Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 15 Mei 2025
Pendahuluan: Pandemi sebagai Titik Balik Digitalisasi Konstruksi
Pandemi Covid-19 menjadi titik balik penting dalam transformasi teknologi pada sektor konstruksi Indonesia. Jika sebelumnya banyak proyek masih mengandalkan metode konvensional, masa krisis ini memaksa para kontraktor untuk mengadopsi teknologi demi mempertahankan keberlangsungan proyek. Artikel ilmiah berjudul "Kajian Penerapan Teknologi Konstruksi oleh Kontraktor dalam Menghadapi Kondisi Pandemi Covid-19" oleh Rika Permatasari dkk. dari Institut Teknologi Bandung ini menyajikan evaluasi menyeluruh terhadap penerapan teknologi oleh kontraktor selama masa pandemi.
Tantangan Industri Konstruksi Pra dan Saat Pandemi
Bahkan sebelum pandemi, sektor konstruksi sudah dibayangi masalah klasik seperti rendahnya produktivitas, banyaknya pemborosan material, dan lambatnya adopsi teknologi. Menurut Tim Pengembangan Industri Konstruksi LPJKN, Indonesia masih tertinggal dalam kesiapan menghadapi perdagangan bebas karena rendahnya inovasi teknologi.
Kondisi semakin diperparah oleh pandemi Covid-19 yang memperlambat aktivitas proyek, memicu pemutusan tenaga kerja, kenaikan biaya, serta hambatan pasokan material. Berdasarkan data dalam paper ini, hingga 32,26% responden menyatakan jumlah tenaga kerja mereka berkurang 6-10%, sedangkan 25,81% mengaku biaya proyek meningkat hingga 11-15%.
Peran Strategis Teknologi dalam Krisis
Teknologi menjadi jawaban atas berbagai kendala di masa pandemi, dari pembatasan jumlah tenaga kerja hingga gangguan suplai material. Studi ini mengidentifikasi tujuh area penting pemanfaatan teknologi:
Fakta menarik, aplikasi virtual meeting yang sebelumnya dianggap kurang prioritas, melonjak menjadi teknologi dengan nilai prioritas tertinggi selama pandemi (RII: 4.7).
Studi Kasus Survei: Realitas Kontraktor Indonesia
Penelitian ini melibatkan 31 kontraktor di seluruh Indonesia dengan sebaran dominan di wilayah Jawa, Bali, dan Madura. Dari survei tersebut ditemukan bahwa:
Prioritas Teknologi: Pergeseran dari Perkakas ke Perangkat Lunak
Terdapat perubahan signifikan dalam prioritas jenis teknologi. Pada masa normal, "perkakas kerja" menjadi prioritas utama, namun di masa pandemi, "metode konstruksi" dan "software" naik ke posisi atas.
Beberapa software yang mengalami lonjakan prioritas:
Ini mengindikasikan bahwa digitalisasi tak hanya merambah fisik proyek, tapi juga administrasi dan pengambilan keputusan.
Perspektif Kritis: Transformasi atau Penyesuaian Sementara?
Meski teknologi terbukti krusial, pertanyaan besarnya: apakah ini awal dari transformasi permanen atau sekadar adaptasi sementara? Berdasarkan data, kontraktor lebih terdorong oleh keharusan regulatif dan kebutuhan mendesak daripada kesadaran strategis jangka panjang.
Perlu ada strategi jangka panjang agar adopsi teknologi tidak berhenti setelah pandemi. Pemerintah dan asosiasi konstruksi dapat berperan besar dengan:
Benchmarking Global: Peluang yang Belum Dimaksimalkan
Negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah lama menerapkan teknologi prefabrikasi dan lean construction. Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dengan mempercepat integrasi BIM (Building Information Modeling), IoT, serta automasi konstruksi berbasis AI.
Sebagai perbandingan, McKinsey (2020) menunjukkan bahwa kontraktor yang mengadopsi teknologi digital memiliki efisiensi 20-30% lebih tinggi dalam penyelesaian proyek.
Penutup: Masa Depan Konstruksi Ada di Digitalisasi
Kajian oleh Rika Permatasari dkk. membuktikan bahwa teknologi adalah kunci vital dalam menjawab tantangan konstruksi di masa krisis. Meski masih menghadapi hambatan klasik seperti pendanaan dan sumber daya manusia yang belum terampil, langkah kontraktor Indonesia menuju digitalisasi semakin nyata.
Pandemi telah membuka mata bahwa teknologi bukan sekadar pelengkap, tetapi fondasi baru bagi keberlanjutan industri konstruksi. Untuk itu, upaya kolaboratif antara pemerintah, kontraktor, dan lembaga pendidikan sangat dibutuhkan agar transformasi ini bersifat sistemik dan inklusif.
Referensi
Permatasari, R., Mahardika, I., & Soemardi, B.W. (2021). Kajian Penerapan Teknologi Konstruksi oleh Kontraktor dalam Menghadapi Kondisi Pandemi Covid-19. Konferensi Nasional Teknik Sipil 15, Institut Teknologi Bandung.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 15 Mei 2025
Pendahuluan: Variasi, Musuh Lama Industri Konstruksi
Selama bertahun-tahun, industri konstruksi Inggris menghadapi tantangan klasik berupa keterlambatan proyek dan pembengkakan biaya. Akar dari masalah ini adalah variation atau perubahan terhadap rencana awal proyek, yang menurut Bolanle Ireti Noruwa dalam disertasinya berjudul "Application and Effects of Emerging Technologies on Variation Minimisation in the UK Construction Projects" merupakan biang utama ketidakefisienan.
Dengan latar belakang itu, penelitian ini mengevaluasi penerapan teknologi terbaru dalam mengurangi variasi proyek konstruksi Inggris. Penelitian ini tidak hanya mencermati peran Building Information Modeling (BIM), tetapi juga teknologi lain seperti IoT, AI, AR/VR, drone, robotik, dan bahan inovatif. Semua dikaji dalam kerangka agency theory yang menyoroti konflik antara pemilik proyek (principal) dan kontraktor (agent).
Realitas Variasi: Kompleks, Mahal, dan Sering Diabaikan
Variasi di proyek konstruksi didefinisikan sebagai setiap perubahan dari desain, material, metode, atau ruang lingkup kerja yang telah disepakati dalam kontrak. Dampaknya tidak hanya mengganggu jadwal dan anggaran, tapi juga memicu perselisihan hukum. Data dari disertasi ini menyebutkan bahwa produktivitas konstruksi Inggris stagnan sejak 1994, sementara sektor lain seperti pertanian justru meningkat hingga 250% 【22†source】.
Pemerintah Inggris merespons dengan meluncurkan Construction 2025 Strategy yang menargetkan penurunan biaya konstruksi sebesar 33% dan waktu pelaksanaan proyek hingga 50%. Namun, realisasi target tersebut sulit tercapai tanpa mengatasi akar penyebab variasi.
Teknologi sebagai Solusi: Lebih dari Sekadar BIM
BIM memang krusial, tetapi penelitian ini menegaskan bahwa kombinasi berbagai teknologi lebih efektif dalam menekan variasi. Berikut adalah teknologi yang dikaji:
Dalam penelitian kuantitatif terhadap 108 responden dan wawancara kualitatif dengan 32 praktisi, mayoritas menyatakan bahwa kombinasi teknologi ini mampu secara signifikan mengurangi variasi desain, kesalahan gambar kerja, miskomunikasi tim, dan ketidaksesuaian dengan kebutuhan klien.
Studi Kasus: Realitas di Lapangan
Penelitian ini melibatkan proyek-proyek nyata dari perusahaan seperti Crossrail, BAM Construction, Mace, dan Willmott Dixon. Salah satu temuan menarik adalah bahwa dengan menggunakan digital twin melalui BIM dan AR, klien dapat memberikan masukan lebih awal, sehingga menghindari perubahan di tahap konstruksi yang lebih mahal.
Contoh konkret lainnya adalah penggunaan drone oleh BAM Construction yang berhasil mengidentifikasi potensi konflik desain drainase sebelum fondasi dicetak, menghemat sekitar 6% dari total biaya proyek.
Framework Baru: Panduan Memilih Teknologi
Salah satu kontribusi besar disertasi ini adalah pengembangan kerangka kerja (framework) berbasis praktik terbaik untuk memilih dan mengimplementasikan teknologi berdasarkan penyebab variasi yang dominan. Misalnya:
Framework ini sudah diuji pada praktisi dan akademisi melalui validasi kuesioner dan mendapat respons positif sebagai alat bantu pengambilan keputusan.
Tantangan Implementasi: Bukan Sekadar Soal Teknologi
Meski teknologinya tersedia, adopsi tetap menghadapi hambatan besar:
Namun, penelitian ini optimis bahwa dengan pelatihan berkelanjutan, dukungan pemerintah, dan tekanan dari pemilik proyek, hambatan ini dapat dilampaui.
Analisis Kritis: Peluang bagi Indonesia?
Meskipun studi ini berbasis konteks Inggris, banyak pelajaran yang bisa diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia:
Jika Indonesia mengadopsi pendekatan kerangka seperti yang dikembangkan oleh Noruwa, proyek infrastruktur besar seperti IKN (Ibu Kota Negara) bisa menjadi percontohan teknologi terpadu yang minim variasi.
Penutup: Menyambut Masa Depan Konstruksi Bebas Variasi
Disertasi karya Noruwa ini menyuguhkan kontribusi besar dalam memahami hubungan antara teknologi dan variasi proyek secara empiris. Ia menunjukkan bahwa variasi tidak perlu dianggap sebagai takdir proyek, melainkan tantangan yang bisa dikendalikan dengan kombinasi strategi, kolaborasi, dan teknologi.
Dengan pendekatan yang terstruktur dan dukungan kerangka kerja berbasis bukti, industri konstruksi dapat melangkah lebih pasti menuju efisiensi, akurasi, dan keberlanjutan.
Referensi
Noruwa, B. I. (2020). Application and Effects of Emerging Technologies on Variation Minimisation in the UK Construction Projects. Coventry University. Tersedia di: Coventry University Research Portal
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 09 Mei 2025
Pendahuluan: Ketika Beton Menjadi Ancaman bagi Lingkungan
Beton telah menjadi tulang punggung pembangunan modern—dari rumah tinggal hingga gedung pencakar langit, jalan raya hingga jembatan. Namun, siapa sangka bahwa material ini turut menyumbang pada percepatan perubahan iklim? Setiap 1 ton semen yang diproduksi menghasilkan emisi karbon dioksida dalam jumlah yang sama. Ironisnya, beton yang identik dengan kemajuan justru menjadi kontributor utama gas rumah kaca.
Sebagai respons terhadap permasalahan ini, muncul konsep green concrete atau beton ramah lingkungan, yang memanfaatkan limbah industri dan material alternatif untuk mengurangi jejak karbon tanpa mengorbankan kekuatan struktural. Artikel ilmiah berjudul Eco-Friendly Concrete Innovation in Civil Engineering oleh Zahra Ghinaya dan Alias Masek mengkaji berbagai inovasi ini secara komprehensif. Namun, seberapa besar harapan yang bisa kita sematkan pada beton ramah lingkungan?
Apa Itu Beton Ramah Lingkungan?
Menurut Suhendro (2014), beton ramah lingkungan adalah beton yang menggunakan material limbah sebagai salah satu komponennya atau diproduksi melalui proses yang tidak merusak lingkungan. Karakteristik utamanya meliputi:
Konsumsi energi rendah dalam proses produksi
Emisi CO₂ yang lebih sedikit dibanding beton konvensional
Daya tahan dan siklus hidup yang lebih panjang
Dengan kata lain, beton ini tidak hanya efisien dari segi lingkungan, tetapi juga berpotensi unggul secara teknis. Namun dalam implementasinya, tantangan teknis dan ketidaksesuaian material alternatif sering kali menghambat aplikasinya di lapangan.
Hasil Riset: Antara Harapan dan Kenyataan
Penelitian ini mengadopsi pendekatan systematic review terhadap 11 jurnal internasional dari tahun 2006 hingga 2020. Berikut ini adalah rangkuman dari beberapa inovasi yang diuji:
1. High Volume Fly Ash (HVFA) Concrete
2. Agregat dari Limbah Kaca, Plastik & Keramik
3. Seaweed Mortar
4. Pengganti Agregat Tradisional
5. Steel Slag dan Foundry Sand
Analisis Kritis: Potensi, Tantangan, dan Arah Masa Depan
A. Masalah Utama: Inkonsistensi Kinerja
Salah satu tantangan utama dalam inovasi beton ramah lingkungan adalah ketidakkonsistenan hasil. Meskipun beberapa material limbah berhasil meningkatkan performa mekanis, sebagian besar mengalami penurunan signifikan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ide dasarnya kuat, pendekatan substitusi satu-untuk-satu sering kali tidak cukup. Misalnya:
B. Potensi Material Lokal: Strategi Regionalisasi
Beberapa inovasi seperti penggunaan pasir laut atau kapur alami menunjukkan hasil yang menjanjikan, terutama di daerah pesisir. Artinya, pendekatan regional—menyesuaikan inovasi dengan ketersediaan sumber daya lokal—dapat menjadi kunci keberhasilan implementasi green concrete secara luas.
C. Green Concrete & Circular Economy
Konsep beton ramah lingkungan sejalan dengan ekonomi sirkular yang mengedepankan pemanfaatan kembali limbah sebagai bahan baku. Dalam konteks ini, industri konstruksi dapat mengurangi limbah dan sekaligus meminimalkan konsumsi sumber daya alam baru.
Studi Kasus: Tren Global Inovasi Beton Hijau
India
Yu et al. (2018) menunjukkan bahwa di India, HVFA digunakan untuk konstruksi jalan dengan performa memuaskan. Negara dengan emisi karbon tinggi seperti India sangat diuntungkan oleh pengurangan emisi yang dihasilkan teknologi ini.
Eropa
Negara-negara Uni Eropa mulai menerapkan standar ramah lingkungan pada konstruksi publik. Limbah plastik dan keramik banyak dimanfaatkan, sejalan dengan kebijakan pengurangan sampah non-degradable.
Indonesia
Potensi besar terletak pada limbah pertanian seperti sekam padi dan kulit kemiri, tetapi perlu penelitian lanjut agar kekuatan dan daya tahan beton memenuhi standar konstruksi nasional.
Rekomendasi Praktis & Implikasi Industri
1. Pendekatan Hybrid Material
Kombinasi dua atau lebih limbah dengan sifat saling melengkapi berpotensi menciptakan komposisi yang lebih stabil.
2. Standardisasi dan Sertifikasi
Diperlukan parameter standar untuk beton ramah lingkungan agar dapat diterima secara luas di sektor konstruksi.
3. Insentif Pemerintah
Regulasi dan insentif finansial bisa mendorong produsen beton untuk berinvestasi dalam pengembangan material ramah lingkungan.
4. Pelatihan untuk Kontraktor & Tukang
Inovasi tidak akan berguna tanpa transfer teknologi ke level operasional. Perlu pelatihan tentang pencampuran, curing, dan pemakaian beton hijau di lapangan.
Kesimpulan: Inovasi yang Belum Sempurna, Tapi Penuh Harapan
Secara keseluruhan, beton ramah lingkungan adalah solusi menjanjikan untuk sektor konstruksi yang lebih berkelanjutan. Namun, berbagai eksperimen yang dikaji menunjukkan bahwa belum semua inovasi bisa diandalkan secara struktural. Oleh karena itu, riset lebih lanjut diperlukan, khususnya untuk:
Potensi beton ramah lingkungan sangat besar—bukan hanya untuk mengurangi emisi karbon, tetapi juga sebagai langkah konkret menuju pembangunan yang berkelanjutan.
Sumber:
Ghinaya, Z., & Masek,
A. (2021). Eco-Friendly Concrete Innovation in Civil Engineering. ASEAN Journal of Science and Engineering, 1(3), 191–198.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 09 Mei 2025
Pendahuluan: Beton dan Tantangan Lingkungan
Dalam dunia konstruksi modern, beton masih menjadi material paling dominan. Namun, dampak lingkungannya—baik dari proses produksi semen yang tinggi emisi karbon maupun dari ketergantungannya pada sumber daya alam—menjadi sorotan global. Pada saat bersamaan, industri manufaktur seperti cat menghasilkan limbah yang belum dimanfaatkan secara optimal. Disertasi Ainul Haezah Noruzman (2019) mencoba menjembatani dua isu besar ini dengan pendekatan unik: memodifikasi beton menggunakan limbah polyvinyl acetate (PVA) dari industri cat.
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Limbah lateks cat (waste latex paint/WLP) semakin banyak dihasilkan seiring meningkatnya industrialisasi dan urbanisasi. PVA merupakan salah satu komponen utama dalam pembuatan cat berbasis air. Disertasi ini bertujuan untuk mengevaluasi performa beton yang dimodifikasi menggunakan limbah PVA, baik dari segi kekuatan, daya tahan, hingga aspek mikrostruktural, sekaligus menilai potensi lingkungan dan ekonominya.
Metodologi dan Karakteristik Limbah PVA
Penelitian ini menguji karakteristik fisik dan kimia limbah PVA menggunakan berbagai instrumen seperti ICP-MS, FTIR, DSC, hingga FESEM. Komposisi limbah ini kemudian dimasukkan ke dalam campuran beton dengan variasi antara 0% hingga 20% dari berat semen. Pengujian dilakukan untuk properti beton segar (seperti workability dan setting time), beton keras (compressive, tensile, dan flexural strength), serta daya tahan terhadap suhu tinggi, serangan kimia, dan uji leaching.
Hasil Kunci dan Analisis Tambahan
Peningkatan Workability dan Penundaan Setting Time
Penambahan limbah PVA terbukti meningkatkan workability beton. Ini berpotensi mengurangi kebutuhan superplasticizer yang umumnya digunakan dalam campuran beton konvensional. Walaupun terjadi penundaan waktu pengikatan, nilai tersebut masih dalam standar yang diizinkan.
Kekuatan Mekanik: Optimal di Titik 2-3% PVAW
Kekuatan tekan tertinggi tercapai pada campuran 2-3% PVAW, melebihi beton kontrol.
Kekuatan tarik dan lentur meningkat pada komposisi 5% dan 1% berturut-turut.
Balok beton bertulang yang dimodifikasi menunjukkan peningkatan performa lentur dan daktilitas.
Ini membuktikan bahwa beton modifikasi tidak hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga dapat mencapai atau bahkan melebihi standar kekuatan struktural konvensional.
Uji Ketahanan: Tantangan pada Lingkungan Ekstrem
Artinya, dari sisi lingkungan, modifikasi ini relatif aman dan berkontribusi terhadap beton yang lebih tahan lama secara umum.
Studi Kasus dan Relevansi Industri
Studi ini relevan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, terutama bagi negara berkembang yang menghadapi tantangan pengelolaan limbah dan biaya bahan konstruksi. Di negara seperti Malaysia, tempat penelitian ini dilakukan, industri cat tumbuh 3.5% per tahun dan menghasilkan ribuan ton limbah cair yang sebagian besar dibuang ke TPA.
Dengan pendekatan seperti ini:
Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Dibandingkan pendekatan modifikasi beton lainnya, seperti penggunaan fly ash atau slag, pemanfaatan limbah PVA:
Penelitian sebelumnya oleh Nehdi & Sumner (2003) atau Almesfer et al. (2012) juga membuktikan bahwa penggunaan limbah cat dalam beton memberikan efek serupa, tetapi penelitian Ainul lebih komprehensif karena mencakup uji mikrostruktur dan pengaruh terhadap balok beton bertulang.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Untuk dunia konstruksi, khususnya pada proyek infrastruktur berbiaya rendah atau pembangunan massal:
Kesimpulan: Beton Masa Depan yang Lebih Hijau dan Tangguh
Disertasi ini memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan beton berkelanjutan. Pemanfaatan limbah PVA tidak hanya mengatasi masalah limbah industri, tetapi juga menawarkan peningkatan performa mekanik dan ketahanan beton. Tantangan utama terletak pada adaptasi material ini dalam skala industri dan kebutuhan uji jangka panjang. Namun, sebagai langkah awal, pendekatan ini menjanjikan jalan menuju konstruksi yang lebih hijau, efisien, dan bertanggung jawab.
Sumber:
Ainul Haezah Binti Noruzman. Performance of Polymer Modified Concrete Incorporating Polyvinyl Acetate Waste. Universiti Teknologi Malaysia, 2019.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 09 Mei 2025
Pendahuluan: Paradoks Beton dan Tantangan Emisi Global
Dalam era urbanisasi pesat dan tuntutan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan, beton tetap menjadi tulang punggung sektor konstruksi. Namun, kontribusinya terhadap emisi karbon global—terutama dari semen Portland konvensional—menjadi isu kritis. Disertasi Mohammad Hasan Aliyar Zanjani (2023) dari University of Twente menyoroti dilema ini dan mengeksplorasi potensi beton geopolimer sebagai solusi rendah karbon. Penelitian ini secara unik memetakan peran pengetahuan dan kesadaran profesional konstruksi dalam adopsi beton geopolimer di Belanda.
Latar Belakang: Mengapa Beton Geopolimer?
Beton geopolimer (GPC) merupakan alternatif potensial untuk beton konvensional karena menggunakan limbah industri seperti abu terbang dan slag tanur tinggi sebagai pengganti semen. Keunggulan GPC mencakup:
Teori dan Metodologi: Kerangka Difusi Inovasi (DOI)
Zanjani menggunakan teori Diffusion of Innovation (DOI) dari Rogers untuk mengkaji bagaimana pengetahuan, norma sosial, dan karakteristik individu mempengaruhi keputusan adopsi. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan 11 wawancara semi-terstruktur terhadap ahli beton, konsultan, dan teknolog dari berbagai sektor konstruksi.
Temuan Utama: Tiga Tingkat Pengetahuan
1. Awareness-Knowledge
Sebagian besar peserta memahami konsep dasar beton geopolimer, termasuk sejarah, sifat dasar, dan penggunaannya di proyek percontohan seperti jembatan sepeda di Wageningen. Namun, keterbatasan dalam pengetahuan mendalam menghambat eksplorasi lebih lanjut.
2. How-To Knowledge
Mayoritas responden menyebut fly ash dan slag sebagai binder utama GPC. Namun, mereka juga mengakui tantangan ketersediaan bahan dan regulasi yang membatasi eksperimen dengan alternatif seperti abu sekam padi atau red mud.
3. Principles-Knowledge
Walau banyak yang mengakui keunggulan GPC dari sisi teknis dan lingkungan, beberapa menyebut kekurangan seperti:
Studi Kasus: Industri Beton Belanda dan Tantangan Adopsi
Proyek-proyek percontohan yang disebutkan oleh peserta, seperti slab industri seluas 400 m² dan kolaborasi dengan organisasi seperti TNO dan Betonakkoord, menunjukkan kemajuan signifikan. Namun, konservatisme industri, ketergantungan pada pengalaman masa lalu, serta kekhawatiran akan performa jangka panjang membuat adopsi berskala besar masih jauh.
Analisis Tambahan: Karakteristik Sosial dan Hambatan Struktural
Penelitian ini menemukan bahwa:
Opini Kritis: Dimensi Struktural yang Terlupakan
Meskipun DOI menjadi kerangka yang tepat untuk mengkaji adopsi inovasi, studi ini belum menggali cukup dalam tentang:
Rekomendasi Praktis
Bagi pemangku kepentingan industri konstruksi, studi ini menyarankan:
Kesimpulan: Jalan Menuju Konstruksi Rendah Karbon
Disertasi Zanjani memberikan peta jalan yang berharga bagi industri konstruksi Belanda dalam menavigasi transisi menuju material rendah karbon. Dengan menyoroti kesenjangan pengetahuan dan hambatan struktural, riset ini memperjelas bahwa inovasi bukan hanya masalah teknologi—tetapi juga persoalan budaya, regulasi, dan komunikasi. GPC memiliki masa depan cerah, namun keberhasilannya tergantung pada kolaborasi aktif antar semua aktor industri.
Sumber:
Aliyar Zanjani. Exploring Stakeholder's Knowledge and Sustainable Construction Materials: Implications for Geopolymer Concrete Adoption in the Netherlands. Master Thesis. University of Twente.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 09 Mei 2025
Pendahuluan: Material sebagai Penentu Masa Depan Lingkungan
Di tengah kekhawatiran global terhadap perubahan iklim, peningkatan limbah, dan eksploitasi sumber daya alam, muncul kebutuhan mendesak untuk mengevaluasi ulang cara kita menggunakan material. Artikel ilmiah berjudul "Sustainable Material: Challenges and Prospect" karya F. Mohamed, M. Jamil, dan M.F.M. Zain yang dipublikasikan di Journal of Advanced Research in Materials Science (Vol. 57, No. 1, 2019) menyajikan pemetaan kritis terhadap tantangan dan masa depan material berkelanjutan. Artikel ini menyoroti pentingnya pendekatan daur hidup (life cycle) dan pengelolaan konsumsi material untuk memastikan pembangunan ekonomi berjalan seiring dengan kelestarian lingkungan.
Tantangan Utama dalam Pengelolaan Material
1. Keterbatasan Sumber Daya Alam
Penambangan dan konsumsi material non-terbarukan telah menciptakan tekanan berat pada ekosistem. Grafik penggunaan material mentah di AS dari tahun 1900–2010 menunjukkan pertumbuhan yang konsisten seiring industrialisasi dan ledakan populasi. Hal ini memicu eksploitasi berlebih, termasuk air, energi, dan tanah yang makin langka.
2. Masalah Desain Produk
Material yang dipilih sering kali hanya mempertimbangkan biaya dan performa teknis, tanpa memperhatikan jejak ekologis. Pendekatan pemilihan material yang ramah lingkungan—seperti metodologi Ashby dan pendekatan rekayasa daur hidup (LCE)—belum diadopsi luas karena dianggap kompleks dan mahal.
3. Bahaya dari Material Beracun
Penggunaan zat kimia volatil (VOCs) dalam proses produksi dan bangunan memicu ancaman kualitas udara dalam ruang. Limbah dari produksi baja, kaca, dan kertas turut berkontribusi terhadap emisi CO2 global yang tumbuh 12,7% antara 2000–2005.
4. Kebutuhan Pendekatan Daur Hidup Material
Daur hidup material mencakup semua tahap: ekstraksi, produksi, distribusi, penggunaan, daur ulang, dan pembuangan. Semua tahap ini menghasilkan dampak lingkungan berbeda, dari pencemaran air hingga pelepasan gas rumah kaca.
Peluang dan Masa Depan Material Berkelanjutan
a. Peningkatan Kesadaran Konsumen dan Teknologi
Konsumen kini makin sadar akan dampak ekologis suatu produk. Teknologi canggih memungkinkan penciptaan material baru yang lebih ringan, tahan lama, dan dapat terurai, seperti bio-plastik, polimer biodegradable, hingga material pintar (smart materials).
b. Konsep Circular Economy dan Daur Ulang
Material yang dahulu dianggap limbah kini mulai dianggap sebagai sumber daya. Penerapan ekonomi sirkular mendorong penggunaan material daur ulang dalam industri bangunan dan pengemasan.
c. Studi Kasus dalam Industri Konstruksi
Opini dan Kritik: Tantangan Implementasi
Meski solusi teknis tersedia, beberapa kendala tetap menghambat adopsi massal:
Penelitian ini menyarankan beberapa intervensi penting:
Penutup: Kolaborasi untuk Masa Depan Hijau
Perjalanan menuju sistem material berkelanjutan membutuhkan kolaborasi antar pihak: akademisi, pemerintah, industri, dan masyarakat. Artikel ini menunjukkan bahwa masa depan bahan bangunan dan produk manufaktur sangat tergantung pada bagaimana kita mendesain, menggunakan, dan mendaur ulang material. Dengan pendekatan berbasis siklus hidup, serta dukungan kebijakan dan inovasi teknologi, transformasi ini bukan hanya mungkin—tetapi mutlak diperlukan.
Sumber:
Mohamed, F., Jamil, M., & Zain, M.F.M. (2019). Sustainable Material: Challenges and Prospect. Journal of Advanced Research in Materials Science, 57(1), 7–18. [Tautan resmi jurnal: http://www.akademiabaru.com/arms.html]