Inovasi Teknologi dan Reduksi Variasi: Menelisik Efektivitas Teknologi Terbaru dalam Proyek Konstruksi di Inggris

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

15 Mei 2025, 11.05

Pexels.com

Pendahuluan: Variasi, Musuh Lama Industri Konstruksi

 

Selama bertahun-tahun, industri konstruksi Inggris menghadapi tantangan klasik berupa keterlambatan proyek dan pembengkakan biaya. Akar dari masalah ini adalah variation atau perubahan terhadap rencana awal proyek, yang menurut Bolanle Ireti Noruwa dalam disertasinya berjudul "Application and Effects of Emerging Technologies on Variation Minimisation in the UK Construction Projects" merupakan biang utama ketidakefisienan.

 

Dengan latar belakang itu, penelitian ini mengevaluasi penerapan teknologi terbaru dalam mengurangi variasi proyek konstruksi Inggris. Penelitian ini tidak hanya mencermati peran Building Information Modeling (BIM), tetapi juga teknologi lain seperti IoT, AI, AR/VR, drone, robotik, dan bahan inovatif. Semua dikaji dalam kerangka agency theory yang menyoroti konflik antara pemilik proyek (principal) dan kontraktor (agent).

 

Realitas Variasi: Kompleks, Mahal, dan Sering Diabaikan

 

Variasi di proyek konstruksi didefinisikan sebagai setiap perubahan dari desain, material, metode, atau ruang lingkup kerja yang telah disepakati dalam kontrak. Dampaknya tidak hanya mengganggu jadwal dan anggaran, tapi juga memicu perselisihan hukum. Data dari disertasi ini menyebutkan bahwa produktivitas konstruksi Inggris stagnan sejak 1994, sementara sektor lain seperti pertanian justru meningkat hingga 250% 【22†source】.

 

Pemerintah Inggris merespons dengan meluncurkan Construction 2025 Strategy yang menargetkan penurunan biaya konstruksi sebesar 33% dan waktu pelaksanaan proyek hingga 50%. Namun, realisasi target tersebut sulit tercapai tanpa mengatasi akar penyebab variasi.

 

Teknologi sebagai Solusi: Lebih dari Sekadar BIM

 

BIM memang krusial, tetapi penelitian ini menegaskan bahwa kombinasi berbagai teknologi lebih efektif dalam menekan variasi. Berikut adalah teknologi yang dikaji:

  • BIM: Memungkinkan deteksi tabrakan desain, visualisasi model 3D, dan kolaborasi lintas disiplin.
  • IoT dan Sensor: Memantau kondisi lapangan secara real-time.
  • AI dan Big Data: Membantu perencanaan, estimasi biaya, dan prediksi risiko.
  • Drone dan Robotik: Mempercepat inspeksi dan pekerjaan berulang dengan akurasi tinggi.
  • AR/VR: Memungkinkan klien dan tim proyek untuk "masuk" ke dalam desain sebelum konstruksi dimulai.

Dalam penelitian kuantitatif terhadap 108 responden dan wawancara kualitatif dengan 32 praktisi, mayoritas menyatakan bahwa kombinasi teknologi ini mampu secara signifikan mengurangi variasi desain, kesalahan gambar kerja, miskomunikasi tim, dan ketidaksesuaian dengan kebutuhan klien.

 

Studi Kasus: Realitas di Lapangan

 

Penelitian ini melibatkan proyek-proyek nyata dari perusahaan seperti Crossrail, BAM Construction, Mace, dan Willmott Dixon. Salah satu temuan menarik adalah bahwa dengan menggunakan digital twin melalui BIM dan AR, klien dapat memberikan masukan lebih awal, sehingga menghindari perubahan di tahap konstruksi yang lebih mahal.

 

Contoh konkret lainnya adalah penggunaan drone oleh BAM Construction yang berhasil mengidentifikasi potensi konflik desain drainase sebelum fondasi dicetak, menghemat sekitar 6% dari total biaya proyek.

 

Framework Baru: Panduan Memilih Teknologi

 

Salah satu kontribusi besar disertasi ini adalah pengembangan kerangka kerja (framework) berbasis praktik terbaik untuk memilih dan mengimplementasikan teknologi berdasarkan penyebab variasi yang dominan. Misalnya:

  • Jika variasi dominan karena desain: prioritaskan BIM, VR/AR, dan AI.
  • Jika karena miskomunikasi: gunakan cloud collaboration tools dan CDE (Common Data Environment).
  • Jika karena kondisi lapangan: maksimalkan sensor dan IoT.

Framework ini sudah diuji pada praktisi dan akademisi melalui validasi kuesioner dan mendapat respons positif sebagai alat bantu pengambilan keputusan.

 

Tantangan Implementasi: Bukan Sekadar Soal Teknologi

 

Meski teknologinya tersedia, adopsi tetap menghadapi hambatan besar:

  • Biaya awal tinggi: Software, pelatihan, dan perangkat keras masih tergolong mahal.
  • Kesenjangan keterampilan: Banyak tenaga kerja belum siap.
  • Kendala budaya organisasi: Masih ada resistensi terhadap perubahan.
  • Ketiadaan regulasi wajib: Tidak semua proyek mewajibkan penggunaan teknologi ini.

Namun, penelitian ini optimis bahwa dengan pelatihan berkelanjutan, dukungan pemerintah, dan tekanan dari pemilik proyek, hambatan ini dapat dilampaui.

 

Analisis Kritis: Peluang bagi Indonesia?

 

Meskipun studi ini berbasis konteks Inggris, banyak pelajaran yang bisa diambil oleh negara berkembang seperti Indonesia:

  • Tantangan variasi juga dialami di sini, bahkan sering kali lebih parah karena dokumentasi yang lemah.
  • Adopsi teknologi sering terhambat pada level kontraktor kecil.
  • Kebutuhan akan standar nasional BIM dan insentif penggunaan teknologi makin mendesak.

Jika Indonesia mengadopsi pendekatan kerangka seperti yang dikembangkan oleh Noruwa, proyek infrastruktur besar seperti IKN (Ibu Kota Negara) bisa menjadi percontohan teknologi terpadu yang minim variasi.

 

Penutup: Menyambut Masa Depan Konstruksi Bebas Variasi

 

Disertasi karya Noruwa ini menyuguhkan kontribusi besar dalam memahami hubungan antara teknologi dan variasi proyek secara empiris. Ia menunjukkan bahwa variasi tidak perlu dianggap sebagai takdir proyek, melainkan tantangan yang bisa dikendalikan dengan kombinasi strategi, kolaborasi, dan teknologi.

 

Dengan pendekatan yang terstruktur dan dukungan kerangka kerja berbasis bukti, industri konstruksi dapat melangkah lebih pasti menuju efisiensi, akurasi, dan keberlanjutan.

 

Referensi

 

Noruwa, B. I. (2020). Application and Effects of Emerging Technologies on Variation Minimisation in the UK Construction Projects. Coventry University. Tersedia di: Coventry University Research Portal