Perencanaan Kota
Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 September 2025
1.1. Latar Belakang Penelitian dan Signifikansinya
Perizinan mendirikan bangunan (IMB) adalah instrumen krusial dalam administrasi publik untuk mengendalikan pertumbuhan kota, memastikan keselarasan pembangunan dengan rencana tata ruang, serta menjamin keselamatan struktural dan lingkungan. Di tengah gelombang urbanisasi yang masif, khususnya di kota-kota seperti Banjarmasin, implementasi kebijakan ini menjadi barometer efektivitas tata kelola pemerintahan. Paper yang berjudul "Juridical Study in Implementing A System on Licensing for Establishing Buildings in Banjarmasin City" ini secara spesifik menyoroti dinamika tersebut, menjadikannya studi kasus yang relevan untuk tantangan yang lebih luas dalam tata kelola perkotaan di Indonesia. Latar belakang penelitian ini berangkat dari observasi awal bahwa meskipun IMB merupakan prasyarat hukum, banyak bangunan di Banjarmasin didirikan tanpa izin yang sah.1 Hal ini mengindikasikan adanya disonansi fundamental antara kerangka hukum yang ideal dan realitas implementasinya di lapangan.
1.2. Ringkasan Eksekutif Paper (Temuan Utama)
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkaji mekanisme serta hambatan yang terjadi selama proses pemberian IMB di Kota Banjarmasin.1 Dengan mengadopsi metode penelitian yuridis empiris, para peneliti tidak hanya menganalisis teks hukum yang berlaku (Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 15 Tahun 2012) tetapi juga mengumpulkan data primer melalui wawancara dan kuesioner dengan petugas dan pemohon izin. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif deskriptif untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang kondisi, sikap, dan hambatan yang ada.1
Secara ringkas, temuan kunci dari paper ini adalah sebagai berikut: Meskipun sistem IMB di Banjarmasin telah diatur dalam sistem daring yang terstruktur melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) 1, implementasinya masih menghadapi berbagai hambatan. Terdapat kesenjangan signifikan antara kerangka regulasi yang ada dan praktik di lapangan. Hambatan-hambatan ini berkisar dari rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya IMB hingga inefisiensi prosedural yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi. Temuan ini secara tegas menunjukkan bahwa keberadaan sistem daring yang transparan saja tidak cukup untuk mengatasi tantangan yang berakar pada isu-isu sosial, budaya, dan institusional.1
2.1. Alur Logis dari Masalah ke Temuan
Paper ini membangun argumennya melalui alur logis yang terstruktur. Dimulai dengan identifikasi masalah, yaitu maraknya bangunan tanpa IMB di Banjarmasin.1 Masalah ini tidak hanya dipandang sebagai isu kepatuhan, tetapi sebagai manifestasi dari kegagalan sistem dalam mencapai tujuan fundamentalnya, yakni penataan ruang dan keselamatan publik. Untuk memahami akar masalah, para peneliti memilih pendekatan yuridis empiris, sebuah metode yang sangat tepat untuk mengkaji kesenjangan antara "hukum dalam buku" dan "hukum dalam aksi".1
Melalui metode ini, penelitian pertama-tama memetakan alur permohonan IMB yang ideal, sebagaimana tertera pada situs web DPMPTSP.1 Alur ini, yang secara teoretis berjalan mulus dan transparan, menjadi kerangka perbandingan. Kemudian, melalui data primer yang dikumpulkan di lapangan, penelitian ini menemukan bahwa alur ideal tersebut tidak selalu terwujud. Temuan ini secara sistematis menyimpulkan bahwa hambatan bukan berasal dari ketiadaan sistem, melainkan dari eksekusi sistem itu sendiri yang tidak optimal.1
2.2. Analisis Kualitatif Mendalam terhadap Dimensi Pelayanan Publik
Penelitian ini secara rinci mengkaji enam dimensi pelayanan publik, memberikan gambaran yang kaya tentang inefisiensi sistem. Berikut adalah analisis mendalam terhadap temuan tersebut:
2.3. Sorotan Data Kuantitatif Deskriptif
Salah satu data kuantitatif paling berharga dalam paper ini adalah hasil dari penelitian lain (Nurfansyah, 2007) yang dikutip. Data tersebut menunjukkan bahwa hanya 60.46% dari masyarakat di Kecamatan Banjarmasin Utara yang memahami IMB.1 Angka ini adalah titik data dasar yang kuat untuk mengukur keberhasilan program sosialisasi di masa depan dan berfungsi sebagai bukti empiris bahwa rendahnya kesadaran publik adalah akar masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan perbaikan sistem daring. Lebih lanjut, paper juga mengutip studi dari Fansuri & Nurholis (2016) yang menemukan bahwa hanya 29% warga Sumenep yang mengajukan izin sebelum bangunan didirikan, menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya unik di Banjarmasin.1
3.1. Kontribusi Teoritis
Paper ini memperkaya literatur yuridis empiris dengan memberikan studi kasus konkret yang menunjukkan "kesenjangan implementasi" (implementation gap). Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini dapat berfungsi sebagai template untuk menganalisis bagaimana sebuah peraturan yang "sempurna di atas kertas" dapat gagal dalam praktik karena faktor-faktor manusiawi dan institusional. Selain itu, penelitian ini secara implisit menyumbang pada teori tata kelola digital dengan menyoroti bahwa adopsi teknologi tanpa mempertimbangkan "kesenjangan digital" dapat memperburuk, bukan memperbaiki, kualitas pelayanan publik.
3.2. Kontribusi Praktis
Temuan dari paper ini memberikan rekomendasi praktis bagi DPMPTSP Kota Banjarmasin dan lembaga serupa di kota lain. Laporan ini menunjukkan bahwa fokus tidak seharusnya hanya pada penyempurnaan alur daring, tetapi juga pada peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) dan strategi sosialisasi yang lebih inklusif dan berbasis komunitas. Solusi yang diusulkan, seperti sosialisasi yang lebih intensif dan peningkatan kompetensi petugas, secara langsung mengatasi hambatan yang ditemukan.
4.1. Keterbatasan Metodologi dan Data
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang penting untuk dicatat. Fokus pada satu kota, Banjarmasin, membuat generalisasi temuannya terbatas. Meskipun paper ini mengutip beberapa studi dari kota lain untuk perbandingan, analisisnya tidak bersifat komparatif secara sistematis. Lebih lanjut, data kuantitatif yang disajikan sangat minim, hanya mencakup persentase pemahaman dari studi lain. Tidak ada data numerik asli tentang durasi rata-rata proses IMB, jumlah permohonan yang ditolak, atau persentase pelanggaran yang berhasil ditindak. Hal ini membatasi kedalaman analisis korelasional antara hambatan dan tingkat kepatuhan.
4.2. Pertanyaan Terbuka yang Membutuhkan Riset Lanjutan
Dari keterbatasan di atas, muncul beberapa pertanyaan penting yang membutuhkan penelitian lanjutan:
Setiap rekomendasi berikut disusun berbasis temuan dalam paper ini, dengan justifikasi ilmiah yang kuat.
Penelitian ini merupakan landasan yang krusial bagi pemahaman tentang tantangan implementasi tata kelola perkotaan di Indonesia. Meskipun sistem perizinan daring telah dibangun, tantangan yang berakar pada kesenjangan digital, budaya birokrasi yang belum optimal, dan rendahnya kesadaran publik masih menjadi pekerjaan rumah besar. Temuan ini secara eksplisit menunjukkan bahwa reformasi birokrasi tidak bisa berhenti pada digitalisasi semata, tetapi harus menyentuh aspek-aspek sosio-teknis dan kelembagaan.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi hukum (misalnya, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada), institusi perencanaan kota (misalnya, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB), dan instansi pemerintah terkait (misalnya, Kementerian PUPR) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk merumuskan kebijakan yang berbasis bukti.
Baca selengkapnya di https://doi.org/10.18196/jphk.v3i1.13411