Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Buku “Well Spent: How Strong Infrastructure Governance Can End Waste in Public Investment” terbitan IMF memaparkan fakta keras: lebih dari sepertiga (≈33 %) dana investasi publik dunia terbuang akibat ketidakefisienan dan tata kelola yang lemah. Di tengah keterbatasan fiskal pasca‑pandemi, pesan ini kian relevan—belanja lebih banyak saja tak cukup, belanja harus lebih baik.
Ringkasan Inti Buku
1. Skala Inefisiensi
2. Dampak Nyata Kasus
3. Faktor Pendorong Efisiensi
Analisis & Konteks Industri
Studi Kasus Terpilih
A. Sistema Nacional de Inversiones—Chile
Chile mewajibkan semua proposal proyek melewati analisis sosial‐ekonomi ketat, memisahkan fungsi evaluasi dari kementerian pemrakarsa. Hasilnya, negara mampu membangun pipeline proyek layak dan menghemat miliaran peso setiap siklus anggaran.
B. Jembatan Tsubasa—Kamboja
Didanai inisiatif Quality Infrastructure Investment (QII) Jepang, jembatan ini mengurangi waktu tempuh Phnom Penh–Ho Chi Minh hingga 3 jam dan kini terpampang di uang kertas Kamboja sebagai simbol kemitraan berkualitas tinggi.
C. Rehabilitasi Jalan Pasca‑Topan di Samoa
Pendekatan build‑back‑better yang menggabungkan peningkatan elevasi dan drainase menekan biaya kerusakan berulang lebih dari 40 % dalam proyeksi 30 tahun—ilustrasi konkret life‑cycle cost efficiency.
Kritik & Nilai Tambah
Rekomendasi Praktis untuk Indonesia
Kesimpulan
Governansi infrastruktur yang kuat bukan beban birokrasi, melainkan kunci menciptakan manfaat sosial‑ekonomi maksimal dari setiap rupiah. Dengan menutup setengah saja celah efisiensi, Indonesia (dan dunia) dapat mendanai tuntutan SDGs tanpa menambah utang berlebihan. Well Spent adalah panduan strategis sekaligus alarm bagi pemerintah, investor, dan masyarakat sipil untuk bergerak dari slogan “bangun, bangun, bangun” menuju “bangun dengan bijak”.
Sumber : International Monetary Fund. (2020). Well Spent: How Strong Infrastructure Governance Can End Waste in Public Investment. Washington, DC: IMF.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Korupsi Sistemik di Negara Maju: Belajar dari Skandal Konstruksi Quebec
Apakah korupsi hanya milik negara berkembang? Pertanyaan ini dijawab tegas oleh Denis Saint-Martin dalam artikelnya Systemic Corruption in an Advanced Welfare State: Lessons from the Quebec Charbonneau Inquiry (2015), yang menganalisis skandal korupsi konstruksi di Quebec, Kanada—provinsi yang dikenal sebagai salah satu negara kesejahteraan paling maju di Amerika Utara.
Skandal tersebut diselidiki oleh Komisi Charbonneau, yang mengungkap jejaring kolusi, praktik suap, dan pembiayaan partai politik secara ilegal, bahkan dalam sistem birokrasi yang konon sudah modern dan transparan. Artikel ini menyuguhkan analisis mendalam berbasis sejarah, ekonomi, budaya politik, dan institusi informal yang menopang korupsi sistemik.
Korupsi Sistemik dalam Masyarakat Modern
Definisi dan Karakter
Korupsi sistemik bukan hanya tindakan individu yang menyimpang, melainkan struktur tidak resmi yang menyatu dalam norma, budaya, dan praktik sosial. Aktor dalam sistem ini tidak merasa bersalah karena suap sudah menjadi "aturan main".
Di Quebec, korupsi ini mengakar dalam hubungan politik-bisnis, terutama di sektor konstruksi, yang dikenal global sebagai industri paling rawan suap. Di Montreal, pengusaha konstruksi menyebutkan bahwa 3% dari total kontrak proyek rutin diberikan kepada partai walikota, dan 1% lagi kepada pejabat kota. Praktik ini disebut sebagai “la taxe à Surprenant”.
Model Quebec dan Warisan Revolusi Tenang
Saint-Martin menelusuri akar institusional dari korupsi ini ke masa Revolusi Tenang (Quiet Revolution) tahun 1960-an, ketika Quebec memulai proyek besar modernisasi: nasionalisasi energi, desentralisasi pendidikan, dan perluasan negara kesejahteraan.
Namun, tiga faktor warisan politik ekonomi justru menciptakan ladang subur untuk korupsi sistemik:
Quebec: Negara Sejahtera Tapi Korup
Quebec digambarkan sebagai “Swedia kecil di Amerika Utara” karena keberhasilan dalam pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan sosial. Misalnya:
Namun, menurut Saint-Martin, kemajuan sosial ini tidak otomatis menghapus korupsi. Justru, institusi modern membuka ruang baru untuk kolusi, melalui struktur tender publik dan jejaring politis.
Charbonneau Inquiry: Fakta Mengejutkan
Komisi yang dibentuk pada 2011 mengungkap:
Komisi menghasilkan laporan sepanjang 1.741 halaman, menunjukkan mekanisme korupsi sebagai norma, bukan pengecualian.
Korupsi di Sektor Konstruksi: Bukan Masalah Lokal
Studi Saint-Martin menempatkan Quebec dalam konteks global:
Kritik terhadap Teori Perubahan Institusional
Saint-Martin menolak teori "big bang", yakni bahwa negara hanya bisa lepas dari korupsi melalui revolusi besar. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa:
Teori Kebudayaan dan Korupsi: Jalan Buntu?
Artikel ini juga menyanggah teori kebudayaan yang menyalahkan etnisitas atau nilai budaya sebagai penyebab utama korupsi. Saint-Martin menekankan bahwa:
Implikasi Kebijakan dan Akademik
Bagi pembuat kebijakan, artikel ini menyarankan:
Bagi akademisi dan praktisi:
Kesimpulan: Negara Maju Tak Kebal Korupsi
Kasus Quebec memperlihatkan bahwa bahkan sistem birokrasi modern dan negara kesejahteraan bisa menyimpan korupsi sistemik yang mengakar. Korupsi di sektor konstruksi terjadi karena adanya peluang, kelemahan institusi lokal, dan relasi politik-bisnis yang tidak transparan. Perubahan butuh lebih dari sekadar hukum dan teknologi—perlu restrukturisasi norma, insentif, dan pola relasi kekuasaan.
Sumber: Saint-Martin, D. (2015). Systemic Corruption in an Advanced Welfare State: Lessons from the Quebec Charbonneau Inquiry. Osgoode Hall Law Journal, 53(1), 66–106.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pengadaan publik bukan hanya instrumen pengadaan barang dan jasa pemerintah, tetapi juga menjadi katalis utama pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Laporan The Role of Public Procurement in Achieving the SDGs (UNDP, 2021) merangkum hasil dialog regional ASEAN yang membahas cara-cara strategis mengubah sistem pengadaan menjadi lebih inklusif, transparan, dan berkelanjutan, serta bagaimana mempercepat pencapaian SDGs melalui kebijakan pengadaan publik.
Tantangan Besar dalam Sistem Pengadaan Publik Saat Ini
Laporan ini mengungkapkan fakta mengejutkan:
Situasi ini diperburuk oleh pandemi COVID-19, yang memperlihatkan kerapuhan sistem pengadaan dalam menghadapi krisis, serta membuka ruang besar untuk inefisiensi dan penyimpangan.
Reformasi Pengadaan: Pilar Menuju Pembangunan Inklusif
Laporan ini menyoroti enam strategi kunci reformasi pengadaan publik:
1. Kemauan Politik dan Tindakan Nyata
Tanpa dukungan politik yang kuat, reformasi pengadaan akan stagnan. Pemerintah harus menyalurkan anggaran ke pengembangan teknologi pencegah korupsi, bukan hanya mengantisipasi kerugian akibat korupsi.
2. Pengadaan Berkelanjutan (Sustainable Public Procurement/SPP)
SPP harus dimasukkan dalam kerangka hukum nasional. Contohnya:
3. Transparansi Data dan Standarisasi
Data pengadaan yang terbuka dan terstandar seperti OCDS (Open Contracting Data Standard) sangat penting untuk akuntabilitas. Negara seperti Mongolia bahkan mengintegrasikan data pengadaan dengan data konflik kepentingan dan registrasi bisnis untuk menganalisis penerima manfaat sebenarnya.
4. Inklusi Gender dan UMKM
Perusahaan milik perempuan hanya menyumbang 1% dari nilai pengadaan global. Hambatan utama meliputi akses ke pembiayaan, birokrasi, dan ketidaktahuan prosedur. Negara seperti Filipina dan Thailand mulai menetapkan kuota pengadaan untuk bisnis milik perempuan, dan sektor swasta seperti Unilever berkomitmen mengalokasikan EUR 2 miliar untuk bisnis yang dimiliki kelompok marjinal.
5. Kolaborasi Pemangku Kepentingan
Partisipasi warga, LSM, dan sektor swasta sangat penting. Di Filipina, program audit partisipatif mengikutsertakan warga dalam tim audit pengadaan. Di Indonesia, Indonesia Corruption Watch dan LKPP aktif membangun kapasitas masyarakat memantau pengadaan.
6. Teknologi untuk Pengadaan Transparan
Contoh dari Korea Selatan (KONEPS), Inggris (Contracts Finder), dan Microsoft (ACTS) memperlihatkan bahwa teknologi dapat menekan potensi korupsi, mengurangi waktu akses data dari 205 hari menjadi 1 menit, dan meningkatkan efisiensi hingga 90%.
Studi Kasus ASEAN: Belajar dari Lapangan
Indonesia
Thailand
Filipina
Rekomendasi Praktis untuk Reformasi Pengadaan
Laporan ini menyusun 9 rekomendasi konkret:
Kesimpulan: Pengadaan Publik sebagai Kunci Masa Depan yang Berkelanjutan
Untuk mengejar target SDGs hingga 2030, kita tidak bisa mengandalkan sistem pengadaan lama yang rentan dan tertutup. Laporan ini menekankan bahwa reformasi pengadaan bukan hanya tanggung jawab teknokrat, tetapi perlu dukungan politik, keterlibatan masyarakat, dan integrasi prinsip keberlanjutan dan kesetaraan gender di seluruh sistem.
Dengan pelibatan multi-pihak dan kemauan untuk berinovasi, pengadaan publik dapat menjadi kendaraan utama mewujudkan pembangunan yang lebih adil, transparan, dan inklusif.
Sumber: Bernal, I. (2021). The Role of Public Procurement in Achieving the SDGs: Regional Dialogue Report. UNDP Bangkok Regional Hub.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Dalam dunia konstruksi, korupsi bukan sekadar masalah etika, melainkan persoalan sistemik yang merusak akuntabilitas publik, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menguras anggaran negara. Studi oleh Zhao Zhai, Ming Shan, Amos Darko, dan Albert P. C. Chan (2021) yang berjudul Corruption in Construction Projects: Bibliometric Analysis of Global Research hadir sebagai upaya pertama untuk memetakan secara kuantitatif riset global tentang korupsi dalam proyek konstruksi (CICP) dari tahun 2000 hingga 2020. Dengan menggunakan perangkat analisis bibliometrik CiteSpace, riset ini menyaring 542 publikasi dari database Web of Science, menghasilkan peta pengetahuan komprehensif yang mencakup jurnal, penulis, institusi, negara, kata kunci utama, dan tren masa depan.
Mengapa Riset Ini Penting?
Sebelumnya, tinjauan literatur terkait CICP bersifat manual dan subjektif, mencakup hanya 30–50 studi. Kini, dengan pendekatan bibliometrik:
Hasilnya adalah fondasi ilmiah yang lebih kuat untuk kebijakan antikorupsi, baik bagi akademisi, pembuat kebijakan, maupun pelaku industri.
Peningkatan Eksponensial Riset Korupsi Konstruksi
Jumlah publikasi tentang CICP melonjak sejak tahun 2014, dengan 69% dari 542 studi terbit setelah 2014. Hal ini mencerminkan meningkatnya perhatian global terhadap korupsi di sektor ini. Contohnya, tim Profesor Yun Le dari Tongji University menerbitkan 8 makalah antara 2014–2017 dengan dukungan National Natural Science Foundation of China.
Jurnal dan Penulis Terdepan dalam Isu CICP
Jurnal paling produktif:
Jurnal paling sering dikutip:
Penulis paling berpengaruh:
Kolaborasi Global dalam Riset CICP
Institusi terdepan:
Negara paling aktif:
Amerika Serikat memiliki centrality tertinggi (0.36) sebagai simpul kolaborasi riset internasional.
Fokus Utama Penelitian: Infrastruktur dan Negara Berkembang
Kata kunci yang paling sering muncul:
Hal ini menunjukkan fokus dominan riset pada korupsi proyek infrastruktur di negara berkembang, termasuk pengaruh terhadap investasi asing langsung.
Enam Klaster Tematik Riset CICP
Analisis co-citation mengelompokkan riset ke dalam enam tema utama:
Rujukan Landmark dan Tren Baru
Beberapa artikel paling sering dikutip:
Tren terbaru menunjukkan pergeseran fokus ke:
Implikasi untuk Praktik dan Penelitian
Bagi Peneliti
Bagi Pembuat Kebijakan
Bagi Praktisi Industri
Kritik terhadap Studi dan Arah Selanjutnya
Meskipun metodologinya kuat, studi ini hanya mengambil data dari Web of Science, sehingga publikasi berkualitas dari Scopus atau Google Scholar bisa terlewat. Selain itu, pendekatan CiteSpace bersifat kuantitatif dan eksploratif, sehingga interpretasi hasil tetap membutuhkan analisis kualitatif tambahan.
Arah penelitian berikutnya:
Kesimpulan: Peta Ilmu untuk Membangun Dunia Konstruksi yang Bersih
Artikel ini adalah tonggak penting dalam upaya memahami dan menanggulangi korupsi di sektor konstruksi. Melalui pendekatan ilmiah berbasis data, studi ini membuka cakrawala baru bagi riset, kebijakan, dan praktik yang lebih jujur dan berkelanjutan. Dengan informasi yang terstruktur dan tren yang terpetakan, langkah selanjutnya tinggal kita ambil: menerjemahkan pengetahuan menjadi tindakan.
Sumber:
Zhai, Z., Shan, M., Darko, A., & Chan, A. P. C. (2021). Corruption in Construction Projects: Bibliometric Analysis of Global Research. Sustainability, 13(8), 4400.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Antikorupsi Berbasis Bukti: Evaluasi Strategi Sida di Negara-Negara Mitra
Korupsi bukan hanya musuh pembangunan, tapi juga penghalang utama demokrasi, perdamaian, dan keadilan sosial. Laporan "Evidence-Based Anti-Corruption? Evaluation of Sida’s Efforts to Reduce Corruption in Partner Countries" (2024) yang ditulis oleh Marina Nistotskaya dkk., memberikan kajian sistematis terhadap efektivitas strategi Swedish International Development Cooperation Agency (Sida) dalam mengurangi korupsi di negara mitra. Evaluasi ini memadukan teori antikorupsi mutakhir, survei terhadap petugas program, serta studi kasus di tiga negara: Kenya, Serbia, dan Georgia.
Kerangka Teoritis: Dari Principal-Agent ke Aksi Kolektif
Laporan ini menggunakan empat pendekatan utama untuk memahami dan menilai strategi antikorupsi:
Kesimpulan penting: Tidak ada satu pendekatan tunggal yang unggul secara empiris. Justru, kebijakan antikorupsi yang efektif adalah yang menggabungkan teori dan disesuaikan dengan konteks lokal.
Transformasi Strategi Sida: Dari Risiko ke Perubahan Sistemik
Sejak awal 2000-an, Sida telah berpindah dari strategi yang semata-mata bertujuan melindungi dana Swedia (risk perspective) ke pendekatan yang melihat korupsi sebagai hambatan utama pembangunan (development perspective). Pada 2023, alokasi bantuan untuk proyek antikorupsi meningkat tajam menjadi 138 juta SEK, dari nol pada tahun 2003.
Langkah konkret yang dilakukan Sida:
Evaluasi Implementasi: Survei dan Temuan Lapangan
Survei Program Officer di Negara Mitra
Survei terhadap staf pengembangan di berbagai kedutaan besar Swedia menunjukkan:
Tiga Studi Kasus: Kenya, Serbia, dan Georgia
Kenya
Program fokus pada penguatan sektor kehakiman dan transparansi fiskal. Namun, tantangan muncul karena minimnya indikator pengukuran dampak, serta kompleksitas politik lokal.
Serbia
Meskipun memiliki kerangka hukum antikorupsi yang kuat, pelaksanaannya lemah. Staf Sida menghadapi keterbatasan mitra lokal yang kredibel, dan pengaruh politik yang besar atas birokrasi.
Georgia
Memiliki komitmen tinggi secara formal terhadap integritas, namun terdapat masalah dalam keberlanjutan reformasi dan ketergantungan pada aktor individu. Beberapa proyek antikorupsi berhasil, tetapi sulit mereplikasi dalam skala luas.
Kritik dan Celah dalam Strategi Sida
Rekomendasi Kunci dari Evaluasi
Kesimpulan: Potensi Besar, Tapi Butuh Konsistensi
Evaluasi ini menyimpulkan bahwa strategi antikorupsi Sida selaras dengan pengetahuan ilmiah terkini, namun tantangan besar masih ada pada implementasi di lapangan. Ketika korupsi bersifat sistemik, pendekatan teknis tidak cukup. Dibutuhkan:
Sida berada dalam posisi unik untuk menjadi pelopor reformasi antikorupsi yang berbasis bukti. Namun, untuk mencapai hasil yang berkelanjutan, pendekatan harus terus diperbarui dan dijalankan dengan kesadaran penuh terhadap realitas politik dan sosial negara mitra.
Sumber: Nistotskaya, M., Buker, H., Grimes, M., Persson, A., D’Arcy, M., Rothstein, B., & Gafuri, A. (2024). Evidence-Based Anti-Corruption? Evaluation of Sida’s Efforts to Reduce Corruption in Partner Countries. EBA Report 2024:05, The Expert Group for Aid Studies (EBA), Sweden.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Jalur Sutra Abad 21: Ambisi Cina dan Dampaknya bagi Asia Tengah
China’s Belt and Road Initiative (BRI), atau dikenal juga sebagai Jalur Sutra Baru, merupakan proyek mega-infrastruktur global yang diluncurkan Presiden Xi Jinping pada 2013. Proyek ini menghubungkan Tiongkok ke puluhan negara lewat jaringan transportasi darat dan laut, dengan Asia Tengah sebagai simpul penting. Artikel ini membedah tujuan strategis BRI, dampak ekonominya di Asia Tengah, risiko tersembunyi, dan respon negara-negara Asia Tengah terhadap ekspansi Tiongkok, berdasarkan kompilasi riset yang disunting oleh Marlene Laruelle (2018) dan diterbitkan oleh Central Asia Program, The George Washington University.
BRI: Visi Global Tiongkok dengan Motivasi Domestik
Meskipun dibungkus dengan retorika “konektivitas dan kerja sama multilateral”, BRI sejatinya lahir dari kebutuhan domestik Cina: mengatasi kelebihan kapasitas industri, memperluas pasar ekspor, dan menstabilkan kawasan perbatasan seperti Xinjiang. Investasi senilai USD 304,9 miliar telah dikucurkan sejak 2013 untuk berbagai proyek infrastruktur di Asia Tengah—mulai dari jalur kereta api, jalan raya, pembangkit listrik, hingga zona ekonomi khusus.
Manfaat Ekonomi: Harapan dan Kenyataan di Asia Tengah
Beberapa keuntungan yang diharapkan dari BRI antara lain:
Namun kenyataannya, mayoritas proyek masih didominasi oleh pekerja, peralatan, dan kontraktor dari Cina. Misalnya, 70% proyek tenaga di Turkmenistan menggunakan tenaga kerja Cina, walaupun secara hukum seharusnya 70% tenaga kerja berasal dari lokal.
Risiko Utama: Ketergantungan Ekonomi dan Utang Berlebihan
Salah satu konsekuensi utama dari BRI adalah krisis utang di negara-negara penerima, terutama Kyrgyzstan dan Tajikistan:
Masalah lainnya adalah pinjaman ‘tidak transparan’ dan praktik “predatory lending”—di mana negara penerima diberi pinjaman besar, namun proyek dikunci hanya untuk kontraktor dan material dari Cina, sehingga manfaat ekonominya minim bagi negara lokal.
Kritik terhadap Strategi Konektivitas Cina
1. Konektivitas Fisik Tanpa Dampak Nyata
Meskipun jalur logistik meningkat, ekonomi lokal tidak otomatis tumbuh. Proyek seperti jalur kereta dan jalan raya hanya menjadikan negara Asia Tengah sebagai “koridor transit”, bukan pusat produksi.
2. Investasi Industri yang Tidak Seimbang
Proyek industri sering kali diarahkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor Cina, bukan diversifikasi ekspor negara Asia Tengah. Contohnya:
Respons Politik dan Sosial Asia Tengah
Reaksi masyarakat dan pemerintah di Asia Tengah beragam:
Namun, persepsi negatif ini mulai berkurang lewat interaksi langsung, kolaborasi bisnis, dan pelibatan warga lokal di sektor pertanian dan industri.
Peluang Nyata: Kolaborasi Industri dan Transfer Teknologi
Studi kasus dari Tajikistan menunjukkan bahwa perusahaan seperti Jing Yin Yin Hai Seeds membawa:
Model seperti ini menunjukkan bahwa jika dikelola dengan transparan, investasi Cina bisa menciptakan nilai nyata bagi ekonomi lokal.
Masalah Tata Kelola dan Korupsi
Namun, proyek-proyek BRI tidak lepas dari isu korupsi:
Kurangnya transparansi ini tidak hanya merugikan reputasi Cina, tetapi juga mengancam legitimasi pemerintah lokal.
Rekomendasi untuk Negara Asia Tengah
Agar BRI membawa manfaat berkelanjutan, negara penerima harus:
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Konektivitas Seimbang
BRI adalah proyek strategis raksasa yang tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Namun, seperti disebutkan dalam laporan, “konektivitas tidak cukup hanya dengan infrastruktur”. Butuh reformasi kebijakan, tata kelola yang baik, dan kolaborasi sejati agar Asia Tengah tidak sekadar menjadi jalur, tetapi bagian dari pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Cina mungkin telah membentangkan jalan sutra baru, tapi arah dan manfaat perjalanannya tetap bergantung pada strategi negara-negara mitra itu sendiri.
Sumber: Laruelle, M. (Ed.). (2018). China’s Belt and Road Initiative and its Impact in Central Asia. Washington, D.C.: The George Washington University, Central Asia Program.