Konstruksi

Peningkatan Kualitas Insinyur Melalui Sertifikasi Insinyur Profesional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 04 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Sejak berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015, Indonesia menghadapi persaingan tenaga kerja yang ketat, termasuk untuk profesi insinyur. Di sisi lain, pemerintah mencanangkan megaproyek infrastruktur yang membutuhkan insinyur profesional dalam jumlah signifikan. Namun, kasus kegagalan struktur seperti jembatan ambruk dan jalan tol amblas menimbulkan pertanyaan besar tentang kualitas insinyur yang bertanggung jawab.

Di luar negeri, khususnya di negara maju seperti Singapura dan Amerika Serikat, hanya insinyur berlisensi (

Professional Engineer/PE) yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan desain teknis. Lisensi ini bukan sekadar pilihan, melainkan persyaratan hukum yang menjamin kompetensi dan akuntabilitas. Kontras dengan kondisi di Indonesia, di mana lulusan sarjana teknik dapat mengesahkan desain di lapangan , sertifikasi profesional menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas dan mencegah kegagalan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran sebagai langkah awal. Berdasarkan UU ini,

Program Profesi Insinyur (PSPPI) didirikan di 40 perguruan tinggi untuk menghasilkan insinyur profesional yang kompeten dan mampu bersaing.

Dampak Positif

  • Penegasan Akuntabilitas: UU Keinsinyuran memberikan sanksi tegas bagi insinyur yang berpraktik tanpa Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI), dengan denda hingga Rp 200 juta atau pidana penjara dua tahun. Jika kegagalan pekerjaan menyebabkan kecelakaan atau hilangnya nyawa, sanksi dapat mencapai denda Rp 1 miliar dan penjara 10 tahun.

  • Pengakuan Pembelajaran Lampau (RPL): PSPPI dapat ditempuh melalui jalur RPL, yang memungkinkan sarjana teknik dengan pengalaman kerja minimal dua tahun untuk memperoleh sertifikasi. Ini memberikan jalur yang efisien bagi profesional yang sudah berpengalaman.

Hambatan

  • Kendala Tenaga Pengajar: Salah satu kendala dalam pembentukan PSPPI adalah persyaratan bahwa dosen pengampu harus memiliki sertifikat Insinyur Profesional Madya (IPM). Meskipun di beberapa universitas, hal ini diatasi dengan menempatkan prodi di tingkat fakultas, masalah spesialisasi lulusan tetap menjadi pertanyaan.

  • Kemitraan Magang: Program PSPPI mewajibkan porsi magang yang signifikan di lapangan, tetapi menentukan mitra perusahaan yang dapat mengakomodasi berbagai bidang ilmu dari departemen berbeda menjadi tantangan.

Peluang

  • Kerja Sama Industri-Akademisi: Terdapat peluang untuk berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Wijaya Karya, Pertamina, dan lainnya untuk menyediakan tempat magang. Staf manajemen dari perusahaan ini juga dapat dilibatkan sebagai dosen atau pembimbing.

     

  • Evaluasi Berkelanjutan: Evaluasi program studi dan tracer study terhadap kepuasan pengguna lulusan harus dilakukan secara rutin untuk perbaikan berkelanjutan. Salah satu indikator keberhasilan adalah berkurangnya kasus kegagalan struktur.

     

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Berdasarkan temuan dari studi ini, berikut adalah lima rekomendasi kebijakan praktis untuk mengimplementasikan UU Keinsinyuran secara efektif:

1. Penerbitan Peraturan Pemerintah yang Lebih Rinci

Pemerintah perlu segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai turunan UU No. 11 Tahun 2014. Aturan ini harus secara spesifik meregulasi bahwa hanya insinyur berlisensi yang berhak mengesahkan desain teknis. Ini akan menutup celah hukum yang selama ini memungkinkan sarjana teknik tanpa sertifikasi untuk melakukan pekerjaan krusial.

2. Pembentukan Tim Khusus Penegakan Hukum

Untuk memastikan implementasi yang efektif, perlu dibentuk tim khusus yang bertugas mengawasi dan menegakkan hukum. Tim ini harus memastikan bahwa hanya insinyur yang memiliki STRI yang berhak melakukan praktik keinsinyuran.

3. Integrasi Dosen Praktisi

Guna mengatasi kendala ketersediaan dosen, pemerintah dan perguruan tinggi harus memfasilitasi integrasi dosen praktisi dari industri. Mereka dapat diangkat sebagai dosen pengampu atau pembimbing magang, yang membawa pengalaman nyata ke dalam kurikulum PSPPI.

4. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kasus Nyata

Kurikulum PSPPI harus lebih mengutamakan praktik dan studi kasus nyata dari industri. Hal ini dapat dilakukan melalui magang kerja yang terstruktur dengan topik tesis yang berfokus pada penyelesaian masalah yang ditemui di lapangan.

5. Pengukuran Keberhasilan Program Berbasis Indikator Dampak

Evaluasi PSPPI harus tidak hanya berfokus pada tingkat kelulusan, tetapi juga pada indikator dampak seperti tingkat kepuasan pengguna lulusan dan, yang terpenting, penurunan kasus kegagalan struktur di Indonesia.

Kritik dan Risiko Jika Kebijakan Tidak Diterapkan

Tanpa implementasi yang tegas, upaya untuk meningkatkan kualitas insinyur melalui sertifikasi akan sia-sia. Persepsi negatif terhadap kualitas insinyur lokal akan terus berlanjut, yang pada akhirnya akan menghambat pembangunan infrastruktur dan daya saing bangsa di kancah global. Kegagalan struktur yang menelan biaya dan nyawa akan terus terjadi, dan kepercayaan publik terhadap profesi insinyur akan semakin menurun. Keterbatasan dalam penegakan hukum juga akan membuat sanksi yang diatur dalam UU tidak efektif.

Kesimpulan

Sertifikasi insinyur profesional sangat krusial bagi Indonesia, tidak hanya untuk meningkatkan daya saing di tengah MEA, tetapi juga untuk menjamin keselamatan dan kualitas infrastruktur. Meskipun telah ada landasan hukum, keberhasilan program ini sangat bergantung pada implementasi yang kuat dan komitmen dari pemerintah, industri, dan akademisi. Dengan meregulasi secara ketat dan memastikan setiap insinyur profesional memenuhi standar kompetensi yang tinggi, Indonesia dapat meminimalisir kegagalan struktur dan membangun fondasi yang kokoh untuk masa depan.

🔗 Sumber Paper: Supraba, I. (2017). Peningkatan Kualitas Insinyur Melalui Sertifikasi Insinyur Profesional. Prosiding Simposium II - UNIID 2017. Baca selengkapnya tentang kursus terkait di sini: K3 Konstruksi

Selengkapnya
Peningkatan Kualitas Insinyur Melalui Sertifikasi Insinyur Profesional

Konstruksi

Revitalisasi Industri Konstruksi Indonesia: Tantangan, Solusi, dan Pelajaran dari Global

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025


Pendahuluan

Industri konstruksi Indonesia, meski menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur, ternyata tumbuh lebih lambat dibandingkan sektor lainnya. Paper karya Dewi Larasati ZR dan Watanabe Tsunemi (Kochi University of Technology) mengungkap akar masalahnya: inefisiensi proyek, fragmentasi hubungan antar-pihak, dan ketidakmampuan mengelola perubahan. Analisis ini didukung data lapangan dan studi literatur, menawarkan solusi seperti manajemen rantai pasok dan relational contracting.

 

Analisis Kondisi Industri Konstruksi Indonesia

1. Karakteristik Proyek Konstruksi yang Unik
Industri konstruksi memiliki ciri khas yang kompleks:

  • Produk unik (setiap proyek berbeda).

  • Organisasi sementara (tim dibubarkan setelah proyek selesai).

  • Ketergantungan pada lokasi (faktor geografis dan regulasi lokal).

  • Tingkat ketidakpastian tinggi (perubahan desain, cuaca, pasokan material).

Menurut Smith (1999), perubahan adalah hal yang tak terhindarkan dalam konstruksi. Namun, di Indonesia, perubahan sering berujung pada konflik, penundaan, dan pembengkakan biaya.

2. Data Kritis yang Menggambarkan Masalah

  • Keterampilan pekerja: Hanya 67% dari standar optimal (Kaming, 2003).

  • Pemborosan material: 30% bahan konstruksi terbuang sia-sia (Alwi, 2003).

  • Persebaran perusahaan: 70% perusahaan besar terkonsentrasi di Jawa, memicu kompetisi tidak sehat (BCI, 2006).

  • Alokasi anggaran: 60% dana habis di fase desain, hanya 40% untuk konstruksi (Gambar 5). Ini menunjukkan lemahnya integrasi antar-fase proyek.

3. Penyebab Utama Inefisiensi

  • Hubungan tradisional antar-pihak: Kontrak kaku yang tidak fleksibel terhadap perubahan.

  • Rantai pasok terfragmentasi: Setiap kontraktor mengelola pemasok sendiri, meningkatkan biaya logistik.

  • Regulasi tidak mendukung: Proses pengadaan proyek rumit dan tidak transparan.

 

Strategi Peningkatan Daya Saing

1. Manajemen Rantai Pasok Terintegrasi
Penelitian Susilawati (2005) menunjukkan bahwa efisiensi rantai pasok bisa mengurangi pemborosan hingga 20%. Contoh sukses dari Jepang:

  • Sistem Just-In-Time: Material datang tepat waktu, minimalkan penyimpanan.

  • Kolaborasi dengan pemasok lokal: Kurangi ketergantungan pada pasokan dari luar pulau.

2. Relational Contracting
Mekanisme kontrak yang lebih fleksibel, seperti alliancing project, bisa mengurangi konflik. Contoh: Proyek infrastruktur di Australia yang menggunakan model ini mengalami penurunan dispute hingga 40% (Sakkal, 2005).

3. Peningkatan Keterampilan Tenaga Kerja

  • Pelatihan berbasis kompetensi.

  • Sertifikasi profesi konstruksi.

4. Adopsi Teknologi

  • Building Information Modeling (BIM): Meminimalkan kesalahan desain.

  • Software manajemen proyek: Pantau progres real-time.

 

Kritik dan Rekomendasi

  • Kelemahan Paper: Tidak membahas peran pemerintah secara mendalam, padahal regulasi adalah kunci.

  • Peluang Riset Lanjutan: Perlunya studi kasus penerapan relational contracting di Indonesia.

  • Tren Global: Industri 4.0 di konstruksi (IoT, AI) belum diangkat dalam paper.

 

Kesimpulan

Industri konstruksi Indonesia membutuhkan transformasi sistemik:

  • Integrasi rantai pasok.

  • Kontrak kolaboratif.

  • Peningkatan SDM.
    Dengan belajar dari praktik terbaik global, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dan bersaing di pasar internasional.

Sumber:


Dewi Larasati ZR & Watanabe Tsunemi (2007). Evaluation Study on Existing Condition of Indonesian Construction Industry. Kochi University of Technology.

Selengkapnya
Revitalisasi Industri Konstruksi Indonesia: Tantangan, Solusi, dan Pelajaran dari Global

Konstruksi

Inovasi untuk Efisiensi: Mengurai Masalah Pemborosan dalam Industri Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025


Pendahuluan

 

Industri konstruksi Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal efisiensi. Penelitian oleh Alwi, Hampson, dan Mohamed (2002) berjudul Factors Influencing Contractor Performance in Indonesia: A Study of Non Value-Adding Activities mengungkap bahwa aktivitas non-nilai tambah (pemborosan) menjadi penyebab utama rendahnya produktivitas. Studi ini menganalisis data dari 99 responden di 46 perusahaan kontraktor, mengidentifikasi faktor-faktor kritis seperti perbaikan pekerjaan finishing, keterlambatan material, dan perubahan desain. Temuan ini tidak hanya relevan bagi akademisi tetapi juga praktisi yang ingin meningkatkan kinerja proyek.

 

Analisis Temuan Utama

1. Aktivitas Non-Nilai Tambah yang Dominan
Penelitian ini mengklasifikasikan pemborosan dalam konstruksi menjadi lima kategori utama:

  • Perbaikan pekerjaan finishing (skor tertinggi: 0.97 pada Weighted Index).

  • Menunggu material (0.88).

  • Keterlambatan jadwal (0.86).

Contoh nyata:

  • Perbaikan finishing sering terjadi karena kurangnya keterampilan tenaga kerja atau kesalahan struktural yang memengaruhi pekerjaan akhir.

  • Menunggu material disebabkan oleh manajemen logistik yang buruk, baik dari pemasok maupun tata letak situs. 

 

2. Penyebab Pemborosan
Faktor utama yang memicu pemborosan:

  • Perubahan desain (Level Index: 0.723).

  • Lambatnya pengambilan keputusan (0.717).

  • Kurangnya keterampilan tenaga kerja (0.714).

Studi Kasus:

  • Proyek apartemen di Jakarta mengalami keterlambatan 3 bulan akibat perubahan desain yang tidak terantisipasi.

  • Penggunaan material tidak sesuai spesifikasi menyebabkan pembongkaran ulang, menambah biaya 15%.

 

3. Perbedaan antara Perusahaan ISO 9000 dan Non-ISO

  • Perusahaan ISO 9000 lebih baik dalam menangani perbaikan struktural (skor 0.82 vs. 0.55 pada non-ISO).

  • Perusahaan non-ISO lebih sering mengalami pemborosan material (skor 1.01 vs. 0.65 pada ISO).

 

Solusi dan Rekomendasi

1. Penerapan Konsep Lean Construction

  • Just-In-Time (JIT): Meminimalkan penumpukan material di lokasi.

  • Peningkatan kolaborasi dengan pemasok: Menggunakan sistem informasi terintegrasi untuk memantau pasokan.

2. Pelatihan Tenaga Kerja

  • Program sertifikasi keterampilan untuk pekerja, terutama di bidang finishing dan struktur.

  • Kolaborasi dengan lembaga pelatihan seperti BLK (Balai Latihan Kerja).

3. Penggunaan Teknologi

  • BIM (Building Information Modeling): Meminimalkan kesalahan desain sejak awal.

  • Software manajemen proyek: Memantau progres dan mengidentifikasi potensi pemborosan.

4. Perbaikan Proses Kontrak

  • Relational Contracting: Mengganti kontrak tradisional dengan model kolaboratif untuk mengurangi konflik.

 

Kritik dan Nilai Tambah

Kelebihan Penelitian:

  • Data lapangan yang komprehensif dengan responden dari berbagai jenis perusahaan.

  • Metodologi jelas dengan penggunaan Importance Index untuk mengukur dampak pemborosan.

Kekurangan:

  • Tidak membahas peran pemerintah dalam regulasi pengadaan material.

  • Contoh kasus terbatas pada proyek besar, kurang mencakup UMKM konstruksi.

Perbandingan dengan Tren Global:

  • Di Jepang, penerapan Lean Construction mengurangi pemborosan hingga 30%.

  • Singapura menggunakan sistem Prefabricated Prefinished Volumetric Construction (PPVC) untuk meminimalkan kesalahan di lapangan.

 

Kesimpulan

Penelitian ini memberikan peta jalan untuk meningkatkan efisiensi industri konstruksi Indonesia dengan fokus pada:

  1. Eliminasi pemborosan melalui manajemen material dan tenaga kerja.

  2. Adopsi teknologi untuk akurasi desain dan pengawasan proyek.

  3. Kolaborasi antar-pihak untuk mengurangi konflik dan keterlambatan.

Dengan implementasi rekomendasi ini, industri konstruksi Indonesia bisa lebih kompetitif di tingkat global.

 

 

Sumber:
Alwi, S., Hampson, K., & Mohamed, S. (2002). Factors Influencing Contractor Performance in Indonesia: A Study of Non Value-Adding Activities. Proceeding of the International Conference on Advancement in Design, Construction, and Maintenance of Building Structures, Bali. 

 

Selengkapnya
Inovasi untuk Efisiensi: Mengurai Masalah Pemborosan dalam Industri Konstruksi Indonesia

Konstruksi

Faktor Utama Penyebab Klaim dan Sengketa dalam Kontrak EPC Proyek Infrastruktur di Indonesia: Analisis Mendalam dan Implikasi Praktis

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025


Pendahuluan

 

Seiring dengan akselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia, model kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction) menjadi pilihan utama berbagai proyek strategis nasional. Namun, tingginya angka klaim dan sengketa yang muncul dalam implementasinya mengindikasikan adanya persoalan fundamental dalam pemahaman dan pelaksanaan kontrak tersebut. Paper yang ditulis oleh Iskandar, Sarwono Hardjomuljadi, dan Hendrik Sulistio (2021), dan dipublikasikan di jurnal Review of International Geographical Education (RIGEO), mengulas faktor-faktor dominan penyebab sengketa dan klaim dalam kontrak EPC infrastruktur di Indonesia.

 

Latar Belakang dan Urgensi Studi

 

Proyek-proyek besar seperti LRT, jalan tol, pembangkit listrik, hingga kereta cepat, kebanyakan menggunakan model kontrak EPC. Meski model ini menawarkan efisiensi melalui pembayaran lumpsum, kenyataannya banyak proyek menghadapi masalah karena perbedaan persepsi antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Tidak hanya berdampak finansial, namun sengketa ini memperlambat penyelesaian proyek dan memperburuk reputasi pelaku industri.

 

Metodologi Penelitian

 

Penelitian ini berbasis data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan 116 responden yang terdiri dari pemilik proyek, kontraktor, konsultan, dan auditor. Instrumen penelitian divalidasi menggunakan SPSS v23 dengan pendekatan uji validitas dan reliabilitas. Variabel diuji menggunakan indeks Relative Importance Index (RII) untuk mengukur bobot pengaruh terhadap penyebab klaim dan sengketa.

 

Temuan Utama Penelitian

 

1. Perbedaan Persepsi Antar Pihak

 

Terdapat perbedaan persepsi signifikan antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Mayoritas kontraktor menilai pihak lain sebagai penyebab utama sengketa, sedangkan auditor mengkritisi lemahnya pelaksanaan kontrak.

 

2. Tiga Faktor Utama Penyebab Sengketa

 

Berdasarkan hasil RII konsolidasi dari seluruh responden, tiga faktor utama penyebab sengketa adalah:

  • Administrasi kontrak yang tidak memadai (A1) – RII: 0.824
  • Serah terima lahan yang terlambat (B1) – RII: 0.820
  • Ambiguitas dokumen kontrak (A2) – RII: 0.810

 

3. Temuan Khusus Berdasarkan Kelompok Responden

 

  • Pemilik Proyek menyoroti keterlambatan penyelesaian pekerjaan oleh kontraktor sebagai isu utama (RII 0.86).
  • Kontraktor mengeluhkan lambatnya serah terima lahan dan penolakan pembayaran tambahan.
  • Konsultan menekankan ketidaksesuaian dokumen teknis dan pelaksanaan di lapangan.
  • Auditor menemukan ketidaksesuaian pada variasi pekerjaan dan implementasi kualitas yang buruk.

 

4. Studi Kasus Tambahan

 

Sebagai ilustrasi, proyek pembangkit listrik di Sumatera mengalami klaim sebesar 10% dari nilai kontrak akibat keterlambatan dokumen desain dari konsultan. Dalam hal ini, kontraktor menggugat perpanjangan waktu (EOT) dan kompensasi biaya, yang menimbulkan sengketa hingga ke tingkat arbitrase.

 

Analisis dan Opini

 

Penelitian ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai kompleksitas implementasi kontrak EPC. Fakta bahwa pemahaman kontrak masih minim dan proses administrasi tidak dijalankan dengan disiplin menjadi akar masalah utama. Ketiadaan standar baku nasional untuk implementasi kontrak EPC menambah kerumitan.

 

Menariknya, penelitian ini juga mengungkap bahwa pendekatan "saling menyalahkan" menjadi budaya dalam proyek, di mana tiap pihak merasa tidak bersalah. Ini menunjukkan pentingnya pelatihan kontraktual dan komunikasi lintas pihak sejak awal proyek.

 

Jika dibandingkan dengan studi internasional seperti yang dilakukan oleh Du et al. (2016) dan Tang et al. (2020), proyek EPC di Indonesia cenderung lebih rentan terhadap sengketa karena aspek pengawasan dan pendampingan hukum yang lemah.

 

Implikasi Praktis

 

Penelitian ini menyarankan langkah-langkah preventif yang dapat diambil oleh berbagai pihak:

 

  • Pemilik proyek harus menyusun TOR (Term of Reference) dan dokumen kontrak yang jelas dan lengkap sejak awal.
  • Kontraktor perlu memahami substansi kontrak secara menyeluruh dan menyediakan tim legal.
  • Pemerintah dapat membuat regulasi pendukung pelaksanaan EPC yang lebih eksplisit dan wajib.
  • Akademisi dan profesional disarankan mengembangkan modul pelatihan kontrak EPC dan manajemen klaim.

 

Kesimpulan

 

Kontrak EPC memiliki potensi untuk menyederhanakan pelaksanaan proyek besar, namun risiko sengketa tetap tinggi bila administrasi, pemahaman kontrak, dan koordinasi tidak dijalankan dengan benar. Tiga faktor dominan yang menyebabkan sengketa—yaitu administrasi kontrak, serah terima lahan, dan interpretasi kontrak—perlu mendapat perhatian khusus. Penelitian ini menjadi acuan penting untuk memperkuat ekosistem manajemen konstruksi di Indonesia.

 

Sumber:

 

Iskandar, Hardjomuljadi, S., & Sulistio, H. (2021). The Most Influencing Factors on the Causes of Construction Claims and Disputes in the EPC Contract Model of Infrastructure Projects in Indonesia. Review of International Geographical Education (RIGEO), 11(2), 80–91. https://doi.org/10.48047/rigeo.11.02.07

Selengkapnya
Faktor Utama Penyebab Klaim dan Sengketa dalam Kontrak EPC Proyek Infrastruktur di Indonesia: Analisis Mendalam dan Implikasi Praktis

Konstruksi

Transformasi Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi di Negara Berkembang: Perspektif Baru yang Lebih Komprehensif

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025


Pendahuluan

 

Proyek konstruksi memainkan peranan vital dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara berkembang. Namun, efektivitas implementasinya kerap terganggu oleh masalah keterlambatan, pembengkakan biaya, hingga dampak lingkungan. Dalam paper berjudul "The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries" karya Joseph Makori, disajikan kerangka teoritis untuk mengevaluasi kinerja proyek konstruksi berdasarkan enam indikator utama: waktu, biaya, kualitas, keselamatan, minimnya sengketa, dan dampak lingkungan. Artikel ini tidak hanya menyuguhkan analisis literatur, tetapi juga membangun proposisi hubungan antara faktor keberhasilan dan kinerja proyek secara menyeluruh.

 

Menggugat Paradigma Tradisional: Dari Segitiga Besi ke Pendekatan Holistik

 

Selama beberapa dekade, evaluasi proyek konstruksi hanya berpusat pada tiga elemen klasik: waktu, biaya, dan kualitas, yang dikenal dengan sebutan "iron triangle." Namun pendekatan ini dianggap terlalu sempit. Penelitian Makori mendorong evolusi paradigma dengan menambahkan indikator keselamatan, minim sengketa, dan dampak lingkungan sebagai metrik penting dalam menilai keberhasilan proyek. Hal ini sejalan dengan pendekatan keberlanjutan dan peningkatan kepuasan masyarakat dalam proyek publik.

 

Kerangka Evaluasi: KPI dan Faktor Keberhasilan Kritis (CSF)

 

Penelitian ini menyusun enam Key Performance Indicators (KPI):

 

1. Waktu penyelesaian

2. Biaya proyek

3. Kualitas bangunan

4. Keselamatan kerja

5. Minim sengketa di lokasi

6. Dampak terhadap lingkungan

 

Untuk mengukur KPI ini, ditetapkan pula enam Critical Success Factors (CSF):

 

Faktor terkait proyek (lokasi, ukuran, kompleksitas)

Faktor terkait klien (pengalaman, kemampuan membayar)

Faktor konsultan (kejelasan desain, dokumen proyek)

Faktor kontraktor (keterampilan teknis, pengelolaan lokasi)

Faktor rantai pasok (material, tenaga kerja, alat)

Faktor eksternal (kondisi ekonomi, cuaca, kebijakan publik)

 

Studi Kasus: Survei Pakar dan Penerapan Lapangan

 

Makori menguji kerangka teoritis ini melalui survei kepada lima pakar di Kenya yang terdiri dari akademisi, kontraktor, dan pejabat publik. Hasilnya, seluruh KPI dan CSF dianggap relevan. Menariknya, indikator kepuasan masyarakat akhirnya dikesampingkan karena dipandang lebih sebagai akibat dari performa proyek, bukan ukuran langsungnya.

 

Di tahap lanjutan, kerangka kerja diuji pada 12 responden dari 10 proyek berbeda di Busia County, Kenya. Hasilnya menunjukkan bahwa para pelaku proyek memahami pentingnya KPI dan CSF, namun klasifikasi antar faktor masih tumpang tindih.

 

Analisis Kritis: Kekuatan dan Keterbatasan Pendekatan Makori

 

Nilai Tambah:

 

Komprehensif dan relevan: Menggabungkan dimensi keberlanjutan dan sosial yang selama ini diabaikan.

Adaptif terhadap konteks lokal: Dengan studi kasus di Kenya, kerangka ini dapat direplikasi pada konteks negara berkembang lain seperti Indonesia.

Struktur sistematis: Diagram hubungan antar faktor (lihat Gambar 1 dalam paper) memudahkan pemetaan penyebab dan akibat.

 

Keterbatasan:

 

Kurangnya pengujian empiris: Meskipun kerangka kerja solid, validitasnya belum diuji secara statistik.

Potensi tumpang tindih antar CSF: Sejumlah faktor bisa masuk ke lebih dari satu kategori, yang dapat menimbulkan kebingungan saat implementasi.

Tidak ada data kuantitatif: Penelitian masih dalam tahap teoritis dan survei terbatas.

 

 

Perbandingan dengan Penelitian Sejenis

 

Berbeda dengan penelitian Atkinson (1999) yang juga menggugat model "iron triangle" namun tidak menyertakan dimensi lingkungan, Makori melangkah lebih jauh dengan menjadikan dampak lingkungan dan sengketa sebagai variabel utama. Sementara itu, penelitian oleh Chan dan Tam (2000) memetakan penyebab keterlambatan dan penurunan kualitas, tetapi tidak menyusun kerangka evaluasi seperti yang dilakukan Makori.

 

Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi

 

Bagi manajer proyek, kerangka ini dapat dijadikan panduan komprehensif untuk:

  • Menentukan indikator performa sejak tahap perencanaan.
  • Mempetakan risiko berdasarkan faktor internal dan eksternal.
  • Meningkatkan transparansi dalam evaluasi proyek publik.
  • Mendorong pembangunan yang lebih ramah lingkungan dan bebas konflik.

 

Penutup: Arah Baru Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi

 

Makori memberikan kontribusi penting terhadap literatur manajemen proyek di negara berkembang. Dengan menggabungkan KPI tradisional dan kontemporer serta menetapkan hubungan sistemik antara CSF dan KPI, kerangka ini dapat menjadi fondasi bagi sistem evaluasi proyek yang lebih adil, berkelanjutan, dan akuntabel.

 

Sumber:

 

Makori, Joseph. The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries. International Scientific Conference on Economic, Social and Environmental Sustainability, Malta, 2023. Tersedia di: https://www.issbs.si/press/

Selengkapnya
Transformasi Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi di Negara Berkembang: Perspektif Baru yang Lebih Komprehensif

Konstruksi

Meningkatkan Produktivitas Pekerja Konstruksi: Studi Kasus Proyek Gedung Serbaguna Universitas Tadulako

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025


Pendahuluan

Produktivitas tenaga kerja merupakan faktor krusial dalam proyek konstruksi. Tingkat produktivitas yang tinggi tidak hanya berdampak pada efisiensi biaya dan waktu, tetapi juga menunjukkan efektivitas manajemen sumber daya manusia. Artikel ini mengulas secara mendalam hasil penelitian oleh Asnudin dan Iskandar mengenai produktivitas pekerja pada pekerjaan pasangan dinding bata di proyek Gedung Serbaguna Universitas Tadulako, serta membandingkannya dengan standar nasional yang berlaku.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Mengukur tingkat produktivitas aktual pekerja konstruksi pada proyek tersebut.

  2. Membandingkan hasil produktivitas aktual dengan nilai koefisien yang tercantum dalam AHSP-SNI berdasarkan Peraturan Kementerian PUPR No. 28 Tahun 2016.
     

Metodologi

Metode yang digunakan meliputi:

  • Five Minutes Rating: Metode observasi langsung tiap 5 menit untuk mencatat aktivitas pekerja.

  • Photograph Analysis: Dokumentasi visual untuk mendukung data observasi.

  • Observasi dilakukan selama 14 hari kerja, dengan waktu pengamatan antara pukul 08.00–17.00 WITA.
     

Hasil dan Temuan Lapangan

Produktivitas Aktual

  • Mandor & Kepala Tukang: 31,20 m²/hari

  • Tukang: 10,40 m²/hari

  • Pekerja: 3,47 m²/hari
     

AHSP-SNI (Standar Nasional)

  • Mandor: 66,67 m²/hari

  • Kepala Tukang: 100,00 m²/hari

  • Tukang: 10,00 m²/hari

  • Pekerja: 3,33 m²/hari
     

Selisih Produktivitas

  • Mandor: -35,47 m²/hari

  • Kepala Tukang: -68,80 m²/hari

  • Tukang: +0,40 m²/hari

  • Pekerja: +0,13 m²/hari
     

Temuan menarik: Tukang dan pekerja di lapangan memiliki produktivitas sedikit lebih tinggi dibanding standar, namun mandor dan kepala tukang justru menunjukkan kinerja yang jauh lebih rendah dari AHSP-SNI.

Analisis dan Interpretasi

Efektivitas Pekerjaan

Efektivitas kerja rata-rata mencapai 93%. Namun, hasil pengamatan menunjukkan adanya waktu-waktu jeda untuk merokok atau bercengkerama antar pekerja. Meskipun hal ini wajar dalam konteks sosial budaya kerja di lapangan, manajemen proyek perlu menyesuaikan perencanaan waktu.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

  1. Usia & Stamina: Pekerja muda cenderung memiliki produktivitas lebih tinggi karena stamina lebih baik.

  2. Pengalaman: Tenaga kerja berpengalaman memiliki efisiensi gerak dan keputusan lebih cepat.

  3. Jarak Material: Waktu terbuang untuk membawa material bisa menurunkan produktivitas.

  4. Hubungan Sosial: Komunikasi yang baik antara mandor dan pekerja meningkatkan kerja sama.
     

Kritik dan Opini

Kelebihan Studi:

  • Data empiris kuat, hasil observasi langsung.

  • Menggunakan dua metode yang saling melengkapi (observasi & fotografi).
     

Kelemahan:

  • Tidak dibahas lebih lanjut mengapa mandor dan kepala tukang sangat rendah produktivitasnya.

  • Kurangnya segmentasi data berdasarkan waktu kerja (pagi/siang/sore) yang bisa memengaruhi performa.
     

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian serupa oleh Rahmah (2019) menunjukkan bahwa produktivitas tinggi berkorelasi kuat dengan pengalaman kerja dan pelatihan sebelumnya. Hal ini menguatkan saran peneliti bahwa pelatihan menjadi kunci.

Rekomendasi Praktis

  1. Penyediaan Pelatihan Teknis Rutin bagi mandor dan kepala tukang.

  2. Manajemen Zona Material: Kurangi jarak tempuh bahan ke area kerja.

  3. Optimasi Waktu Istirahat: Atur jadwal rehat agar tidak mengganggu flow kerja.

  4. Monitoring Digital: Gunakan aplikasi manajemen proyek untuk mencatat real-time aktivitas pekerja.
     

Kesimpulan

Penelitian ini menyoroti bahwa produktivitas pekerja konstruksi di lapangan tidak selalu sesuai dengan standar nasional. Perbedaan ini menunjukkan perlunya adaptasi pendekatan manajemen dan pelatihan. Sektor konstruksi harus terus berinovasi dalam manajemen tenaga kerja, agar efisiensi waktu dan biaya dapat tercapai secara optimal.

Sumber Referensi

  • Asnudin, A., & Iskandar, Z. A. (2020). Analisis Produktivitas Pekerja Konstruksi pada Pekerjaan Pasangan Dinding Bata Proyek Pembangunan Gedung Serbaguna di Lingkungan Universitas Tadulako. Jurnal Inersia, 15(2), 95–105. https://doi.org/10.33369/ijts.15.2.95-105

Selengkapnya
Meningkatkan Produktivitas Pekerja Konstruksi: Studi Kasus Proyek Gedung Serbaguna Universitas Tadulako
« First Previous page 5 of 18 Next Last »