Lalu Lintas
Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025
Jalanan Indonesia sedang terengah-engah. Ini bukan sekadar perasaan yang muncul saat terjebak kemacetan di jam pulang kerja; ini adalah fakta statistik yang terekam dalam data nasional. Antara tahun 2014 dan 2015 saja, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia melonjak dari 114,21 juta unit menjadi 121,390 juta unit.1
Ini adalah lompatan sebesar 6,29% hanya dalam satu tahun—setara dengan 7,18 juta kendaraan baru yang tumpah ke jalan. Bayangkan, dalam 12 bulan, kita menambahkan armada kendaraan baru yang jumlahnya setara dengan seluruh populasi Hong Kong.
Saat kita mengurai angka tersebut, masalahnya menjadi semakin jelas. Dari 121 juta kendaraan itu, 98,88 juta unit—atau 81% dari total armada nasional—adalah sepeda motor.1 Dominasi roda dua ini adalah resep utama di balik kemacetan kronis di perkotaan.
Namun, kemacetan hanyalah satu dari dua musuh utama. Musuh kedua, yang seringkali luput dari pandangan namun jauh lebih merusak secara finansial, adalah kerusakan infrastruktur. Ini disebabkan oleh armada yang lebih kecil namun jauh lebih berat: 6,6 juta unit mobil barang (truk) dan 2,4 juta unit bus.1
Kita menghadapi dua krisis yang berbeda: krisis volume yang disebabkan oleh sepeda motor, dan krisis beban yang disebabkan oleh truk. Sistem manajemen lalu lintas yang ada saat ini gagal mengatasi keduanya.
Jebakan 'LHR': Menghitung Kendaraan Setelah Jalanan Runtuh
Selama ini, para perencana kota dan insinyur perkerasan jalan bergantung pada satu metode klasik untuk memahami lalu lintas: survei Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR). Metodologi ini melibatkan pengiriman petugas ke lapangan—berdiri di persimpangan atau di ruas jalan tertentu—untuk menghitung kendaraan secara manual.1
Masalahnya, metode ini adalah peninggalan era analog di dunia yang sudah digital. Para peneliti dari Universitas Kadiri menyoroti kelemahan fatalnya: "Permasalahannya survey tidak dapat dilakukan setiap hari".1
Karena keterbatasan biaya dan sumber daya manusia, survei ini jarang dilakukan. Akibatnya, data yang didapat seringkali sudah usang saat tiba di meja para pengambil keputusan. Lebih buruk lagi, survei seringkali baru dilakukan "dimana biasanya kemacetan atau kerusakan jalan sudah sangat parah".1
Ini adalah sebuah kegagalan sistemik yang mengunci kita dalam model kebijakan yang reaktif. Kita tidak memperbaiki jalan berdasarkan prediksi; kita memperbaikinya setelah jalan itu hancur. Ini adalah siklus "gali-lubang-tutup-lubang" yang menghabiskan anggaran secara masif.
Apa yang dibutuhkan, menurut para peneliti, adalah cara agar data selalu tersedia "setiap saat dan dimanapun berada (any time any where)".1 Mereka tidak hanya mengusulkan perbaikan; mereka mengusulkan sebuah revolusi.
Ide Brilian dari Universitas Kadiri: Plat Nomor Anda Adalah 'Password' Wi-Fi
Sebuah tim peneliti yang terdiri dari Arthur Daniel Limantara, A. I. Candra, dan S. W. Mudjanarko mengajukan sebuah solusi radikal berbasis Internet of Things (IoT).1
Hal yang paling mengejutkan dari proposal mereka bukanlah kerumitan teknologinya, melainkan kesederhanaan dan kejeniusannya. Alih-alih menggunakan teknologi pelacakan mahal seperti Automatic Number Plate Recognition (ANPR) berbasis kamera atau sistem RFID kustom, mereka memutuskan untuk "membajak" dua teknologi yang sudah ada di mana-mana: plat nomor kendaraan dan sinyal Wi-Fi.
Begini arsitekturnya bekerja dalam proposal mereka:
Ini adalah contoh "inovasi hemat" yang brilian. Para peneliti tidak menciptakan protokol identifikasi baru. Mereka menumpang pada protokol Wi-Fi yang ada dan sistem identifikasi legal (plat nomor) yang ada untuk menciptakan solusi berbiaya sangat rendah.
Implikasinya sangat besar. "Pembaca" atau sensornya bukanlah pemindai RFID khusus yang mahal. Pembacanya hanyalah sebuah Access Point (AP) Wi-Fi standar.1 Ini berarti setiap tiang lampu, setiap gerbang tol, setiap persimpangan, bahkan setiap toko di pinggir jalan berpotensi menjadi "titik deteksi" dengan biaya minimal. Skalabilitasnya nyaris tak terbatas.
Uji Coba di Gerbang Kampus: "AG 1682 AK" Telah Terdeteksi
Teori adalah satu hal, tetapi pembuktian di lapangan adalah hal lain. Tim peneliti kemudian membawa sistem mereka keluar dari laboratorium dan memasangnya di dunia nyata: area kampus Universitas Kadiri.1
Mereka memasang sebuah Access Point (AP), yang mereka sebut sebagai "Router", di gerbang masuk utama universitas.1 AP ini terhubung ke server database cloud.
Kemudian, mereka mengujinya dengan dua subjek:
Hasilnya persis seperti yang diharapkan. Saat mobil Xenia AG 1682 AK itu melintasi gerbang, AP di gerbang langsung "menangkap" siaran SSID dari mobil tersebut. Dalam hitungan detik, data itu dikirimkan ke server.1
Di dalam laboratorium, layar monitor yang terhubung ke server langsung menampilkan hasilnya (terlihat dalam tangkapan layar Gambar 18 di paper). Sistem mencatat plat nomor "AG 1682 AK" beserta tanggal dan jam masuk yang presisi. Secara bersamaan, sistem juga mencatatnya dalam database pemilik kendaraan (Gambar 17), menghubungkan plat nomor tersebut dengan data pemilik yang tersimpan.1
Uji coba ini sukses membuktikan bahwa seluruh rantai alur data—dari chip di mobil, siaran SSID, penangkapan oleh AP, pengiriman ke server, hingga pencatatan di database—berfungsi sempurna di lingkungan nyata.1
Data yang Jauh Lebih Penting: Mengukur 'Beban Roda' Secara Real-Time
Pelacakan plat nomor secara real-time sudah merupakan sebuah lompatan besar. Namun, itu baru setengah dari cerita. Inovasi sesungguhnya dari penelitian ini terletak pada arsitektur sistem kedua yang dirancang untuk menjawab krisis "jalan rusak".
Sistem ini bukan hanya menghitung volume; sistem ini juga menimbang beban.
Para peneliti merancang sistem terpisah yang ditanam langsung di dalam perkerasan jalan. Sistem ini terdiri dari tiga komponen utama:
Sekarang, bayangkan kedua sistem ini bekerja bersamaan.
Saat mobil Xenia AG 1682 AK itu melintas, dua hal terjadi secara simultan. Di atas, AP di gerbang menangkap identitasnya (via SSID). Di bawah, Load Cell di aspal menangkap beratnya (via Arduino).
Inilah inti dari revolusi data yang diusulkan. Sistem ini adalah yang pertama menggabungkan identitas unik kendaraan (Plat Nomor) dengan data beban roda real-time (berat).
Tanpa load cell, kita hanya tahu "Xenia AG 1682 AK" lewat. Tanpa SSID, kita hanya tahu "sebuah kendaraan seberat 1,5 ton" lewat. Dengan menggabungkan keduanya, server kini tahu: "Xenia AG 1682 AK, yang menurut data STNK di chip-nya memiliki berat kosong 1 ton, baru saja melintas dengan berat aktual 1,5 ton."
Sekarang, terapkan logika yang sama pada kendaraan niaga. Bayangkan sebuah truk tiga sumbu (yang diklasifikasikan sebagai Kode 1.2.2 dalam manual survei lalu lintas 1) melintas. Data di chip-nya mungkin menyebutkan berat kosong 10 ton. Tetapi load cell mencatatnya seberat 25 ton.
Dalam sekejap, kita memiliki bukti pelanggaran Over-Dimension Over-Loading (ODOL) yang tak terbantahkan, tercatat real-time, dan terikat pada identitas spesifik kendaraan tersebut.
Mengakhiri Era 'Tebak-Tebak' Perbaikan Jalan dan Menegakkan Hukum Secara Otomatis
Mengapa temuan sederhana dari laboratorium universitas ini begitu penting hari ini? Karena sistem ini berpotensi menjadi fondasi yang hilang untuk menegakkan kebijakan publik yang selama ini tumpul.
Dengan data ganda (identitas + berat), kita dapat beralih dari kebijakan reaktif menjadi penegakan hukum proaktif dan otomatis.
Opini: Mengapa Sistem Ini Belum Siap untuk Jalan Tol Cipali?
Sebagai sebuah prototipe, konsep ini brilian. Namun, para peneliti sendiri, dalam kesimpulannya, jujur mengakui beberapa keterbatasan signifikan yang membuat sistem ini belum siap untuk implementasi skala nasional.1
Pertama, masalah jangkauan. Sistem ini diuji coba dengan "jangkauan area 10 meter".1 Para peneliti mencatat ini sebagai hal positif "agar tidak terjadi tumpang tindih data antar router".1 Namun, dalam skenario dunia nyata, ini adalah kelemahan besar. Jangkauan 10 meter mungkin cukup untuk gerbang kampus satu lajur. Tetapi di jalan raya delapan lajur (empat lajur per arah), jangkauan ini tidak akan memadai. Ini menyiratkan perlunya infrastruktur AP yang sangat padat—dan mahal—untuk dipasang di setiap lajur jalan tol.
Kedua, masalah format plat nomor. Ini adalah kelemahan fatal dalam perangkat lunak. Para peneliti mengakui sistem "masih dikembangkan untuk mendeteksi satu, dua, atau tiga digit dari nomor polisi tersebut".1 Dengan kata lain, sistem ini tampaknya hanya dirancang untuk membaca format plat nomor regional yang kaku (seperti AG 1682 AK). Sistem ini akan gagal total di Jakarta, di mana plat nomor B 1, B 12, atau B 123 sangat umum. Ini menunjukkan logika parsing SSID di server belum siap untuk variasi data nasional.
Ketiga, masalah pengecualian. Sistem ini "belum dapat mendeteksi plat nomor khusus seperti TNI maupun polisi".1 Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah politik. Sistem apa pun yang memiliki "titik buta" dan tidak bisa mengidentifikasi (atau secara sengaja mengabaikan) kendaraan aparat penegak hukum tidak akan pernah bisa memberikan data LHR yang akurat 100% atau menegakkan hukum secara adil.
Visi ke Depan: Dari Laboratorium Menuju 'Smart City' Nasional
Meskipun ini adalah penelitian skala laboratorium dari tahun 2017, relevansinya hari ini—di tengah dorongan Smart City nasional dan krisis ODOL yang terus berlanjut—justru semakin besar.
Ini adalah prototipe yang brilian. Jika tiga keterbatasan utama—jangkauan sinyal, fleksibilitas format plat, dan penanganan plat khusus—dapat diatasi melalui pengembangan lebih lanjut, temuan dari Universitas Kadiri ini bisa menjadi fondasi untuk sistem transportasi cerdas nasional.
Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya perawatan jalan akibat truk ODOL hingga miliaran rupiah dan merevolusi penegakan aturan lalu lintas perkotaan dalam waktu lima tahun ke depan.
Sumber Artikel:
Limantara, A. D., Candra, A. I., & Mudjanarko, S. W. (2017). Manajemen data lalu lintas kendaraan berbasis sistem internet cerdas: Ujicoba implementasi di laboratorium Universitas Kadiri. Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2017.
Lalu Lintas
Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025
Jakarta berada di ambang kelumpuhan lalu lintas. Ini bukan lagi sekadar keluhan harian, melainkan sebuah diagnosis klinis yang didukung oleh data-data suram. Dalam dua dekade terakhir, populasi kawasan metropolitan Jakarta (Jabodetabek) meledak dari 17 juta menjadi 28 juta jiwa. Lonjakan ini diiringi tsunami kendaraan pribadi: jumlahnya meroket hampir 500%, dari 3 juta unit pada tahun 2000 menjadi 14 juta unit pada 2012. Sementara itu, infrastruktur jalan nyaris tak bergerak, dengan laju pertumbuhan hanya 0.01% per tahun.1 Ini adalah narasi sebuah kota yang secara harfiah kehabisan ruang gerak, di mana setiap hari adalah pertarungan memperebutkan aspal yang kian sempit.
Di tengah krisis ini, sebuah dokumen komprehensif yang disusun oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) pada tahun 2015 muncul sebagai cetak biru paling detail yang pernah ada. Laporan bertajuk “Preparatory Survey on Intelligent Transport System Project to mitigate Traffic Congestion in Jakarta” ini bukan sekadar studi akademis; ia adalah sebuah resep teknis, hukum, dan finansial untuk sebuah intervensi radikal yang dirancang untuk membongkar simpul kemacetan dari akarnya.1
Inti dari proposal ini adalah adopsi sistem jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) yang ditenagai oleh Intelligent Transport Systems (ITS). Namun, di balik janji kelancaran lalu lintas dan keuntungan ekonomi triliunan rupiah, tersembunyi sebuah pedang bermata dua. Ini adalah sebuah pertaruhan besar yang akan mengubah secara fundamental perilaku komuter, menyingkirkan sebuah profesi informal yang lahir dari kebuntuan kebijakan, dan membebani sebagian masyarakat. Keberhasilan proyek raksasa ini, sebagaimana diungkap laporan tersebut, akan bergantung pada keseimbangan yang rapuh antara efisiensi teknologi dan keadilan sosial.
Mengukur Denyut Nadi Kemacetan: Apa yang Ditemukan Peneliti di Jalanan?
Sebelum menawarkan solusi, para peneliti JICA turun langsung ke arteri-arteri utama Jakarta untuk mengukur "penyakit" kemacetan secara presisi. Temuan mereka tidak hanya mengonfirmasi penderitaan yang dirasakan jutaan warga setiap hari, tetapi juga, yang lebih penting, memberikan justifikasi legal yang kokoh untuk mengambil tindakan drastis.
Survei Kecepatan Perjalanan (Travel Speed Survey) yang dilakukan di koridor-koridor target—Koridor 1 (Blok M-Kota) dan Koridor 6 (Ragunan-Bundaran HI)—menghasilkan data yang mengejutkan. Pada jam-jam puncak, kecepatan rata-rata kendaraan merosot hingga level yang mengkhawatirkan. Di beberapa titik, laju kendaraan bahkan lebih lambat dari orang yang berjalan kaki. Sebagai contoh, di ruas Jalan Gatot Subroto menuju Jalan Kapten Tendean pada sore hari (pukul 17:00-18:00), kecepatan anjlok hingga hanya 3 km/jam. Kondisi serupa terjadi di ruas Bundaran HI menuju Jembatan Dukuh Atas pada jam yang sama, di mana kecepatan juga jatuh ke angka 3 km/jam.1
Angka-angka ini bukan sekadar statistik yang menyedihkan, melainkan kunci legalitas untuk implementasi ERP. Peraturan Pemerintah (PP) 97/2012 secara spesifik menetapkan bahwa ERP dapat diterapkan pada ruas jalan yang kecepatan rata-ratanya pada jam puncak sama dengan atau kurang dari 10 km/jam.1 Dengan demikian, temuan survei JICA ini secara efektif memberikan "lampu hijau" hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ini menunjukkan bahwa survei tersebut bukan hanya riset akademis, tetapi sebuah langkah strategis untuk memenuhi prasyarat hukum yang dibutuhkan untuk sebuah kebijakan radikal.
Di tengah kekacauan ini, penelitian juga menyoroti sebuah ekosistem ekonomi informal yang unik: dunia para 'joki'. Fenomena ini bukanlah sekadar pelanggaran aturan, melainkan sebuah pasar yang lahir dari kebijakan "3 in 1" yang terbukti tidak efektif. Wawancara mendalam dengan para joki mengungkap struktur harga yang jelas untuk "layanan" mereka.1
Keberadaan harga joki yang relatif tinggi ini mengungkap sebuah fakta psikologis yang penting: adanya kemauan membayar (willingness to pay) yang nyata di kalangan pengemudi untuk mempersingkat waktu tempuh atau sekadar menghindari aturan. Angka-angka ini menjadi tolok ukur krusial. Jika pengemudi bersedia membayar puluhan ribu rupiah untuk layanan informal tanpa jaminan, maka usulan tarif ERP formal yang lebih rendah menjadi lebih masuk akal dan berpotensi lebih mudah diterima oleh segmen pasar yang sama. ERP, dalam konteks ini, tidak memperkenalkan konsep "membayar untuk jalan" dari nol; ia hanya memformalkan dan meregulasi sebuah perilaku ekonomi yang sudah telanjur ada di jalanan Jakarta.
Jika Jalanan Berbayar, Apa yang Akan Dilakukan Warga Jakarta?
Pertanyaan terbesar dari setiap kebijakan yang mengubah kebiasaan adalah: bagaimana reaksi publik? Survei Willingness-to-Pay (WTP) JICA mencoba menjawab ini dengan menyajikan skenario masa depan kepada 1.200 pengguna mobil di koridor target, di mana setiap perjalanan mereka akan dikenakan biaya.1 Hasilnya menunjukkan potensi perubahan perilaku yang dramatis, sebuah eksodus massal dari kenyamanan mobil pribadi.
Ketika dihadapkan pada berbagai tingkat tarif, mayoritas responden menyatakan tidak akan pasrah membayar. Mereka akan mencari alternatif lain, dan pilihan mereka sangat bergantung pada di mana mereka berada. Alternatif utama yang dipilih antara lain:
Yang paling menarik dari temuan ini adalah perbedaan respons yang tajam antara pengguna Koridor 1 dan Koridor 6. Perbedaan ini bukan kebetulan, melainkan cerminan langsung dari ketersediaan dan kualitas alternatif transportasi. Di Koridor 1 (Blok M-Kota), yang merupakan rute utama Transjakarta dan akan dilintasi oleh MRT, peralihan ke transportasi publik menjadi pilihan yang dominan dan rasional. Sebaliknya, di Koridor 6 (Ragunan-Bundaran HI), di mana alternatif transportasi publik massal selain BRT lebih terbatas, niat untuk beralih ke sepeda motor jauh lebih tinggi.1
Perbedaan ini mengungkap sebuah kebenaran fundamental: ERP tidak beroperasi dalam ruang hampa. Efektivitasnya dalam mendorong pergeseran moda yang diinginkan—yaitu ke angkutan massal—sangat bergantung pada seberapa baik angkutan massal itu sendiri. Di koridor dengan pilihan yang baik, ERP berhasil mendorong perilaku yang ideal. Namun, di koridor dengan pilihan yang buruk, ERP berisiko hanya memindahkan kemacetan dari mobil ke lautan sepeda motor, yang berpotensi menimbulkan masalah baru terkait keselamatan dan ketertiban lalu lintas. Dengan kata lain, ERP berfungsi sebagai sebuah referendum atas kualitas transportasi publik di sebuah kota.
Formula Anti-Macet: Menetapkan Tarif Ideal dan Potensi Pendapatan Negara
Berbekal data perilaku pengemudi, para peneliti JICA melakukan serangkaian simulasi untuk menemukan "titik manis" (sweet spot)—sebuah tarif yang cukup tinggi untuk mengurangi kemacetan secara signifikan, namun tidak terlalu tinggi hingga membuat jalanan kosong dan pendapatan negara anjlok.
Hasil dari analisis peramalan permintaan lalu lintas (Traffic Demand Forecast) menyimpulkan bahwa tarif sebesar Rp 15.000 per perjalanan adalah angka yang paling optimal.1 Pada tingkat harga ini, proyeksi menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan:
Namun, poin paling krusial yang digarisbawahi dalam kerangka hukum studi ini adalah sifat dari pendapatan tersebut. Uang yang terkumpul dari ERP, yang secara hukum diklasifikasikan sebagai "Retribusi Pengendalian Lalu Lintas," bukanlah pajak yang masuk ke kas umum negara. Peraturan Pemerintah (PP) 97/2012 dan PP 32/2011 secara eksplisit mengamanatkan bahwa seluruh pendapatan dari ERP wajib digunakan kembali secara eksklusif untuk meningkatkan kinerja lalu lintas dan layanan transportasi publik.1
Hal ini mengubah paradigma ERP dari sekadar "jalan berbayar" menjadi sebuah mekanisme pendanaan yang berkelanjutan dan mandiri (self-funding mechanism). Setiap rupiah yang dibayarkan oleh pengguna mobil pribadi secara langsung diinvestasikan kembali untuk membuat bus dan kereta menjadi lebih baik, lebih nyaman, dan lebih sering. Ini menciptakan sebuah siklus positif yang kuat: semakin banyak orang membayar ERP, semakin baik kualitas alternatif transportasi publik. Seiring waktu, kualitas transportasi publik yang meningkat akan mendorong lebih banyak orang untuk beralih secara sukarela, bahkan tanpa paksaan tarif. Dengan demikian, ERP dirancang sebagai alat yang pada akhirnya membayar untuk membuat dirinya sendiri kurang relevan di masa depan.
Pedang Bermata Dua: Keuntungan Ekonomi Melawan Biaya Sosial yang Mahal
Analisis JICA tidak berhenti pada perhitungan lalu lintas dan pendapatan. Mereka melakukan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) yang komprehensif untuk menjawab pertanyaan fundamental: apakah proyek ini benar-benar "layak" bagi Jakarta secara keseluruhan, dengan mempertimbangkan semua dampaknya?
Dari sisi ekonomi, hasilnya sangat positif. Proyek ini diproyeksikan memberikan keuntungan luar biasa bagi masyarakat luas 1:
Namun, di balik angka-angka impresif ini, laporan JICA juga secara jujur mengidentifikasi sisi gelap dari efisiensi, yaitu biaya sosial yang mahal. Implementasi ERP akan menjadi pedang bermata dua yang dampaknya sangat terasa bagi kelompok-kelompok rentan 1:
Lebih jauh, analisis risiko proyek mengungkap bahwa ancaman terbesar bagi keberhasilan ERP bukanlah kegagalan teknologi, melainkan tata kelola pemerintahan. Skema Kemitraan Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang diusulkan menempatkan "Risiko Permintaan Lalu Lintas" (Traffic Demand Risk) dan "Risiko Pembayaran Unitary" (Unitary Payment Risk) sepenuhnya pada pundak pemerintah.1 Artinya, pemerintah menjamin pembayaran secara berkala kepada investor swasta, terlepas dari berapa banyak mobil yang lewat atau berapa pendapatan yang terkumpul. Ini adalah strategi yang efektif untuk menarik investasi swasta, tetapi sekaligus menciptakan kerentanan terbesar proyek: konsistensi anggaran dan kemauan politik pemerintah. Jika terjadi gejolak politik, perubahan prioritas anggaran, atau penundaan birokrasi, pembayaran kepada pihak swasta bisa macet, dan seluruh proyek yang sangat menjanjikan ini bisa terancam gagal. Stabilitas jangka panjang proyek ini, pada akhirnya, tidak bergantung pada seberapa canggih kameranya, tetapi pada seberapa stabil dan disiplin pemerintah dalam memenuhi kewajiban kontraknya selama bertahun-tahun.
Visi Jakarta Masa Depan – Pertaruhan Teknologi untuk Kualitas Hidup
Laporan JICA secara gamblang menunjukkan bahwa Electronic Road Pricing bukanlah peluru perak yang akan menyelesaikan semua masalah transportasi Jakarta dalam sekejap. Ia adalah sebuah alat kebijakan yang sangat kuat namun tajam, yang menawarkan keuntungan ekonomi dan efisiensi yang luar biasa dengan biaya sosial yang nyata. Ini adalah sebuah pertukaran (trade-off) yang harus dikelola dengan hati-hati antara kelancaran kolektif dan beban individu, antara kemajuan teknologi dan jaring pengaman sosial.
Namun, visi yang ditawarkan sangatlah menarik. Jika diterapkan secara konsisten dan didukung oleh peningkatan masif transportasi publik yang didanai dari pendapatannya sendiri, temuan studi ini menunjukkan bahwa sistem ERP bisa mengurangi waktu tempuh rata-rata di koridor utama hingga 30-40% dan menghemat miliaran rupiah dari kerugian ekonomi akibat kemacetan dalam waktu lima tahun. Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang memindahkan mobil secara lebih efisien, tetapi tentang sebuah pertaruhan untuk mengembalikan aset paling berharga yang telah dicuri oleh kemacetan selama puluhan tahun: waktu, produktivitas, dan kualitas hidup warga Jakarta.
Sumber Artikel:
Japan International Cooperation Agency. (2015). Preparatory Survey on Intelligent Transport System Project to mitigate Traffic Congestion in Jakarta (PPP Infrastructure Project) Final Report. Mitsubishi Heavy Industries, Ltd & Mitsubishi Research Institute, Inc.