Analisis kerentanan banjir di Pontianak, sebuah kota yang terbelah sungai di ekuator, menunjukkan tantangan finansial yang signifikan. Kerugian tahunan akibat banjir diproyeksikan melonjak dari US$30 juta pada tahun 2015 menjadi US$83,6 juta pada tahun 2055. Menghadapi proyeksi ini, penelitian oleh Gultom et al. (2022) melakukan analisis spasial kuantitatif untuk memetakan dan membandingkan kerentanan banjir kota antara kondisi tahun 2020 dan proyeksi tahun 2050.
Studi ini membangun model kerentanan yang didasarkan pada dua variabel utama: Efisiensi Rute Evakuasi dan Kapasitas Penampungan (Shelter).
Untuk mengukur Efisiensi Rute Evakuasi, penelitian ini menggunakan metode Space Syntax. Metodologi ini menganalisis jaringan kota secara topologis untuk menghasilkan nilai "Integrasi Rata-rata" (AI). Secara sederhana, nilai AI yang tinggi menunjukkan bahwa segmen jalan mudah diakses dari semua bagian lain kota, menjadikannya rute evakuasi yang efisien.
Untuk mengukur Kapasitas Penampungan, penelitian ini menggunakan formula "Capacity Rate" (CR), yang membandingkan total area shelter yang tersedia (SA) dengan jumlah korban banjir yang diproyeksikan (FV). Jumlah korban (FV) dihitung berdasarkan data kepadatan penduduk (PD) dan area cakupan banjir (FC). Standar area 3m² per orang digunakan untuk menentukan kapasitas maksimum shelter. Sebuah distrik dianggap "memadai" jika CR-nya 100% atau lebih, yang berarti dapat menampung semua korban yang diproyeksikan.
Hasil dari kedua pengukuran ini (AI dan CR) diplot ke dalam diagram kuadran untuk mengklasifikasikan kerentanan setiap distrik:
Kuadran 1 (Kerentanan Rendah): AI tinggi, CR memadai.
Kuadran 2 (Kerentanan Sedang): AI rendah, CR memadai.
Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi): AI rendah, CR tidak memadai.
Kuadran 4 (Kerentanan Sedang): AI tinggi, CR tidak memadai.
Pada tahun 2020, data menunjukkan median AI kota adalah 0.57. Dua distrik, Pontianak Utara (AI 0.42) dan Pontianak Barat (AI 0.55), berada di bawah median, menunjukkan efisiensi rute evakuasi yang rendah. Secara kapasitas, hanya Pontianak Pusat (CR 322%) dan Pontianak Tenggara (CR 3147%) yang terbukti memadai. Empat distrik lainnya tidak memadai, dengan Pontianak Utara (25%) dan Pontianak Selatan (42%) menunjukkan defisit terbesar. Kombinasi ini menempatkan Pontianak Utara dan Pontianak Barat di Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi) pada tahun 2020.
Perbandingan dengan proyeksi 2050 menjadi inti dari temuan penelitian ini. Skenario 2050 memasukkan dua perubahan besar: rencana implementasi jalan lingkar baru dan peningkatan kepadatan penduduk.
Temuan di 2050 menunjukkan dinamika yang kompleks. Pertama, implementasi jalan lingkar terbukti berhasil meningkatkan konektivitas. Efek paling dramatis terlihat di Pontianak Barat, di mana AI melonjak dari 0.55 (Rendah) menjadi 0.65 (Tinggi). Peningkatan efisiensi rute ini berhasil memindahkan Pontianak Barat dari Kuadran 3 (Kerentanan Tinggi) ke Kuadran 4 (Kerentanan Sedang).
Namun, keberhasilan infrastruktur ini dibayangi oleh risiko kedua: penurunan kapasitas shelter akibat pertumbuhan penduduk. Meskipun jumlah shelter diasumsikan tetap, CR menurun di semua distrik. Penurunan paling tajam terjadi di Pontianak Timur (dari 73% ke 32%) dan Pontianak Utara (dari 25% ke 11%). Bahkan distrik yang "aman" seperti Pontianak Pusat mengalami penurunan CR dari 322% menjadi 260%.
Secara keseluruhan, paper ini menyimpulkan bahwa Kota Pontianak akan menjadi lebih tangguh (resilient) terhadap banjir di masa depan, terutama karena peningkatan signifikan dalam efisiensi rute evakuasi yang disediakan oleh jalan lingkar. Namun, penelitian ini secara tegas mengidentifikasi penurunan drastis capacity rate sebagai risiko serius yang harus segera ditangani.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian Gultom et al. (2022) memberikan beberapa kontribusi penting bagi komunitas perencana kota dan manajemen bencana:
1. Model Kerentanan Dua Variabel: Mengembangkan dan menerapkan kerangka kerja kuantitatif yang jelas (AI + CR) untuk menilai kerentanan, beralih dari penilaian kualitatif umum ke metrik yang dapat ditindaklanjuti.
2. Aplikasi Space Syntax untuk Bencana: Secara spesifik menerapkan Space Syntax, yang sering digunakan untuk analisis ekonomi atau lalu lintas, sebagai alat untuk mengukur efektivitas evakuasi bencana di kota sungai yang kompleks.
3. Analisis Dampak Infrastruktur Proyektif: Memberikan studi kasus langka yang tidak hanya memetakan risiko saat ini (2020), tetapi juga memodelkan dampak kuantitatif dari rencana infrastruktur masa depan (jalan lingkar 2050) terhadap resiliensi kota.
4. Alat Bantu Kebijakan Berbasis Data: Menghasilkan peta kerentanan berbasis kuadran (Gbr. 8) yang secara visual membedakan distrik berisiko tinggi (Q3) versus distrik yang hanya kekurangan shelter (Q4) atau hanya kekurangan akses (Q2), memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih terfokus.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kokoh secara metodologis, penelitian ini juga secara jujur menyoroti keterbatasan yang membuka jalan bagi riset di masa depan:
Keterbatasan Kualitas Rute (AI): Metrik AI murni bersifat topologis (jumlah belokan dan koneksi). Paper ini menemukan bahwa desain jalan lingkar yang direncanakan di beberapa distrik (seperti Barat, Pusat, dan Selatan) terlalu berliku dan memiliki banyak belokan, yang membuatnya kurang efektif dalam analisis Space Syntax dibandingkan dengan desain yang lurus (seperti di Utara). Pertanyaan Terbuka: Bagaimana merancang infrastruktur evakuasi yang optimal secara sintaksis (lurus, sedikit belokan) dalam konteks tata ruang kota yang sudah padat?
Keterbatasan Blokade Banjir (AI vs. Hazard): Temuan krusial adalah bahwa Space Syntax mengukur efisiensi dalam kondisi normal. Penelitian ini menemukan bahwa banyak rute dengan AI tinggi (dianggap efisien) di Pontianak Timur, Selatan, dan Pusat, justru berada di area yang berpotensi tergenang banjir (lihat Gbr. 3). Ini berarti rute "terbaik" mungkin tidak dapat diakses saat dibutuhkan. Pertanyaan Terbuka: Bagaimana kita dapat mengembangkan model efisiensi rute yang mengintegrasikan konektivitas topologis (AI) dengan data hazard (blokade banjir) secara dinamis?
Keterbatasan Lokasi Shelter (CR): Metrik CR mengukur total area shelter yang tersedia, bukan aksesibilitas atau keamanannya. Paper ini menemukan masalah signifikan di mana banyak area shelter potensial (terutama di Pontianak Utara dan Barat) justru terletak di dalam zona potensi banjir. Pertanyaan Terbuka: Di mana lokasi optimal untuk membangun shelter baru agar (a) aman dari genangan dan (b) terhubung secara efisien ke rute evakuasi AI tinggi yang juga aman?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Berdasarkan temuan kuantitatif dan keterbatasan yang teridentifikasi, kami merekomendasikan lima jalur penelitian lanjutan yang spesifik untuk memperdalam pemahaman dan solusi manajemen risiko banjir:
1. Pengembangan Model Hibrid: "AI Evakuasi Realistis" (AI + Hazard Overlay)
Justifikasi: Penelitian ini menunjukkan konflik antara rute berefisiensi AI tinggi dan lokasinya yang rawan banjir. Hubungan antara efisiensi rute dan ketersediaannya saat bencana masih belum teruji.
Metode: Penelitian selanjutnya harus mengembangkan model hibrid. Gunakan Space Syntax (AI) sebagai baseline konektivitas, lalu terapkan overlay GIS dari peta hazard (seperti Gbr. 3) untuk secara dinamis 'menonaktifkan' atau memberi penalti pada segmen jalan yang tergenang.
Signifikansi: Ini akan menghasilkan metrik baru—"AI Evakuasi Realistis"—yang mengukur konektivitas rute yang benar-benar dapat diakses saat banjir. Temuan ini akan menunjukkan apakah distrik dengan AI tinggi seperti Pontianak Selatan (AI 0.67) benar-benar se-resilien yang terlihat.
2. Analisis Sensitivitas Desain Jalan Lingkar
Justifikasi: Studi ini menemukan bahwa tidak semua desain jalan lingkar memberikan dampak AI yang sama; desain yang lurus di Pontianak Utara lebih efektif secara sintaksis daripada desain yang berliku di distrik lain.
Metode: Melakukan analisis sensitivitas ex-ante. Daripada hanya menguji satu master plan, riset selanjutnya harus memodelkan 3-5 skenario desain jalan lingkar alternatif (misalnya, rute yang lebih lurus, penambahan jembatan konektor baru, atau grade-separated interchange) dan membandingkan dampaknya terhadap AI di distrik-distrik yang paling tertinggal.
Signifikansi: Memberikan data kuantitatif kepada perencana kota tentang desain infrastruktur mana yang memberikan peningkatan resiliensi (AI) tertinggi per investasi, memastikan rencana masa depan lebih efektif.
3. Model Optimasi Lokasi Shelter (Shelter Siting)
Justifikasi: Dua masalah shelter utama teridentifikasi: (1) Banyak shelter eksisting berada di zona banjir (misal di Pontianak Utara dan Barat), dan (2) CR menurun drastis di semua distrik pada 2050 (misal, Pontianak Timur turun dari 73% ke 32%).
Metode: Menggunakan multi-criteria decision analysis (MCDA) atau model location-allocation untuk mengidentifikasi lokasi shelter baru yang optimal. Variabel input krusial harus mencakup: (1) Berada di luar "Flood potential area", (2) Konektivitas tinggi ke jaringan "AI Evakuasi Realistis" (dari Rekomendasi 1), dan (3) Kedekatan dengan area berkepadatan korban banjir (FV) tertinggi.
Signifikansi: Beralih dari sekadar menghitung defisit kapasitas menjadi memberikan solusi penempatan yang strategis, memastikan shelter baru aman, dapat diakses, dan melayani populasi yang paling rentan.
4. Analisis Dampak Mitigasi Non-Struktural terhadap Defisit CR
Justifikasi: Penelitian ini berfokus pada solusi struktural (jalan dan bangunan). Namun, penurunan CR terbesar didorong oleh faktor sosial (peningkatan kepadatan penduduk).
Metode: Riset mixed-methods yang menguji efektivitas intervensi non-struktural untuk mengimbangi defisit CR. Variabel baru untuk diuji dapat mencakup: (1) Efektivitas sistem peringatan dini dalam mendorong evakuasi mandiri, (2) Kelayakan evakuasi vertikal (menggunakan bangunan publik tinggi yang ada sebagai shelter sementara), atau (3) Skema asuransi bencana untuk mengurangi kebutuhan akan shelter publik.
Signifikansi: Menjawab pertanyaan apakah mitigasi non-infrastruktur dapat mengkompensasi defisit kapasitas shelter yang masif (seperti di Pontianak Utara, CR hanya 11% pada 2050) ketika pembangunan shelter baru secara fisik atau finansial tidak memungkinkan.
5. Validasi Model (AI + CR) di Tipologi Kota Sungai Lainnya
Justifikasi: Paper ini secara eksplisit menyarankan penelitian lebih lanjut di lokasi lain di Kalimantan ("Pulau Seribu Sungai"). Model ini sangat dipengaruhi oleh topologi unik Pontianak yang terbelah sungai besar dan bergantung pada jembatan serta feri.
Metode: Replikasi metodologi (AI + CR) di kota-kota sungai lain dengan tantangan serupa (misalnya, Banjarmasin, Samarinda, Palembang) yang juga memiliki jaringan kanal historis dan ketergantungan pada infrastruktur penghubung.
Signifikansi: Menguji validitas eksternal dan generalisasi model Gultom et al. Ini akan menentukan apakah temuan bahwa "jalan lingkar meningkatkan resiliensi" adalah prinsip universal untuk kota sungai, atau hanya berlaku untuk konfigurasi spesifik Pontianak.
Penelitian Gultom et al. telah meletakkan dasar yang kuat dengan mengidentifikasi dinamika ganda antara peningkatan konektivitas infrastruktur dan penyusutan kapasitas sosial. Namun, temuan ini baru permulaan.
Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi akademik seperti Universitas Tanjungpura, badan perencanaan kota (BAPPEDA), dan badan penanggulangan bencana nasional (BNPB) serta dinas pekerjaan umum. Mengintegrasikan pemodelan akademis dengan kebutuhan praktis para pembuat kebijakan adalah langkah penting berikutnya untuk mewujudkan Pontianak yang benar-benar tangguh di masa depan.
Baca paper aslinya di sini: https://doi.org/10.14246/irspsd.10.3_170