Kualitas Produksi

Resensi Konseptual dan Reflektif Examining the Role of Total Quality Management in Firms’ Sustainability: A Systematic Literature Review and Future Research Agenda

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 20 Agustus 2025


Pendahuluan: Kualitas, Keberlanjutan, dan Tantangan Manajerial

Artikel ini mengupas keterkaitan antara Total Quality Management (TQM) dan sustainability perusahaan. Penulis memulai dengan pertanyaan mendasar: bagaimana prinsip manajemen kualitas total yang telah lama digunakan dalam dunia industri dapat berkontribusi pada keberlanjutan bisnis jangka panjang?

Dalam konteks global, keberlanjutan bukan lagi sekadar isu etis, melainkan kebutuhan strategis. Perusahaan dihadapkan pada tekanan untuk mengurangi dampak lingkungan, meningkatkan efisiensi sosial, dan menjaga daya saing ekonomi. Artikel ini menyajikan tinjauan sistematis literatur (systematic literature review/SLR) untuk memetakan hubungan antara TQM dan keberlanjutan, sekaligus merumuskan agenda penelitian ke depan.

Kontribusi Ilmiah: TQM sebagai Pilar Keberlanjutan

Pemetaan Konseptual

Penulis menekankan bahwa TQM bukan sekadar alat peningkatan kualitas produk, tetapi sebuah filosofi manajemen yang melibatkan seluruh proses, struktur, dan budaya organisasi.

Kontribusi ilmiah artikel ini dapat dirangkum sebagai berikut:

  • Menghubungkan TQM dan keberlanjutan: artikel ini menunjukkan bahwa praktik kualitas total dapat mendukung tiga pilar keberlanjutan (ekonomi, sosial, lingkungan).

  • Menyediakan agenda riset baru: penulis tidak hanya memetakan literatur yang ada, tetapi juga menawarkan arah penelitian yang perlu digarap.

  • Mengintegrasikan pendekatan multidisipliner: TQM diposisikan sebagai konsep yang bisa dijembatani dengan isu manajemen strategis, inovasi, hingga kebijakan lingkungan.

Interpretasi Konseptual

Artikel ini menegaskan bahwa kualitas dan keberlanjutan bukan dua hal terpisah, melainkan saling menguatkan. Dengan kata lain, perusahaan yang konsisten menjalankan prinsip kualitas total cenderung lebih siap menghadapi tuntutan keberlanjutan global.

Kerangka Teoretis: Fondasi Pemikiran Penulis

Penulis membangun analisisnya di atas beberapa kerangka teori:

  1. Prinsip dasar TQM: fokus pada kepuasan pelanggan, perbaikan berkelanjutan, keterlibatan semua level organisasi, serta penggunaan data untuk pengambilan keputusan.

  2. Triple Bottom Line (TBL): keberlanjutan dipahami melalui dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan.

  3. Teori organisasi dan strategi: keberlanjutan perusahaan tidak hanya ditentukan faktor eksternal, tetapi juga oleh kemampuan internal mengelola kualitas.

Interpretasi

Kerangka ini memperlihatkan bahwa keberlanjutan perusahaan bukan sekadar kepatuhan regulatif, tetapi hasil dari proses manajerial jangka panjang yang berbasis kualitas. Dengan kata lain, TQM bisa menjadi jembatan antara keunggulan operasional dan tanggung jawab keberlanjutan.

Narasi Argumentatif: Alur Pemikiran Penulis

Identifikasi Masalah

Meskipun literatur TQM dan keberlanjutan sudah berkembang, masih ada kekosongan dalam memahami hubungan langsung antara keduanya. Penulis menyoroti bahwa sebagian besar penelitian terdahulu masih bersifat parsial, misalnya hanya melihat dampak TQM pada aspek ekonomi, tanpa memasukkan dimensi sosial dan lingkungan.

Pendekatan Sistematis

Dengan metode SLR, penulis meninjau puluhan artikel akademik untuk mengidentifikasi pola, tren, dan celah penelitian. Dari sini, mereka menyusun argumentasi bahwa TQM memiliki potensi besar untuk mendukung keberlanjutan jika dipandang secara holistik.

Alur Logika

  1. TQM meningkatkan efisiensi dan kepuasan pelanggan.

  2. Efisiensi dan orientasi pelanggan mendukung aspek ekonomi keberlanjutan.

  3. Keterlibatan karyawan dan budaya kualitas berkontribusi pada aspek sosial.

  4. Proses yang sistematis dan berkelanjutan membantu mengurangi dampak lingkungan.

  5. Dengan demikian, TQM adalah fondasi strategis keberlanjutan perusahaan.

Data dan Angka: Temuan Utama dari SLR

Penulis menyaring 112 artikel akademik yang relevan dengan topik TQM dan sustainability. Dari jumlah tersebut, dilakukan analisis mendalam terhadap tren publikasi, konteks penelitian, serta dimensi keberlanjutan yang paling sering dikaji.

Hasil Utama

  • 45% penelitian fokus pada hubungan TQM dengan aspek ekonomi (profitabilitas, daya saing).

  • 30% penelitian menyoroti dampak TQM pada aspek lingkungan (efisiensi energi, pengurangan limbah).

  • 25% penelitian membahas kontribusi TQM pada aspek sosial (kesejahteraan karyawan, hubungan dengan komunitas).

  • Jumlah publikasi meningkat tajam dalam satu dekade terakhir, menunjukkan semakin besarnya perhatian akademisi terhadap isu ini.

Refleksi Teoretis

Angka-angka ini memperlihatkan bahwa literatur masih berat sebelah ke arah dimensi ekonomi. Padahal, keberlanjutan sejati harus menyeimbangkan triple bottom line. Hal ini membuka ruang riset baru, misalnya mengeksplorasi lebih jauh keterkaitan TQM dengan keadilan sosial dan tanggung jawab lingkungan.

Kritik terhadap Metodologi dan Logika

  1. Keterbatasan sumber
    Hanya artikel yang masuk dalam basis data tertentu yang dianalisis. Hal ini bisa menyebabkan bias seleksi literatur.

  2. Kurangnya analisis empiris
    Meskipun kajian sistematis bermanfaat, artikel ini tidak menyajikan data primer yang dapat memperkuat klaim hubungan kausal antara TQM dan keberlanjutan.

  3. Risiko generalisasi
    Sebagian besar literatur yang ditinjau berasal dari konteks industri manufaktur. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah TQM juga efektif untuk sektor jasa, pendidikan, atau kesehatan.

  4. Narasi optimistik
    Penulis cenderung melihat TQM sebagai solusi universal. Padahal, dalam praktik, implementasi TQM seringkali menghadapi resistensi budaya organisasi dan keterbatasan sumber daya.

Poin-Poin Penting yang Digarisbawahi

  • TQM dan keberlanjutan saling melengkapi: kualitas yang baik mendukung keberlanjutan, keberlanjutan memperkuat kualitas.

  • Triple Bottom Line: sebagian besar literatur fokus pada ekonomi, sementara aspek sosial dan lingkungan masih kurang dieksplorasi.

  • Agenda riset: perlu lebih banyak penelitian empiris lintas sektor untuk menguji hubungan TQM dan keberlanjutan.

  • Praktik manajerial: perusahaan harus melihat TQM bukan hanya alat efisiensi, tetapi juga strategi keberlanjutan jangka panjang.

Refleksi Konseptual

Artikel ini menggarisbawahi bahwa keberlanjutan perusahaan adalah hasil dari sistem manajerial yang konsisten dan menyeluruh. TQM, dengan prinsip perbaikan berkelanjutan, keterlibatan karyawan, dan orientasi pada pelanggan, selaras dengan tujuan keberlanjutan.

Refleksi penting dari artikel ini adalah bahwa perubahan paradigma manajemen kualitas diperlukan. Jika dulu TQM hanya dipandang sebagai alat meningkatkan efisiensi, kini ia harus dilihat sebagai pilar strategis untuk menciptakan nilai jangka panjang yang berkelanjutan.

Implikasi Ilmiah

  1. Untuk teori
    Artikel ini menegaskan pentingnya menghubungkan TQM dengan literatur keberlanjutan, sehingga memperkaya teori manajemen strategis.

  2. Untuk praktik
    Perusahaan dapat menjadikan TQM sebagai kerangka kerja dalam merancang kebijakan keberlanjutan, bukan sekadar alat kontrol mutu.

  3. Untuk penelitian lanjutan
    Penulis mendorong riset empiris yang lebih luas, lintas sektor, dan lintas negara, agar hubungan antara TQM dan keberlanjutan dapat dipahami secara komprehensif.

Kesimpulan

Artikel “Examining the Role of Total Quality Management in Firms’ Sustainability” memberikan kontribusi besar dalam menghubungkan dua konsep penting: manajemen kualitas dan keberlanjutan. Dengan melakukan tinjauan sistematis literatur, penulis berhasil menunjukkan bahwa TQM dapat menjadi fondasi strategis untuk mencapai keberlanjutan perusahaan.

Meskipun masih terdapat keterbatasan metodologis, artikel ini tetap penting karena menawarkan agenda riset baru dan mengingatkan bahwa keunggulan kompetitif di era modern hanya dapat dicapai melalui integrasi kualitas dan keberlanjutan.

Selengkapnya
Resensi Konseptual dan Reflektif  Examining the Role of Total Quality Management in Firms’ Sustainability: A Systematic Literature Review and Future Research Agenda

Kualitas Produksi

Alat untuk Meningkatkan Keandalan Selama Proses Pengembangan Produk

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Keandalan Jadi Kunci Sukses Produk Industri

Dalam dunia industri modern yang sangat kompetitif, kualitas dan keandalan bukan hanya sekadar nilai tambah—mereka adalah kebutuhan mendasar. Seiring pertumbuhan perusahaan, tuntutan terhadap keandalan produk meningkat tajam. Dalam konteks ini, Riku Lager, melalui tesis masternya yang berjudul Tools for Improving Reliability During Product Development Process (Tampere University of Technology, 2017), mengusulkan pendekatan menyeluruh untuk menyisipkan keandalan sejak tahap paling awal proses pengembangan produk.

Alih-alih mengandalkan pendekatan tradisional berbasis pengujian akhir (test-analyze-fix), Lager menggarisbawahi pentingnya integrasi keandalan ke dalam siklus desain itu sendiri melalui metode Design for Reliability (DfR), pemodelan berbasis komputer, dan pemilihan komponen yang tepat.

Apa Itu Design for Reliability (DfR)?

Konsep Dasar DfR

DfR adalah pendekatan sistematis yang mengintegrasikan praktik-praktik peningkatan keandalan ke dalam seluruh siklus hidup produk—mulai dari perencanaan, desain, pengujian, hingga produksi massal. Fokus utamanya adalah mencegah kegagalan, bukan hanya meresponsnya.

Lager menyandingkan DfR dengan metode Design for Six Sigma (DFSS), di mana keduanya berfokus pada pencegahan, namun berbeda dalam ruang lingkup. DFSS menargetkan pengurangan variasi, sementara DfR menargetkan keandalan fungsional selama masa hidup produk.

Strategi Utama dalam DfR

Lager menyajikan tiga strategi utama dalam meningkatkan keandalan:

  1. Meningkatkan kekuatan sistem: Misalnya, dengan memilih material atau desain yang tahan terhadap suhu ekstrem.
  2. Mengurangi variasi produksi: Mengontrol toleransi komponen secara ketat untuk menghindari cacat akibat penyimpangan manufaktur.
  3. Mengendalikan lingkungan operasional: Menyesuaikan desain dengan konteks penggunaan aktual, seperti kelembaban tinggi atau getaran konstan.

Studi Kasus: Bathtub Curve dalam Elektronika

Lager menjelaskan kurva bathtub—sebuah model distribusi kegagalan yang terkenal dalam dunia teknik. Kurva ini memiliki tiga zona:

  • Early-life failures: Kegagalan akibat cacat manufaktur, yang bisa dikurangi lewat burn-in testing.
  • Random failures: Terjadi selama masa pakai normal karena kondisi acak seperti lonjakan listrik.
  • Wear-out failures: Kegagalan karena penuaan, seperti korosi atau fatigue material.

Contoh nyata di industri adalah kerusakan pada kapasitor elektrolitik akibat suhu tinggi yang terjadi setelah masa garansi habis—masalah umum pada power supply industri.

Alat dan Teknik Kunci dalam DfR

1. Failure Mode and Effects Analysis (FMEA)

FMEA membantu tim multidisipliner (desainer, teknisi, insinyur keandalan) memetakan potensi kegagalan, dampaknya, kemungkinan terjadinya, dan cara deteksi. Metode ini menghasilkan Risk Priority Number (RPN) yang digunakan untuk memprioritaskan risiko.

Contoh penerapan FMEA: Dalam desain inverter, FMEA dapat mengidentifikasi bahwa kerusakan IGBT akibat overheat lebih kritis daripada kerusakan minor pada sensor, sehingga desain pendinginan jadi fokus utama.

Kritik: Lager menekankan bahwa kesalahan umum dalam FMEA adalah penggunaan skor yang tidak konsisten, terutama jika tidak melibatkan tim lintas-disiplin.

2. Mission Profile dan Analisis Fatigue

Mission profile adalah representasi kondisi aktual selama masa hidup produk (suhu, siklus beban, kelembaban). Lager merekomendasikan penggunaan Palmgren-Miner Rule untuk menghitung kerusakan kumulatif akibat beban siklik.

Studi kasus: Dalam sistem tenaga berbasis IGBT, suhu sambungan (junction temperature) sangat mempengaruhi umur. Dengan memahami siklus suhu, perancang dapat memprediksi umur dan mencegah overdesign.

3. Simulasi Berbasis Komputer (CAD & FEA)

Dengan alat seperti Finite Element Analysis (FEA) dan Monte Carlo Simulation, perusahaan dapat mensimulasikan stres mekanik dan kegagalan komponen jauh sebelum produksi. Lager menyoroti efisiensi waktu dan biaya yang dapat dihemat melalui pendekatan ini.

Opini tambahan: Integrasi software CAD dan FEA sudah menjadi standar di industri otomotif dan aeronautika, namun masih kurang dimanfaatkan oleh sektor manufaktur menengah karena kendala biaya atau keahlian teknis.

4. Pemilihan Komponen dan Analisis Toleransi

Salah pilih komponen bisa menimbulkan kegagalan jangka panjang yang tidak terdeteksi saat uji awal. Lager menekankan pentingnya memahami parameter rating, de-rating, dan toleransi kumulatif.

Contoh nyata: Pada desain sistem tenaga 3-phase, salah memilih kapasitor dengan rating arus bawah spesifikasi dapat memicu overheat dan meledak setelah ratusan siklus startup.

Pengumpulan dan Analisis Data: Dari Garansi hingga Burn-in

Lager membagi strategi pengumpulan data menjadi tiga:

  1. Warranty Data: Berguna untuk menganalisis kegagalan aktual di lapangan, meskipun data ini sering tidak terstruktur dan rentan bias.
  2. Testing: Termasuk Highly Accelerated Life Test (HALT) dan Accelerated Life Test (ALT). HALT digunakan untuk menemukan kelemahan desain, sedangkan ALT untuk estimasi masa hidup.
  3. Prediksi Berbasis Standar: Seperti MIL-HDBK-217 dan Telcordia SR-332, meskipun Lager mengkritik bahwa banyak standar ini sudah usang dan perlu dikalibrasi ulang dengan konteks digitalisasi modern.

Tantangan & Kritis Analisis

Tantangan Implementasi DfR:

  • Butuh perubahan budaya dalam organisasi agar keandalan bukan hanya tanggung jawab tim QA.
  • Sulit mengestimasi mission profile di pasar global dengan variasi lingkungan yang luas.
  • Kurangnya pelatihan dalam penggunaan alat DfR seperti FMEA atau Load-Strength Analysis.

Kritik terhadap Studi:

Meski tesis ini komprehensif dan kaya teori, Lager belum menyertakan cukup studi kuantitatif berbasis proyek riil. Tambahan data dari industri otomotif, semikonduktor, atau energi terbarukan bisa memberikan konteks empiris lebih kuat.

Relevansi Industri: Tren dan Implikasi Praktis

Industri Otomotif dan Elektronika Konsumen

DfR semakin penting dalam era kendaraan listrik dan perangkat IoT, di mana keandalan menjadi diferensiasi utama. Dengan adanya konektivitas dan sensor, DfR kini dapat dikombinasikan dengan predictive maintenance dan real-time monitoring.

Manufaktur Berkelanjutan

Dengan menurunkan risiko kegagalan dini, DfR mendukung efisiensi sumber daya dan pengurangan limbah elektronik—kontribusi nyata terhadap ESG (Environmental, Social, Governance) perusahaan.

Kesimpulan: Integrasi Keandalan Adalah Investasi, Bukan Beban

Tesis Riku Lager memberikan peta jalan yang jelas tentang bagaimana keandalan bisa dan seharusnya menjadi bagian integral dari proses desain. Pendekatan DfR yang proaktif tidak hanya meningkatkan kualitas produk akhir, tapi juga mempercepat time-to-market dan mengurangi beban biaya pascaproduksi.

Pesan utama: Jangan menunggu kegagalan untuk memperbaiki desain. Bangun keandalan dari awal.

Sumber

Lager, Riku. Tools for Improving Reliability During Product Development Process. Master’s Thesis, Tampere University of Technology, 2017.
Tersedia di: https://trepo.tuni.fi/handle/10024/100868

Selengkapnya
Alat untuk Meningkatkan Keandalan Selama Proses Pengembangan Produk

Kualitas Produksi

Meningkatkan Kualitas Produk Garam: Strategi FTA dan FMEA untuk Menurunkan Cacat Produksi

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: Menguak Masalah Kualitas pada Industri Garam

Industri pengolahan garam di Jawa Timur menghadapi tantangan serius dalam pengendalian kualitas. Dengan tingkat kecacatan produk yang mencapai 15%, perusahaan garam tempat studi ini dilakukan telah melampaui ambang batas toleransi internal sebesar 5%. Tiga bentuk utama cacat yang diidentifikasi meliputi:

  • Kontaminasi bahan jadi oleh benda asing atau kotoran
  • Warna produk yang tidak sesuai dengan standar (master)
  • Kadar iodium tidak sesuai dengan SOP

Permasalahan ini tidak hanya berdampak pada kualitas produk, tetapi juga mencerminkan ketidakefisienan proses produksi yang dapat berujung pada kerugian finansial dan menurunnya kepercayaan konsumen.

Dua Pendekatan Perbaikan Kualitas: TQM vs BPR

Penelitian ini menggarisbawahi dua pendekatan utama dalam manajemen kualitas:

  • Total Quality Management (TQM): Perbaikan bertahap dan berkesinambungan.
  • Business Process Reengineering (BPR): Transformasi radikal pada proses bisnis.

Untuk kasus industri garam, pendekatan yang digunakan lebih selaras dengan TQM melalui identifikasi akar masalah dan prioritisasi risiko menggunakan kombinasi metode Fault Tree Analysis (FTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA).

Metodologi: Kombinasi FTA dan FMEA

Tahapan yang Diterapkan:

  1. Pengumpulan data jumlah produksi dan cacat per minggu.
  2. Observasi lapangan melalui wawancara dengan pihak produksi, maintenance, dan quality control.
  3. Penyusunan Diagram Fishbone dan FTA untuk menggambarkan struktur penyebab kegagalan.
  4. Pengolahan Data FMEA untuk menentukan nilai Severity, Occurrence, Detection, dan menghitung Risk Priority Number (RPN).
  5. Rekomendasi perbaikan berdasarkan nilai RPN tertinggi.

Studi Kasus: Analisis Data Produksi Januari 2024

Selama Januari 2024, total produksi mencapai 2.186 unit. Dari jumlah tersebut, sebanyak 348 unit mengalami cacat, yang berarti sekitar 15,9% dari total produksi.

Distribusi jenis cacat mencakup 94 unit karena kontaminasi benda asing, 24 unit karena warna tidak sesuai, dan 230 unit karena kadar iodium yang tidak sesuai dengan standar.

Analisis Diagram Fishbone

Kontaminasi Produk

Penyebab utama cacat jenis ini adalah mesin yang kotor, proses penyortiran yang masih manual, rendahnya ketelitian pekerja, serta bahan baku dari suplier yang tidak bersih.

Kadar Iodium Tak Sesuai

Penyebab utama termasuk tidak adanya SOP uji sampling, kurangnya ruang penyimpanan bahan baku, variasi kandungan iodium dari suplier, dan lemahnya prosedur pengambilan sampel.

Warna Tidak Sesuai

Masalah ini disebabkan oleh mesin yang kotor atau berkarat, tidak diterapkannya sistem FIFO dalam penggunaan bahan baku, SOP yang diabaikan oleh operator, serta bahan baku yang disimpan terlalu lama.

Fault Tree Analysis: Merinci Akar Masalah

FTA digunakan untuk memvisualisasi struktur kegagalan secara hierarkis. Sebagai contoh, cacat “warna tidak sesuai” disebabkan oleh karat pada mesin yang tidak dilaporkan, operator yang mengabaikan SOP, serta suhu ruangan yang tinggi sebagai indikator lingkungan kerja yang tidak optimal.

Failure Mode and Effect Analysis: Menentukan Prioritas Risiko

Dengan mengukur Severity, Occurrence, dan Detection, peneliti menghitung nilai RPN untuk setiap penyebab cacat. Beberapa temuan penting adalah:

  • Kontaminasi karena tidak ada laporan terkait mesin kotor memiliki RPN sebesar 100,5.
  • Penyortiran manual memiliki RPN sebesar 72,04.
  • Ketidaksesuaian kadar iodium akibat ketiadaan SOP uji sampling menghasilkan RPN sebesar 49,32.
  • Warna tidak sesuai karena pengabaian SOP oleh pekerja memiliki RPN sebesar 97,3.

Rekomendasi Perbaikan Proses

Berdasarkan nilai RPN tertinggi, berikut adalah saran konkret:

Untuk cacat akibat kontaminasi, disarankan adanya penjadwalan perawatan mesin secara rutin agar kebersihan dan kondisi mesin selalu terjaga.

Untuk masalah warna tidak sesuai, perlu penegakan disiplin bagi pekerja agar SOP pengendalian warna dipatuhi secara ketat.

Sedangkan untuk kadar iodium yang tidak sesuai, solusi terbaik adalah menyusun dan menerapkan SOP khusus uji sampling sebelum produksi dilakukan.

Komparasi dengan Penelitian Lain

Hasil dari penelitian ini sejalan dengan studi-studi sebelumnya yang diterapkan pada industri tas, kertas, dan beton ringan. Kombinasi metode FTA dan FMEA terbukti efektif dalam:

  • Menyusun prioritas risiko berdasarkan data
  • Mengurangi biaya akibat rework
  • Meningkatkan efisiensi operasional secara keseluruhan

Yang membedakan studi ini adalah fokusnya pada industri garam—sektor yang sering kali terabaikan dalam wacana perbaikan kualitas industri manufaktur.

Kritik dan Opini

Penelitian ini memberikan pendekatan struktural dan berbasis data yang sangat baik. Namun demikian, ada beberapa hal yang bisa ditingkatkan ke depan:

Pertama, perlu adanya simulasi biaya yang menunjukkan dampak ekonomi dari setiap rekomendasi perbaikan. Kedua, penggunaan teknologi seperti IoT untuk memonitor kondisi mesin secara otomatis dapat meningkatkan deteksi dini terhadap potensi kegagalan. Ketiga, pelatihan tenaga kerja secara berkala perlu dijadikan strategi jangka panjang agar kualitas produk tetap terjaga.

Kesimpulan

Studi ini menunjukkan bahwa integrasi metode FTA dan FMEA efektif dalam mengidentifikasi akar penyebab cacat dan menyusun prioritas perbaikan berbasis risiko. Dengan penerapan yang konsisten, industri garam berpotensi besar untuk menurunkan tingkat kecacatan dari 15% menuju target 5%.

Sumber: Yafi, M. M., & Cahyono, M. D. N. (2024). The implementation of Fault Tree Analysis (FTA) and Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) to improve the quality of salt industry in East Java. GREENOMIKA, 06(1), 94–102. https://doi.org/10.55732/unu.gnk.2024.06.1.10

Selengkapnya
Meningkatkan Kualitas Produk Garam: Strategi FTA dan FMEA untuk Menurunkan Cacat Produksi

Kualitas Produksi

Meningkatkan Produktivitas Proyek Konstruksi Melalui Manajemen Sumber Daya yang Efektif

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025


Mengapa Manajemen Sumber Daya Jadi Kunci Proyek Konstruksi?

Proyek konstruksi gedung merupakan kegiatan yang kompleks dan bersifat unik. Satu kesalahan dalam pengelolaan sumber daya bisa berdampak pada kualitas, biaya, maupun waktu pengerjaan proyek. Penelitian yang dilakukan oleh Embun Sari Ayu, Indra Khaidir, dan Eva Rita dari Universitas Bung Hatta ini hadir untuk menguak bagaimana manajemen sumber daya memengaruhi produktivitas pelaksanaan proyek konstruksi di Sumatera Barat—terutama selama masa pandemi COVID-19.

Temuan mereka menunjukkan bahwa pengaruh manajemen sumber daya terhadap produktivitas proyek tidak bisa diabaikan. Secara statistik, 51,1% produktivitas proyek dipengaruhi langsung oleh manajemen sumber daya, sisanya dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti cuaca, sosial, regulasi, dan kompleksitas proyek.

Studi Kasus: Proyek-Proyek di Sumatera Barat dan Kendala Nyatanya

Latar Masalah

Selama 2019–2021, sejumlah proyek di Sumatera Barat—termasuk pembangunan Gedung Kebudayaan dan Gedung Fakultas Ilmu Sosial UNP—mengalami keterlambatan atau bahkan dihentikan. Audit BPK pada 2022 menemukan penyimpangan signifikan, yang sebagian besar berakar pada lemahnya manajemen proyek dan sumber daya.

Kunci Permasalahan

  • Kesenjangan antara harga kontrak dan harga pasar

  • Minimnya biaya lapangan

  • Rendahnya kualitas SDM dan profesionalisme

  • Pengawasan alat dan material yang tidak optimal

Metodologi Penelitian dan Profil Responden

Sampel dan Teknik

  • Sampel: 77 responden dari kontraktor, konsultan, dan Dinas PUPR

  • Teknik: Purposive sampling

  • Alat ukur: Kuesioner dengan skala Likert (1–5)

  • Analisis data: Uji validitas, reliabilitas, normalitas, regresi linier berganda

Struktur Responden:

  • Kontraktor: 40 responden

  • Konsultan Supervisi: 28 responden

  • Dinas Pekerjaan Umum: 9 responden

Hasil Utama: Faktor yang Paling Berpengaruh

Faktor-Faktor Manajemen Sumber Daya yang Diuji:

  1. Manajemen SDM

  2. Manajemen Keuangan

  3. Manajemen Material

  4. Manajemen Peralatan

Temuan Kunci

  • Total pengaruh terhadap produktivitas proyek: 51,1%

  • Faktor paling dominan: Manajemen sumber daya peralatan (koefisien beta 0,459)

  • Faktor kedua: Manajemen SDM (koefisien beta 0,186)

  • Faktor yang tidak signifikan: Manajemen keuangan dan material

Uji T menunjukkan bahwa hanya dua faktor yang berpengaruh signifikan terhadap produktivitas, yaitu SDM dan peralatan. Faktor lain seperti keuangan dan material meskipun penting, tidak menunjukkan korelasi kuat secara statistik dalam konteks proyek yang diamati.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah

Kekuatan Penelitian:

  • Menggunakan uji statistik yang lengkap (validitas, reliabilitas, regresi, normalitas, multikolinieritas)

  • Menyajikan pembobotan pengaruh setiap variabel secara kuantitatif

  • Relevan dengan kondisi lapangan selama pandemi COVID-19

Kelemahan:

  • Hanya mencakup proyek di satu provinsi (Sumatera Barat)

  • Tidak mengulas faktor eksternal non-manajerial secara mendalam (cuaca, peraturan, politik)

  • Belum mempertimbangkan integrasi teknologi seperti BIM atau ERP

Perbandingan Penelitian:

Penelitian sejenis oleh Othman et al. (2014) dan Hartono (2017) di Malaysia dan Indonesia juga menegaskan pentingnya optimalisasi sumber daya sebagai penentu utama produktivitas proyek.

Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi

Rekomendasi Aksi:

  • Pelatihan teknis dan manajerial bagi pengelola alat berat dan operator

  • Penyusunan standar pengelolaan peralatan proyek yang lebih presisi

  • Evaluasi periodik terhadap kinerja SDM lapangan dengan indikator produktivitas

  • Digitalisasi proses manajemen sumber daya untuk efisiensi dan pelacakan real-time

Dampak Langsung:

  • Mengurangi keterlambatan proyek

  • Menurunkan risiko pemborosan

  • Meningkatkan kepercayaan pemilik proyek terhadap kontraktor

Kesimpulan: Produktivitas Tidak Lepas dari Profesionalisme

Manajemen sumber daya yang tepat bukan hanya mendongkrak produktivitas, tapi juga menentukan keberlanjutan proyek itu sendiri. Penelitian ini menjadi sinyal penting bahwa investasi dalam manajemen SDM dan peralatan adalah strategi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas industri konstruksi Indonesia.

Sumber Jurnal:
Ayu, E. S., Khaidir, I., & Rita, E. (2024). Kajian Pengaruh Manajemen Sumber Daya Terhadap Produktivitas Pelaksanaan Proyek Konstruksi Gedung. SIKLUS: Jurnal Teknik Sipil, 10(1), 80–90.
DOI: https://doi.org/10.31849/siklus.v10i1.11534

Selengkapnya
Meningkatkan Produktivitas Proyek Konstruksi Melalui Manajemen Sumber Daya yang Efektif

Kualitas Produksi

Meningkatkan Kualitas Produksi Plastik: Studi Kasus Penerapan Statistical Process Control (SPC)

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 14 Mei 2025


Dalam dunia manufaktur modern, menjaga kualitas produk adalah harga mati. Terlebih di industri telekomunikasi, di mana komponen sekecil lensa plastik injeksi bisa menjadi pembeda antara perangkat sukses atau gagal di pasar. Paper berjudul "Statistical Process Control (SPC) Applied in Plastic Injection Moulded Lenses" oleh Jafri Mohd Rohani dan Chan Kok Teng (Universiti Teknologi Malaysia) menawarkan gambaran jelas bagaimana pengendalian proses statistik mampu membawa perubahan signifikan dalam mutu produksi.

Mengapa SPC Penting dalam Industri Manufaktur Plastik?

Industri plastik, khususnya yang bergerak di bidang komponen elektronik seperti lensa plastik injeksi, menghadapi tantangan berat:

  • Tuntutan Kualitas Tinggi: Komponen plastik untuk perangkat telekomunikasi harus bebas cacat.
  • Volume Produksi Besar: Produksi massal rentan terhadap cacat produk.
  • Biaya Produksi yang Ketat: Kualitas tinggi harus dicapai tanpa meningkatkan biaya.

Di sinilah Statistical Process Control (SPC) menjadi solusi. SPC memungkinkan perusahaan memantau dan mengendalikan proses produksi secara berkelanjutan, mendeteksi tren cacat, dan melakukan perbaikan berbasis data.

 

Latar Belakang: Mengapa Perusahaan Ini Menerapkan SPC?

Perusahaan yang dikaji dalam penelitian ini adalah produsen lokal lensa plastik injeksi untuk perangkat telekomunikasi. Sebelum penerapan SPC, mereka mengalami defect rate sebesar 13,49%. Angka tersebut jelas jauh dari standar industri, yang umumnya menetapkan ambang batas cacat maksimal 1% hingga 3%, tergantung spesifikasi klien.

👉 Target Awal:
Menurunkan tingkat cacat dari 13,49% menjadi 10% dalam waktu tiga bulan.

Metode: Bagaimana SPC Diterapkan?

1. Pengumpulan Data

Perusahaan mencatat data produksi harian selama tiga bulan, mencakup:

  • Jumlah total produk yang diproduksi.
  • Jumlah produk baik (good parts).
  • Jumlah produk cacat (defective parts).

Data dikumpulkan menggunakan Check Sheet, alat pertama dari Seven Basic Quality Tools.

2. Identifikasi Masalah Utama dengan Pareto Chart

Melalui Pareto Chart, perusahaan menemukan tiga jenis cacat paling dominan:

  • Flow Lines/Marks – 5,04%
  • Dirty Dots – 3,96%
  • Scratches – 2,27%

Ini sejalan dengan prinsip Pareto (80/20), di mana sebagian besar masalah berasal dari segelintir penyebab.

3. Analisis Akar Masalah dengan Fishbone Diagram

Perusahaan melakukan analisis mendalam atas ketiga masalah utama menggunakan Fishbone (Ishikawa) Diagram, mengelompokkan penyebab ke dalam lima kategori:

  • Manusia
  • Mesin
  • Metode Kerja
  • Material
  • Lingkungan

4. Kontrol Proses dengan Control Chart (P-Chart)

Penerapan P-Chart memungkinkan pemantauan jumlah unit cacat secara konsisten, membantu mengidentifikasi variasi normal dan outlier.

 

Temuan Utama: Data yang Berbicara

Berikut hasil signifikan setelah tiga bulan implementasi SPC dan action plan yang diusulkan:

  • Mei: 10,28%
  • Juni: 8,27%
  • Juli: 7,41%

👉 Pencapaian Akhir:
Defect rate berhasil ditekan hampir 50% dari kondisi awal, menjadi 7,4%, melebihi target awal 10%.

 

Studi Kasus: Mengurai Tiga Sumber Cacat Utama

1. Flow Lines/Marks

Penyebab Utama:

  • Parameter proses tidak stabil (waktu tahan, suhu injeksi, tekanan aliran).
  • Kualitas bahan baku rendah.

Solusi yang Diimplementasikan:

  • Pengecekan indeks alir leleh (MFI) pada semua bahan resin.
  • Penyesuaian waktu pengeringan dan suhu material.
  • Pemeliharaan mesin preventif untuk menjaga konsistensi parameter injeksi.

2. Dirty Dots

Penyebab Utama:

  • Kontaminasi material karena penanganan operator.
  • Kebersihan mesin dan lingkungan kerja tidak terjaga.

Solusi yang Diimplementasikan:

  • Pelatihan ulang operator tentang kebersihan handling.
  • Pembersihan rutin pada cetakan, hopper, dan area produksi.
  • Pengetatan kontrol kualitas incoming material.

3. Scratches

Penyebab Utama:

  • Kesalahan saat proses pemindahan atau pengepakan.
  • Cetakan yang tidak bersih atau rusak.

Solusi yang Diimplementasikan:

  • Instruksi kerja lebih rinci tentang prosedur pengepakan.
  • Pengecekan kondisi cetakan secara berkala.
  • Pelatihan operator tentang pentingnya penanganan hati-hati.

 

Analisis Tambahan: Pelajaran Berharga untuk Industri

Komitmen Manajemen Adalah Kunci

Penelitian ini menegaskan bahwa keberhasilan SPC tidak hanya ditentukan oleh alat yang digunakan, tetapi juga oleh komitmen manajemen. Tanpa dukungan dari atas, pelatihan operator, dan pengawasan konsisten, penerapan SPC akan mandek.

Data Adalah Senjata

Pengumpulan data yang konsisten memungkinkan analisis yang lebih akurat. Namun, penelitian ini juga menunjukkan bahwa variasi antar shift bisa mempengaruhi tingkat cacat. Shift malam (3rd shift) cenderung memiliki tingkat cacat lebih tinggi, yang menunjukkan perlunya rotasi kerja dan pengawasan ketat di luar jam kerja utama.

Perbandingan dengan Industri Lain

  • Di industri otomotif, SPC adalah standar. Toyota, misalnya, menggunakan sistem Jidoka yang memungkinkan penghentian produksi otomatis saat cacat terdeteksi.
  • Di industri farmasi, in-line monitoring system berbasis Process Analytical Technology (PAT) kini banyak digunakan untuk mendeteksi cacat pada tahap awal proses.

 

Kritik terhadap Penelitian dan Saran Pengembangan

Kelebihan

  • Fokus pada pendekatan sederhana namun berdampak besar.
  • Data yang jelas dan transparan mendukung validitas hasil.
  • Menerapkan Seven QC Tools secara efektif dan terukur.

Kelemahan

  • Studi terbatas pada satu perusahaan dengan ruang lingkup produk spesifik (lensa plastik injeksi).
  • Belum mengeksplorasi penggunaan teknologi otomatisasi atau AI dalam pengendalian proses.

Rekomendasi Pengembangan

  • Integrasi IoT: Sensor real-time pada mesin injeksi untuk memantau parameter seperti suhu, tekanan, dan aliran material.
  • Machine Learning: Memprediksi potensi cacat berdasarkan data historis dan variabel proses.
  • Digital Dashboard: Monitoring dashboard berbasis cloud agar pengawasan bisa dilakukan kapan saja, di mana saja.

 

Dampak Nyata di Dunia Industri

Jika metode SPC sederhana seperti dalam penelitian ini berhasil menekan cacat hingga 50%, bayangkan dampaknya jika perusahaan mengadopsi pendekatan lebih modern.

  • Pengurangan Biaya Produksi: Kurangi rework dan scrap, otomatis menurunkan biaya produksi.
  • Peningkatan Kepuasan Pelanggan: Kualitas lebih stabil meningkatkan kepercayaan pelanggan.
  • Compliance dengan Standar Internasional: SPC adalah bagian integral dalam sertifikasi ISO 9001 dan IATF 16949.

Fakta Industri

Menurut laporan Deloitte (2023), perusahaan manufaktur yang menerapkan pengendalian kualitas berbasis data mencatatkan pengurangan rata-rata 30% dalam jumlah cacat produk dalam tiga tahun pertama.

 

Kesimpulan: SPC sebagai Game Changer di Industri Plastik

Penerapan Statistical Process Control (SPC) terbukti mampu meningkatkan kualitas, produktivitas, dan profitabilitas dalam industri manufaktur plastik. Studi kasus ini menunjukkan bahwa bahkan pendekatan sederhana seperti Seven QC Tools, bila diterapkan dengan disiplin tinggi, dapat menghasilkan perbaikan signifikan.

Namun, tantangan selanjutnya adalah membangun budaya kualitas yang berkelanjutan dan memanfaatkan teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi. Di era industri 4.0, SPC seharusnya tidak lagi menjadi pilihan, melainkan keharusan.

📚 Referensi Asli:
Rohani, J.M., & Teng, C.K. (2015). Statistical Process Control (SPC) Applied in Plastic Injection Moulded Lenses. Universiti Teknologi Malaysia.

Selengkapnya
Meningkatkan Kualitas Produksi Plastik: Studi Kasus Penerapan Statistical Process Control (SPC)

Kualitas Produksi

Penerapan Metode Machine Learning untuk Prediksi Kualitas dalam Inspeksi Manufaktur

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 08 Mei 2025


Pendahuluan: Era Industri 4.0 dan Pentingnya Prediksi Kualitas

Perkembangan Industry 4.0 menghadirkan paradigma baru di industri manufaktur global. Salah satu pilar utama revolusi ini adalah transformasi digital yang memungkinkan pengumpulan data produksi secara masif dan real-time. Melalui data tersebut, perusahaan dapat mengimplementasikan machine learning (ML) dan deep learning (DL) untuk mengoptimalkan proses produksi, khususnya dalam hal prediksi kualitas produk (Predictive Quality).

Paper karya Sidharth Kiran Sankhye ini mengulas secara mendalam penerapan metode machine learning, khususnya pada proses inspeksi kualitas di lini produksi manufaktur yang kompleks dan berskala besar. Fokus utamanya adalah pada bagaimana algoritma klasifikasi ML dapat membantu memprediksi kepatuhan kualitas produk secara akurat, terutama dalam skenario dengan data yang sangat tidak seimbang (imbalanced data).

 

Latar Belakang dan Tujuan Penelitian

Masalah Utama: Imbalanced Dataset dalam Prediksi Kualitas

Dalam produksi massal, unit produk yang cacat seringkali hanya mencakup sebagian kecil dari total produksi. Inilah yang disebut class imbalance problem, di mana data minoritas (produk cacat) terlalu sedikit dibandingkan dengan data mayoritas (produk sesuai standar). Tantangan ini membuat sebagian besar model ML cenderung bias terhadap kelas mayoritas, sehingga gagal mendeteksi cacat produk secara efektif.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  • Merancang metode klasifikasi berbasis machine learning yang efektif dalam prediksi kualitas produk di lini produksi multi-model.
  • Mengatasi tantangan data tidak seimbang melalui feature engineering dan teknik sampling seperti SMOTE.
  • Menguji metode tersebut melalui studi kasus pada pabrik manufaktur alat rumah tangga yang memproduksi sekitar 800 unit per hari.

 

Metodologi: Pendekatan Sistematis dalam Klasifikasi Prediktif

Model Klasifikasi yang Digunakan

Peneliti menerapkan dua algoritma utama:

  1. Random Forest (RF)
    Algoritma berbasis bagging, menggabungkan banyak decision trees untuk mengurangi overfitting dan meningkatkan akurasi prediksi.
  2. XGBoost (Extreme Gradient Boosting)
    Model boosting yang terkenal efisien dan efektif dalam menangani dataset besar dengan berbagai tipe fitur. Dilengkapi dengan regularisasi yang mampu mencegah overfitting.

Feature Engineering: Kunci Peningkatan Akurasi

Dalam industri, data mentah umumnya tidak siap langsung digunakan untuk training model ML. Oleh karena itu, penulis melakukan beberapa teknik feature engineering, antara lain:

  • Suspicious Unit Batches: Membuat variabel yang menandai unit-unit yang berada dekat dengan unit cacat dalam alur produksi.
  • Proximity to Model Changeover: Mengukur jarak unit terhadap perubahan model produksi, karena pergantian model kerap menjadi sumber kesalahan produksi.
  • Model Color Change: Faktor perubahan warna model, yang bisa memengaruhi kemungkinan kesalahan manusia dalam perakitan.

Teknik Penanganan Imbalanced Data

Penulis menerapkan SMOTE (Synthetic Minority Over-sampling Technique) untuk meningkatkan jumlah data dari kelas minoritas (produk cacat). Ini bertujuan menyeimbangkan distribusi data dan memperbaiki akurasi klasifikasi.

 

Studi Kasus: Pabrik Alat Rumah Tangga Multi-Model

Konteks Industri

Studi dilakukan pada lini produksi alat rumah tangga multi-model dengan perubahan model yang cepat (negligible changeover time). Pabrik ini menghasilkan sekitar 800 unit per hari. Namun, permasalahan besar muncul akibat cacat produk, terutama wrong/missing parts, yang baru ditemukan pada tahap inspeksi akhir (Random Customer Acceptance Inspection/RCAI).

Permasalahan yang Dihadapi

  • Cacat Produk: Terdapat unit-unit yang lolos dari pemeriksaan awal namun terdeteksi cacat pada RCAI, menyebabkan biaya tinggi akibat recall.
  • Inspeksi Manual yang Tidak Efisien: Inspeksi manual lambat dan rentan kesalahan, sehingga membutuhkan sistem prediksi otomatis untuk meningkatkan efisiensi.

 

Hasil dan Analisis Model

Penulis mengevaluasi empat model klasifikasi berbasis kombinasi teknik feature engineering dan algoritma klasifikasi. Hasil evaluasi mengandalkan metrik Cohen’s Kappa dan ROC Curve.

Model A - Tanpa Feature Engineering

  • Akurasi tinggi, tetapi prediksi kelas minoritas buruk.
  • XGBoost lebih baik dari Random Forest dalam mendeteksi unit cacat, namun 58,89% unit masih gagal dideteksi.

Model B - Dengan Fitur Model Changeover

  • Penambahan fitur baru sedikit meningkatkan performa, tetapi tidak signifikan.
  • Masalah utama adalah distribusi minoritas fitur yang terlalu kecil.

Model C - Proximity to Model Changeover

  • Peningkatan akurasi signifikan, terutama pada prediksi unit cacat.
  • XGBoost mendeteksi 98,34% unit cacat secara akurat, sementara Random Forest masih bias terhadap mayoritas.

Model D - Normalized Proximity

  • Hasil sedikit lebih buruk dari Model C, menunjukkan bahwa metrik absolut lebih efektif dibandingkan metrik normalisasi dalam konteks ini.

Kesimpulan Analisis

Model XGBoost secara konsisten mengungguli Random Forest, terutama dalam menghadapi imbalanced datasets. Fitur proximity to model changeover menjadi penentu utama dalam keberhasilan prediksi.

 

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Kelebihan Penelitian Ini

  • Fokus pada real-world application di lingkungan produksi multi-model.
  • Penekanan pada pentingnya domain knowledge dalam feature engineering.
  • Penggunaan metrik Cohen’s Kappa yang lebih akurat untuk kasus data tidak seimbang.

Kelemahan dan Tantangan

  • Dataset yang terbatas hanya mencakup sebagian kecil variabel proses.
  • Tidak adanya data sensor atau metrik mesin yang dapat memperkaya model prediksi.

Perbandingan dengan Studi Terkait

Studi oleh Kim et al. (2018) menunjukkan bahwa cost-sensitive learning juga efektif dalam klasifikasi kualitas produksi. Namun, pendekatan Sankhye lebih mengandalkan feature construction, bukan penyesuaian bobot kelas.

 

Arah Masa Depan dan Rekomendasi

  1. Integrasi dengan IoT dan Sensor Data
    Implementasi smart sensors untuk mengumpulkan data proses secara otomatis dan real-time akan memperkuat model prediksi.
  2. Explainable AI (XAI)
    Memperjelas alasan prediksi model XGBoost penting bagi operator pabrik agar mereka dapat memahami penyebab cacat produk.
  3. Transfer Learning untuk Multi-Plant Deployment
    Model yang dikembangkan di satu lini produksi dapat disesuaikan dan digunakan di lini produksi lainnya dengan sedikit penyesuaian.
  4. Federated Learning untuk Kolaborasi Multi-Pabrik
    Mengatasi tantangan privasi data, federated learning memungkinkan pelatihan model tanpa memindahkan data antar-pabrik.

 

Dampak Praktis bagi Industri Manufaktur

  • Peningkatan Efisiensi: Pengurangan kebutuhan inspeksi manual hingga 50%, seperti yang diantisipasi dalam studi kasus.
  • Penurunan Biaya Recall: Sistem prediksi kualitas proaktif mencegah unit cacat mencapai pelanggan.
  • Dukungan Proaktif untuk Kualitas Zero-Defect: Menuju konsep zero-defect manufacturing yang menjadi tujuan banyak perusahaan modern.
  •  

Kesimpulan Akhir

Penelitian ini membuktikan bahwa penerapan machine learning, khususnya XGBoost dengan feature engineering yang tepat, mampu meningkatkan prediksi kualitas produksi di industri manufaktur secara signifikan. Meskipun terdapat keterbatasan dalam data dan scope penelitian, pendekatan ini memberikan pondasi kuat untuk sistem prediktif yang lebih kompleks dan cerdas di masa mendatang.

Sumber:

Sankhye, Sidharth Kiran. (2020). Machine Learning Methods for Quality Prediction in Manufacturing Inspection. Iowa State University.

Selengkapnya
Penerapan Metode Machine Learning untuk Prediksi Kualitas dalam Inspeksi Manufaktur
page 1 of 2 Next Last »