kebutuhan tersebut belum dapat tercapai secara optimal. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya upaya penyediaan sarana pendukung serta perbaikan kualitas greenhouse.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan pergesaran sektor pertanian menjadi pertanian digital era industri 4.0 atau dapat disebut dengan pertanian 4.0 diperlukan adanya adaptasi dan solusi untuk menghadapi masalah iklim, produktivitas, dan faktor produksi. Dalam hal ini, dibutuhkan peran Kementerian Pertanian untuk menyongsong era berbasis Internet of Things (IoT), cyber-physical system, dan manajemen sistem informasi guna mengembangkan pertanian hortikultura.

Pemanfaatan Internet of Things (IoT) pada pertanian hortikultura menjadi gagasan baru yang tepat untuk direalisasikan dan dikembangkan. Teknologi ini selain menawarkan kemudahan, juga menjadi solusi untuk mengurangi berbagai risiko dalam budidaya hortikultura. Salah satu pemanfaatan teknologi IoT pada komoditas hortikultura yaitu pengembangan smart greenhouse. Smart Greenhouse pada prinsipnya adalah penerapan IoT pada greenhouse dengan menempatkan perangkat cerdas buatan dan terkoneksi di dalam unit greenhouse yang kemudian menghasilkan data yang dapat digunakan untuk mengubah proses bisnis serta membantu dalam pengambilan keputusan.

Penerapan smart greenhouse mampu meningkatkan fungsi greenhouse dalam produksi tanaman hortikultura, karena dengan teknologi IoT petani dapat mengontrol dan memantau kondisi ruangan greenhouse secara online dan realtime. Artinya, pengendalian greenhouse dapat dilakukan tanpa harus ke greenhouse secara langsung dan greenhouse mampu merespon dan memproses perintah pada saat itu juga. Selain itu, smart greenhouse pada hortikultura mampu mendorong kerja petani agar lebih produktif. Dengan demikian, budidaya hortikultura menjadi lebih efisien, terukur, dan terintegrasi.

Smart greenhouse diharapkan dapat mengoptimalkan hasil pertanian, mengurangi biaya produksi, dan meminimalisir kehilangan hasil produksi. Teknologi IoT pada smart greenhouse dimanfaatkan untuk memperoleh data yang dibutuhkan untuk mengetahui kebutuhan tanaman, monitoring jarak jauh, dan pengambilan keputusan mengenai pengembangan hortikultura. 

Namun, di sisi lain penerapan IoT memiliki tantangan berupa terbatasnya daya listrik dan perangkat komunikasi di lapangan, penyerapan tenaga kerja pertanian yang belum optimal, dan kurangnya edukasi terhadap petani mengenai penggunaan teknologi ini. Penerapan smart greenhouse di Indonesia membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni, teknologi (alat dan informasi), dan kebijakan pelaksanaan yang baik. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama yang nyata dari berbagai pihak baik petani, swasta, maupun pemerintah.

Sumber: Kompasiana.com

Selengkapnya
Smart Greenhouse: Inovasi Pertanian Era Digital 4.0

Pertanian

Kedaulatan Pangan: Sebuah Tinjauan Mendalam

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 16 April 2024


Definisi

Konsep "kedaulatan pangan" berasal dari Via Campesina, sebuah organisasi petani internasional, pada tahun 1996, dan sejak saat itu telah diadopsi oleh berbagai entitas global, termasuk Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Awalnya diartikulasikan dalam "Deklarasi Nyéléni" pada tahun 2007 dan disempurnakan lebih lanjut di Eropa pada tahun 2011, kedaulatan pangan telah diintegrasikan ke dalam konstitusi dan undang-undang setidaknya di tujuh negara pada tahun 2020.

Sejarah

Kedaulatan pangan, sebuah gerakan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Slow Food, muncul baru-baru ini namun mendapatkan momentumnya seiring dengan upaya berbagai negara untuk membangun sistem pangan yang mengatasi ketidakadilan.

Pertemuan global

"Deklarasi Nyéléni," yang diadopsi oleh 500 delegasi dari lebih dari 80 negara di Forum Kedaulatan Pangan 2007 di Sélingué, Mali, menggarisbawahi kedaulatan pangan sebagai hak masyarakat untuk mendapatkan makanan yang sehat dan sesuai dengan budaya mereka yang diproduksi secara berkelanjutan. Forum ini menekankan pada ekonomi lokal dan nasional, pertanian yang digerakkan oleh petani, serta keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Kebijakan kedaulatan pangan pemerintah

Tantangan dalam produksi, distribusi, dan akses pangan menyoroti dimensi politik. Para pengkritik berpendapat bahwa gerakan seperti Revolusi Hijau gagal mengatasi akses lahan dan kesenjangan ekonomi, sementara para pendukung kedaulatan pangan mengadvokasi kebijakan yang memberdayakan masyarakat lokal dan mempromosikan keanekaragaman pertanian. Contoh dari Venezuela dan Ekuador menggambarkan upaya untuk mengabadikan kedaulatan pangan ke dalam undang-undang, termasuk langkah-langkah untuk melindungi keanekaragaman hayati dan membatasi monokultur. Negara-negara lain seperti Mali, Bolivia, Nepal, Senegal, dan Mesir telah mengikuti langkah tersebut, mengintegrasikan kedaulatan pangan ke dalam kerangka hukum mereka.

Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat

1. Dampak Global
Perubahan iklim menimbulkan tantangan yang signifikan terhadap ketahanan pangan masyarakat adat di seluruh dunia, terutama penduduk Kepulauan Pasifik dan mereka yang berada di Lingkar Utara, karena naiknya permukaan air laut dan erosi.

2. Perampasan Budaya
Ada kekhawatiran bahwa kedaulatan pangan masyarakat adat sedang dirampas sebagai masakan trendi untuk konsumsi umum, yang mengakibatkan permintaan yang lebih besar untuk makanan pokok budaya di luar masyarakat adat, sehingga menyulitkan populasi ini untuk mengakses makanan tradisional mereka.

3. Kedaulatan Pangan Pribumi di Amerika Serikat
Penduduk asli Amerika menghadapi tantangan langsung dalam memperoleh dan menyiapkan makanan tradisional mereka, yang menyebabkan masalah kesehatan seperti diabetes dan penyakit jantung. Perpindahan dari tanah leluhur telah berkontribusi pada kerawanan pangan massal, sehingga mendorong para aktivis untuk mengadvokasi revitalisasi praktik-praktik tradisional, mengembangkan ekonomi pangan lokal, dan menegaskan hak atas kedaulatan pangan dan benih.

4. Tantangan dan Solusi
Terganggunya jalur pangan tradisional terkait dengan terputusnya hubungan antara masyarakat adat dengan tanah leluhur mereka, yang dipicu oleh faktor-faktor seperti rasisme dan kolonialisme. Terbatasnya akses terhadap makanan tradisional telah menyebabkan prevalensi kerawanan pangan dan masalah kesehatan yang lebih tinggi di kalangan masyarakat adat, yang diperparah oleh prevalensi makanan olahan. Meskipun merupakan negara berdaulat, suku-suku asli Amerika menerima dukungan terbatas dari pemerintah AS dalam merehabilitasi jalur makanan tradisional, yang menyoroti perlunya pengakuan yang lebih besar terhadap kedaulatan suku dalam proses pengambilan keputusan.

Kedaulatan pangan vs ketahanan pangan

Kedaulatan Pangan:
Kedaulatan pangan, sebuah konsep yang dicetuskan pada tahun 1996 oleh para produsen skala kecil yang terorganisir dalam gerakan sosial transnasional La Via Campesina (LVC), menekankan perlunya masyarakat memiliki kendali atas produksi, pengolahan, dan distribusi pangan mereka. Tidak seperti ketahanan pangan, yang berfokus pada memastikan akses terhadap makanan yang cukup dan bergizi, kedaulatan pangan melangkah lebih jauh dengan mengadvokasi petani kecil dan pertanian yang dimiliki secara kolektif, perikanan, dan sektor-sektor penghasil pangan lainnya. Hal ini bertujuan untuk menangkal jalur industrialisasi pangan dan mendorong distribusi yang adil atas lahan pertanian, air, dan benih, serta dukungan terhadap pertanian skala kecil yang produktif.

Ketahanan Pangan:
Ketahanan pangan, sebagaimana didefinisikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), mengacu pada ketersediaan, akses, dan pemanfaatan makanan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan makanan untuk hidup aktif dan sehat. Meskipun ketahanan pangan menekankan pada jaminan akses terhadap nutrisi yang cukup bagi semua orang, ketahanan pangan dapat bergantung pada produksi dalam negeri dan impor global. Namun, para kritikus berpendapat bahwa fokus pada ketahanan pangan sering kali mengarah pada dukungan terhadap pertanian korporat berskala besar dan industri, yang dapat berkontribusi pada perampasan produsen kecil dan degradasi ekologi dalam skala global.

Kritik terhadap Revolusi Hijau

Teori Sistem Pangan

Philip McMichael membahas dikotomi antara "pertanian dunia" berdasarkan Perjanjian Pertanian WTO dan gerakan kedaulatan pangan, yang menekankan pada lokalisme agroekologi. Penelitian terbaru oleh Harriet Friedman menunjukkan bahwa adopsi "makanan dari tempat lain" sudah terjadi dalam rezim lingkungan perusahaan.

Kritik
1. Asumsi yang salah: Beberapa ahli berpendapat bahwa gerakan kedaulatan pangan membuat asumsi yang salah, terutama mengenai pertanian skala kecil sebagai pilihan gaya hidup. Para pengkritik berpendapat bahwa meskipun gerakan ini mengkritik ideologi ekonomi neoliberal, gerakan ini mengabaikan masalah kelaparan di bawah rezim sosialis.
2. Model Politik-Hukum: Terdapat kekurangan konsensus dalam gerakan kedaulatan pangan mengenai bidang politik dan hukum untuk menuntut demokratisasi. Para pengkritik mempertanyakan kesesuaian antara kedaulatan nasional dengan kedaulatan masyarakat lokal.
3. Krisis Petani: Henry Bernstein mengkritik penggambaran gerakan ini mengenai populasi petani sebagai sebuah kategori sosial yang terpadu, dengan menyoroti keragaman di dalam komunitas-komunitas ini. Dia berpendapat bahwa kecenderungan konservatif gerakan ini muncul dari reaksi terhadap globalisasi.


Disadur dari: en.wikipedia.org 

Selengkapnya
Kedaulatan Pangan: Sebuah Tinjauan Mendalam

Pertanian

Mengenal Kapas, Serat Halus Alami yang Mendunia

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 15 April 2024


Kapas adalah serat alami yang tumbuh dalam selubung pelindung yang disebut boll di sekitar biji tanaman kapas yang termasuk dalam genus Gossypium dalam keluarga Malvaceae. Serat yang terutama terbuat dari selulosa ini juga dapat mengandung sejumlah kecil lilin, lemak, pektin, dan air. Di lingkungan alaminya, buah kapas membantu penyebaran benih.

Berasal dari daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia, termasuk Amerika, Afrika, Mesir, dan India, kapas merupakan tanaman perdu dengan keanekaragaman spesies liar yang paling banyak ditemukan di Meksiko, Australia, dan Afrika. Kapas dibudidayakan secara mandiri di Dunia Lama dan Dunia Baru.

Serat kapas biasanya dipintal menjadi benang atau benang, menciptakan tekstil yang lembut, bernapas, dan tahan lama. Penggunaan kapas untuk kain sudah ada sejak zaman kuno, dengan sisa-sisa yang ditemukan di peradaban seperti Lembah Indus dan Peru, yang berasal dari milenium kelima sebelum masehi dan 4200 sebelum masehi. Namun, penemuan mesin pemintal kapaslah yang secara signifikan mengurangi biaya produksi, sehingga akhirnya digunakan secara luas. Saat ini, kapas adalah serat alami yang paling umum digunakan dalam pakaian.

Produksi kapas global diperkirakan mencapai sekitar 25 juta ton atau 110 juta bal per tahun, memanfaatkan 2,5% lahan subur di dunia. India memegang gelar sebagai produsen kapas terbesar, sementara Amerika Serikat tetap menjadi eksportir utama selama bertahun-tahun.

Jenis - jenis Kapas

Terdapat empat spesies utama kapas yang telah dibudidayakan untuk tujuan komersial sejak zaman kuno:

  • Gossypium hirsutum: Juga dikenal sebagai kapas dataran tinggi, kapas ini berasal dari Amerika Tengah, Meksiko, Karibia, dan Florida bagian selatan. Spesies ini menyumbang 90% produksi kapas dunia.
  • Gossypium barbadense: Disebut sebagai kapas serat ekstra panjang, kapas ini berasal dari daerah tropis Amerika Selatan dan menyumbang sekitar 8% produksi kapas global.
  • Gossypium arboreum: Dikenal sebagai kapas pohon, kapas ini berasal dari India dan Pakistan dan menyumbang kurang dari 2% produksi kapas.
  • Gossypium herbaceum: Spesies ini, yang juga disebut kapas Levant, berasal dari Afrika bagian selatan dan Jazirah Arab, dan menyumbang kurang dari 2% produksi kapas global.

Varietas kapas hibrida juga dibudidayakan. Spesies Dunia Baru, terutama Gossypium hirsutum dan Gossypium barbadense, mendominasi produksi kapas modern, sedangkan spesies Dunia Lama digunakan secara luas sebelum tahun 1900-an. Serat kapas alami tersedia dalam berbagai warna seperti putih, cokelat, merah muda, dan hijau. Kekhawatiran akan kontaminasi genetik telah membuat banyak wilayah melarang penanaman varietas kapas berwarna.

Penanaman Kapas

Budidaya kapas membutuhkan kondisi spesifik termasuk periode bebas embun beku yang panjang, sinar matahari yang cukup, dan curah hujan yang sedang, biasanya berkisar antara 50 hingga 100 cm per tahun. Meskipun kapas secara alami merupakan tanaman tahunan, kapas ditanam sebagai tanaman semusim untuk mengatasi hama. Penanaman dilakukan pada musim semi, bervariasi dari awal Februari hingga Juni di belahan bumi utara. Wilayah penghasil kapas terbesar, South Plains di Amerika Serikat, sangat bergantung pada irigasi, terutama dari Ogallala Aquifer. Toleransi kapas terhadap garam dan kekeringan membuatnya cocok untuk daerah kering, tetapi praktik irigasi yang tidak tepat dapat menyebabkan penggurunan, seperti yang terlihat di Uzbekistan.

Pemanenan kapas di wilayah seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Australia umumnya menggunakan metode mekanis seperti pemetik kapas atau alat pengupas. Metode-metode tersebut dilakukan setelah menggunakan bahan kimia perontok bulu kapas atau setelah proses defoliasi alami akibat suhu beku.

Kapas hasil rekayasa genetika (GM), yang dikenal sebagai kapas Bt, telah dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada pestisida. Penyisipan gen dari bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) memungkinkan tanaman kapas menghasilkan insektisida alami yang berbahaya bagi hama tertentu, sehingga mengurangi kebutuhan akan insektisida berspektrum luas. Akan tetapi, beberapa hama tetap tidak terpengaruh, sehingga membutuhkan penggunaan insektisida tambahan dalam situasi tertentu. Adopsi kapas transgenik telah menjadi signifikan secara global, terutama di negara-negara seperti India dan Amerika Serikat.

Produksi kapas organik menghindari modifikasi genetik dan bahan kimia pertanian sintetis, sehingga mendorong keanekaragaman hayati dan keberlanjutan ekologi. Terlepas dari tantangan yang ditimbulkan oleh hama seperti ulat kapas dan hama pengisap, produksi kapas organik berkembang pesat, terutama untuk produk-produk seperti pakaian bayi dan popok.

Secara historis, hama seperti kumbang buah kapas telah menghancurkan produksi kapas, tetapi program pemberantasan yang sukses, bersama dengan pengenalan kapas transgenik, telah meningkatkan manajemen hama di banyak wilayah. Akan tetapi, tantangan tetap ada, termasuk evolusi biotipe baru serangga dan patogen yang mengancam hasil panen kapas.

Pemanenan kapas

Pemanenan kapas di wilayah seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Australia umumnya melibatkan metode mekanis. Hal ini mencakup penggunaan pemetik kapas atau pengupas kapas. Pemetik kapas dengan hati-hati mengeluarkan kapas dari buah kapas tanpa merusak tanaman, sedangkan pengupas kapas membuang seluruh buah kapas dari tanaman. Di daerah yang rawan angin kencang, pengupas kapas lebih disukai daripada pemetik. Metode mekanis ini biasanya digunakan setelah penggunaan bahan kimia defoliant atau ketika defoliasi alami terjadi setelah suhu beku. Perlu dicatat bahwa di daerah tropis di mana kapas merupakan tanaman tahunan, penggundulan hutan atau pembekuan diperlukan untuk menghentikan pertumbuhan tanaman.


Disadur dari: en.wikipedia.org

 

Selengkapnya
Mengenal Kapas, Serat Halus Alami yang Mendunia

Pertanian

Pohon Kelapa: Keajaiban Tropis yang Menyegarkan dan Multifungsi

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 15 April 2024


Pohon kelapa, yang secara ilmiah dikenal sebagai Cocos nucifera, termasuk dalam keluarga pohon palem (Arecaceae) dan merupakan satu-satunya spesies yang masih hidup dalam genus Cocos. Terkenal dengan kegunaannya yang beragam, ikon tropis ini bukan hanya sekedar tanaman biasa, tetapi juga merupakan landasan ekosistem pesisir, yang menawarkan rezeki, sumber daya, dan makna budaya. Berasal dari Pulau Asia Tenggara, perjalanan kelapa dapat ditelusuri hingga ke era Neolitikum, menemani para pelancong Austronesia mengarungi samudera yang luas. Adopsi kelapa oleh beragam budaya, dari Kepulauan Pasifik hingga Madagaskar dan sekitarnya, menggarisbawahi perannya sebagai pendamping penting dalam ekspedisi pelayaran kuno.

Kontribusi kelapa menjangkau spektrum yang luas dari kebutuhan manusia, berfungsi sebagai sumber makanan, hidrasi, dan bahan bangunan. Buah berbiji yang sering disalahartikan sebagai kacang ini menyimpan harta karun berupa sumber daya yang berlimpah: mulai dari air kelapa yang menyegarkan hingga santan yang serbaguna, dan dari daging buahnya yang bergizi hingga minyaknya yang berharga yang diekstrak untuk keperluan kuliner dan kosmetik. Di luar dari hasil yang dapat dilihat, kelapa memiliki makna budaya dan religius yang mendalam di berbagai masyarakat. Dalam budaya Austronesia di Pasifik Barat, kelapa terjalin ke dalam mitologi dan ritual, sementara dalam agama Hindu, kelapa memiliki peran sentral dalam upacara dan pemujaan. Fenomena "kematian karena kelapa" yang penuh teka-teki menggarisbawahi keberadaannya dalam cerita rakyat dan takhayul.

Terlepas dari ketahanan dan kemampuannya untuk beradaptasi, pohon kelapa menghadapi ancaman dari hama dan penyakit, yang menimbulkan tantangan bagi budidaya komersial. Namun, nilai ekonomisnya tetap tak terbantahkan, dengan Indonesia, India, dan Filipina yang secara kolektif menyumbang sebagian besar pasokan kelapa dunia. Secara etimologis, istilah "kelapa" berasal dari bahasa Portugis "coco" yang berarti "kepala" atau "tengkorak", setelah tiga lekukan pada tempurung kelapa yang menyerupai ciri wajah.

Deskripsi Pohon Kelapa

Cocos nucifera, pohon kelapa, berdiri tegak, mencapai ketinggian hingga 30 meter. Daunnya yang menyirip, dengan rentang 4-6 meter, menghiasi pohon yang megah ini dengan anggun. Dengan perawatan yang tepat, pohon kelapa ini menghasilkan buah yang melimpah, meskipun biasanya berkisar antara 30 hingga 75 buah per tahun. Di seluruh budaya Pasifik kuno, varietas kelapa kerdil yang sesuai dengan tipe aslinya telah dihargai karena pertumbuhannya yang lebih lambat dan airnya yang lebih manis. Saat ini, kultivar modern seperti Maypan dan King menawarkan spektrum rasa dan warna yang memperkaya lanskap kelapa.


Telapak tangan penuh dengan buah

Secara botani, kelapa adalah buah berbiji, dengan lapisan yang terdiri dari eksokarp, mesokarp, dan endokarp. Strukturnya yang unik menjadi tempat penyimpanan air dan daging kelapa yang berharga, mendukung perkecambahan dan memberi nutrisi pada bibit. Kelapa yang dibudidayakan, dengan bentuknya yang bulat dan endosperma yang banyak, berbeda dengan varietas liar yang memiliki buah memanjang dan cocok untuk disebarkan ke laut. Perbedaan ini, yang dikenal sebagai niu kafa dan niu vai, mencerminkan interaksi manusia selama berabad-abad dengan buah serbaguna ini.

Dengan berat sekitar 1,4 kilogram, kelapa matang dihargai karena airnya yang menyegarkan dan dagingnya yang lembut. Sementara kelapa yang dijual secara lokal tetap mempertahankan sabutnya, kelapa yang ditujukan untuk ekspor akan dibuang sabutnya, sehingga meningkatkan aksesibilitas konsumen namun mempersingkat penyimpanan pascapanen. Sistem perakaran kelapa sawit yang berserat dan tidak memiliki akar tunggang, memastikan stabilitas dan penyerapan nutrisi. Sementara itu, sifatnya yang berumah satu memfasilitasi pembungaan yang berkelanjutan dan potensi penyerbukan silang.

Penyebaran dan Habitat

Kelapa yang rendah hati telah melakukan perjalanan yang luar biasa, menyebar dari rumah leluhurnya di wilayah Indo-Pasifik Tengah ke hampir setiap sudut daerah tropis. Pengembaraan yang luar biasa ini terkait erat dengan migrasi maritim prasejarah bangsa Austronesia, yang membawa kelapa sebagai tanaman sampan penting ke pulau-pulau yang baru dihuni.

Map of the Pacific and Indian oceans
Kronologis penyebaran masyarakat Austronesia di Indo-Pasifik

Studi genetika mengungkap kisah yang menarik - populasi kelapa terbagi menjadi dua garis keturunan yang berbeda. Kelompok Pasifik menunjukkan tanda-tanda domestikasi oleh bangsa Austronesia, seperti perawakan kerdil dan buahnya yang bulat. Sebaliknya, varietas Indo-Atlantik memiliki ciri-ciri leluhur yang menunjukkan bahwa mereka dibudidayakan secara mandiri oleh bangsa Dravida di India selatan.

Penyebaran kelapa ini dibantu oleh buahnya yang mengapung dan tahan air... cocok untuk perjalanan laut dalam jarak yang sangat jauh. Beberapa orang berpendapat bahwa kelapa berevolusi untuk penyebaran di laut, sementara yang lain berpendapat bahwa strukturnya yang kokoh melindungi kelapa dari benturan di medan berbatu. Apapun itu, pelaut yang luar biasa ini telah melintasi lautan selama ribuan tahun... pertama kali dibawa dengan sengaja oleh pelaut kuno, dan kemudian berkembang biak di seluruh dunia melalui jaringan perdagangan kolonial.

Dari pantai Melanesia yang bermandikan sinar matahari hingga pulau-pulau Karibia yang rimbun, kelapa menjadi bukti nyata dari keberanian nenek moyang kita dalam mengarungi samudra dan ikatan yang tak terpisahkan antara migrasi manusia dan tumbuhan selama berabad-abad.

Produksi dan Budidaya

Pada tahun 2022, produksi kelapa global mencapai 62 juta ton, didominasi oleh Indonesia, India, dan Filipina. Namun, membudidayakan pohon kelapa membutuhkan kondisi yang spesifik: iklim tropis yang panas dan lembab. Tanpa kehangatan dan kelembapan yang cukup, pohon kelapa sulit untuk tumbuh subur dan menghasilkan buah, sehingga menjadi tantangan tersendiri di daerah kering.

Budidaya pohon kelapa secara ekstensif di daerah tropis telah menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan habitat, terutama di ekosistem bakau seperti hutan bakau Petenes di Yucatán. Hebatnya, pohon kelapa dapat mentolerir pengairan dengan air laut, sebuah sifat unik di antara tanaman lainnya.

Budidaya kelapa mencakup berbagai kultivar, yang dikategorikan sebagai tinggi, kerdil, atau hibrida. Beberapa, seperti 'Malayan dwarf,' menunjukkan ketahanan terhadap penyakit seperti penyakit kuning yang mematikan, sementara yang lain, seperti 'Jamaican tall,' lebih rentan. Faktor-faktor seperti ketahanan terhadap kekeringan dan karakteristik buah mempengaruhi pemilihan kultivar.

Memanen kelapa melibatkan metode tradisional seperti memanjat dan pendekatan yang lebih modern seperti menggunakan galah atau bahkan robot otomatis. Meskipun memanjat masih umum dilakukan, namun hal ini menimbulkan risiko bagi keselamatan dan kesehatan pekerja. Di wilayah seperti Filipina dan Guam, para pekerja menggunakan teknik inovatif seperti melubangi batang kelapa untuk membuat tangga darurat.

Keputusan kapan waktu yang tepat untuk memanen kelapa sangatlah penting, dan para peneliti sedang mengembangkan teknik yang tepat seperti sonometri untuk menilai kematangan secara akurat. Di beberapa daerah, seperti Papua Nugini, kelapa dikumpulkan begitu saja saat jatuh ke tanah, sementara daerah lain menggunakan kera terlatih untuk memanen kelapa, sebuah praktik kontroversial yang disorot oleh organisasi hak asasi hewan.

Di daerah beriklim lebih dingin, palem alternatif seperti palem ratu dan Beccariophoenix alfredii menawarkan pengganti kelapa, meskipun buahnya lebih kecil dan menyerupai kelapa. Sawit ini membutuhkan suhu di atas 18°C untuk tumbuh subur dan menghasilkan buah, sehingga cocok untuk daerah yang beriklim lebih sejuk.

Secara keseluruhan, budidaya dan pemanenan kelapa melibatkan perpaduan antara metode tradisional, teknik inovatif, dan pertimbangan lingkungan, yang mencerminkan keragaman yang kaya dan signifikansi global dari buah ikonik ini.

Pemanfaatan Pohon Kelapa

Pohon Kelapa, yang sering disebut sebagai "pohon kehidupan", memiliki posisi sentral dalam budaya tropis karena berbagai kegunaannya. Mulai dari kelezatan kuliner seperti santan dan minyak hingga aplikasi non-kuliner seperti kerajinan dan konstruksi, setiap bagian dari kelapa memiliki kegunaan. Dengan manfaat nutrisinya, produk serbaguna, dan signifikansi ekologisnya, kelapa benar-benar mendapatkan reputasi yang terhormat sebagai simbol kelimpahan dan keberlanjutan.


Disadur dari: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Pohon Kelapa: Keajaiban Tropis yang Menyegarkan dan Multifungsi

Pertanian

Pengertian Dari Agronomi

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 01 Maret 2024


Pertanian mencakup proses ilmiah dan teknologi yang terlibat dalam membudidayakan dan memanfaatkan tanaman untuk berbagai tujuan seperti makanan, bahan bakar, serat, bahan kimia, rekreasi, dan pelestarian lahan. Pertanian modern juga mencakup bidang penelitian seperti genetika tanaman, fisiologi tanaman, meteorologi, dan ilmu tanah. Ini melibatkan aplikasi interdisipliner bidang-bidang seperti biologi, kimia, ekonomi, ekologi, ilmu bumi, dan genetika. Para profesional yang berspesialisasi dalam bidang pertanian disebut sebagai ahli agronomi.

Sejarah Agronomi:

Pemuliaan Tanaman

Bidang agronomi ini mencakup pemuliaan selektif tanaman untuk menghasilkan tanaman terbaik untuk berbagai kondisi. Pemuliaan tanaman telah meningkatkan hasil panen dan meningkatkan nilai gizi berbagai tanaman, termasuk jagung, kedelai, dan gandum. Ini juga menghasilkan pengembangan jenis tanaman baru. Sebagai contoh, gandum hibrida yang dinamakan tritikale diproduksi dengan persilangan antara gandum dan gandum. Tritikale mengandung protein yang lebih mudah dicerna daripada baik gandum maupun gandum. Agronomi juga telah menjadi instrumen penting untuk penelitian produksi buah dan sayuran. Selain itu, penerapan pemuliaan tanaman untuk pengembangan rumput-rumputan telah menghasilkan pengurangan dalam permintaan pupuk dan input air, serta jenis rumput dengan resistensi penyakit yang lebih tinggi.

Bioteknologi

Agronom menggunakan bioteknologi untuk memperpanjang dan mempercepat pengembangan karakteristik yang diinginkan. Bioteknologi seringkali merupakan kegiatan laboratorium yang membutuhkan pengujian lapangan terhadap varietas tanaman baru yang dikembangkan. Selain meningkatkan hasil panen, bioteknologi agronomi semakin banyak digunakan untuk penggunaan baru selain pangan. Sebagai contoh, biji-bijian saat ini digunakan terutama untuk margarin dan minyak makan lainnya, tetapi dapat dimodifikasi untuk menghasilkan asam lemak untuk deterjen, bahan bakar pengganti, dan petrokimia.

Ilmu Tanah

Agronom mempelajari cara berkelanjutan untuk membuat tanah lebih produktif dan menguntungkan. Mereka mengklasifikasikan tanah dan menganalisisnya untuk menentukan apakah mengandung nutrisi penting untuk pertumbuhan tanaman. Makronutrien umum yang dianalisis meliputi senyawa nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan belerang. Tanah juga dinilai untuk beberapa mikronutrien, seperti seng dan boron. Persentase bahan organik, pH tanah, dan kapasitas penahanan nutrisi juga diuji di laboratorium regional. Agronom akan menginterpretasikan laporan laboratorium ini dan memberikan rekomendasi untuk memodifikasi nutrisi tanah guna pertumbuhan tanaman optimal.

Konservasi Tanah

Selain itu, agronom mengembangkan metode untuk menjaga tanah dan mengurangi efek erosi oleh angin dan air. Sebagai contoh, teknik yang dikenal sebagai tanam kontur dapat digunakan untuk mencegah erosi tanah dan mengonservasi curah hujan. Peneliti agronomi juga mencari cara untuk menggunakan tanah lebih efektif dalam menyelesaikan masalah lain. Masalah-masalah tersebut termasuk pembuangan kotoran manusia dan hewan, polusi air, dan akumulasi pestisida di tanah, serta menjaga tanah untuk generasi mendatang seperti pembakaran padang setelah produksi tanaman. Teknik manajemen padang rumput meliputi pertanian tanpa pembajakan, penanaman rumput pengikat tanah di sepanjang kontur pada lereng curam, dan menggunakan saluran kontur dengan kedalaman hingga 1 meter.

Agroekologi

Agroekologi adalah pengelolaan sistem pertanian dengan penekanan pada aplikasi ekologi dan lingkungan. Topik ini erat terkait dengan pekerjaan untuk pertanian berkelanjutan, pertanian organik, dan sistem pangan alternatif serta pengembangan sistem penanaman alternatif.

Model Teoritis

Ekologi produksi teoritis adalah studi kuantitatif tentang pertumbuhan tanaman. Tanaman diperlakukan sebagai jenis pabrik biologis, yang mengolah cahaya, karbon dioksida, air, dan nutrisi menjadi produk yang dapat dipanen. Parameter utama yang dipertimbangkan adalah suhu, sinar matahari, biomassa tanaman yang berdiri, distribusi produksi tanaman, serta pasokan nutrisi dan air.


Disadur dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Agronomi

 

Selengkapnya
Pengertian Dari Agronomi
« First Previous page 24 of 27 Next Last »