Penelitian Mendalam JICA Mengungkap 'Harga' Kemacetan Jakarta – Ini Solusi Radikal dan Siapa yang Akan Terdampak

Dipublikasikan oleh Hansel

14 Oktober 2025, 17.30

unsplash.com

Jakarta berada di ambang kelumpuhan lalu lintas. Ini bukan lagi sekadar keluhan harian, melainkan sebuah diagnosis klinis yang didukung oleh data-data suram. Dalam dua dekade terakhir, populasi kawasan metropolitan Jakarta (Jabodetabek) meledak dari 17 juta menjadi 28 juta jiwa. Lonjakan ini diiringi tsunami kendaraan pribadi: jumlahnya meroket hampir 500%, dari 3 juta unit pada tahun 2000 menjadi 14 juta unit pada 2012. Sementara itu, infrastruktur jalan nyaris tak bergerak, dengan laju pertumbuhan hanya 0.01% per tahun.1 Ini adalah narasi sebuah kota yang secara harfiah kehabisan ruang gerak, di mana setiap hari adalah pertarungan memperebutkan aspal yang kian sempit.

Di tengah krisis ini, sebuah dokumen komprehensif yang disusun oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) pada tahun 2015 muncul sebagai cetak biru paling detail yang pernah ada. Laporan bertajuk “Preparatory Survey on Intelligent Transport System Project to mitigate Traffic Congestion in Jakarta” ini bukan sekadar studi akademis; ia adalah sebuah resep teknis, hukum, dan finansial untuk sebuah intervensi radikal yang dirancang untuk membongkar simpul kemacetan dari akarnya.1

Inti dari proposal ini adalah adopsi sistem jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) yang ditenagai oleh Intelligent Transport Systems (ITS). Namun, di balik janji kelancaran lalu lintas dan keuntungan ekonomi triliunan rupiah, tersembunyi sebuah pedang bermata dua. Ini adalah sebuah pertaruhan besar yang akan mengubah secara fundamental perilaku komuter, menyingkirkan sebuah profesi informal yang lahir dari kebuntuan kebijakan, dan membebani sebagian masyarakat. Keberhasilan proyek raksasa ini, sebagaimana diungkap laporan tersebut, akan bergantung pada keseimbangan yang rapuh antara efisiensi teknologi dan keadilan sosial.

 

Mengukur Denyut Nadi Kemacetan: Apa yang Ditemukan Peneliti di Jalanan?

Sebelum menawarkan solusi, para peneliti JICA turun langsung ke arteri-arteri utama Jakarta untuk mengukur "penyakit" kemacetan secara presisi. Temuan mereka tidak hanya mengonfirmasi penderitaan yang dirasakan jutaan warga setiap hari, tetapi juga, yang lebih penting, memberikan justifikasi legal yang kokoh untuk mengambil tindakan drastis.

Survei Kecepatan Perjalanan (Travel Speed Survey) yang dilakukan di koridor-koridor target—Koridor 1 (Blok M-Kota) dan Koridor 6 (Ragunan-Bundaran HI)—menghasilkan data yang mengejutkan. Pada jam-jam puncak, kecepatan rata-rata kendaraan merosot hingga level yang mengkhawatirkan. Di beberapa titik, laju kendaraan bahkan lebih lambat dari orang yang berjalan kaki. Sebagai contoh, di ruas Jalan Gatot Subroto menuju Jalan Kapten Tendean pada sore hari (pukul 17:00-18:00), kecepatan anjlok hingga hanya 3 km/jam. Kondisi serupa terjadi di ruas Bundaran HI menuju Jembatan Dukuh Atas pada jam yang sama, di mana kecepatan juga jatuh ke angka 3 km/jam.1

Angka-angka ini bukan sekadar statistik yang menyedihkan, melainkan kunci legalitas untuk implementasi ERP. Peraturan Pemerintah (PP) 97/2012 secara spesifik menetapkan bahwa ERP dapat diterapkan pada ruas jalan yang kecepatan rata-ratanya pada jam puncak sama dengan atau kurang dari 10 km/jam.1 Dengan demikian, temuan survei JICA ini secara efektif memberikan "lampu hijau" hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ini menunjukkan bahwa survei tersebut bukan hanya riset akademis, tetapi sebuah langkah strategis untuk memenuhi prasyarat hukum yang dibutuhkan untuk sebuah kebijakan radikal.

Di tengah kekacauan ini, penelitian juga menyoroti sebuah ekosistem ekonomi informal yang unik: dunia para 'joki'. Fenomena ini bukanlah sekadar pelanggaran aturan, melainkan sebuah pasar yang lahir dari kebijakan "3 in 1" yang terbukti tidak efektif. Wawancara mendalam dengan para joki mengungkap struktur harga yang jelas untuk "layanan" mereka.1

  • Untuk perjalanan jarak jauh dari area Blok M/Senayan menuju Harmoni, pengemudi rata-rata membayar sekitar Rp 33.500.
  • Untuk rute yang lebih pendek, seperti dari Blok M/Senayan ke area Bank Indonesia, biayanya sekitar Rp 28.000.1

Keberadaan harga joki yang relatif tinggi ini mengungkap sebuah fakta psikologis yang penting: adanya kemauan membayar (willingness to pay) yang nyata di kalangan pengemudi untuk mempersingkat waktu tempuh atau sekadar menghindari aturan. Angka-angka ini menjadi tolok ukur krusial. Jika pengemudi bersedia membayar puluhan ribu rupiah untuk layanan informal tanpa jaminan, maka usulan tarif ERP formal yang lebih rendah menjadi lebih masuk akal dan berpotensi lebih mudah diterima oleh segmen pasar yang sama. ERP, dalam konteks ini, tidak memperkenalkan konsep "membayar untuk jalan" dari nol; ia hanya memformalkan dan meregulasi sebuah perilaku ekonomi yang sudah telanjur ada di jalanan Jakarta.

 

Jika Jalanan Berbayar, Apa yang Akan Dilakukan Warga Jakarta?

Pertanyaan terbesar dari setiap kebijakan yang mengubah kebiasaan adalah: bagaimana reaksi publik? Survei Willingness-to-Pay (WTP) JICA mencoba menjawab ini dengan menyajikan skenario masa depan kepada 1.200 pengguna mobil di koridor target, di mana setiap perjalanan mereka akan dikenakan biaya.1 Hasilnya menunjukkan potensi perubahan perilaku yang dramatis, sebuah eksodus massal dari kenyamanan mobil pribadi.

Ketika dihadapkan pada berbagai tingkat tarif, mayoritas responden menyatakan tidak akan pasrah membayar. Mereka akan mencari alternatif lain, dan pilihan mereka sangat bergantung pada di mana mereka berada. Alternatif utama yang dipilih antara lain:

  • Beralih ke Transportasi Publik: Ini menjadi pilihan teratas bagi pengguna di Koridor 1. Dengan tarif ERP sebesar Rp 15.000, sekitar 19% responden di koridor ini menyatakan akan beralih ke angkutan umum seperti Transjakarta.1
  • Beralih ke Sepeda Motor: Pilihan ini menjadi sangat signifikan, terutama di Koridor 6. Pada tarif yang sama, 14% responden di sana memilih untuk beralih ke kendaraan roda dua.1
  • Mengubah Waktu atau Rute Perjalanan: Banyak juga yang memilih untuk mengakali sistem dengan berangkat lebih pagi, pulang lebih malam, atau mencari "jalan tikus" untuk menghindari gerbang ERP.

Yang paling menarik dari temuan ini adalah perbedaan respons yang tajam antara pengguna Koridor 1 dan Koridor 6. Perbedaan ini bukan kebetulan, melainkan cerminan langsung dari ketersediaan dan kualitas alternatif transportasi. Di Koridor 1 (Blok M-Kota), yang merupakan rute utama Transjakarta dan akan dilintasi oleh MRT, peralihan ke transportasi publik menjadi pilihan yang dominan dan rasional. Sebaliknya, di Koridor 6 (Ragunan-Bundaran HI), di mana alternatif transportasi publik massal selain BRT lebih terbatas, niat untuk beralih ke sepeda motor jauh lebih tinggi.1

Perbedaan ini mengungkap sebuah kebenaran fundamental: ERP tidak beroperasi dalam ruang hampa. Efektivitasnya dalam mendorong pergeseran moda yang diinginkan—yaitu ke angkutan massal—sangat bergantung pada seberapa baik angkutan massal itu sendiri. Di koridor dengan pilihan yang baik, ERP berhasil mendorong perilaku yang ideal. Namun, di koridor dengan pilihan yang buruk, ERP berisiko hanya memindahkan kemacetan dari mobil ke lautan sepeda motor, yang berpotensi menimbulkan masalah baru terkait keselamatan dan ketertiban lalu lintas. Dengan kata lain, ERP berfungsi sebagai sebuah referendum atas kualitas transportasi publik di sebuah kota.

 

Formula Anti-Macet: Menetapkan Tarif Ideal dan Potensi Pendapatan Negara

Berbekal data perilaku pengemudi, para peneliti JICA melakukan serangkaian simulasi untuk menemukan "titik manis" (sweet spot)—sebuah tarif yang cukup tinggi untuk mengurangi kemacetan secara signifikan, namun tidak terlalu tinggi hingga membuat jalanan kosong dan pendapatan negara anjlok.

Hasil dari analisis peramalan permintaan lalu lintas (Traffic Demand Forecast) menyimpulkan bahwa tarif sebesar Rp 15.000 per perjalanan adalah angka yang paling optimal.1 Pada tingkat harga ini, proyeksi menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan:

  • Volume lalu lintas diperkirakan akan berkurang sekitar 20%. Ini setara dengan menghilangkan satu dari setiap lima mobil pribadi di Jalan Sudirman pada jam puncak, sebuah skenario yang dapat memberikan ruang napas yang belum pernah terasa selama puluhan tahun.
  • Tarif ini juga memaksimalkan potensi pendapatan. Dengan biaya Rp 15.000 per perjalanan, proyek ini diproyeksikan mampu menghasilkan pendapatan tahunan kotor sekitar Rp 782,8 miliar.1

Namun, poin paling krusial yang digarisbawahi dalam kerangka hukum studi ini adalah sifat dari pendapatan tersebut. Uang yang terkumpul dari ERP, yang secara hukum diklasifikasikan sebagai "Retribusi Pengendalian Lalu Lintas," bukanlah pajak yang masuk ke kas umum negara. Peraturan Pemerintah (PP) 97/2012 dan PP 32/2011 secara eksplisit mengamanatkan bahwa seluruh pendapatan dari ERP wajib digunakan kembali secara eksklusif untuk meningkatkan kinerja lalu lintas dan layanan transportasi publik.1

Hal ini mengubah paradigma ERP dari sekadar "jalan berbayar" menjadi sebuah mekanisme pendanaan yang berkelanjutan dan mandiri (self-funding mechanism). Setiap rupiah yang dibayarkan oleh pengguna mobil pribadi secara langsung diinvestasikan kembali untuk membuat bus dan kereta menjadi lebih baik, lebih nyaman, dan lebih sering. Ini menciptakan sebuah siklus positif yang kuat: semakin banyak orang membayar ERP, semakin baik kualitas alternatif transportasi publik. Seiring waktu, kualitas transportasi publik yang meningkat akan mendorong lebih banyak orang untuk beralih secara sukarela, bahkan tanpa paksaan tarif. Dengan demikian, ERP dirancang sebagai alat yang pada akhirnya membayar untuk membuat dirinya sendiri kurang relevan di masa depan.

 

Pedang Bermata Dua: Keuntungan Ekonomi Melawan Biaya Sosial yang Mahal

Analisis JICA tidak berhenti pada perhitungan lalu lintas dan pendapatan. Mereka melakukan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) yang komprehensif untuk menjawab pertanyaan fundamental: apakah proyek ini benar-benar "layak" bagi Jakarta secara keseluruhan, dengan mempertimbangkan semua dampaknya?

Dari sisi ekonomi, hasilnya sangat positif. Proyek ini diproyeksikan memberikan keuntungan luar biasa bagi masyarakat luas 1:

  • Economic Internal Rate of Return (EIRR) sebesar 103,34%: Ini adalah tingkat pengembalian investasi yang sangat tinggi bagi masyarakat, jauh melampaui ambang batas kelayakan untuk proyek infrastruktur pada umumnya yang biasanya berada di kisaran 10-15%.
  • Benefit/Cost Ratio (B/C Ratio) sebesar 6,25: Angka ini adalah yang paling kuat. Artinya, untuk setiap satu rupiah yang diinvestasikan dalam pembangunan sistem ERP, masyarakat Jakarta akan menerima kembali manfaat senilai lebih dari enam rupiah. Manfaat ini terwujud dalam bentuk penghematan waktu tempuh, pengurangan konsumsi bahan bakar, penurunan polusi, dan peningkatan produktivitas ekonomi.
  • Net Present Value (NPV) sebesar Rp 5,5 triliun: Ini adalah nilai bersih keuntungan proyek dalam nilai uang hari ini, setelah dikurangi semua biaya investasi dan operasional.

Namun, di balik angka-angka impresif ini, laporan JICA juga secara jujur mengidentifikasi sisi gelap dari efisiensi, yaitu biaya sosial yang mahal. Implementasi ERP akan menjadi pedang bermata dua yang dampaknya sangat terasa bagi kelompok-kelompok rentan 1:

  • Nasib Para Joki: Sistem ERP secara otomatis akan menghapus total profesi joki. Ini bukan hanya soal kehilangan pekerjaan, tetapi juga hilangnya sumber penghidupan bagi kelompok masyarakat yang bergantung pada ekosistem informal kemacetan. Laporan ini mengidentifikasi mereka sebagai kelompok yang akan terdampak negatif secara langsung.
  • Beban bagi Rumah Tangga Berpenghasilan Rendah: Survei menunjukkan bahwa sekitar 27% pengguna mobil di koridor target memiliki pendapatan rumah tangga di bawah Rp 5 juta per bulan. Bagi mereka, tarif ERP Rp 15.000 per perjalanan (setara dengan sekitar Rp 660.000 per bulan untuk perjalanan pulang-pergi setiap hari kerja) akan menjadi beban finansial yang sangat berat. Mereka dihadapkan pada pilihan sulit: membayar biaya tambahan yang signifikan dari anggaran mereka yang terbatas, atau beralih ke transportasi publik yang mungkin menambah waktu dan ketidaknyamanan perjalanan mereka.

Lebih jauh, analisis risiko proyek mengungkap bahwa ancaman terbesar bagi keberhasilan ERP bukanlah kegagalan teknologi, melainkan tata kelola pemerintahan. Skema Kemitraan Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang diusulkan menempatkan "Risiko Permintaan Lalu Lintas" (Traffic Demand Risk) dan "Risiko Pembayaran Unitary" (Unitary Payment Risk) sepenuhnya pada pundak pemerintah.1 Artinya, pemerintah menjamin pembayaran secara berkala kepada investor swasta, terlepas dari berapa banyak mobil yang lewat atau berapa pendapatan yang terkumpul. Ini adalah strategi yang efektif untuk menarik investasi swasta, tetapi sekaligus menciptakan kerentanan terbesar proyek: konsistensi anggaran dan kemauan politik pemerintah. Jika terjadi gejolak politik, perubahan prioritas anggaran, atau penundaan birokrasi, pembayaran kepada pihak swasta bisa macet, dan seluruh proyek yang sangat menjanjikan ini bisa terancam gagal. Stabilitas jangka panjang proyek ini, pada akhirnya, tidak bergantung pada seberapa canggih kameranya, tetapi pada seberapa stabil dan disiplin pemerintah dalam memenuhi kewajiban kontraknya selama bertahun-tahun.

 

Visi Jakarta Masa Depan – Pertaruhan Teknologi untuk Kualitas Hidup

Laporan JICA secara gamblang menunjukkan bahwa Electronic Road Pricing bukanlah peluru perak yang akan menyelesaikan semua masalah transportasi Jakarta dalam sekejap. Ia adalah sebuah alat kebijakan yang sangat kuat namun tajam, yang menawarkan keuntungan ekonomi dan efisiensi yang luar biasa dengan biaya sosial yang nyata. Ini adalah sebuah pertukaran (trade-off) yang harus dikelola dengan hati-hati antara kelancaran kolektif dan beban individu, antara kemajuan teknologi dan jaring pengaman sosial.

Namun, visi yang ditawarkan sangatlah menarik. Jika diterapkan secara konsisten dan didukung oleh peningkatan masif transportasi publik yang didanai dari pendapatannya sendiri, temuan studi ini menunjukkan bahwa sistem ERP bisa mengurangi waktu tempuh rata-rata di koridor utama hingga 30-40% dan menghemat miliaran rupiah dari kerugian ekonomi akibat kemacetan dalam waktu lima tahun. Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang memindahkan mobil secara lebih efisien, tetapi tentang sebuah pertaruhan untuk mengembalikan aset paling berharga yang telah dicuri oleh kemacetan selama puluhan tahun: waktu, produktivitas, dan kualitas hidup warga Jakarta.

 

Sumber Artikel:

Japan International Cooperation Agency. (2015). Preparatory Survey on Intelligent Transport System Project to mitigate Traffic Congestion in Jakarta (PPP Infrastructure Project) Final Report. Mitsubishi Heavy Industries, Ltd & Mitsubishi Research Institute, Inc.