Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 03 Maret 2025
Tidak asing dengan ‘batu bara’? Secara umum, batu bara merupakan sedimen yang dapat terbakar dan terbentuk dari endapan organik. Selain sebagai bahan bakar dan pembangkit listrik, manfaat lainnya di kehidupan manusia untuk mencetak uang logam hingga briket.
Di balik manfaatnya, perlu diketahui juga bahwa limbah dari batu bara ini pernah masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3.
Namun, baru-baru ini pemerintah mengumumkan bahwa limbah abu batu bara atau kerap disebut Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dihapus dari daftar limbah B3.
FABA sendiri berasal dari pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan industri berbahan bakar batu bara lainnya. Lewat situs resmi Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral (Litbang ESDM), proyeksi kebutuhan batu bara hingga tahun 2027 sebesar 162 juta ton sedangkan potensi FABA-nya sebesar 16,2 juta ton.
Hal ini membuktikan bahwa banyaknya jumlah limbah disebabkan oleh kebutuhan yang semakin hari bertambah pula.
Lalu, bagaimana bisa FABA dihapus dari kategori limbah B3?
Penghapusan tersebut dilakukan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana peraturan tersebut merupakan salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja.
Awalnya, limbah FABA termasuk dalam daftar B3 pada PP 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, namun kebijakan tersebut dicabut melalui PP nomor 22 bersama dengan empat PP lainnya.
Dilansir dari Tempo.co, Nani Hendrianti selaku Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim pada Kamis (3/3/2021) lalu menjelaskan bahwa proses penyusunan PP 22 tersebut memerlukan proses yang tidak sebentar dan dikawal oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Keputusan ini akhirnya keluar. Bab Penjelasan Pasal 459 Ayat 3 Huruf C pada PP 22 menyatakan bahwa limbah batu bara ini termasuk non-B3 yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi pengganti semen "pozzolan".
Limbah abu batu bara tersebut dapat diolah menjadi pengganti semen pozzolan bila menggunakan boiler minimal Circulating Fluidized Bed (CFB). Bukan hanya di Indonesia, beberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, India, dan Vietnam juga telah mengkategorikan FABA dalam limbah non-B3.
Sebelum adanya PP 22, ternyata sudah ada 16 asosiasi yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) telah mengusulkan agar FABA dapat dikeluarkan dari daftar limbah B3. Hal tersebut diungkapkan oleh Haryadi B. Sukamdani selaku Ketua Umum APINDO yang mengatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3.
Ungkapan Haryadi bukan tanpa landasan. Hasil Toxicity Leaching Procedure (TCLP) dari uji petik kegiatan industri, dan hasil uji toksikologi Lethal Dose-50 (LD50), memperoleh hasil FABA telah memenuhi ambang batas persyaratan PP 101.
"Karena berdasarkan hasil uji-ujinya pun menyatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3,” ujar Haryadi.
FABA sendiri berasal dari pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan industri berbahan bakar batu bara lainnya. Lewat situs resmi Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral (Litbang ESDM), proyeksi kebutuhan batu bara hingga tahun 2027 sebesar 162 juta ton sedangkan potensi FABA-nya sebesar 16,2 juta ton.
Hal ini membuktikan bahwa banyaknya jumlah limbah disebabkan oleh kebutuhan yang semakin hari bertambah pula.
Lalu, bagaimana bisa FABA dihapus dari kategori limbah B3?
Penghapusan tersebut dilakukan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dimana peraturan tersebut merupakan salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja.
Awalnya, limbah FABA termasuk dalam daftar B3 pada PP 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, namun kebijakan tersebut dicabut melalui PP nomor 22 bersama dengan empat PP lainnya.
Dilansir dari Tempo.co, Nani Hendrianti selaku Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim pada Kamis (3/3/2021) lalu menjelaskan bahwa proses penyusunan PP 22 tersebut memerlukan proses yang tidak sebentar dan dikawal oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Keputusan ini akhirnya keluar. Bab Penjelasan Pasal 459 Ayat 3 Huruf C pada PP 22 menyatakan bahwa limbah batu bara ini termasuk non-B3 yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi pengganti semen "pozzolan".
Limbah abu batu bara tersebut dapat diolah menjadi pengganti semen pozzolan bila menggunakan boiler minimal Circulating Fluidized Bed (CFB). Bukan hanya di Indonesia, beberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, India, dan Vietnam juga telah mengkategorikan FABA dalam limbah non-B3.
Sebelum adanya PP 22, ternyata sudah ada 16 asosiasi yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) telah mengusulkan agar FABA dapat dikeluarkan dari daftar limbah B3. Hal tersebut diungkapkan oleh Haryadi B. Sukamdani selaku Ketua Umum APINDO yang mengatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3.
Ungkapan Haryadi bukan tanpa landasan. Hasil Toxicity Leaching Procedure (TCLP) dari uji petik kegiatan industri, dan hasil uji toksikologi Lethal Dose-50 (LD50), memperoleh hasil FABA telah memenuhi ambang batas persyaratan PP 101.
"Karena berdasarkan hasil uji-ujinya pun menyatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3,” ujar Haryadi.
Sumber: www.kompasiana.com
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 03 Maret 2025
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya meningkatkan daya saing industri keramik dan refraktori melalui penyediaan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten. Langkah nyata yang diwujudkan yaitu meluncurkan Program Setara Diploma I (D1) Keramik dan Refraktori, yang akan dilaksanakan di Politeknik STMI Jakarta.
“Melalui program ini, kami berharap bisa memasok kebutuhan industri keramik dan refraktori terhadap SDM yang terampil. Tentunya sesuai perkembangan teknologi saat ini,” tutur Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Industri (BPSDMI) Kemenperin Arus Gunawan pada acara penandatanganan MoU Program D1 Keramik dan D1 Refraktori, Selasa (3/8).
Arus menjelaskan, kedua program tersebut merupakan hasil kerja sama antara BPSDMI Kemenperin dengan Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin yang didukung oleh Asosiasi Refraktori dan Isolasi Indonesia (ASRINDO), Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI), Balai Besar Keramik (BBK), serta Direktorat Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Non-Logam. “Program ini merupakan wujud konkret dari komitmen Kemenperin dalam mengatasi tantangan SDM industri saat ini, antara lain besarnya jumlah pengangguran terbuka, tingkat pendidikan angkatan kerja yang masih rendah, dan peningkatan produktivitas tenaga kerja,” jelas dia.
Arus menambahkan, kedua program itu diselenggarakan selama satu tahun oleh Politeknik STMI Jakarta yang berkolaborasi dengan Balai Besar Keramik (BBK). “Masing-masing program hanya membuka satu kelas untuk 30 mahasiswa pada setiap kelasnya dan akan dikembangkan menjadi dua kelas untuk masing-masing program pada 2022 mendatang,” tuturnya.
Tidak hanya itu, Politeknik STMI Jakarta juga melibatkan banyak perusahaan industri dalam penyelenggaraan kedua Program Setara D1 ini. Dengan begitu, mahasiswa yang lulus nantinya dapat langsung diserap bekerja di perusahaan-perusahaan industri tersebut. Beberapa perusahaan yang terlibat dalam kerja sama kedua program ini, antara lain PT Refratech Mandala Perkasa, PT Benteng Api Technik, dan PT Refractorindo Graha Dinamika serta 21 perusahaan keramik yang terhimpun dalam ASAKI.
Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan Vokasi Industri Iken Retnowulan menjelaskan, tujuan kegiatan penyelenggaraan pendidikan Setara D1 Kerjasama Industri ini untuk membekali calon tenaga kerja dengan keahlian terapan atau keterampilan teknis. “Lulusan program pendidikan Setara D1 ini nantinya langsung ditempatkan bekerja dalam rangka meningkatkan daya saing industri,” ujarnya.
Dirjen IKFT Muhammad Khayam menjelaskan, industri refraktori dinilai sebagai salah satu sektor strategis karena produksinya demi menopang kebutuhan berbagai manufaktur lainnya. “Hasil dari industri refraktori ini umumnya digunakan sebagai pelapis untuk tungku, kiln, insinerator, dan reaktor tahan api pada industri semen, keramik, kaca dan pengecoran logam,” tutur dia.
Khayam optimistis, apabila industri refraktori ini tumbuh berkembang dan memiliki performa gemilang, akan mendukung kinerja sektor industri pengolahan nonmigas, khususnya kelompok industri bahan galian nonlogam. “Pada triwulan I tahun 2021, kontribusi industri bahan galian nonlogam terhadap industri pengolahan sebesar 2,57 persen dan perkembangan nilai investasi industri bahan galian nonlogam mencapai Rp 5,46 triliun,” jelas dia.
Sementara, Dirjen IKFT mengemukakan, industri keramik Indonesia saat ini menduduki peringkat kedelapan dunia dengan kapasitas produksi terpasang sebesar 538 juta meter persegi per tahun dan telah menyerap tenaga kerja sebanyak 150 ribu orang. Meningkatnya pembangunan di sektor infrastruktur dan properti, seperti real estate, perumahan, apartmen, dan bangunan lainnya, membuat permintaan pasar dalam negeri semakin bertambah.
“Dalam jangka panjang, industri keramik nasional akan sangat prospektif. Mengingat konsumsi keramik nasional per kapita masih sekitar 1,4 meter persegi yang perlu dioptimalkan lagi karena konsumsi ideal dunia telah mencapai lebih dari 3 m2,” ujar dia.
Ketua Umum ASRINDO Basuki menyampaikan, terdapat 30 perusahaan yang sudah tergabung dalam ASRINDO. “Kami mengapresiasi inisiasi Kemenperin dalam membangun iklim usaha yang kondusif melalui penyediaan SDM kompeten untuk meningkatkan daya saing industri refraktori,” kata dia.
Ketua Umum ASAKI Edy Suyanto mengungkapkan, lima negara tujuan ekspor utama untuk produk keramik nasional, yaitu ke Filipina, Malaysia, Taiwan, Thailand dan Amerika Serikat. “Lonjakan ekspor terjadi dengan tujuan negara Amerika Serikat mencapai 130 persen, Filipina sekitar 60 persen, dan Taiwan 40 persen,” tuturnya. Peningkatan ekspor di luar lima negara tujuan utama tersebut, juga terjadi di Australia dengan mencapai 50 persen.
Sumber: ekonomi.republika.co.id
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 03 Maret 2025
JAKARTA, KOMPAS.com - Persaingan industri semen dalam negeri semakin ketat dan bermunculan perusahaan-perusahaan semen baru di Tanah Air. Di saat yang sama, seiring dengan bertambahnya jumlah produsen semen, Indonesia saat ini menghadapi situasi overcapacity atau kelebihan pasokan semen. .
Menghadapi situasi tersebut, produsen utama semen dalam negeri, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk atau SIG, berniat fokus pada kerja sama dan inovasi. Lebih lanjut, Donny Arsal, Presiden Direktur SIG, mengatakan dalam rangka merayakan hari jadinya yang kesembilan, tujuannya adalah agar perusahaan dapat tumbuh bersama menjawab tantangan yang dihadapi industri semen saat ini.
“Kesatuan menjadi kekuatan kita dalam menghadapi tantangan industri semen ke depan yang semakin kompetitif dengan bermunculannya pemain-pemain baru. “Selanjutnya, tingkat persaingan pasar semakin meningkat karena kelebihan pasokan,” ujarnya. Donny dalam keterangannya, Selasa (1/9/2022), Donny Arsal juga menyampaikan bahwa tahun ini SIG meluncurkan inisiatif bisnis strategis utama melalui proyek, salah satunya adalah peningkatan keunggulan operasional dan optimalisasi rantai pasokan.
Semen Indonesia diusulkan menjadi BUMN global. Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan SIG, salah satu BUMN semen terbesar di Asia Tenggara, akan didorong menjadi BUMN global. "Melalui inovasi, daya saing global meningkat tidak hanya melalui produk dan layanan, tetapi juga melalui teknologi dan inovasi digital." Dikatakan Sekadar informasi, SIG memiliki lima merek di pasar Indonesia, antara lain Semen Gresik, Semen Padang, Semen Tonasa, Dynamix, dan Semen Andalas, serta satu merek di Vietnam, Thang Long Cement. Saat ini SIG banyak mengemas produk semen. dan produk semen digunakan tidak hanya untuk aplikasi spesifik yang lebih ekonomis, namun juga untuk berbagai macam semen yang sesuai dengan karakteristik setiap jenis proyek.
Sumber: money.kompas.com
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 03 Maret 2025
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya mengakselerasi dan membangkitkan industri keramik nasional. Salah satu langkah yang dilakukan, yakni melalui business matching antara produsen keramik dengan asosiasi sektor pengguna.
Upaya itu juga sekaligus mendorong penerapan program Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN). “Kita semua patut bersyukur,Indonesia memiliki industri keramik yang saat ini menduduki peringkat delapan dunia dengan kapasitas produksi terpasang sebesar 538 juta meter persegi (m2) per tahun dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 150 ribu orang,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Kamis (17/6).
Lewat business matching, kata dia, diharapkan pelaku usaha sektor industri maupun sektor terkait lain seperti properti, pengembang, dan infrastruktur terus bersinergi, bergerak menciptakan peluang pasar baru, saling mengisi menjamin kepastian rantai pasok, serta kerja sama erat dalam menciptakan kemandirian ekonomi bidang industri keramik nasional. “Dengan langkah ini juga diharapkan produk industri keramik nasional dapat memiliki peran penting di pasar regional dan global,” tuturnya.
Business matching antara produsen keramik dengan asosiasi sektor pengguna, ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) dengan Real Estate Indonesia (REI) dan Perjanjian Kerja Sama Antara Perusahaan Industri Keramik Nasional Dengan Penyedia Jasa Properti atau Real Estate Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Swasta Nasional. Agus mengatakan, meningkatnya pembangunan di sektor infrastruktur dan properti, seperti real estate, perumahan, apartmen, dan bangunan lainnya, membuat permintaan pasar dalam negeri semakin bertambah.
“Dalam jangka panjang, Industri keramik nasional akan sangat prospektif. Mengingat konsumsi keramik nasional per kapita sekitar 1,4 m2 masih lebih rendah dibandingkan konsumsi ideal dunia yang telah mencapai lebih dari 3 m2,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah yang gencar dalam pembangunan infrastruktur dan meningkatnya kebutuhan perumahan atau tempat tinggal oleh pekerja usia produktif, menjadi peluang pangsa pasar bagi industri keramik nasional. Ini dapat meningkatkan konsumsi keramik nasional dan memperluas pangsa pasar dalam negeri.
“Kita harus bangga keramik produksi dalam negeri memiliki keunggulan dari segi kualitas, tipe, desain atau motif, jaminan ketersediaan dan after sales service. Sekaligus memiliki TKDN rata-rata di atas 85 persen,” tuturnya.
Menperin menuturkan, Indonesia juga harus bangga karena saat ini ubin keramik dalam negeri telah mampu menembus pasar ekspor berbagai negara Asia, Eropa, Amerika, dan Australia. “Kemudian perlu digarisbawahi, khusus produk ubin atau porcelain slab ukuran 3,2 meter x 1,6 meter baru Indonesia yang mampu memproduksi di dunia dan telah diekspor ke China, Australia, serta Amerika Serikat,” tutur dia.
Menurut Agus, meski turut dihantam badai pandemi Covid-19, ekspor ubin keramik meningkat sebesar 17 persen pada 2020 dibandingkan 2019 year on year (yoy). “Memperhatikan demand dalam negeri dan pangsa pasar ekspor yang telah mulai meningkat, beberapa produsen keramik nasional telah melakukan ekspansi atau perluasan, dan mengundang ketertarikan beberapa investasi baru,” jelasnya.
Menperin menambahkan, melalui business matching tersebut, diharapkan terjadi link and match antara produsen dalam negeri dan asosiasi pengguna. Hal itu diharapkan turut mampu menekan impor produk keramik.
“Persoalan impor akan terselesaikan apabila dibarengi dengan upaya mengoptimalkan pasar dalam negeri oleh produk-produk industri dalam negeri sendiri. Baik itu pembelian untuk penggunaan secara individu maupun korporasi atau keproyekan,” tutur Agus.
Sumber: ekonomi.republika.co.id
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 03 Maret 2025
JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Forum Suplier Bahan Bangunan Indonesia (FOSBBI) Antonius Tan mengatakan, masuknya produk keramik impor (ubin porselen) ke pasar dalam negeri diklaim tidak mengganggu kinerja industri ubin keramik lokal. Menurut Antonius, segmen pasar produk keramik impor (ubin porselen) dengan keramik lokal justru berbeda. Bahkan, masuknya produk ubin porselen impor akan menambah pilihan produk keramik untuk masyarakat Indonesia. "Pasar impor ubin porselen sudah tercipta sejak 15 tahun lalu, mayoritas dibutuhkan untuk segmen menengah ke atas. Jadi, sesungguhnya tidak mengganggu, sasarannya juga berbeda, dan justru saling melengkapi," kata Antonius Tan dalam siaran persnya, dikutip Kompas.com, Selasa (14/9/2021).
Dijelaskan Antonius, segmen ubin keramik konvensional saat ini memang sudah jauh ditinggalkan. Hal ini seiring dengan semakin sejahtera-nya kehidupan masyarakat di negara-negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat, hinggga China. Walau demikian, dikatakan Antonius, hal ini harus diwaspadai. "Ini harus diwaspadai oleh industri ubin keramik lokal berbasis tanah lempung merah, kalau tidak akan tergilas dengan kemajuan teknologi dan tuntutan pasar," jelasnya. Menurutnya, importasi produk ubin porselen akan terhenti dengan sendirinya tanpa perlu dihambat, bila industri dalam negeri siap dengan teknologi pembuatan ubin porselen. "Apalagi saat ini, industri keramik lokal sudah ditunjang dengan penurunan harga gas dan ketersediaan kaolin dalam negeri termasuk feldspar didalamnya untuk menghasilkan produk premium dengan harga yang kompetitif," terangnya.
Disisi lain, sudah saatnya industri ubin keramik lokal melakukan transformasi agar dapat memproduksi ubin porselen yang merupakan tujuan ditetapkannya pengenaan aturan safeguard (BMTP). Baca juga: Kurangi Ketergantungan Alkes Impor, BPPT Luncurkan TFRIC-19 Berdasarkan data yang dihimpun FOSBBI, dari 37 industri keramik lokal hanya 10 industri yang mampu memproduksi ubin porselen, itupun dengan kapasitas yang terbatas, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pasar. "Ini dapat dibuktikan beberapa suplier ubin porselen tidak dapat dipenuhi pesanannya oleh produsen dalam negeri, apalagi harga produk lokal lebih murah dibandingkan dengan produk impor," paparnya.
Sumber: money.kompas.com
Perindustrian
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 03 Maret 2025
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurus Forum Suplier Bahan Bangunan Indonesia (FOSBBI) berkesempatan melakukan audiensi dengan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi pada Selasa, 28 September 2021.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum FOSBBI, Antonius Tan menyampaikan bahwa mereka memiliki tujuan untuk membina kerja sama dengan pemerintah, suplier dan pihak terkait lainnya dalam pemenuhan kebutuhan bahan bangunan dan perlengkapannya di Tanah Air.
"FOSBBI juga turut mendorong industri dalam negeri untuk terus meningkatkan kemampuan teknologi serta kualitas produk sehingga mampu memproduksi ubin porselen dan berupaya menarik investor dari luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia dan bisa berkontribusi pada perekonomian Indonesia," kata Antonius dalam siaran persnya dikutip Kompas.com, Rabu (6/10/2021).
Di hadapan Mendag, Antonius menjelaskan, terdapat perbedaan antara produk ubin porselen dengan ubin keramik.
Menurut dia, pasar ubin porselen di Indonesia sudah tercipta sejak 15 tahun lalu, di mana mayoritas dibutuhkan untuk segmen menengah ke atas.
"Jadi, sesungguhnya keberadaan ubin porselen tidak mengganggu pasar ubin keramik yang selama ini mayoritas di produksi industri dalam negeri, sasarannya juga berbeda, dan justru saling melengkapi," jelas Antonius.
"Ubin porselen banyak digunakan pada bangunan baru seperti mall maupun perkantoran karena presisi ukuran, design yang menarik dan lifestyle," sambungnya.
Berdasarkan data yang dihimpun FOSBBI, kebutuhan total market ubin porselen di Indonesia sebesar 140 juta meter persegi per tahun.
Sedangkan ubin porselen yang diproduksi oleh 10 pabrik ubin porselen di dalam negeri hanya sebesar 70 juta meter persegi per tahun yang terserap habis oleh pasar, sehingga masih ada kekurangan 70 juta meter persegi per tahun yang harus dipenuhi.
"Berkaca dari data tersebut, suplier memiliki peran penting untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut," tutur Antonius.
Antonius mengatakan, pihaknya ingin mendorong para pelaku industri keramik nasional bertransformasi dengan meningkatkan produksi dan mengembangkan teknologi untuk membuat porcelain tile yang pasarnya akan semakin bertumbuh seiring berkembangnya sektor properti dan infrastruktur.
"Perkembangan market ubin porselen diprediksi akan semakin besar, diperlukan lebih banyak lagi investasi yang masuk ke Indonesia, tentunya yang mampu memproduksi ubin porselen. Dengan pertemuan ini, kami berharap dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan lapangan kerja maupun investasi di dalam negeri," tutup Antonius.
Sumber: money.kompas.com