Urbanisasi cepat di wilayah pinggiran Yogyakarta, seperti Kecamatan Depok di Kabupaten Sleman, menciptakan tantangan baru dalam tata kelola air. Dengan 71,45% dari luas wilayahnya sudah tertutup bangunan, fungsi ekologis kawasan ini untuk menyerap air hujan menjadi sangat terbatas. Alih fungsi lahan menjadi bangunan beton berdampak langsung pada berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah, meningkatnya limpasan permukaan, dan terjadinya genangan serta banjir lokal.
Namun, ada satu potensi yang selama ini sering diabaikan: air hujan. Melalui pendekatan "city as a catchment area"—kota sebagai daerah tangkapan air—air hujan tidak hanya bisa dikelola, tetapi juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih alternatif dan alat mitigasi genangan perkotaan.
Tujuan Penelitian: Menjawab Dua Masalah Sekaligus
Penelitian ini bertujuan mengukur potensi air hujan yang bisa dimanfaatkan dari atap-atap bangunan di Kecamatan Depok serta menghitung seberapa besar kontribusinya dalam mengurangi genangan air. Pendekatannya bersandar pada regulasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11 Tahun 2014 tentang pengelolaan air hujan.
Dengan perhitungan teknis dan data curah hujan selama 2017–2020 dari sistem satelit NASA POWER, tim peneliti menggunakan pendekatan volume wajib kelola air hujan (Vwk) dan volume tertampung dari atap bangunan (Vtadah). Hasilnya memperlihatkan potensi besar yang selama ini terabaikan di ruang urban.
Gambaran Umum Wilayah Studi: Depok, Sleman
Kecamatan Depok memiliki luas 35,55 km² yang terdiri dari tiga desa dan 58 dusun. Dari luasan ini, sekitar 25,40 km² sudah tertutup bangunan. Jumlah penduduk mencapai 131.005 jiwa. Aktivitas pendidikan, perdagangan, dan jasa yang sangat tinggi memperbesar kebutuhan air bersih dan memperparah risiko genangan saat musim hujan.
Data curah hujan harian dari tahun 2017 hingga 2020 menunjukkan bahwa wilayah ini mengalami hujan dengan intensitas cukup tinggi, dengan curah hujan pada persentil 95 mencapai 34,48 mm. Data inilah yang digunakan sebagai dasar simulasi volume air hujan potensial yang bisa ditampung dan dimanfaatkan.
Estimasi Potensi Pemanenan Air Hujan
Menggunakan luas atap bangunan yang mencapai 25,4 juta m² dan koefisien limpasan (runoff coefficient) sebesar 0,85, hasil penghitungan menunjukkan bahwa volume air hujan yang dapat ditampung dengan teknik PAH (pemanenan air hujan) di Kecamatan Depok mencapai 636.481,84 m³ per hari hujan intensitas tinggi.
Volume ini dihitung dari skenario hujan persentil 95—yakni curah hujan harian sebesar 34,48 mm yang hanya terjadi pada 5% hari-hari terbasah. Artinya, dalam kondisi hujan ekstrem pun, sistem ini memiliki kapasitas untuk memanen air dalam jumlah besar secara efisien.
Kebutuhan Air Bersih Penduduk: Apakah Air Hujan Cukup?
Dengan asumsi standar kebutuhan air sebesar 150 liter per orang per hari (0,15 m³), maka total kebutuhan air harian bagi 131.005 jiwa adalah sekitar 19.650,75 m³ per hari. Ini berarti air hujan yang tertampung dari atap bangunan saat hujan besar bisa mencukupi kebutuhan seluruh penduduk selama lebih dari 32 hari, jika dikelola dan disimpan dengan baik.
Dengan kata lain, air hujan dapat menggantikan air tanah atau PDAM dalam jangka waktu tertentu, terutama pada musim penghujan. Manfaat lainnya adalah pengurangan konsumsi air tanah yang berisiko menurunkan permukaan tanah dan menyebabkan kerusakan ekosistem lokal.
Kontribusi Terhadap Pengurangan Genangan
Salah satu temuan paling signifikan dari penelitian ini adalah bahwa penerapan teknologi pemanenan air hujan pada seluruh bangunan di Kecamatan Depok dapat mengurangi volume limpasan permukaan yang menjadi andil banjir hingga 51,93%.
Artinya, separuh dari potensi genangan saat hujan deras dapat dicegah hanya dengan menampung air hujan dari atap bangunan. Strategi ini sangat selaras dengan prinsip drainase ramah lingkungan, yang dikenal dengan slogan TRAP (Tampung, Resapkan, Alirkan, Pelihara).
Implementasi Sistem PAH: Bagaimana Seharusnya?
Agar hasil penelitian ini tidak berhenti pada angka-angka teoritis, diperlukan panduan implementasi yang dapat diterapkan secara praktis. Sistem pemanenan air hujan ideal untuk bangunan perkotaan mencakup:
- Talang atap dan pipa pengarah ke tangki,
- Filter awal untuk menghilangkan kotoran kasar dari air hujan pertama,
- Tangki penampungan tertutup dengan kapasitas disesuaikan kebutuhan rumah tangga atau gedung,
- Pompa dan saluran distribusi ke titik pemanfaatan seperti toilet, taman, atau bahkan tempat cuci tangan.
Untuk rumah tangga biasa, kapasitas tangki minimal 1–3 m³ sudah cukup untuk menampung air hujan selama 2–5 hari. Sedangkan untuk gedung besar seperti kampus atau kantor, kapasitas tangki bisa mencapai puluhan hingga ratusan meter kubik.
Perbandingan dan Komparasi Penelitian Lain
Penelitian ini memperkuat hasil studi sebelumnya yang dilakukan di wilayah perkotaan lain di Indonesia:
- Di Jakarta, Harsoyo (2010) mencatat bahwa PAH dapat menghemat hingga 30% konsumsi air tanah.
- Di Yogyakarta, Nugroho dkk. (2017) mengembangkan sistem PAH pada gedung sekolah yang mampu mengurangi beban PDAM hingga 40%.
- Di Salatiga, Sari dkk. (2020) menerapkan biopori dan sumur resapan untuk meningkatkan infiltrasi air dan mengurangi risiko longsor.
Namun, kelebihan penelitian oleh Nugroho dan Hardiyanti ini adalah kuantifikasi simultan dua manfaat sekaligus: konservasi air bersih dan pengurangan genangan. Pendekatan ini sangat relevan untuk perencanaan kota yang berkelanjutan.
Kritik dan Catatan Tambahan
Walaupun hasil penelitian sangat menjanjikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ke depannya:
- Aspek kualitas air belum dikaji. Walaupun air hujan bisa ditampung dalam jumlah besar, diperlukan filtrasi dan disinfeksi jika akan digunakan untuk keperluan konsumsi.
- Biaya dan desain teknis sistem PAH tidak dijabarkan secara rinci. Padahal hal ini penting untuk memandu adopsi skala rumah tangga.
- Penerimaan masyarakat dan kesiapan infrastruktur tidak dikaji. Studi lanjutan sebaiknya menyertakan survei sosial dan analisis kesiapan komunitas.
Rekomendasi Kebijakan dan Tindak Lanjut
Hasil penelitian ini layak dijadikan dasar kebijakan pemerintah daerah, khususnya dalam menyusun regulasi dan perencanaan tata kota. Beberapa rekomendasi praktis:
- Wajibkan sistem PAH pada bangunan baru melalui revisi Perda Tata Bangunan.
- Subsidikan instalasi tangki air hujan untuk rumah tangga berpenghasilan rendah.
- Integrasikan sistem PAH dengan program drainase kota untuk mengurangi banjir dan memperkuat konservasi air.
- Kembangkan program edukasi dan pelatihan masyarakat tentang cara merancang, membangun, dan merawat sistem pemanenan air hujan.
Kesimpulan: Air Hujan, Harapan yang Turun dari Langit
Penelitian ini secara meyakinkan menunjukkan bahwa air hujan adalah sumber daya yang belum dimanfaatkan secara optimal di kawasan urban. Dengan luas atap bangunan yang dominan dan curah hujan yang tinggi, Kecamatan Depok menyimpan potensi luar biasa untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan air bersih penduduknya sekaligus mengurangi genangan hingga lebih dari separuh.
Lebih dari sekadar solusi teknis, pemanenan air hujan adalah manifestasi dari pembangunan berkelanjutan. Ia menggabungkan konservasi lingkungan, efisiensi energi, adaptasi perubahan iklim, dan kemandirian air untuk masyarakat. Maka sudah saatnya, kota-kota di Indonesia mulai menengadah bukan hanya untuk berlindung dari hujan, tetapi untuk menyambut solusi dari langit.
Sumber Asli Artikel:
Andri Prasetyo Nugroho & Ratih Hardiyanti. Potensi Pemanfaatan Air Hujan untuk Memenuhi Kebutuhan Air dan Mengurangi Genangan di Kecamatan Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta. Jurnal Daur Lingkungan, 5(1), Februari 2022, hlm. 19–22. Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Batanghari Jambi. DOI: 10.33087/daurling.v5i1.91