Mengubah Paradigma Perencanaan Ruang Hijau Bencana: Memastikan Kecocokan Suplai dan Permintaan di Metropolis Padat
Urbanisasi yang pesat telah mengubah kota-kota metropolitan padat menjadi simpul kerentanan tinggi terhadap berbagai bencana, termasuk bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Konsentrasi tinggi populasi, material, dan infrastruktur memperparah dampak silang bencana, yang menuntut pendekatan perencanaan mitigasi yang lebih cerdas. Ruang Hijau Pencegahan dan Penghindaran Risiko Bencana (DPRAGS) adalah komponen penting dari sistem pencegahan bencana eksternal perkotaan, menyediakan fungsi vital seperti perlindungan, evakuasi, dan penyimpanan material darurat.
Di masa lalu, perencanaan DPRAGS seringkali hanya berfokus pada tata letak yang seimbang (equilibrium) dari sisi suplai, yang bertujuan mendistribusikan ruang hijau secara merata. Namun, pendekatan ini memiliki cacat fundamental: ia cenderung mengabaikan distribusi risiko bencana yang kompleks dan, yang lebih penting, permintaan populasi yang sesungguhnya di lokasi yang paling berisiko. Akibatnya, muncul kesenjangan yang luas antara suplai dan permintaan ruang hijau perlindungan—area yang ditandai dengan suplai yang tidak memadai, aksesibilitas rendah, dan pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien, khususnya di saat kritis.
Penelitian ini secara eksplisit mengatasi kekurangan metodologis ini. Studi ini berfokus pada peningkatan efisiensi DPRAGS dari perspektif pencocokan suplai dan permintaan (supply and demand matching), dengan mengambil area perkotaan utama Nanjing, China—sebuah metropolis padat yang representatif—sebagai studi kasus. Dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (GIS) dan model cakupan kapasitas maksimal terbatas (maximum capacity limitation coverage model), penelitian ini membangun jalur logis yang komprehensif untuk perencanaan tata ruang yang jauh lebih rasional dan responsif terhadap kebutuhan manusia.
Jalur Logis Perjalanan Temuan (Parafrase Isi Paper)
Penelitian ini dibangun di atas kerangka kerja empat fase yang logis, yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara perencanaan DPRAGS berbasis suplai dan realitas kerentanan multi-risiko:
Fase 1: Analisis Kesiapan dan Batas Layanan Infrastruktur
Langkah pertama adalah menetapkan parameter operasional sistem darurat perkotaan. Ini melibatkan penentuan cakupan layanan agensi penyelamat (medis, pemadam kebakaran) dan analisis jaringan jalan darurat. Ditemukan bahwa radius layanan efektif dari kendaraan penyelamat di area studi ditentukan antara 1,750 m hingga 2,500 m. Jangkauan ini, dihitung berdasarkan kecepatan respons yang realistis dalam rentang waktu kritis (misalnya, 3–5 menit), mendefinisikan batas fisik dan kognitif untuk seberapa cepat populasi dapat mengakses DPRAGS. Batas layanan ini berfungsi sebagai dasar untuk menentukan unit tata ruang DPRAGS yang terintegrasi, yang memastikan setiap unit permintaan populasi dapat dijangkau oleh suplai perlindungan dalam batas waktu emas (Golden Hour) respons darurat.
Fase 2: Pemetaan Risiko Multi-Bencana dan Bobot Relatif
Melalui kerangka penilaian risiko yang komprehensif—mencakup Bahaya (Hazard), Paparan (Exposure), dan Kerentanan (Vulnerability)—penelitian ini mengidentifikasi empat jenis bencana utama di Nanjing: gempa bumi, bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Dengan menggunakan metode pembobotan (seperti AHP dan penilaian ahli), sebuah sistem indeks risiko multi-bencana dikembangkan. Misalnya, analisis risiko gempa menunjukkan bahwa faktor Bahaya ($B_{1}$) memiliki bobot dominan sebesar 0.56, menekankan peran penting ancaman fisik primer. Dengan menggabungkan bobot ini, penelitian menghasilkan peta risiko multi-bencana terperinci. Peta ini bukan hanya untuk informasi, tetapi menjadi input krusial dalam menentukan permintaan perlindungan, sebab permintaan harus lebih tinggi di wilayah yang memiliki risiko komprehensif yang lebih besar.
Fase 3: Analisis Pencocokan Suplai-Permintaan dengan Kendala Kapasitas
Ini adalah inti inovasi. Suplai DPRAGS efektif dihitung dengan mempertimbangkan bukan hanya area total, tetapi juga kapasitas perlindungan yang sebenarnya. Secara umum, area perlindungan efektif diperkirakan mencapai 60% dari total area ruang hijau, mengasumsikan area terbuka yang benar-benar dapat digunakan untuk penampungan. Pendekatan ini juga menerapkan konsep bersarang (nested), di mana ruang hijau perlindungan yang lebih tinggi (Jangka Panjang/LTRGS) dapat menutupi dan mendukung kebutuhan ruang hijau tingkat yang lebih rendah (Jangka Pendek-Menengah/SMTRGS).
Di sisi permintaan, kebutuhan area perlindungan dihitung untuk setiap unit permintaan (berbasis komunitas) menggunakan koefisien bencana komprehensif. Dalam perhitungan kebutuhan area, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Kepadatan Populasi dan kebutuhan perlindungan, dengan koefisien 0.78 (sebagai contoh temuan) — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam perencanaan yang benar-benar berpusat pada manusia dan risiko. Berdasarkan koefisien ini, kebutuhan area perlindungan per kapita ditetapkan secara tegas: Ruang Hijau Perlindungan Darurat (ERGS) membutuhkan 1.0 $m^{2}/orang$, SMTRGS 2.0 $m^{2}/orang$, dan LTRGS 5.0 $m^{2}/orang$.
Akhirnya, hubungan pencocokan antara suplai dan permintaan diklarifikasi menggunakan model cakupan kapasitas maksimal dengan kendala kapasitas. Model ini secara matematis memaksa area perlindungan yang tersedia untuk tidak melebihi kapasitas yang dibutuhkan, sekaligus memastikan tidak ada unit permintaan yang terlewatkan—sebuah keharusan dalam kota padat yang minim lahan.
Fase 4: Perencanaan Tata Ruang Berbasis Unit dan Strategi Lokasi
Berdasarkan hasil analisis fase 3, unit tata ruang DPRAGS dibagi dan direncanakan. Strategi "tiga langkah" digunakan untuk menentukan batas unit (misalnya, radius layanan, jaringan jalan, dan batas risiko). Perencanaan tata ruang difokuskan pada peningkatan fungsi dan koordinasi spasial DPRAGS yang ada dan memprioritaskan perluasan baru hanya di area yang menunjukkan kesenjangan suplai-permintaan yang signifikan. Hasil studi ini menegaskan bahwa metode perencanaan terunitisasi yang berbasis pencocokan suplai dan permintaan secara signifikan lebih efektif dalam memenuhi persyaratan perlindungan dan meningkatkan rasionalitas tata ruang dibandingkan dengan metode konvensional.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi yang transformatif bagi perencanaan kota dan mitigasi bencana:
- Pergeseran Paradigma ke Pencocokan: Kontribusi utama adalah mengalihkan fokus dari keseimbangan distribusi berbasis suplai ke model yang memaksakan pencocokan antara suplai area perlindungan dengan permintaan populasi yang dipengaruhi oleh risiko multi-bencana.
- Pengembangan Metodologi Unit Terintegrasi: Studi ini memvalidasi metode perencanaan DPRAGS berbasis unit (unitized planning method) yang menggabungkan struktur jaringan "titik-garis-permukaan" (point-line-surface) dengan analisis risiko. Model maximum capacity limitation coverage secara eksplisit mengatasi masalah alokasi sumber daya yang tidak rasional di tengah kendala lahan.
- Sistem Indikator Permintaan yang Diperkaya: Penelitian ini memperkaya analisis permintaan dengan membangun sistem indikator yang memasukkan bobot risiko komprehensif (misalnya, Kepadatan Populasi 0.78) dan mengukurnya berdasarkan standar area perlindungan per kapita yang spesifik (1.0 $m^{2}/orang$ untuk darurat, dst.).
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun progresif, penelitian ini meninggalkan beberapa celah riset yang harus dieksplorasi oleh komunitas akademik:
- Kurangnya Asosiasi Temporal-Spasial yang Dalam: Penelitian ini secara eksplisit mengakui bahwa analisis dan perencanaan DPRAGS masih kurang dalam hal asosiasi temporal dan spasial yang mendalam. Perubahan kebutuhan dan mekanisme evakuasi dari menit pertama (darurat) hingga hari ketiga (jangka panjang) perlu dimodelkan secara lebih dinamis.
- Keterbatasan Data Populasi Dinamis: Analisis permintaan saat ini hanya didasarkan pada populasi permanen. Metropolis padat memiliki populasi mengambang (floating population) yang besar. Pengabaian dinamika populasi harian (siang/malam) dapat menyebabkan estimasi permintaan yang underestimated (terlalu rendah) di pusat bisnis pada siang hari.
- Perilaku Pengungsi yang Non-Hierarkis: Paper mengamati bahwa pengungsi seringkali mengabaikan hirarki DPRAGS (ERGS, SMTRGS, LTRGS) dan cenderung memilih ruang yang terdekat, terbesar, atau terlengkap. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana mekanisme tata ruang dapat lebih baik mengarahkan pengungsi agar tidak membebani fasilitas yang lebih kecil.
- Keterkaitan Fungsional dengan Ruang Pencegahan Bencana (DPS) Lain: Penelitian ini masih berfokus pada DPRAGS, namun ruang bawah tanah, sekolah, dan gimnasium juga berfungsi sebagai tempat perlindungan. Terdapat kekurangan kuantifikasi sinergi dan redundansi spasial antara DPRAGS dan fasilitas DPS lainnya.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berikut adalah lima arahan eksplisit untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset:
- Integrasi Model Temporal-Spasial yang Berhirarki untuk DPRAGS
- Justifikasi Ilmiah: Keterbatasan yang diakui dalam paper ini adalah kurangnya analisis temporal. Penelitian harus mengembangkan model alokasi-lokasi multi-objektif yang menggabungkan waktu evakuasi (aspek temporal) dengan hirarki ruang hijau (ERGS, SMTRGS, LTRGS) (aspek spasial). Model ini harus bertujuan untuk meminimalkan waktu tempuh menuju fasilitas yang menyediakan perlindungan 1.0 $m^{2}/orang$ (ERGS) dalam 30 menit pertama sembari memaksimalkan alokasi area perlindungan jangka panjang. Penelitian ini perlu menguji efisiensi evakuasi dengan mengoptimalkan tata letak berdasarkan skenario waktu kritis yang berbeda.
- Pemodelan Perilaku Agen (Agent-Based Modeling) untuk Permintaan Dinamis
- Justifikasi Ilmiah: Permintaan saat ini berbasis populasi statis. Riset selanjutnya harus mengintegrasikan data dinamis populasi (data berbasis lokasi seluler) dan menerapkan Agent-Based Modeling. Hal ini memungkinkan pemodelan perilaku individu saat evakuasi (misalnya, memilih tujuan dalam radius layanan efektif 1,750 m–2,500 m) untuk menyesuaikan koefisien permintaan yang ditemukan (misalnya, 0.78). Dengan demikian, estimasi kebutuhan area perlindungan per kapita akan lebih akurat di berbagai waktu dalam sehari.
- Kuantifikasi Redundansi dan Sinergi Spasial DPRAGS dengan DPS Lain
- Justifikasi Ilmiah: Mengingat kendala lahan di kota padat, sulit untuk memenuhi standar area perlindungan per kapita (misalnya, LTRGS 5.0 $m^{2}/orang$) hanya dengan ruang hijau. Penelitian harus kuantifikasi kontribusi sinergis fasilitas DPS lain (ruang bawah tanah, sekolah) terhadap total suplai area perlindungan. Metodologi harus dikembangkan untuk menilai indeks redundansi spasial—seberapa besar fasilitas non-hijau dapat "menanggung beban" DPRAGS di zona risiko tertentu.
- Sensitivitas Bobot Risiko Multi-Bahaya pada Konteks Geografis yang Berbeda
- Justifikasi Ilmiah: Model yang dikembangkan terbukti rasional untuk Nanjing (dengan dominasi risiko gempa, geologi, banjir, dan kebakaran). Riset berikutnya harus menerapkan metodologi pencocokan suplai-permintaan ini pada konteks kota yang berbeda—misalnya, kota pesisir yang rentan tsunami atau kota dengan risiko erupsi vulkanik. Penelitian ini akan menguji sensitivitas bobot indeks risiko (misalnya, koefisien bahaya 0.56), memvalidasi apakah bobot yang sama dapat digunakan, atau sebaliknya, bagaimana bobot harus disesuaikan untuk ancaman dan lingkungan geografis yang berbeda.
- Pengembangan Indeks Kualitas Kesiapsiagaan Internal Ruang Hijau
- Justifikasi Ilmiah: Paper ini merekomendasikan peningkatan fungsi internal DPRAGS (fasilitas, manajemen). Saat ini, suplai efektif hanya dihitung berdasarkan area terbuka (misalnya, 60%). Riset ke depan harus mengembangkan Indeks Kualitas Kesiapsiagaan Internal yang mengukur kesiapan fasilitas penunjang (air bersih, sanitasi, komunikasi darurat), manajemen pemeliharaan, dan faktor keamanan lainnya. Indeks ini akan melampaui perhitungan area semata, memberikan tolok ukur yang lebih realistis untuk efektivitas DPRAGS di lapangan.
Ajakan Kolaboratif
Penelitian ini telah meletakkan dasar metodologis yang kuat untuk perencanaan DPRAGS yang lebih efektif dan rasional. Dengan secara eksplisit menyelaraskan suplai area perlindungan dengan permintaan yang didorong oleh risiko multi-bahaya dan populasi, studi ini menawarkan kerangka kerja yang menjanjikan untuk meningkatkan efisiensi evakuasi dan kemampuan manajemen darurat perkotaan secara keseluruhan.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Nanjing Forestry University, lembaga perencanaan tata ruang nasional dan regional di Indonesia (seperti Bappenas dan Bappedalitbang daerah), dan Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memastikan keberlanjutan, adaptasi, dan validitas hasil di berbagai konteks geografis Asia Tenggara.