Perencanaan Kota

Mengukur Kerentanan: Data Kuantitatif Dampak Drainase Mowe dan Lima Pilar Agenda Riset untuk Kota Berketahanan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 01 November 2025


Studi berjudul "Condition of Drainage System and Its Impact on the Residents of Mowe, Ogun State, Nigeria" ini menyajikan pemeriksaan kuantitatif yang penting mengenai korelasi antara kondisi infrastruktur drainase perkotaan dan kualitas hidup penduduk di Mowe, sebuah permukiman yang berkembang pesat di Nigeria Barat Daya. Melalui desain penelitian kuantitatif dengan teknik systematic random sampling, studi ini berhasil menjaring 107 responden dari sepuluh kawasan perumahan (tiga milik publik dan tujuh milik swasta) di area studi, menggunakan kuesioner terstruktur dan observasi langsung. Tujuan utama riset ini adalah untuk menilai dampak kondisi infrastruktur drainase terhadap kesejahteraan penghuni, sekaligus mengidentifikasi masalah umum dan upaya mitigasi yang dilakukan.

Alur logis temuan penelitian bergerak dari identifikasi karakteristik infrastruktur menuju dampak yang terukur, dan diakhiri dengan evaluasi upaya mitigasi.

Karakteristik Infrastruktur Drainase

Analisis deskriptif menunjukkan dominasi mutlak sistem drainase permukaan di seluruh kawasan perumahan yang disurvei. Dominasi ini diyakini terkait erat dengan pertimbangan biaya konstruksi dan pemeliharaan yang relatif rendah, suatu pola yang umum di daerah perkotaan Nigeria. Material konstruksi utama yang teridentifikasi adalah blok beton. Meskipun hemat biaya, praktik konstruksi ini menimbulkan kekhawatiran karena keterbatasan kemampuan blok beton untuk menahan beban lateral dan beban hidup di sekitarnya, sehingga berpotensi menjadikannya secara struktural tidak sesuai untuk fungsi drainase jangka panjang.

Data kuantitatif yang dikumpulkan menetapkan bahwa tinggi minimum drainase di area studi adalah 0.1524 meter, sementara tinggi maksimum mencapai 0.889 meter. Lebih lanjut, sekitar tiga perempat dari drainase yang diamati memiliki kedalaman sedang, yaitu 0.5 meter atau di bawahnya.

Status Kondisi dan Kerentanan

Evaluasi kondisi drainase menggunakan metode observasi mengungkapkan variasi yang signifikan. Observasi menyeluruh menunjukkan bahwa hanya 50% dari infrastruktur drainase yang disurvei memenuhi kriteria kelayakan (adequacy criteria). Disparitas ini sangat terlihat di beberapa perumahan yang menunjukkan tanda-tanda kerusakan, penyumbatan sebagian, atau bahkan penyumbatan total. Kondisi ini secara langsung berkorelasi dengan kerentanan wilayah terhadap banjir.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara inadekuasi drainase dan kerentanan banjir dengan koefisien konfirmasi sebesar 65.4% — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru. Mayoritas substansial responden, yaitu 65.4%, mengakui kerentanan alami area studi terhadap kejadian banjir. Analisis temporal lebih lanjut mengungkapkan bahwa periode kejadian banjir paling sering terjadi membentang dari April hingga Oktober, menurut 65.4% responden.

Dampak utama dari banjir yang dialami, sebagaimana dikutip oleh 68.6% responden, adalah kerusakan pada properti. Secara keseluruhan, para responden mencapai konsensus yang kuat (skor rata-rata 3.99) bahwa infrastruktur drainase yang buruk memiliki dampak multifaset pada kondisi hidup mereka. Dampak yang paling menonjol meliputi kondisi jalan yang buruk (skor rata-rata 4.44), peningkatan risiko banjir (skor rata-rata 4.43), dan kondisi kesehatan yang buruk (skor rata-rata 4.19). Hal ini menggarisbawahi kompleksitas masalah yang meluas, mencakup aspek-aspek sanitasi, polusi, dan stabilitas infrastruktur. Upaya mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat, seperti pembangunan drainase tertutup dan praktik pengelolaan sampah yang lebih baik, diakui telah diterapkan, tetapi intensitas dan fokusnya bervariasi antar kawasan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Studi ini memberikan kontribusi signifikan terhadap disiplin Perencanaan Kota dan Teknik Infrastruktur, terutama dalam konteks Negara-negara Berpenghasilan Rendah dan Menengah (L.M.I.C.s), dengan menyajikan data terlokalisasi dan spesifik yang berharga.

Pertama, studi ini mengisi kekosongan riset dengan menyediakan wawasan spesifik dan intervensi yang disesuaikan untuk kebutuhan Mowe, yang memperkuat perlunya studi kasus terperinci untuk mengatasi masalah perkotaan yang hyper-localized. Secara kolektif, temuan ini berfungsi sebagai "panggilan yang jelas" bagi para pembuat kebijakan di Department of Flood and Erosion Control di Ogun State Ministry of Environment untuk segera memformulasikan kebijakan yang relevan.

Kedua, studi ini secara kuantitatif menegaskan hubungan kritis antara kondisi drainase dan kualitas hidup, yang memberikan legitimasi data yang kuat untuk urgensi kebijakan. Tingkat kerusakan properti yang tinggi (68.6%) dan konsensus mengenai kondisi jalan yang buruk (4.44) serta risiko banjir yang meningkat (4.43) memberikan metrik kinerja yang dapat digunakan sebagai garis dasar untuk memantau keberhasilan proyek infrastruktur di masa depan.

Terakhir, dengan mengidentifikasi eksklusivitas drainase permukaan dan kelemahan material blok beton dalam menghadapi beban struktural, studi ini secara langsung menyediakan bukti yang diperlukan untuk meninjau standar desain dan spesifikasi material dalam kontrak pembangunan perumahan di tingkat regional. Efektivitas dan ketahanan sistem ini secara substansial memengaruhi kemampuan kota untuk mempertahankan keberlanjutan di tengah peningkatan urbanisasi.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun memberikan kerangka kuantitatif yang kuat, penelitian ini meninggalkan beberapa pertanyaan terbuka yang krusial untuk agenda riset pasca-studi.

Pertama, observasi yang menyoroti bahwa hanya 50% dari infrastruktur drainase yang dinilai memenuhi kriteria kelayakan (adequacy criteria) tidak menguraikan secara kualitatif atau kuantitatif faktor-faktor yang membuat separuh infrastruktur tersebut berhasil. Penelitian lanjutan perlu menyelidiki variabel desain, pemeliharaan, atau manajemen yang membedakan drainase yang 'memadai' dari yang 'tidak memadai'.

Kedua, walaupun penggunaan blok beton untuk drainase dianggap mengkhawatirkan karena resistensi struktural yang terbatas, studi ini tidak menyajikan data pembanding yang spesifik (misalnya, koefisien kegagalan) dengan material alternatif yang lebih mahal, sehingga pertanyaan mengenai biaya-efektivitas jangka panjang material tetap terbuka untuk diteliti.

Ketiga, upaya mitigasi yang diidentifikasi oleh responden, seperti 'pembangunan drainase tertutup' dan 'praktik pengelolaan sampah', bersifat deskriptif dan umum. Efektivitas sejati dan keberlanjutan finansial dari inisiatif berbasis komunitas ini, serta mekanisme penegakan hukumnya, belum diselidiki, yang menunjukkan perlunya evaluasi intervensi.

Terakhir, dampak dominan pada properti (68.6%) belum dikonversi menjadi kerugian ekonomi moneter yang dapat dikuantifikasi (misalnya, dalam mata uang lokal). Penilaian kerugian yang terperinci ini diperlukan untuk membangun kasus investasi yang kuat bagi pemerintah daerah atau penerima hibah. Keterbatasan ini mendorong agenda riset ke depan untuk fokus pada solusi berkelanjutan dan intervensi yang dapat ditargetkan.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Setiap rekomendasi ini dibangun di atas temuan yang ada, dirancang untuk komunitas akademik, peneliti, dan lembaga pemberi hibah untuk mencapai resolusi jangka panjang yang diperlukan oleh masyarakat di Mowe.

1. Studi Perbandingan Desain dan Material Drainase Berbasis Ketahanan Struktural

Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan dominasi drainase permukaan dengan material utama blok beton, yang secara eksplisit dikhawatirkan memiliki kemampuan terbatas dalam menahan beban lateral dan hidup, sehingga membuatnya "secara struktural tidak layak". Di sisi lain, 50% drainase dianggap memadai. Ketidakcocokan material ini harus segera diatasi untuk mitigasi risiko jangka panjang.

Rekomendasi Riset: Penelitian harus menggunakan metode Analisis Life-Cycle Cost (LCC) untuk membandingkan biaya keseluruhan (konstruksi, pemeliharaan, kegagalan) sistem drainase blok beton (yang saat ini umum) dengan alternatif yang lebih kuat seperti in-situ reinforced concrete atau sistem saluran tertutup yang direkayasa. Riset harus menetapkan Indeks Kegagalan Struktural sebagai variabel baru, mengkorelasikannya dengan Koefisien Resistensi Lateral dan Durasi Kegagalan di berbagai kawasan. Penelitian ini akan menghasilkan rekomendasi spesifikasi material yang tahan lama secara struktural dan berkelanjutan secara finansial untuk badan regulasi.

2. Analisis Spasio-Temporal Risiko Banjir Terperinci dan Pemodelan Hidrologi

Justifikasi Ilmiah: Mayoritas responden (65.4%) mengonfirmasi kerentanan terhadap banjir, dengan puncak kejadian terkonsentrasi antara April dan Oktober. Data temporal ini sangat penting untuk merumuskan strategi kesiapsiagaan yang efektif. Tingkat kerentanan yang sangat tinggi di beberapa permukiman, seperti National Theatre & National Troupe Staff Estate (80.0%), memerlukan pemeriksaan hidrologi yang mendalam.

Rekomendasi Riset: Menggunakan Pemodelan Hidrologi/Hidraulik (misalnya, SWMM), riset harus memfokuskan studi kasus pada permukiman yang paling rentan, seperti National Theatre Estate dan Golden Heritage Estate. Variabel yang diukur harus mencakup Volume Aliran Permukaan (m³/s), Kapasitas Penyaluran Drainase (m³/s), dan Koefisien Runoff Lahan dengan mengintegrasikan data curah hujan historis dari April hingga Oktober. Tujuan akhirnya adalah untuk secara tepat mengidentifikasi titik sumbatan hidraulik dan kelebihan kapasitas, sehingga memungkinkan desain ulang infrastruktur yang akurat untuk Manajemen Air Badai.

3. Evaluasi Dampak Ekonomi Kerusakan Properti Akibat Inadekuasi Drainase

Justifikasi Ilmiah: Temuan secara definitif mengidentifikasi properti sebagai target utama dampak banjir (68.6%). Konsensus umum (mean 3.99) mengenai dampak pada kondisi hidup perlu diperkuat dengan penilaian ekonomi yang konkret untuk memvalidasi urgensi kebijakan. Saat ini, dampak ini bersifat deskriptif, bukan moneter.

Rekomendasi Riset: Penelitian harus menggunakan metodologi Penilaian Kerugian Banjir (Flood Loss Assessment) untuk menghitung Total Kerugian Ekonomi (NN) per rumah tangga per musim hujan. Ini mencakup penilaian biaya langsung (perbaikan struktural, penggantian aset, biaya relokasi) dan biaya tidak langsung (kehilangan pendapatan produktif). Variabel baru adalah Indeks Kerentanan Aset dan Rasio Biaya Kerugian-terhadap-Pendapatan. Hasilnya akan memberikan data Return on Investment (ROI) yang krusial kepada pemerintah dan investor swasta mengenai manfaat investasi yang memadai dalam infrastruktur pencegahan.

4. Penelitian Kualitatif tentang Manajemen Sampah dan Hambatan Perilaku Warga

Justifikasi Ilmiah: Inadekuasi drainase diperparah oleh praktik sanitasi yang buruk, penyumbatan, dan kebiasaan manajemen sampah yang buruk (mean 4.01). Upaya mitigasi yang ada, seperti 'menghindari membuang sampah' dan 'pembangunan drainase tertutup', menunjukkan kesadaran tetapi belum tentu menghasilkan perubahan perilaku yang berkelanjutan. Masalah yang bersifat sosial-perilaku ini tidak dapat dipecahkan hanya dengan intervensi teknik sipil.

Rekomendasi Riset: Menggunakan metodologi kualitatif (wawancara mendalam, observasi partisipatif) pada permukiman dengan tingkat penyumbatan tinggi (misalnya, Dolphin Estate dan Golden Heritage Estate). Penelitian harus menyelidiki Hambatan Perilaku, Persepsi Tanggung Jawab Komunal, dan Motivasi Pengelolaan Sampah. Variabel baru yang dikembangkan adalah Skor Kepatuhan Pengelolaan Sampah Warga dan Indeks Keberlanjutan Perilaku Lingkungan. Data ini akan menjadi dasar bagi perumusan model intervensi sosial-lingkungan yang spesifik dan efektif untuk Departemen Pengendalian Banjir dan instansi terkait.

5. Perumusan Kerangka Hukum dan Mekanisme Penegakan Standar Infrastruktur

Justifikasi Ilmiah: Studi ini menyimpulkan perlunya implikasi kebijakan oleh Department of Flood and Erosion Control. Masalah yang teridentifikasi — desain yang tidak efisien, pemeliharaan yang tidak memadai (50% tidak memadai), dan konstruksi yang salah material — merupakan kegagalan sistemik yang memerlukan solusi regulasi.

Rekomendasi Riset: Melakukan Analisis Komparatif Regulasi antara kerangka kerja perencanaan perkotaan Mowe dan kawasan perkotaan Nigeria/Afrika Barat yang menunjukkan keberhasilan dalam manajemen air badai. Penelitian ini harus menghasilkan Draft Kerangka Hukum Infrastruktur Drainase Mowe yang memuat standar teknis minimum yang jelas (misalnya, melarang blok beton untuk saluran utama), siklus inspeksi rutin (mengatasi masalah 50% inadekuasi), dan mekanisme penalti yang kuat untuk pengembang atau warga yang tidak patuh. Variabel baru adalah Skor Efektivitas Kebijakan (SEK) dan Tingkat Kepatuhan Standar Infrastruktur. Hasilnya akan memberikan fondasi hukum yang kuat untuk mendukung upaya mitigasi yang berkelanjutan.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaborasi

Penelitian ini telah berhasil memetakan kondisi kritis infrastruktur drainase di Mowe dan secara kuantitatif menegaskan dampak buruknya, khususnya terhadap properti dan kesehatan penduduk. Temuan ini menjadi landasan akademik yang kokoh untuk memicu tindakan nyata di tingkat kebijakan dan implementasi. Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil yang optimal dari agenda riset yang telah direkomendasikan, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antara Osun State University (untuk kepakaran akademik dan metodologi), Ogun State Ministry of Environment (untuk implementasi kebijakan dan pendanaan), dan The Developers' Association of Mowe Estates (untuk memastikan kepatuhan standar pembangunan di tingkat lokal). Langkah kolaboratif ini adalah satu-satunya jalan untuk mengubah Mowe dari kota yang rentan banjir menjadi komunitas yang berketahanan dan layak huni, selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Baca paper aslinya di sini

Selengkapnya
Mengukur Kerentanan: Data Kuantitatif Dampak Drainase Mowe dan Lima Pilar Agenda Riset untuk Kota Berketahanan

Perencanaan Kota

Bom Waktu Urbanisasi: Mengungkap Peningkatan 13% Risiko Banjir di Esenyurt, Istanbul, melalui Data Satelit

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025


Menyusun Arah Riset ke Depan: Evaluasi Dampak Historis Urbanisasi pada Risiko Banjir di Istanbul dengan Kerangka HVE

Pengantar dan Jalur Logis Penemuan

Percepatan urbanisasi secara global telah mengubah siklus air perkotaan, yang secara fundamental memperburuk frekuensi dan intensitas banjir. Fenomena ini, yang ditandai dengan peningkatan permukaan kedap air, memicu peningkatan volume dan kecepatan limpasan permukaan, serta memperpendek waktu lag hidrograf sungai. Di tengah tren peningkatan insiden banjir secara global, termasuk di Turki , distrik Esenyurt, Istanbul, muncul sebagai studi kasus penting. Sebagai distrik terpadat di Turki, Esenyurt mengalami pertumbuhan populasi yang cepat dan pembangunan yang intensif, terutama di sekitar Sungai Haramidere. Kawasan ini, yang telah bertransformasi dari desa pertanian pada tahun 1970 menjadi kawasan industri dan residensial padat saat ini, menghadapi risiko banjir yang mematikan, yang berpuncak pada bencana tahun 2022 yang menimbulkan korban jiwa.

Penelitian ini secara historis mengevaluasi risiko banjir yang didorong oleh urbanisasi, memfokuskan analisis pada kerangka Hazard, Vulnerability, dan Exposure (HVE). Dalam konteks perkotaan yang dinamis, kerangka HVE, khususnya komponen Exposure (Paparan), menjadi krusial karena menilai individu dan properti di area risiko, yang sangat dipengaruhi oleh tren tata guna lahan.

Jalur logis penemuan dimulai dengan penggunaan teknologi Penginderaan Jauh (Remote Sensing/RS) dan Sistem Informasi Geografis (GIS). Untuk melacak perubahan historis bangunan dalam periode 2014–2022, data satelit Landsat-8 digunakan, yang dianalisis menggunakan indeks seperti NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), NDBI (Normalized Difference Built-up Index), dan BU (Built-up). Indeks ini memungkinkan penentuan waktu pembangunan bangunan secara retrospektif, yang kemudian diklasifikasikan berdasarkan fungsinya (residensi, komersial, industri).

Tahap selanjutnya adalah analisis risiko. Data Hazard (Bahaya) berupa kedalaman dan area genangan banjir dengan periode ulang 100 tahun diambil dari model hidrodinamika tahun 2014 oleh İSKİ (Direktorat Jenderal Administrasi Air dan Saluran Air Istanbul). Dengan mengasumsikan area dan kedalaman genangan ini konstan, perubahan risiko banjir dihitung berdasarkan pertumbuhan Exposure (Paparan), yaitu bangunan baru yang masuk ke zona bahaya sepanjang periode 2014 hingga 2022.

Perhitungan risiko banjir total didasarkan pada dua komponen: Kerusakan Ekonomi dan Populasi Terdampak. Kerusakan Ekonomi ditentukan dari luas lantai bangunan, biaya unit konstruksi (difikskan pada nilai 2022 untuk menghindari inflasi), dan fungsi kedalaman-kerusakan JRC Eropa. Sementara itu, risiko Populasi Terdampak dihitung berdasarkan jumlah bangunan, jumlah lantai, dan ukuran rumah tangga (3,43 orang per rumah tangga), dengan asumsi semua orang di area genangan akan terdampak.

Dari alur metodologis ini, temuan kuantitatif yang mengkhawatirkan muncul, menunjukkan keterkaitan yang kuat antara urbanisasi yang tidak terencana dengan peningkatan risiko bencana.

Sorotan Data Kuantitatif dan Implikasi Jangka Panjang

Analisis terhadap 1.051 poligon bangunan yang berada di dalam zona genangan banjir pada tahun 2022 menunjukkan tren ekspansi perkotaan yang signifikan. Secara keseluruhan, jumlah total bangunan di area genangan meningkat sebesar 13.9% antara tahun 2014 dan 2022 (dari 922 menjadi 1.051 bangunan). Temuan yang lebih deskriptif menunjukkan pertumbuhan bangunan industri mencatat peningkatan tertinggi yaitu 32.2% , sementara bangunan residensial meningkat sebesar 12.9%. Lonjakan pembangunan ini, yang terlihat jelas pada tahun-tahun 2016, 2017, dan 2021, secara langsung berkorelasi dengan ekspansi paparan terhadap bahaya banjir.

Dampak dari pertumbuhan Exposure ini terhadap risiko total adalah penemuan kunci dari studi ini:

  • Peningkatan Risiko Total: Hasil menunjukkan bahwa dari tahun 2014 hingga 2022, peningkatan urbanisasi menyebabkan peningkatan total risiko banjir sebesar 13.6%. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara ekspansi urban dan risiko bencana, menyoroti potensi kerentanan jangka panjang yang signifikan di wilayah Esenyurt.
  • Populasi Terdampak: Peningkatan urbanisasi menyebabkan kenaikan jumlah populasi yang terdampak banjir sebesar 32.9%. Angka ini mencerminkan 12.471 orang tambahan yang berpotensi terdampak dalam waktu delapan tahun. Walaupun rasio populasi terdampak terhadap total populasi distrik Esenyurt relatif menurun karena laju pertumbuhan penduduk yang jauh lebih tinggi di distrik tersebut, temuan ini menunjukkan bahwa eksposur individu di zona bahaya tumbuh dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.
  • Kerusakan Ekonomi: Potensi kerusakan ekonomi meningkat sebesar 22.3%. Kerusakan total selama periode 2014–2022 menunjukkan peningkatan sekitar 143 juta TL. Analisis kerusakan secara deskriptif mengungkapkan bahwa sebagian besar kerugian terjadi pada bangunan residensial, yang kontribusinya terhadap total kerusakan meningkat sebesar 11.6% (sekitar 90 juta TL). Kerusakan pada bangunan komersial dan industri juga menunjukkan peningkatan yang substansial, masing-masing 4.2% (sekitar 30 juta TL) dan 2.4% (sekitar 18 juta TL).

Temuan kuantitatif ini secara tegas menyimpulkan bahwa urbanisasi cepat dan terpusat di kawasan aliran sungai merupakan katalis utama peningkatan risiko. Keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang terletak pada gagasan bahwa tanpa strategi perencanaan kota yang efektif, kerugian ekonomi dan sosial akan terus meningkat secara eksponensial. Mengingat biaya unit bangunan yang tinggi, khususnya pada konstruksi vertikal terbaru di Esenyurt, risiko ini bukan hanya masalah frekuensi banjir, tetapi juga masalah nilai aset yang berisiko.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama studi ini terhadap bidang mitigasi risiko bencana perkotaan dan perencanaan wilayah sangat unik karena pendekatannya yang berbasis data dan historis. Studi ini secara eksplisit mengkombinasikan teknologi Penginderaan Jauh (RS) dan Sistem Informasi Geografis (GIS) dengan kerangka konseptual Hazard, Vulnerability, Exposure (HVE) untuk melakukan analisis risiko banjir yang berpusat pada bangunan (building-based).

Secara spesifik, studi ini memberikan:

  1. Metodologi Historis Berbasis Indeks: Penggunaan Landsat-8 dan indeks NDVI, NDBI, serta BU untuk merekonstruksi tahun pembangunan bangunan (historical background) di area genangan dari tahun 2014 hingga 2022 adalah inovatif dan memberikan bukti kuat mengenai waktu ekspansi exposure.
  2. Kuantifikasi Risiko yang Holistik: Dengan menggabungkan risiko ekonomi (berdasarkan unit biaya, luas lantai, dan fungsi kedalaman-kerusakan) dan risiko populasi (berdasarkan kepadatan rumah tangga), penelitian ini menghasilkan penilaian risiko total yang lebih komprehensif, tidak hanya berfokus pada bahaya fisik semata.
  3. Bukti Empiris untuk Perencanaan Kota: Studi ini memberikan bukti empiris mengenai dampak langsung dari pengembangan urban pada sistem hidrologi. Dengan menunjukkan peningkatan risiko total sebesar 13.6% yang diakibatkan oleh perubahan exposure, ini menjadi referensi kritis bagi perumusan kebijakan perencanaan dan mitigasi yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kontribusi metodologisnya kuat, studi ini memiliki beberapa keterbatasan yang harus diakui sebagai dasar untuk riset ke depan:

  1. Asumsi Bahaya (Hazard) Statis: Asumsi bahwa area genangan dan kedalaman banjir (komponen Hazard) tetap konstan sejak tahun 2014 adalah keterbatasan yang signifikan. Dalam delapan tahun, perubahan tata guna lahan (LULC) yang intensif pasti memengaruhi respons hidrologi Haramidere, yang berarti area dan kedalaman genangan yang digunakan mungkin tidak sepenuhnya akurat mencerminkan kondisi tahun 2022.
  2. Keterbatasan Data Kerusakan Lokal: Penggunaan fungsi kedalaman-kerusakan generik JRC Eropa sebagai pengganti data kerusakan historis lokal di Turki dapat memengaruhi akurasi perhitungan kerugian ekonomi. Fungsi kerusakan yang lebih spesifik untuk tipe bangunan dan konten di Istanbul diperlukan.
  3. Kepadatan Populasi: Perhitungan risiko populasi hanya didasarkan pada populasi malam (ukuran rumah tangga 3,43) dan mengasumsikan semua orang di area genangan terdampak, terlepas dari kedalaman air. Pendekatan ini mengabaikan dinamika populasi harian (siang/malam) dan mitigasi risiko yang mungkin terjadi di tingkat bangunan.

Berdasarkan keterbatasan ini, muncul pertanyaan terbuka mendasar:

  • Bagaimana perubahan aktual LULC di Haramidere Basin telah mengubah karakteristik hidrodinamika (debit puncak dan area genangan) sejak 2014, dan seberapa besar kontribusi perubahan LULC ini terhadap peningkatan risiko Hazard yang sebenarnya?
  • Bagaimana dampak perubahan iklim jangka panjang (misalnya, peningkatan curah hujan ekstrem) akan mengubah komponen Hazard HVE di Esenyurt, dan bagaimana perencanaan kota saat ini akan menahan skenario yang lebih ekstrem?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset, studi ini menetapkan lima arah riset ke depan yang krusial untuk mencapai ketahanan kota berkelanjutan:

1. Integrasi Data Perubahan Iklim ke dalam Model HVE Dinamis

  • Basis Temuan: Peningkatan risiko banjir total sebesar 13.6% , yang didorong oleh Exposure statis (Hazard 100-tahun periode ulang 2014 yang diasumsikan tetap).
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian selanjutnya harus memodifikasi komponen Hazard (H) dalam model HVE dengan mengintegrasikan skenario proyeksi perubahan iklim jangka panjang (misalnya, simulasi curah hujan ekstrem tahun 2050 dan 2100). Ini melampaui asumsi periode ulang statis, memberikan peta risiko dinamis yang lebih realistis dan berkelanjutan.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Penting untuk memprediksi risiko banjir dalam kondisi iklim di masa depan, bukan hanya berdasarkan data hidrologi historis, untuk memastikan perencanaan kota memiliki ketahanan jangka panjang.

2. Pemodelan Hidrodinamika dengan Variabel Lahan Basah dan LULC Terperinci

  • Basis Temuan: Asumsi bahwa area genangan dan kedalaman tetap konstan sejak 2014 , meskipun Landsat-8 telah mendeteksi peningkatan pesat pada area terbangun. Peningkatan permukaan kedap air dapat meningkatkan aliran puncak.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian lanjutan harus memodelkan ulang dinamika Haramidere menggunakan model hidrologi-hidrodinamika 2D yang diperbarui. Variabel baru: koefisien limpasan (runoff coefficient) yang diperbarui berdasarkan peta LULC tahun 2022 (yang menunjukkan peningkatan Built-Up Area) dan kondisi sungai pasca-rehabilitasi (jika ada). Ini akan menghasilkan area genangan dan kedalaman (H) yang dinamis yang dipengaruhi oleh urbanisasi (LULC), yang akan dikalikan dengan Exposure terkini.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Harus dipastikan bahwa perhitungan risiko didasarkan pada perubahan Hazard yang sebenarnya, bukan hanya pada pertumbuhan Exposure, untuk mengisolasi peran LULC dalam memperburuk bahaya.

3. Analisis Sensitivitas Kedalaman-Kerusakan Berbasis Sektor Lokal

  • Basis Temuan: Penggunaan fungsi kedalaman-kerusakan generik Eropa dan penemuan bahwa bangunan industri mengalami peningkatan signifikan sebesar 32.2% dengan kerugian ekonomi yang bervariasi secara sektoral (misalnya, 150% kerusakan bangunan untuk konten industri).
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Kembangkan fungsi kedalaman-kerusakan empiris yang spesifik untuk konteks Istanbul dan Turki. Variabel baru: Tentukan koefisien kerusakan untuk aset industri (termasuk mesin dan gangguan rantai pasok) dan aset komersial (termasuk kerugian bisnis) yang spesifik, dengan mengumpulkan data kerugian dari peristiwa banjir Esenyurt.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Akurasi kerugian ekonomi, yang merupakan komponen 50% dari Risiko Total, sangat bergantung pada fungsi ini. Penelitian harus memvalidasi data kerugian yang lebih akurat untuk memandu prioritas investasi mitigasi.

4. Pemantauan Keputusan Perencanaan Kota dengan RS Tepat Waktu dan Resolusi Tinggi

  • Basis Temuan: Peningkatan tajam urbanisasi pada tahun 2016, 2017, dan 2021 serta penekanan pada peran kritis perencanaan kota dalam mitigasi.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Gunakan data satelit resolusi spasial yang lebih tinggi daripada Landsat-8, seperti Sentinel-2 atau bahkan citra komersial, diintegrasikan dengan teknologi drone dan GIS untuk memantau kepatuhan pembangunan baru terhadap rencana zonasi. Metode: Lacak penggunaan indeks seperti NDBI dan BU secara near-real-time untuk memverifikasi apakah bangunan baru yang terdeteksi berada di luar zona bahaya yang diproyeksikan.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini diperlukan untuk menutup kesenjangan antara kebijakan perencanaan dan implementasi lapangan, mengubah peran RS dari alat analisis historis menjadi alat audit dan penegakan regulasi.

5. Model Risiko Populasi Berbasis Waktu dan Kepadatan Vertikal

  • Basis Temuan: Ditemukan bahwa mayoritas kerugian terjadi pada bangunan tempat tinggal. Selain itu, analisis populasi mengasumsikan bahwa semua orang di area genangan akan terdampak terlepas dari kedalaman air. Esenyurt ditandai dengan bangunan bertingkat tinggi dan kepadatan tinggi.
  • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian selanjutnya harus memasukkan variabel baru: waktu (populasi siang vs malam) dan kepadatan vertikal (jumlah lantai) pada perhitungan risiko populasi. Variabel ini akan membantu mengidentifikasi bangunan tinggi di area genangan yang memiliki populasi Exposure yang sangat tinggi dan kerentanan yang berbeda dibandingkan bangunan satu lantai.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Model risiko populasi yang lebih spesifik dibutuhkan untuk meningkatkan akurasi penilaian kerentanan sosial dan memprioritaskan evakuasi atau perlindungan infrastruktur vertikal, terutama di distrik padat penduduk.

Penelitian ini telah menyajikan bukti kuat bahwa laju urbanisasi yang pesat di Esenyurt, Istanbul, telah secara nyata dan terukur meningkatkan risiko banjir melalui peningkatan Paparan (Exposure). Konektivitas antara temuan saat ini (peningkatan risiko 13,6%) dengan potensi jangka panjang adalah jelas: mengabaikan perencanaan kota yang sensitif terhadap hidrologi akan terus meningkatkan kerusakan ekonomi yang terukur dalam jutaan lira dan mengancam nyawa ribuan penduduk.

Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil ini dalam skala yang lebih luas, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multisektoral. Penelitian ini harus melibatkan institusi İSKİ (Direktorat Jenderal Administrasi Air dan Saluran Air Istanbul) untuk data hidrodinamika yang diperbarui, İBB (Kota Metropolitan Istanbul) untuk integrasi kebijakan perencanaan kota, dan AFAD (Otoritas Manajemen Bencana dan Darurat) untuk validasi data kerugian ekonomi, guna memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di masa depan.

Baca paper aslinya di sini.

 

Selengkapnya
Bom Waktu Urbanisasi: Mengungkap Peningkatan 13% Risiko Banjir di Esenyurt, Istanbul, melalui Data Satelit

Perencanaan Kota

Memetakan Risiko Pontianak 2050: Apakah Jalan Lingkar Cukup untuk Melawan Banjir?

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025


 

Analisis kerentanan banjir di Pontianak, sebuah kota yang terbelah sungai di ekuator, menunjukkan tantangan finansial yang signifikan. Kerugian tahunan akibat banjir diproyeksikan melonjak dari US$30 juta pada tahun 2015 menjadi US$83,6 juta pada tahun 2055. Menghadapi proyeksi ini, penelitian oleh Gultom et al. (2022) melakukan analisis spasial kuantitatif untuk memetakan dan membandingkan kerentanan banjir kota antara kondisi tahun 2020 dan proyeksi tahun 2050.

Studi ini membangun model kerentanan yang didasarkan pada dua variabel utama: Efisiensi Rute Evakuasi dan Kapasitas Penampungan (Shelter).

Untuk mengukur Efisiensi Rute Evakuasi, penelitian ini menggunakan metode Space Syntax. Metodologi ini menganalisis jaringan kota secara topologis untuk menghasilkan nilai "Integrasi Rata-rata" (AI). Secara sederhana, nilai AI yang tinggi menunjukkan bahwa segmen jalan mudah diakses dari semua bagian lain kota, menjadikannya rute evakuasi yang efisien.

 

Untuk mengukur Kapasitas Penampungan, penelitian ini menggunakan formula "Capacity Rate" (CR), yang membandingkan total area shelter yang tersedia (SA) dengan jumlah korban banjir yang diproyeksikan (FV). Jumlah korban (FV) dihitung berdasarkan data kepadatan penduduk (PD) dan area cakupan banjir (FC). Standar area 3m² per orang digunakan untuk menentukan kapasitas maksimum shelter. Sebuah distrik dianggap "memadai" jika CR-nya 100% atau lebih, yang berarti dapat menampung semua korban yang diproyeksikan.

Hasil dari kedua pengukuran ini (AI dan CR) diplot ke dalam diagram kuadran untuk mengklasifikasikan kerentanan setiap distrik:

Kuadran 1 (Kerentanan Rendah): AI tinggi, CR memadai.

Kuadran 2 (Kerentanan Sedang): AI rendah, CR memadai.

Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi): AI rendah, CR tidak memadai.

Kuadran 4 (Kerentanan Sedang): AI tinggi, CR tidak memadai.

Pada tahun 2020, data menunjukkan median AI kota adalah 0.57. Dua distrik, Pontianak Utara (AI 0.42) dan Pontianak Barat (AI 0.55), berada di bawah median, menunjukkan efisiensi rute evakuasi yang rendah. Secara kapasitas, hanya Pontianak Pusat (CR 322%) dan Pontianak Tenggara (CR 3147%) yang terbukti memadai. Empat distrik lainnya tidak memadai, dengan Pontianak Utara (25%) dan Pontianak Selatan (42%) menunjukkan defisit terbesar. Kombinasi ini menempatkan Pontianak Utara dan Pontianak Barat di Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi) pada tahun 2020.

Perbandingan dengan proyeksi 2050 menjadi inti dari temuan penelitian ini. Skenario 2050 memasukkan dua perubahan besar: rencana implementasi jalan lingkar baru dan peningkatan kepadatan penduduk.

Temuan di 2050 menunjukkan dinamika yang kompleks. Pertama, implementasi jalan lingkar terbukti berhasil meningkatkan konektivitas. Efek paling dramatis terlihat di Pontianak Barat, di mana AI melonjak dari 0.55 (Rendah) menjadi 0.65 (Tinggi). Peningkatan efisiensi rute ini berhasil memindahkan Pontianak Barat dari Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi) ke Kuadran 4 (Kerentanan Sedang).

Namun, keberhasilan infrastruktur ini dibayangi oleh risiko kedua: penurunan kapasitas shelter akibat pertumbuhan penduduk. Meskipun jumlah shelter diasumsikan tetap, CR menurun di semua distrik. Penurunan paling tajam terjadi di Pontianak Timur (dari 73% ke 32%) dan Pontianak Utara (dari 25% ke 11%). Bahkan distrik yang "aman" seperti Pontianak Pusat mengalami penurunan CR dari 322% menjadi 260%.

 

Secara keseluruhan, paper ini menyimpulkan bahwa Kota Pontianak akan menjadi lebih tangguh (resilient) terhadap banjir di masa depan, terutama karena peningkatan signifikan dalam efisiensi rute evakuasi yang disediakan oleh jalan lingkar. Namun, penelitian ini secara tegas mengidentifikasi penurunan drastis capacity rate sebagai risiko serius yang harus segera ditangani.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian Gultom et al. (2022) memberikan beberapa kontribusi penting bagi komunitas perencana kota dan manajemen bencana:

1. Model Kerentanan Dua Variabel: Mengembangkan dan menerapkan kerangka kerja kuantitatif yang jelas (AI + CR) untuk menilai kerentanan, beralih dari penilaian kualitatif umum ke metrik yang dapat ditindaklanjuti.

2. Aplikasi Space Syntax untuk Bencana: Secara spesifik menerapkan Space Syntax, yang sering digunakan untuk analisis ekonomi atau lalu lintas, sebagai alat untuk mengukur efektivitas evakuasi bencana di kota sungai yang kompleks.

3. Analisis Dampak Infrastruktur Proyektif: Memberikan studi kasus langka yang tidak hanya memetakan risiko saat ini (2020), tetapi juga memodelkan dampak kuantitatif dari rencana infrastruktur masa depan (jalan lingkar 2050) terhadap resiliensi kota.

4. Alat Bantu Kebijakan Berbasis Data: Menghasilkan peta kerentanan berbasis kuadran (Gbr. 8) yang secara visual membedakan distrik berisiko tinggi (Q3) versus distrik yang hanya kekurangan shelter (Q4) atau hanya kekurangan akses (Q2), memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih terfokus.

 

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kokoh secara metodologis, penelitian ini juga secara jujur menyoroti keterbatasan yang membuka jalan bagi riset di masa depan:

Keterbatasan Kualitas Rute (AI): Metrik AI murni bersifat topologis (jumlah belokan dan koneksi). Paper ini menemukan bahwa desain jalan lingkar yang direncanakan di beberapa distrik (seperti Barat, Pusat, dan Selatan) terlalu berliku dan memiliki banyak belokan, yang membuatnya kurang efektif dalam analisis Space Syntax dibandingkan dengan desain yang lurus (seperti di Utara). Pertanyaan Terbuka: Bagaimana merancang infrastruktur evakuasi yang optimal secara sintaksis (lurus, sedikit belokan) dalam konteks tata ruang kota yang sudah padat?

Keterbatasan Blokade Banjir (AI vs. Hazard): Temuan krusial adalah bahwa Space Syntax mengukur efisiensi dalam kondisi normal. Penelitian ini menemukan bahwa banyak rute dengan AI tinggi (dianggap efisien) di Pontianak Timur, Selatan, dan Pusat, justru berada di area yang berpotensi tergenang banjir (lihat Gbr. 3). Ini berarti rute "terbaik" mungkin tidak dapat diakses saat dibutuhkan. Pertanyaan Terbuka: Bagaimana kita dapat mengembangkan model efisiensi rute yang mengintegrasikan konektivitas topologis (AI) dengan data hazard (blokade banjir) secara dinamis?

Keterbatasan Lokasi Shelter (CR): Metrik CR mengukur total area shelter yang tersedia, bukan aksesibilitas atau keamanannya. Paper ini menemukan masalah signifikan di mana banyak area shelter potensial (terutama di Pontianak Utara dan Barat) justru terletak di dalam zona potensi banjir. Pertanyaan Terbuka: Di mana lokasi optimal untuk membangun shelter baru agar (a) aman dari genangan dan (b) terhubung secara efisien ke rute evakuasi AI tinggi yang juga aman?

 

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan kuantitatif dan keterbatasan yang teridentifikasi, kami merekomendasikan lima jalur penelitian lanjutan yang spesifik untuk memperdalam pemahaman dan solusi manajemen risiko banjir:

1. Pengembangan Model Hibrid: "AI Evakuasi Realistis" (AI + Hazard Overlay)

Justifikasi: Penelitian ini menunjukkan konflik antara rute berefisiensi AI tinggi dan lokasinya yang rawan banjir. Hubungan antara efisiensi rute dan ketersediaannya saat bencana masih belum teruji.

Metode: Penelitian selanjutnya harus mengembangkan model hibrid. Gunakan Space Syntax (AI) sebagai baseline konektivitas, lalu terapkan overlay GIS dari peta hazard (seperti Gbr. 3) untuk secara dinamis 'menonaktifkan' atau memberi penalti pada segmen jalan yang tergenang.

Signifikansi: Ini akan menghasilkan metrik baru—"AI Evakuasi Realistis"—yang mengukur konektivitas rute yang benar-benar dapat diakses saat banjir. Temuan ini akan menunjukkan apakah distrik dengan AI tinggi seperti Pontianak Selatan (AI 0.67) benar-benar se-resilien yang terlihat.

 

2. Analisis Sensitivitas Desain Jalan Lingkar

Justifikasi: Studi ini menemukan bahwa tidak semua desain jalan lingkar memberikan dampak AI yang sama; desain yang lurus di Pontianak Utara lebih efektif secara sintaksis daripada desain yang berliku di distrik lain.

Metode: Melakukan analisis sensitivitas ex-ante. Daripada hanya menguji satu master plan, riset selanjutnya harus memodelkan 3-5 skenario desain jalan lingkar alternatif (misalnya, rute yang lebih lurus, penambahan jembatan konektor baru, atau grade-separated interchange) dan membandingkan dampaknya terhadap AI di distrik-distrik yang paling tertinggal.

Signifikansi: Memberikan data kuantitatif kepada perencana kota tentang desain infrastruktur mana yang memberikan peningkatan resiliensi (AI) tertinggi per investasi, memastikan rencana masa depan lebih efektif.

 

3. Model Optimasi Lokasi Shelter (Shelter Siting)

Justifikasi: Dua masalah shelter utama teridentifikasi: (1) Banyak shelter eksisting berada di zona banjir (misal di Pontianak Utara dan Barat), dan (2) CR menurun drastis di semua distrik pada 2050 (misal, Pontianak Timur turun dari 73% ke 32%).

Metode: Menggunakan multi-criteria decision analysis (MCDA) atau model location-allocation untuk mengidentifikasi lokasi shelter baru yang optimal. Variabel input krusial harus mencakup: (1) Berada di luar "Flood potential area", (2) Konektivitas tinggi ke jaringan "AI Evakuasi Realistis" (dari Rekomendasi 1), dan (3) Kedekatan dengan area berkepadatan korban banjir (FV) tertinggi.

Signifikansi: Beralih dari sekadar menghitung defisit kapasitas menjadi memberikan solusi penempatan yang strategis, memastikan shelter baru aman, dapat diakses, dan melayani populasi yang paling rentan.

 

4. Analisis Dampak Mitigasi Non-Struktural terhadap Defisit CR

Justifikasi: Penelitian ini berfokus pada solusi struktural (jalan dan bangunan). Namun, penurunan CR terbesar didorong oleh faktor sosial (peningkatan kepadatan penduduk).

Metode: Riset mixed-methods yang menguji efektivitas intervensi non-struktural untuk mengimbangi defisit CR. Variabel baru untuk diuji dapat mencakup: (1) Efektivitas sistem peringatan dini dalam mendorong evakuasi mandiri, (2) Kelayakan evakuasi vertikal (menggunakan bangunan publik tinggi yang ada sebagai shelter sementara), atau (3) Skema asuransi bencana untuk mengurangi kebutuhan akan shelter publik.

Signifikansi: Menjawab pertanyaan apakah mitigasi non-infrastruktur dapat mengkompensasi defisit kapasitas shelter yang masif (seperti di Pontianak Utara, CR hanya 11% pada 2050) ketika pembangunan shelter baru secara fisik atau finansial tidak memungkinkan.

 

5. Validasi Model (AI + CR) di Tipologi Kota Sungai Lainnya

Justifikasi: Paper ini secara eksplisit menyarankan penelitian lebih lanjut di lokasi lain di Kalimantan ("Pulau Seribu Sungai"). Model ini sangat dipengaruhi oleh topologi unik Pontianak yang terbelah sungai besar dan bergantung pada jembatan serta feri.

Metode: Replikasi metodologi (AI + CR) di kota-kota sungai lain dengan tantangan serupa (misalnya, Banjarmasin, Samarinda, Palembang) yang juga memiliki jaringan kanal historis dan ketergantungan pada infrastruktur penghubung.

Signifikansi: Menguji validitas eksternal dan generalisasi model Gultom et al. Ini akan menentukan apakah temuan bahwa "jalan lingkar meningkatkan resiliensi" adalah prinsip universal untuk kota sungai, atau hanya berlaku untuk konfigurasi spesifik Pontianak.

Penelitian Gultom et al. telah meletakkan dasar yang kuat dengan mengidentifikasi dinamika ganda antara peningkatan konektivitas infrastruktur dan penyusutan kapasitas sosial. Namun, temuan ini baru permulaan.

Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi akademik seperti Universitas Tanjungpura, badan perencanaan kota (BAPPEDA), dan badan penanggulangan bencana nasional (BNPB) serta dinas pekerjaan umum. Mengintegrasikan pemodelan akademis dengan kebutuhan praktis para pembuat kebijakan adalah langkah penting berikutnya untuk mewujudkan Pontianak yang benar-benar tangguh di masa depan.

Baca paper aslinya di sini: https://doi.org/10.14246/irspsd.10.3_170

Selengkapnya
Memetakan Risiko Pontianak 2050: Apakah Jalan Lingkar Cukup untuk Melawan Banjir?

Perencanaan Kota

Mengubah Ruang Hijau Kota Menjadi Benteng Anti-Bencana: Studi Kasus Nanjing dan Model Pencocokan Suplai-Permintaan.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025


Mengubah Paradigma Perencanaan Ruang Hijau Bencana: Memastikan Kecocokan Suplai dan Permintaan di Metropolis Padat

Urbanisasi yang pesat telah mengubah kota-kota metropolitan padat menjadi simpul kerentanan tinggi terhadap berbagai bencana, termasuk bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Konsentrasi tinggi populasi, material, dan infrastruktur memperparah dampak silang bencana, yang menuntut pendekatan perencanaan mitigasi yang lebih cerdas. Ruang Hijau Pencegahan dan Penghindaran Risiko Bencana (DPRAGS) adalah komponen penting dari sistem pencegahan bencana eksternal perkotaan, menyediakan fungsi vital seperti perlindungan, evakuasi, dan penyimpanan material darurat.

Di masa lalu, perencanaan DPRAGS seringkali hanya berfokus pada tata letak yang seimbang (equilibrium) dari sisi suplai, yang bertujuan mendistribusikan ruang hijau secara merata. Namun, pendekatan ini memiliki cacat fundamental: ia cenderung mengabaikan distribusi risiko bencana yang kompleks dan, yang lebih penting, permintaan populasi yang sesungguhnya di lokasi yang paling berisiko. Akibatnya, muncul kesenjangan yang luas antara suplai dan permintaan ruang hijau perlindungan—area yang ditandai dengan suplai yang tidak memadai, aksesibilitas rendah, dan pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien, khususnya di saat kritis.

Penelitian ini secara eksplisit mengatasi kekurangan metodologis ini. Studi ini berfokus pada peningkatan efisiensi DPRAGS dari perspektif pencocokan suplai dan permintaan (supply and demand matching), dengan mengambil area perkotaan utama Nanjing, China—sebuah metropolis padat yang representatif—sebagai studi kasus. Dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (GIS) dan model cakupan kapasitas maksimal terbatas (maximum capacity limitation coverage model), penelitian ini membangun jalur logis yang komprehensif untuk perencanaan tata ruang yang jauh lebih rasional dan responsif terhadap kebutuhan manusia.

Jalur Logis Perjalanan Temuan (Parafrase Isi Paper)

Penelitian ini dibangun di atas kerangka kerja empat fase yang logis, yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara perencanaan DPRAGS berbasis suplai dan realitas kerentanan multi-risiko:

Fase 1: Analisis Kesiapan dan Batas Layanan Infrastruktur

Langkah pertama adalah menetapkan parameter operasional sistem darurat perkotaan. Ini melibatkan penentuan cakupan layanan agensi penyelamat (medis, pemadam kebakaran) dan analisis jaringan jalan darurat. Ditemukan bahwa radius layanan efektif dari kendaraan penyelamat di area studi ditentukan antara 1,750 m hingga 2,500 m. Jangkauan ini, dihitung berdasarkan kecepatan respons yang realistis dalam rentang waktu kritis (misalnya, 3–5 menit), mendefinisikan batas fisik dan kognitif untuk seberapa cepat populasi dapat mengakses DPRAGS. Batas layanan ini berfungsi sebagai dasar untuk menentukan unit tata ruang DPRAGS yang terintegrasi, yang memastikan setiap unit permintaan populasi dapat dijangkau oleh suplai perlindungan dalam batas waktu emas (Golden Hour) respons darurat.

Fase 2: Pemetaan Risiko Multi-Bencana dan Bobot Relatif

Melalui kerangka penilaian risiko yang komprehensif—mencakup Bahaya (Hazard), Paparan (Exposure), dan Kerentanan (Vulnerability)—penelitian ini mengidentifikasi empat jenis bencana utama di Nanjing: gempa bumi, bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Dengan menggunakan metode pembobotan (seperti AHP dan penilaian ahli), sebuah sistem indeks risiko multi-bencana dikembangkan. Misalnya, analisis risiko gempa menunjukkan bahwa faktor Bahaya ($B_{1}$) memiliki bobot dominan sebesar 0.56, menekankan peran penting ancaman fisik primer. Dengan menggabungkan bobot ini, penelitian menghasilkan peta risiko multi-bencana terperinci. Peta ini bukan hanya untuk informasi, tetapi menjadi input krusial dalam menentukan permintaan perlindungan, sebab permintaan harus lebih tinggi di wilayah yang memiliki risiko komprehensif yang lebih besar.

Fase 3: Analisis Pencocokan Suplai-Permintaan dengan Kendala Kapasitas

Ini adalah inti inovasi. Suplai DPRAGS efektif dihitung dengan mempertimbangkan bukan hanya area total, tetapi juga kapasitas perlindungan yang sebenarnya. Secara umum, area perlindungan efektif diperkirakan mencapai 60% dari total area ruang hijau, mengasumsikan area terbuka yang benar-benar dapat digunakan untuk penampungan. Pendekatan ini juga menerapkan konsep bersarang (nested), di mana ruang hijau perlindungan yang lebih tinggi (Jangka Panjang/LTRGS) dapat menutupi dan mendukung kebutuhan ruang hijau tingkat yang lebih rendah (Jangka Pendek-Menengah/SMTRGS).

Di sisi permintaan, kebutuhan area perlindungan dihitung untuk setiap unit permintaan (berbasis komunitas) menggunakan koefisien bencana komprehensif. Dalam perhitungan kebutuhan area, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Kepadatan Populasi dan kebutuhan perlindungan, dengan koefisien 0.78 (sebagai contoh temuan) — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam perencanaan yang benar-benar berpusat pada manusia dan risiko. Berdasarkan koefisien ini, kebutuhan area perlindungan per kapita ditetapkan secara tegas: Ruang Hijau Perlindungan Darurat (ERGS) membutuhkan 1.0 $m^{2}/orang$, SMTRGS 2.0 $m^{2}/orang$, dan LTRGS 5.0 $m^{2}/orang$.

Akhirnya, hubungan pencocokan antara suplai dan permintaan diklarifikasi menggunakan model cakupan kapasitas maksimal dengan kendala kapasitas. Model ini secara matematis memaksa area perlindungan yang tersedia untuk tidak melebihi kapasitas yang dibutuhkan, sekaligus memastikan tidak ada unit permintaan yang terlewatkan—sebuah keharusan dalam kota padat yang minim lahan.

Fase 4: Perencanaan Tata Ruang Berbasis Unit dan Strategi Lokasi

Berdasarkan hasil analisis fase 3, unit tata ruang DPRAGS dibagi dan direncanakan. Strategi "tiga langkah" digunakan untuk menentukan batas unit (misalnya, radius layanan, jaringan jalan, dan batas risiko). Perencanaan tata ruang difokuskan pada peningkatan fungsi dan koordinasi spasial DPRAGS yang ada dan memprioritaskan perluasan baru hanya di area yang menunjukkan kesenjangan suplai-permintaan yang signifikan. Hasil studi ini menegaskan bahwa metode perencanaan terunitisasi yang berbasis pencocokan suplai dan permintaan secara signifikan lebih efektif dalam memenuhi persyaratan perlindungan dan meningkatkan rasionalitas tata ruang dibandingkan dengan metode konvensional.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi yang transformatif bagi perencanaan kota dan mitigasi bencana:

  • Pergeseran Paradigma ke Pencocokan: Kontribusi utama adalah mengalihkan fokus dari keseimbangan distribusi berbasis suplai ke model yang memaksakan pencocokan antara suplai area perlindungan dengan permintaan populasi yang dipengaruhi oleh risiko multi-bencana.
  • Pengembangan Metodologi Unit Terintegrasi: Studi ini memvalidasi metode perencanaan DPRAGS berbasis unit (unitized planning method) yang menggabungkan struktur jaringan "titik-garis-permukaan" (point-line-surface) dengan analisis risiko. Model maximum capacity limitation coverage secara eksplisit mengatasi masalah alokasi sumber daya yang tidak rasional di tengah kendala lahan.
  • Sistem Indikator Permintaan yang Diperkaya: Penelitian ini memperkaya analisis permintaan dengan membangun sistem indikator yang memasukkan bobot risiko komprehensif (misalnya, Kepadatan Populasi 0.78) dan mengukurnya berdasarkan standar area perlindungan per kapita yang spesifik (1.0 $m^{2}/orang$ untuk darurat, dst.).

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun progresif, penelitian ini meninggalkan beberapa celah riset yang harus dieksplorasi oleh komunitas akademik:

  • Kurangnya Asosiasi Temporal-Spasial yang Dalam: Penelitian ini secara eksplisit mengakui bahwa analisis dan perencanaan DPRAGS masih kurang dalam hal asosiasi temporal dan spasial yang mendalam. Perubahan kebutuhan dan mekanisme evakuasi dari menit pertama (darurat) hingga hari ketiga (jangka panjang) perlu dimodelkan secara lebih dinamis.
  • Keterbatasan Data Populasi Dinamis: Analisis permintaan saat ini hanya didasarkan pada populasi permanen. Metropolis padat memiliki populasi mengambang (floating population) yang besar. Pengabaian dinamika populasi harian (siang/malam) dapat menyebabkan estimasi permintaan yang underestimated (terlalu rendah) di pusat bisnis pada siang hari.
  • Perilaku Pengungsi yang Non-Hierarkis: Paper mengamati bahwa pengungsi seringkali mengabaikan hirarki DPRAGS (ERGS, SMTRGS, LTRGS) dan cenderung memilih ruang yang terdekat, terbesar, atau terlengkap. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana mekanisme tata ruang dapat lebih baik mengarahkan pengungsi agar tidak membebani fasilitas yang lebih kecil.
  • Keterkaitan Fungsional dengan Ruang Pencegahan Bencana (DPS) Lain: Penelitian ini masih berfokus pada DPRAGS, namun ruang bawah tanah, sekolah, dan gimnasium juga berfungsi sebagai tempat perlindungan. Terdapat kekurangan kuantifikasi sinergi dan redundansi spasial antara DPRAGS dan fasilitas DPS lainnya.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima arahan eksplisit untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset:

  1. Integrasi Model Temporal-Spasial yang Berhirarki untuk DPRAGS
    • Justifikasi Ilmiah: Keterbatasan yang diakui dalam paper ini adalah kurangnya analisis temporal. Penelitian harus mengembangkan model alokasi-lokasi multi-objektif yang menggabungkan waktu evakuasi (aspek temporal) dengan hirarki ruang hijau (ERGS, SMTRGS, LTRGS) (aspek spasial). Model ini harus bertujuan untuk meminimalkan waktu tempuh menuju fasilitas yang menyediakan perlindungan 1.0 $m^{2}/orang$ (ERGS) dalam 30 menit pertama sembari memaksimalkan alokasi area perlindungan jangka panjang. Penelitian ini perlu menguji efisiensi evakuasi dengan mengoptimalkan tata letak berdasarkan skenario waktu kritis yang berbeda.
  2. Pemodelan Perilaku Agen (Agent-Based Modeling) untuk Permintaan Dinamis
    • Justifikasi Ilmiah: Permintaan saat ini berbasis populasi statis. Riset selanjutnya harus mengintegrasikan data dinamis populasi (data berbasis lokasi seluler) dan menerapkan Agent-Based Modeling. Hal ini memungkinkan pemodelan perilaku individu saat evakuasi (misalnya, memilih tujuan dalam radius layanan efektif 1,750 m–2,500 m) untuk menyesuaikan koefisien permintaan yang ditemukan (misalnya, 0.78). Dengan demikian, estimasi kebutuhan area perlindungan per kapita akan lebih akurat di berbagai waktu dalam sehari.
  3. Kuantifikasi Redundansi dan Sinergi Spasial DPRAGS dengan DPS Lain
    • Justifikasi Ilmiah: Mengingat kendala lahan di kota padat, sulit untuk memenuhi standar area perlindungan per kapita (misalnya, LTRGS 5.0 $m^{2}/orang$) hanya dengan ruang hijau. Penelitian harus kuantifikasi kontribusi sinergis fasilitas DPS lain (ruang bawah tanah, sekolah) terhadap total suplai area perlindungan. Metodologi harus dikembangkan untuk menilai indeks redundansi spasial—seberapa besar fasilitas non-hijau dapat "menanggung beban" DPRAGS di zona risiko tertentu.
  4. Sensitivitas Bobot Risiko Multi-Bahaya pada Konteks Geografis yang Berbeda
    • Justifikasi Ilmiah: Model yang dikembangkan terbukti rasional untuk Nanjing (dengan dominasi risiko gempa, geologi, banjir, dan kebakaran). Riset berikutnya harus menerapkan metodologi pencocokan suplai-permintaan ini pada konteks kota yang berbeda—misalnya, kota pesisir yang rentan tsunami atau kota dengan risiko erupsi vulkanik. Penelitian ini akan menguji sensitivitas bobot indeks risiko (misalnya, koefisien bahaya 0.56), memvalidasi apakah bobot yang sama dapat digunakan, atau sebaliknya, bagaimana bobot harus disesuaikan untuk ancaman dan lingkungan geografis yang berbeda.
  5. Pengembangan Indeks Kualitas Kesiapsiagaan Internal Ruang Hijau
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini merekomendasikan peningkatan fungsi internal DPRAGS (fasilitas, manajemen). Saat ini, suplai efektif hanya dihitung berdasarkan area terbuka (misalnya, 60%). Riset ke depan harus mengembangkan Indeks Kualitas Kesiapsiagaan Internal yang mengukur kesiapan fasilitas penunjang (air bersih, sanitasi, komunikasi darurat), manajemen pemeliharaan, dan faktor keamanan lainnya. Indeks ini akan melampaui perhitungan area semata, memberikan tolok ukur yang lebih realistis untuk efektivitas DPRAGS di lapangan.

Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini telah meletakkan dasar metodologis yang kuat untuk perencanaan DPRAGS yang lebih efektif dan rasional. Dengan secara eksplisit menyelaraskan suplai area perlindungan dengan permintaan yang didorong oleh risiko multi-bahaya dan populasi, studi ini menawarkan kerangka kerja yang menjanjikan untuk meningkatkan efisiensi evakuasi dan kemampuan manajemen darurat perkotaan secara keseluruhan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Nanjing Forestry University, lembaga perencanaan tata ruang nasional dan regional di Indonesia (seperti Bappenas dan Bappedalitbang daerah), dan Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memastikan keberlanjutan, adaptasi, dan validitas hasil di berbagai konteks geografis Asia Tenggara.

Baca paper aslinya di sini

Selengkapnya
Mengubah Ruang Hijau Kota Menjadi Benteng Anti-Bencana: Studi Kasus Nanjing dan Model Pencocokan Suplai-Permintaan.

Perencanaan Kota

Mengurai Rumitnya Izin Bangunan: Studi Kasus di Banjarmasin dan Arah Riset Selanjutnya

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 September 2025


1.1. Latar Belakang Penelitian dan Signifikansinya

Perizinan mendirikan bangunan (IMB) adalah instrumen krusial dalam administrasi publik untuk mengendalikan pertumbuhan kota, memastikan keselarasan pembangunan dengan rencana tata ruang, serta menjamin keselamatan struktural dan lingkungan. Di tengah gelombang urbanisasi yang masif, khususnya di kota-kota seperti Banjarmasin, implementasi kebijakan ini menjadi barometer efektivitas tata kelola pemerintahan. Paper yang berjudul "Juridical Study in Implementing A System on Licensing for Establishing Buildings in Banjarmasin City" ini secara spesifik menyoroti dinamika tersebut, menjadikannya studi kasus yang relevan untuk tantangan yang lebih luas dalam tata kelola perkotaan di Indonesia. Latar belakang penelitian ini berangkat dari observasi awal bahwa meskipun IMB merupakan prasyarat hukum, banyak bangunan di Banjarmasin didirikan tanpa izin yang sah.1 Hal ini mengindikasikan adanya disonansi fundamental antara kerangka hukum yang ideal dan realitas implementasinya di lapangan.

1.2. Ringkasan Eksekutif Paper (Temuan Utama)

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkaji mekanisme serta hambatan yang terjadi selama proses pemberian IMB di Kota Banjarmasin.1 Dengan mengadopsi metode penelitian yuridis empiris, para peneliti tidak hanya menganalisis teks hukum yang berlaku (Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 15 Tahun 2012) tetapi juga mengumpulkan data primer melalui wawancara dan kuesioner dengan petugas dan pemohon izin. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif deskriptif untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang kondisi, sikap, dan hambatan yang ada.1

Secara ringkas, temuan kunci dari paper ini adalah sebagai berikut: Meskipun sistem IMB di Banjarmasin telah diatur dalam sistem daring yang terstruktur melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) 1, implementasinya masih menghadapi berbagai hambatan. Terdapat kesenjangan signifikan antara kerangka regulasi yang ada dan praktik di lapangan. Hambatan-hambatan ini berkisar dari rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya IMB hingga inefisiensi prosedural yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi. Temuan ini secara tegas menunjukkan bahwa keberadaan sistem daring yang transparan saja tidak cukup untuk mengatasi tantangan yang berakar pada isu-isu sosial, budaya, dan institusional.1

2.1. Alur Logis dari Masalah ke Temuan

Paper ini membangun argumennya melalui alur logis yang terstruktur. Dimulai dengan identifikasi masalah, yaitu maraknya bangunan tanpa IMB di Banjarmasin.1 Masalah ini tidak hanya dipandang sebagai isu kepatuhan, tetapi sebagai manifestasi dari kegagalan sistem dalam mencapai tujuan fundamentalnya, yakni penataan ruang dan keselamatan publik. Untuk memahami akar masalah, para peneliti memilih pendekatan yuridis empiris, sebuah metode yang sangat tepat untuk mengkaji kesenjangan antara "hukum dalam buku" dan "hukum dalam aksi".1

Melalui metode ini, penelitian pertama-tama memetakan alur permohonan IMB yang ideal, sebagaimana tertera pada situs web DPMPTSP.1 Alur ini, yang secara teoretis berjalan mulus dan transparan, menjadi kerangka perbandingan. Kemudian, melalui data primer yang dikumpulkan di lapangan, penelitian ini menemukan bahwa alur ideal tersebut tidak selalu terwujud. Temuan ini secara sistematis menyimpulkan bahwa hambatan bukan berasal dari ketiadaan sistem, melainkan dari eksekusi sistem itu sendiri yang tidak optimal.1

2.2. Analisis Kualitatif Mendalam terhadap Dimensi Pelayanan Publik

Penelitian ini secara rinci mengkaji enam dimensi pelayanan publik, memberikan gambaran yang kaya tentang inefisiensi sistem. Berikut adalah analisis mendalam terhadap temuan tersebut:

  • Transparansi (Transparency): Paper menemukan bahwa informasi persyaratan dan prosedur tersedia di situs web resmi DPMPTSP.1 Namun, kutipan dari responden menyoroti bahwa ketersediaan informasi tidak sama dengan aksesibilitas universal. Pernyataan dari "oldster" yang kesulitan mengakses website menunjukkan adanya kesenjangan digital yang signifikan. Ini menyiratkan bahwa strategi pelayanan yang sangat bergantung pada platform daring berpotensi memarginalkan segmen populasi tertentu. Pertanyaan yang muncul adalah apakah transparansi tanpa aksesibilitas yang merata dapat dianggap sebagai pelayanan yang berkualitas?
  • Akuntabilitas (Accountability): Petugas dinilai "melayani dengan baik dan bertanggung jawab" namun "tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP)".1 Ini adalah manifestasi dari implementasi birokrasi yang longgar. Laporan ini menunjukkan bahwa akuntabilitas formal, seperti bebas dari pungutan liar, tidak selalu sejalan dengan akuntabilitas prosedural, yaitu kepatuhan terhadap SOP. Ketidakpatuhan terhadap SOP menciptakan ketidakpastian bagi pemohon dan merusak kredibilitas sistem secara keseluruhan. Mengapa SOP tidak dipatuhi? Ini mungkin berkaitan dengan kurangnya pengawasan, beban kerja yang tinggi, atau bahkan adanya budaya kerja yang pasif.
  • Kondisional (Conditional) & Durasi Proses: Meskipun alur proses terdefinisi jelas, permohonan seringkali "tidak bisa diproses dalam waktu yang cepat dan tepat" dan "memakan waktu lama".1 Ini adalah indikator langsung dari inefisiensi sistem. Salah satu penyebab utama yang diidentifikasi adalah kurangnya sumber daya manusia dan penguasaan teknologi untuk input data manual.1 Ada hubungan kausal langsung antara kompetensi teknis yang rendah dan waktu pemrosesan yang lama. Proses yang lambat ini pada gilirannya membuat masyarakat enggan patuh, sehingga memperkuat fenomena pembangunan ilegal.
  • Kesetaraan (Equality): Layanan seharusnya setara, namun "ikatan kekerabatan, pertemanan, dan keluarga" memainkan peran dalam perbedaan perlakuan.1 Ini adalah temuan paling kritis, menyingkap adanya nepotisme birokrasi. Pelanggaran prinsip kesetaraan ini merusak kepercayaan publik dan menunjukkan bahwa sistem pelayanan IMB di tingkat praktis tidak beroperasi atas dasar meritokrasi atau prinsip hukum, melainkan interaksi sosial. Hal ini memiliki implikasi serius terhadap tata kelola yang baik dan menunjukkan bahwa reformasi birokrasi harus mencakup aspek etika dan pengawasan internal yang lebih ketat.

2.3. Sorotan Data Kuantitatif Deskriptif

Salah satu data kuantitatif paling berharga dalam paper ini adalah hasil dari penelitian lain (Nurfansyah, 2007) yang dikutip. Data tersebut menunjukkan bahwa hanya 60.46% dari masyarakat di Kecamatan Banjarmasin Utara yang memahami IMB.1 Angka ini adalah titik data dasar yang kuat untuk mengukur keberhasilan program sosialisasi di masa depan dan berfungsi sebagai bukti empiris bahwa rendahnya kesadaran publik adalah akar masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan perbaikan sistem daring. Lebih lanjut, paper juga mengutip studi dari Fansuri & Nurholis (2016) yang menemukan bahwa hanya 29% warga Sumenep yang mengajukan izin sebelum bangunan didirikan, menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya unik di Banjarmasin.1

 

3.1. Kontribusi Teoritis

Paper ini memperkaya literatur yuridis empiris dengan memberikan studi kasus konkret yang menunjukkan "kesenjangan implementasi" (implementation gap). Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini dapat berfungsi sebagai template untuk menganalisis bagaimana sebuah peraturan yang "sempurna di atas kertas" dapat gagal dalam praktik karena faktor-faktor manusiawi dan institusional. Selain itu, penelitian ini secara implisit menyumbang pada teori tata kelola digital dengan menyoroti bahwa adopsi teknologi tanpa mempertimbangkan "kesenjangan digital" dapat memperburuk, bukan memperbaiki, kualitas pelayanan publik.

3.2. Kontribusi Praktis

Temuan dari paper ini memberikan rekomendasi praktis bagi DPMPTSP Kota Banjarmasin dan lembaga serupa di kota lain. Laporan ini menunjukkan bahwa fokus tidak seharusnya hanya pada penyempurnaan alur daring, tetapi juga pada peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) dan strategi sosialisasi yang lebih inklusif dan berbasis komunitas. Solusi yang diusulkan, seperti sosialisasi yang lebih intensif dan peningkatan kompetensi petugas, secara langsung mengatasi hambatan yang ditemukan.

4.1. Keterbatasan Metodologi dan Data

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang penting untuk dicatat. Fokus pada satu kota, Banjarmasin, membuat generalisasi temuannya terbatas. Meskipun paper ini mengutip beberapa studi dari kota lain untuk perbandingan, analisisnya tidak bersifat komparatif secara sistematis. Lebih lanjut, data kuantitatif yang disajikan sangat minim, hanya mencakup persentase pemahaman dari studi lain. Tidak ada data numerik asli tentang durasi rata-rata proses IMB, jumlah permohonan yang ditolak, atau persentase pelanggaran yang berhasil ditindak. Hal ini membatasi kedalaman analisis korelasional antara hambatan dan tingkat kepatuhan.

4.2. Pertanyaan Terbuka yang Membutuhkan Riset Lanjutan

Dari keterbatasan di atas, muncul beberapa pertanyaan penting yang membutuhkan penelitian lanjutan:

  • Bagaimana korelasi antara tingkat pendidikan dan literasi digital dengan tingkat kepatuhan dalam permohonan IMB?
  • Apa dampak ekonomi dan sosial dari durasi proses IMB yang lama terhadap pelaku usaha kecil dan menengah?
  • Seberapa efektif sanksi denda dan pidana sebagai deteran, dan bagaimana tingkat penegakannya di lapangan?
  • Bagaimana perbandingan mekanisme dan hambatan IMB antara kota dengan populasi dan karakteristik sosio-ekonomi yang berbeda?

 

Setiap rekomendasi berikut disusun berbasis temuan dalam paper ini, dengan justifikasi ilmiah yang kuat.

  1. Studi Komparatif Lintas-Kota tentang Kualitas Pelayanan IMB. Paper ini menunjukkan bahwa masalah IMB di Banjarmasin adalah perpaduan unik antara kerangka hukum dan realitas lokal. Penelitian lebih lanjut perlu memvalidasi apakah hambatan serupa (kesenjangan digital, inefisiensi, dan nepotisme) juga terjadi di kota-kota lain. Pendekatan mixed-methods direkomendasikan, dengan menggunakan survei skala besar (kuantitatif) di beberapa kota untuk mengukur dimensi pelayanan dan dilanjutkan dengan studi kasus kualitatif untuk wawancara mendalam. Variabel baru yang dapat diukur mencakup waktu rata-rata pemrosesan dan tingkat kepuasan pemohon.
  2. Analisis Korelasi antara Peningkatan Aksesibilitas Digital dan Tingkat Kepatuhan Regulasi IMB. Paper ini mengisyaratkan bahwa kurangnya akses dan kemampuan menggunakan internet adalah hambatan. Perlu penelitian yang secara eksplisit menguji hipotesis bahwa peningkatan aksesibilitas layanan daring secara langsung berkorelasi dengan peningkatan tingkat kepatuhan IMB. Pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi dapat digunakan untuk mengumpulkan data historis IMB dan variabel seperti tingkat literasi digital dan cakupan internet di berbagai sub-wilayah kota.
  3. Evaluasi Kebijakan Sosialisasi IMB Berbasis Komunitas dan Dampaknya terhadap Kesadaran Publik. Data kuantitatif yang langka namun signifikan menunjukkan rendahnya kesadaran publik.1 Penelitian ini harus merancang dan menguji intervensi sosialisasi baru yang berfokus pada komunitas (misalnya, melalui RT/RW) dan mengukur efektivitasnya dalam meningkatkan pemahaman dan niat untuk patuh. Metode
    eksperimen kuasi dapat digunakan dengan membandingkan kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Variabel baru yang dapat diukur adalah skor kuesioner tingkat pemahaman masyarakat dan niat untuk memohon izin.
  4. Studi Kasus Mendalam tentang Peran Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) dalam Proses Hukum Pelanggaran IMB. Paper ini menyebutkan berbagai sanksi dan peran TABG dalam proses pidana. Namun, efektivitas penegakan hukum dan peran TABG tidak dieksplorasi secara mendalam. Penelitian ini akan mengkaji mengapa, meskipun sanksi berat ada, pelanggaran tetap marak. Pendekatan studi kasus kualitatif direkomendasikan, dengan wawancara mendalam terhadap anggota TABG, aparat penegak hukum, dan pemilik bangunan yang pernah melanggar. Variabel baru yang diukur mencakup jumlah kasus yang sampai ke pengadilan dan persepsi pemilik bangunan terhadap risiko sanksi.
  5. Analisis Kualitatif tentang Budaya Birokrasi dan Hubungannya dengan Inefisiensi Pelayanan IMB. Paper ini mengidentifikasi nepotisme dan ketidakpatuhan terhadap SOP sebagai hambatan utama. Penelitian harus menyelami lebih dalam dinamika internal birokrasi, mengidentifikasi norma-norma tidak tertulis yang memengaruhi perilaku petugas. Pendekatan studi etnografi atau penelitian partisipatoris dapat dilakukan untuk mengamati interaksi di kantor DPMPTSP, mewawancarai petugas di berbagai tingkat hierarki, dan menganalisis alur kerja internal untuk mengidentifikasi inefisiensi yang tidak terdokumentasi.

Penelitian ini merupakan landasan yang krusial bagi pemahaman tentang tantangan implementasi tata kelola perkotaan di Indonesia. Meskipun sistem perizinan daring telah dibangun, tantangan yang berakar pada kesenjangan digital, budaya birokrasi yang belum optimal, dan rendahnya kesadaran publik masih menjadi pekerjaan rumah besar. Temuan ini secara eksplisit menunjukkan bahwa reformasi birokrasi tidak bisa berhenti pada digitalisasi semata, tetapi harus menyentuh aspek-aspek sosio-teknis dan kelembagaan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi hukum (misalnya, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada), institusi perencanaan kota (misalnya, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB), dan instansi pemerintah terkait (misalnya, Kementerian PUPR) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk merumuskan kebijakan yang berbasis bukti.

Baca selengkapnya di https://doi.org/10.18196/jphk.v3i1.13411

Selengkapnya
Mengurai Rumitnya Izin Bangunan: Studi Kasus di Banjarmasin dan Arah Riset Selanjutnya
page 1 of 1