Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan
Seiring dengan akselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia, model kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction) menjadi pilihan utama berbagai proyek strategis nasional. Namun, tingginya angka klaim dan sengketa yang muncul dalam implementasinya mengindikasikan adanya persoalan fundamental dalam pemahaman dan pelaksanaan kontrak tersebut. Paper yang ditulis oleh Iskandar, Sarwono Hardjomuljadi, dan Hendrik Sulistio (2021), dan dipublikasikan di jurnal Review of International Geographical Education (RIGEO), mengulas faktor-faktor dominan penyebab sengketa dan klaim dalam kontrak EPC infrastruktur di Indonesia.
Latar Belakang dan Urgensi Studi
Proyek-proyek besar seperti LRT, jalan tol, pembangkit listrik, hingga kereta cepat, kebanyakan menggunakan model kontrak EPC. Meski model ini menawarkan efisiensi melalui pembayaran lumpsum, kenyataannya banyak proyek menghadapi masalah karena perbedaan persepsi antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Tidak hanya berdampak finansial, namun sengketa ini memperlambat penyelesaian proyek dan memperburuk reputasi pelaku industri.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini berbasis data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan 116 responden yang terdiri dari pemilik proyek, kontraktor, konsultan, dan auditor. Instrumen penelitian divalidasi menggunakan SPSS v23 dengan pendekatan uji validitas dan reliabilitas. Variabel diuji menggunakan indeks Relative Importance Index (RII) untuk mengukur bobot pengaruh terhadap penyebab klaim dan sengketa.
Temuan Utama Penelitian
1. Perbedaan Persepsi Antar Pihak
Terdapat perbedaan persepsi signifikan antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Mayoritas kontraktor menilai pihak lain sebagai penyebab utama sengketa, sedangkan auditor mengkritisi lemahnya pelaksanaan kontrak.
2. Tiga Faktor Utama Penyebab Sengketa
Berdasarkan hasil RII konsolidasi dari seluruh responden, tiga faktor utama penyebab sengketa adalah:
3. Temuan Khusus Berdasarkan Kelompok Responden
4. Studi Kasus Tambahan
Sebagai ilustrasi, proyek pembangkit listrik di Sumatera mengalami klaim sebesar 10% dari nilai kontrak akibat keterlambatan dokumen desain dari konsultan. Dalam hal ini, kontraktor menggugat perpanjangan waktu (EOT) dan kompensasi biaya, yang menimbulkan sengketa hingga ke tingkat arbitrase.
Analisis dan Opini
Penelitian ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai kompleksitas implementasi kontrak EPC. Fakta bahwa pemahaman kontrak masih minim dan proses administrasi tidak dijalankan dengan disiplin menjadi akar masalah utama. Ketiadaan standar baku nasional untuk implementasi kontrak EPC menambah kerumitan.
Menariknya, penelitian ini juga mengungkap bahwa pendekatan "saling menyalahkan" menjadi budaya dalam proyek, di mana tiap pihak merasa tidak bersalah. Ini menunjukkan pentingnya pelatihan kontraktual dan komunikasi lintas pihak sejak awal proyek.
Jika dibandingkan dengan studi internasional seperti yang dilakukan oleh Du et al. (2016) dan Tang et al. (2020), proyek EPC di Indonesia cenderung lebih rentan terhadap sengketa karena aspek pengawasan dan pendampingan hukum yang lemah.
Implikasi Praktis
Penelitian ini menyarankan langkah-langkah preventif yang dapat diambil oleh berbagai pihak:
Kesimpulan
Kontrak EPC memiliki potensi untuk menyederhanakan pelaksanaan proyek besar, namun risiko sengketa tetap tinggi bila administrasi, pemahaman kontrak, dan koordinasi tidak dijalankan dengan benar. Tiga faktor dominan yang menyebabkan sengketa—yaitu administrasi kontrak, serah terima lahan, dan interpretasi kontrak—perlu mendapat perhatian khusus. Penelitian ini menjadi acuan penting untuk memperkuat ekosistem manajemen konstruksi di Indonesia.
Sumber:
Iskandar, Hardjomuljadi, S., & Sulistio, H. (2021). The Most Influencing Factors on the Causes of Construction Claims and Disputes in the EPC Contract Model of Infrastructure Projects in Indonesia. Review of International Geographical Education (RIGEO), 11(2), 80–91. https://doi.org/10.48047/rigeo.11.02.07
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Proyek konstruksi memainkan peranan vital dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara berkembang. Namun, efektivitas implementasinya kerap terganggu oleh masalah keterlambatan, pembengkakan biaya, hingga dampak lingkungan. Dalam paper berjudul "The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries" karya Joseph Makori, disajikan kerangka teoritis untuk mengevaluasi kinerja proyek konstruksi berdasarkan enam indikator utama: waktu, biaya, kualitas, keselamatan, minimnya sengketa, dan dampak lingkungan. Artikel ini tidak hanya menyuguhkan analisis literatur, tetapi juga membangun proposisi hubungan antara faktor keberhasilan dan kinerja proyek secara menyeluruh.
Menggugat Paradigma Tradisional: Dari Segitiga Besi ke Pendekatan Holistik
Selama beberapa dekade, evaluasi proyek konstruksi hanya berpusat pada tiga elemen klasik: waktu, biaya, dan kualitas, yang dikenal dengan sebutan "iron triangle." Namun pendekatan ini dianggap terlalu sempit. Penelitian Makori mendorong evolusi paradigma dengan menambahkan indikator keselamatan, minim sengketa, dan dampak lingkungan sebagai metrik penting dalam menilai keberhasilan proyek. Hal ini sejalan dengan pendekatan keberlanjutan dan peningkatan kepuasan masyarakat dalam proyek publik.
Kerangka Evaluasi: KPI dan Faktor Keberhasilan Kritis (CSF)
Penelitian ini menyusun enam Key Performance Indicators (KPI):
1. Waktu penyelesaian
2. Biaya proyek
3. Kualitas bangunan
4. Keselamatan kerja
5. Minim sengketa di lokasi
6. Dampak terhadap lingkungan
Untuk mengukur KPI ini, ditetapkan pula enam Critical Success Factors (CSF):
Faktor terkait proyek (lokasi, ukuran, kompleksitas)
Faktor terkait klien (pengalaman, kemampuan membayar)
Faktor konsultan (kejelasan desain, dokumen proyek)
Faktor kontraktor (keterampilan teknis, pengelolaan lokasi)
Faktor rantai pasok (material, tenaga kerja, alat)
Faktor eksternal (kondisi ekonomi, cuaca, kebijakan publik)
Studi Kasus: Survei Pakar dan Penerapan Lapangan
Makori menguji kerangka teoritis ini melalui survei kepada lima pakar di Kenya yang terdiri dari akademisi, kontraktor, dan pejabat publik. Hasilnya, seluruh KPI dan CSF dianggap relevan. Menariknya, indikator kepuasan masyarakat akhirnya dikesampingkan karena dipandang lebih sebagai akibat dari performa proyek, bukan ukuran langsungnya.
Di tahap lanjutan, kerangka kerja diuji pada 12 responden dari 10 proyek berbeda di Busia County, Kenya. Hasilnya menunjukkan bahwa para pelaku proyek memahami pentingnya KPI dan CSF, namun klasifikasi antar faktor masih tumpang tindih.
Analisis Kritis: Kekuatan dan Keterbatasan Pendekatan Makori
Nilai Tambah:
Komprehensif dan relevan: Menggabungkan dimensi keberlanjutan dan sosial yang selama ini diabaikan.
Adaptif terhadap konteks lokal: Dengan studi kasus di Kenya, kerangka ini dapat direplikasi pada konteks negara berkembang lain seperti Indonesia.
Struktur sistematis: Diagram hubungan antar faktor (lihat Gambar 1 dalam paper) memudahkan pemetaan penyebab dan akibat.
Keterbatasan:
Kurangnya pengujian empiris: Meskipun kerangka kerja solid, validitasnya belum diuji secara statistik.
Potensi tumpang tindih antar CSF: Sejumlah faktor bisa masuk ke lebih dari satu kategori, yang dapat menimbulkan kebingungan saat implementasi.
Tidak ada data kuantitatif: Penelitian masih dalam tahap teoritis dan survei terbatas.
Perbandingan dengan Penelitian Sejenis
Berbeda dengan penelitian Atkinson (1999) yang juga menggugat model "iron triangle" namun tidak menyertakan dimensi lingkungan, Makori melangkah lebih jauh dengan menjadikan dampak lingkungan dan sengketa sebagai variabel utama. Sementara itu, penelitian oleh Chan dan Tam (2000) memetakan penyebab keterlambatan dan penurunan kualitas, tetapi tidak menyusun kerangka evaluasi seperti yang dilakukan Makori.
Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi
Bagi manajer proyek, kerangka ini dapat dijadikan panduan komprehensif untuk:
Penutup: Arah Baru Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi
Makori memberikan kontribusi penting terhadap literatur manajemen proyek di negara berkembang. Dengan menggabungkan KPI tradisional dan kontemporer serta menetapkan hubungan sistemik antara CSF dan KPI, kerangka ini dapat menjadi fondasi bagi sistem evaluasi proyek yang lebih adil, berkelanjutan, dan akuntabel.
Sumber:
Makori, Joseph. The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries. International Scientific Conference on Economic, Social and Environmental Sustainability, Malta, 2023. Tersedia di: https://www.issbs.si/press/
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Sertifikasi kompetensi dalam dunia konstruksi tidak sekadar formalitas administratif, melainkan penentu mutu kerja dan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar global. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi masih sangat minim. Artikel ilmiah karya Irika Widiasanti dan rekan-rekannya (2018) mengangkat isu ini melalui penelitian di tiga proyek bangunan tinggi, menggali persepsi tenaga terampil terhadap proses sertifikasi, serta faktor penghambat utama yang mereka hadapi.
Artikel ini mengupas ulang hasil penelitian tersebut secara kritis, disertai data, studi komparatif, dan analisis lapangan yang memperkuat urgensi reformasi sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Indonesia.
Latar Belakang Penelitian
Ironi Sertifikasi di Era Daya Saing Global
Dengan masuknya pasar global ke dalam sistem ekonomi Indonesia, permintaan akan tenaga kerja bersertifikat meningkat drastis. Namun, menurut data Kementerian PUPR (2018), baru 740.000 dari 7,4 juta tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi—hanya sekitar 10%. Target pemerintah mencapai 3 juta sertifikat pun masih jauh dari realisasi.
Sertifikasi Tenaga Terampil: Ujung Tombak Lapangan
Tenaga terampil atau tukang memegang peran vital dalam pelaksanaan proyek, khususnya proyek bangunan bertingkat tinggi. Tanpa sertifikasi, tidak hanya aspek legalitas yang dipertanyakan, namun juga kompetensi teknis dan keselamatan kerja di lapangan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif-deskriptif melalui survei kuesioner dan observasi di tiga proyek bangunan tinggi dengan total responden sebanyak 129 orang. Metode sampling yang digunakan adalah incidental sampling. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif berbentuk persentase.
Temuan Utama: Empat Faktor Penghambat Sertifikasi
1. Biaya Sertifikasi Kompetensi (26,59%)
Ini menjadi faktor paling dominan. Mayoritas responden menganggap biaya Rp 250.000 yang ditetapkan oleh LPJK terlalu mahal. Bahkan, sebagian besar menyatakan hanya mampu membayar Rp 100.000. Ini menunjukkan adanya ketimpangan antara kemampuan ekonomi tenaga terampil dan kebijakan tarif sertifikasi.
2. Pelaksanaan Sertifikasi yang Kurang Efektif (24,76%)
Banyak responden merasa proses sertifikasi tidak mudah diakses, kurang sosialisasi, dan jarang dilaksanakan di lokasi kerja mereka. Kegiatan sertifikasi dianggap membingungkan, tidak terjadwal dengan baik, dan kurang melibatkan pekerja sebagai subjek utama.
3. Tidak Ada Insentif Upah bagi Tenaga Bersertifikat (25,91%)
Salah satu alasan utama tenaga terampil enggan mengikuti sertifikasi adalah karena tidak ada perbedaan signifikan dalam hal upah antara pekerja bersertifikat dan non-sertifikat. Hal ini melemahkan motivasi mereka untuk mengikuti program.
4. Jaminan Mutu yang Tidak Terasa Nyata (22,72%)
Sertifikat kompetensi belum dianggap menjamin kualitas kerja karena perusahaan tidak selalu mempertimbangkan sertifikasi dalam proses rekrutmen atau penilaian kinerja. Akibatnya, sertifikat hanya menjadi "kertas formalitas" tanpa dampak nyata.
Persepsi Terhadap Biaya Sertifikasi
21,4% responden menyebut biaya Rp 250.000 terlalu mahal.
18,6% menyatakan bersedia jika biayanya Rp 100.000.
19% mengatakan biaya bukan prioritas karena kebutuhan pokok lebih mendesak.
21,3% menilai upah mereka tidak cukup untuk membayar sertifikasi.
Hal ini menunjukkan bahwa kendala biaya bukan sekadar angka nominal, melainkan berkaitan erat dengan daya beli, prioritas ekonomi keluarga, dan persepsi nilai manfaat sertifikat itu sendiri.
Analisis Tambahan dan Kritik
Perbandingan dengan Studi Lain
Adi & Adillah (2012): Biaya dianggap sebagai hambatan umum sertifikasi di berbagai sektor.
Toreh & Wiguna (2015): Tidak ada perbedaan signifikan antara performa tukang bersertifikat dan tidak, memperkuat argumen bahwa sertifikasi harus diikuti dengan pelatihan teknis lanjutan.
Kritik terhadap Penelitian
Hanya menggunakan pendekatan deskriptif; tidak menguji hubungan antar variabel secara statistik lanjutan.
Wilayah penelitian terbatas pada tiga proyek di wilayah Jabodetabek; belum mencerminkan kondisi nasional.
Sampling insidental dapat menimbulkan bias keterwakilan data.
Rekomendasi Strategis
Subsidi Sertifikasi bagi Tenaga Terampil melalui dana CSR atau APBN.
Integrasi Sertifikasi dengan Kenaikan Upah dan Jenjang Karier.
Perluasan Akses Melalui Sertifikasi Keliling dan Digitalisasi Proses.
Kampanye Edukasi Nilai Sertifikasi yang melibatkan asosiasi kontraktor dan serikat buruh.
Dampak Jangka Panjang Jika Tidak Diatasi
Jika faktor-faktor penghambat ini tidak segera diatasi, maka risiko yang timbul antara lain:
Semakin rendah daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar ASEAN.
Meningkatnya angka kecelakaan kerja akibat tenaga tidak kompeten.
Sertifikasi akan dianggap tidak relevan dan kehilangan legitimasi sosial.
Kesimpulan
Penelitian ini berhasil mengungkap realita di lapangan bahwa meskipun sertifikasi kompetensi sangat penting, pelaksanaannya belum mampu menjangkau dan meyakinkan tenaga terampil untuk terlibat aktif. Biaya, pelaksanaan yang rumit, insentif yang tidak jelas, dan manfaat yang belum terasa nyata menjadi penghambat dominan. Solusinya bukan hanya pada aspek regulasi, tapi juga bagaimana membangun ekosistem yang membuat sertifikasi benar-benar bernilai di mata pekerja konstruksi.
Sumber Referensi
Widiasanti, I., Fridestu, A., Rochyadi, D., & Anisah. (2018). Faktor Dominan Penghambat Sertifikasi Kompetensi dalam Persepsi Tenaga Terampil di Sektor Konstruksi. Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Jakarta. https://jurnal.umj.ac.id/index.php/semnastek
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Produktivitas tenaga kerja merupakan faktor krusial dalam proyek konstruksi. Tingkat produktivitas yang tinggi tidak hanya berdampak pada efisiensi biaya dan waktu, tetapi juga menunjukkan efektivitas manajemen sumber daya manusia. Artikel ini mengulas secara mendalam hasil penelitian oleh Asnudin dan Iskandar mengenai produktivitas pekerja pada pekerjaan pasangan dinding bata di proyek Gedung Serbaguna Universitas Tadulako, serta membandingkannya dengan standar nasional yang berlaku.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengukur tingkat produktivitas aktual pekerja konstruksi pada proyek tersebut.
Membandingkan hasil produktivitas aktual dengan nilai koefisien yang tercantum dalam AHSP-SNI berdasarkan Peraturan Kementerian PUPR No. 28 Tahun 2016.
Metodologi
Metode yang digunakan meliputi:
Five Minutes Rating: Metode observasi langsung tiap 5 menit untuk mencatat aktivitas pekerja.
Photograph Analysis: Dokumentasi visual untuk mendukung data observasi.
Observasi dilakukan selama 14 hari kerja, dengan waktu pengamatan antara pukul 08.00–17.00 WITA.
Hasil dan Temuan Lapangan
Produktivitas Aktual
Mandor & Kepala Tukang: 31,20 m²/hari
Tukang: 10,40 m²/hari
Pekerja: 3,47 m²/hari
AHSP-SNI (Standar Nasional)
Mandor: 66,67 m²/hari
Kepala Tukang: 100,00 m²/hari
Tukang: 10,00 m²/hari
Pekerja: 3,33 m²/hari
Selisih Produktivitas
Mandor: -35,47 m²/hari
Kepala Tukang: -68,80 m²/hari
Tukang: +0,40 m²/hari
Pekerja: +0,13 m²/hari
Temuan menarik: Tukang dan pekerja di lapangan memiliki produktivitas sedikit lebih tinggi dibanding standar, namun mandor dan kepala tukang justru menunjukkan kinerja yang jauh lebih rendah dari AHSP-SNI.
Analisis dan Interpretasi
Efektivitas Pekerjaan
Efektivitas kerja rata-rata mencapai 93%. Namun, hasil pengamatan menunjukkan adanya waktu-waktu jeda untuk merokok atau bercengkerama antar pekerja. Meskipun hal ini wajar dalam konteks sosial budaya kerja di lapangan, manajemen proyek perlu menyesuaikan perencanaan waktu.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas
Usia & Stamina: Pekerja muda cenderung memiliki produktivitas lebih tinggi karena stamina lebih baik.
Pengalaman: Tenaga kerja berpengalaman memiliki efisiensi gerak dan keputusan lebih cepat.
Jarak Material: Waktu terbuang untuk membawa material bisa menurunkan produktivitas.
Hubungan Sosial: Komunikasi yang baik antara mandor dan pekerja meningkatkan kerja sama.
Kritik dan Opini
Kelebihan Studi:
Data empiris kuat, hasil observasi langsung.
Menggunakan dua metode yang saling melengkapi (observasi & fotografi).
Kelemahan:
Tidak dibahas lebih lanjut mengapa mandor dan kepala tukang sangat rendah produktivitasnya.
Kurangnya segmentasi data berdasarkan waktu kerja (pagi/siang/sore) yang bisa memengaruhi performa.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian serupa oleh Rahmah (2019) menunjukkan bahwa produktivitas tinggi berkorelasi kuat dengan pengalaman kerja dan pelatihan sebelumnya. Hal ini menguatkan saran peneliti bahwa pelatihan menjadi kunci.
Rekomendasi Praktis
Penyediaan Pelatihan Teknis Rutin bagi mandor dan kepala tukang.
Manajemen Zona Material: Kurangi jarak tempuh bahan ke area kerja.
Optimasi Waktu Istirahat: Atur jadwal rehat agar tidak mengganggu flow kerja.
Monitoring Digital: Gunakan aplikasi manajemen proyek untuk mencatat real-time aktivitas pekerja.
Kesimpulan
Penelitian ini menyoroti bahwa produktivitas pekerja konstruksi di lapangan tidak selalu sesuai dengan standar nasional. Perbedaan ini menunjukkan perlunya adaptasi pendekatan manajemen dan pelatihan. Sektor konstruksi harus terus berinovasi dalam manajemen tenaga kerja, agar efisiensi waktu dan biaya dapat tercapai secara optimal.
Sumber Referensi
Asnudin, A., & Iskandar, Z. A. (2020). Analisis Produktivitas Pekerja Konstruksi pada Pekerjaan Pasangan Dinding Bata Proyek Pembangunan Gedung Serbaguna di Lingkungan Universitas Tadulako. Jurnal Inersia, 15(2), 95–105. https://doi.org/10.33369/ijts.15.2.95-105
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 23 Mei 2025
Mengapa PT. X Selalu Gagal Tender? Menelusuri Akar Masalah yang Kompleks
Dalam dunia konstruksi, proses tender adalah gerbang pertama menuju keberhasilan proyek. Namun, bagi PT. X—sebuah BUMN yang bergerak di bidang fabrikasi dan galangan—tender sering kali menjadi batu sandungan. Pada tahun 2015, dari 9 kali keikutsertaan tender di sektor minyak dan gas, divisi General Engineering PT. X gagal memenangkan satu pun, dengan 77,8% kekalahan dan 22,2% tender ditunda. Pertanyaannya: mengapa tingkat kegagalan begitu tinggi?
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Masitah dalam tugas akhirnya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember menganalisis fenomena ini dengan pendekatan kuantitatif dan metode ganda: Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) serta Fault Tree Analysis (FTA). Melalui dua metode ini, peneliti tidak hanya mengidentifikasi faktor kegagalan, tapi juga memetakan sumber penyebab kegagalan paling kritis dalam sistem tender PT. X.
Metode Analisis: FMEA dan FTA Sebagai Alat Diagnostik
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) FMEA digunakan untuk menentukan prioritas risiko berdasarkan nilai Risk Priority Number (RPN), yang diperoleh dari perkalian Severity, Occurrence, dan Detection.
Fault Tree Analysis (FTA) FTA melengkapi FMEA dengan menganalisis akar penyebab kegagalan melalui pemetaan hubungan logika antar kejadian (basic event). Hasilnya:
Dua Faktor Kritis: Dokumen Lemah dan Estimasi Tidak Realistis
Kualitas Dokumen Tender yang Buruk Dari hasil observasi dan kuesioner, ditemukan bahwa dokumen tender PT. X sering:
Contoh kasus nyata di lapangan menunjukkan bahwa dokumen tender yang tidak lengkap dapat langsung menggugurkan partisipasi dari seleksi awal.
Estimasi Biaya yang Tidak Kompetitif Kesalahan estimasi meliputi:
Salah satu kasus menunjukkan bahwa PT. X memberikan penawaran 15% lebih tinggi dibanding kompetitor karena mengandalkan data lama tanpa penyesuaian terhadap kondisi pasar terkini.
Sumber Penyebab: Analisis Mendalam dari FTA
Melalui analisis pohon kesalahan, ditemukan bahwa:
Semua faktor ini terjalin erat dan membentuk mata rantai penyebab yang menjatuhkan peluang PT. X.
Studi Banding dan Implikasi Praktis
Bandingkan dengan PT. Y Dalam studi pembanding tak langsung, PT. Y yang memenangkan lebih dari 60% tender tahun yang sama, menerapkan strategi:
Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan tender tidak hanya soal harga, tetapi juga strategi, komunikasi, dan ketepatan informasi.
Rekomendasi Praktis untuk PT. X
1. Tingkatkan kompetensi SDM: Pelatihan intensif tentang penyusunan dokumen dan estimasi biaya.
2. Gunakan basis data aktual: Jangan mengandalkan referensi proyek lama.
3. Buat tim lintas fungsi: Gabungkan engineer, estimator, legal, dan marketing dalam satu meja.
4. Gunakan checklist standar FMEA untuk tender: Untuk setiap proyek, nilai risiko harus dinilai dan disepakati.
5. Lakukan evaluasi pasca-tender: Apa yang salah? Apa yang bisa diperbaiki?
Kritik terhadap Penelitian
Penelitian ini sangat bermanfaat, tetapi tidak tanpa keterbatasan:
Namun, metode yang digunakan sudah sangat representatif untuk studi kegagalan tender.
Penutup: Saatnya Tender Menjadi Keunggulan Strategis
Kegagalan tender tidak selamanya buruk, asalkan perusahaan mampu belajar dan beradaptasi. PT. X memiliki peluang besar untuk berbenah dengan menyusun strategi manajemen tender yang lebih solid. Paper ini menyajikan kerangka dan data yang dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki sistem internal perusahaan—mulai dari kualitas dokumen, kemampuan estimasi, hingga pendekatan komunikasi terhadap klien.
Ke depan, perusahaan jasa konstruksi harus mulai memandang tender bukan sebagai proses administratif, melainkan sebagai instrumen kompetitif dan refleksi profesionalisme perusahaan.
Sumber:
Masitah, Dewi. (2016). Analisa Kegagalan Pada Proses Tender Pekerjaan Konstruksi Di PT. X. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Diakses dari https://repository.its.ac.id/4163
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Konstruksi dan Kebutuhan Manajemen Risiko yang Adaptif
Industri konstruksi di Indonesia telah lama diakui sebagai sektor vital dengan kompleksitas tinggi dan tantangan berlapis, mulai dari risiko keselamatan kerja hingga efisiensi produksi. Dalam lanskap seperti ini, pendekatan sistematis terhadap identifikasi dan mitigasi risiko menjadi mutlak. Artikel “Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) in Indonesia’s Construction Project through Lens of Improvement and Decision-Making Strategy” karya Khristian Edi Nugroho Soebandrija dkk. (2022) menawarkan suatu metode berbasis data dan teori, yang tidak hanya mengidentifikasi potensi kegagalan tetapi juga menavigasi pengambilan keputusan berbasis nilai dan efisiensi.
Penelitian ini tidak hanya membahas FMEA sebagai metode evaluasi risiko, tetapi juga memadukannya dengan pendekatan lean dan sustainability. Dengan data empiris dari proyek konstruksi nyata di Indonesia, paper ini membuka cakrawala tentang bagaimana FMEA dapat berperan strategis dalam manajemen proyek modern.
FMEA: Lebih dari Sekadar Alat Prediksi Risiko
Apa itu FMEA dan Mengapa Relevan untuk Konstruksi?
FMEA (Failure Modes and Effects Analysis) adalah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi kemungkinan kegagalan dalam suatu sistem dan mengevaluasi dampaknya. Awalnya dikembangkan untuk industri manufaktur, kini FMEA makin luas diadopsi dalam konstruksi karena kemampuannya merinci mode kegagalan dari awal perencanaan hingga pelaksanaan proyek.
6 Tahapan Strategis dalam FMEA:
1. Identifikasi kebutuhan fungsional
2. Pemetaan mode kegagalan
3. Analisis penyebab, efek, dan tindakan pengendalian
4. Proses analisis FMEA
5. Mitigasi kegagalan
6. Tinjauan ulang FMEA
Metode ini memberikan kerangka berpikir yang terstruktur, sehingga tiap risiko dapat dikalkulasi, diprioritaskan, dan dikelola dengan presisi.
RPN: Jantung dari Pengambilan Keputusan Berbasis FMEA
RPN (Risk Priority Number): Rumus dan Penerapannya
FMEA menggunakan RPN untuk mengkuantifikasi risiko berdasarkan tiga parameter:
Severity (S): tingkat keparahan dampak
Occurrence (O): kemungkinan terjadinya
Detection (D): kemampuan mendeteksi risiko sebelum terjadi
Rumus RPN:
Nilai RPN yang tinggi mengindikasikan risiko yang signifikan dan membutuhkan intervensi cepat. Dalam studi ini, misalnya, kondisi cuaca memiliki RPN tertinggi yaitu 64,34, menunjukkan urgensi dalam mitigasi dampak eksternal terhadap jadwal proyek.
Studi Kasus Proyek Konstruksi di Indonesia: Data dan Wawasan Praktis
Penelitian ini mengamati proyek konstruksi yang berlangsung dari Februari 2021 hingga Juli 2022. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan 153 pekerja termasuk manajer proyek, supervisor, dan mandor. Berikut beberapa hasil analisis RPN:
Temuan Penting:
Sebaliknya, risiko seperti ketidakhadiran alat keselamatan atau ketidaktertiban pekerja memiliki RPN rendah, menandakan efektivitas sebagian besar protokol dasar di lapangan.
FMEA sebagai Alat Peningkatan Kinerja Proyek
Penulis menekankan bahwa FMEA tidak hanya mencegah kegagalan, tetapi juga menjadi sarana evaluasi kinerja melalui identifikasi area lemah dan penyusunan strategi perbaikan. Dalam industri konstruksi, FMEA bisa diterapkan untuk:
Dalam konteks Indonesia, di mana proyek sering terkendala logistik, cuaca, dan sumber daya manusia, penerapan FMEA dapat memberikan keunggulan kompetitif.
Penguatan Melalui Lean Construction dan Sustainability
Lean Thinking dalam Konstruksi:
Konsep lean berasal dari Toyota Production System dan berfokus pada efisiensi dan pengurangan limbah. Dalam proyek konstruksi, lean diterjemahkan menjadi:
Keterkaitan dengan Sustainability (Keberlanjutan):
FMEA mendukung keputusan yang mempertimbangkan tiga pilar Triple Bottom Line (TBL):
Dalam konteks proyek di Indonesia, pengambilan keputusan yang mempertimbangkan keberlanjutan ini menjadi penting seiring meningkatnya tuntutan akan pembangunan hijau dan efisien.
Nilai Tambah: Kritik dan Relevansi Global
Kritik atas Pendekatan Konvensional RPN:
Penelitian ini menyadari kelemahan metode RPN konvensional seperti adanya nilai kosong dan sensitivitas rendah. Oleh karena itu, disarankan penggunaan IRPN (Improved RPN) yang menggunakan penjumlahan (bukan perkalian) dari nilai O, S, dan D. IRPN memiliki rentang nilai 3–30 dan diklaim lebih akurat dalam pemeringkatan risiko.
Perbandingan dengan Penelitian Serupa:
Studi ini melengkapi temuan dari Bas (2022) mengenai pentingnya pendekatan sistemik dalam keselamatan kerja konstruksi. Sebelumnya, pendekatan lean diadopsi lebih luas di manufaktur. Penelitian ini menunjukkan bahwa integrasi FMEA dengan lean berhasil dipraktikkan dalam konteks proyek di negara berkembang seperti Indonesia.
Implikasi Praktis dan Masa Depan Manajemen Proyek
Hasil studi ini memiliki implikasi strategis bagi praktisi konstruksi, khususnya dalam:
Lebih jauh, FMEA bisa dijadikan standar dalam prosedur manajemen risiko di proyek pemerintah dan swasta, serta menjadi bagian dari pelatihan wajib bagi manajer proyek dan teknisi lapangan.
Kesimpulan: FMEA sebagai Pilar Transformasi Konstruksi Indonesia
Paper ini menegaskan bahwa FMEA, saat dipadukan dengan lean dan prinsip keberlanjutan, dapat menjadi alat transformasional dalam industri konstruksi Indonesia. Melalui pemetaan risiko berbasis data dan strategi pengambilan keputusan yang responsif, proyek konstruksi dapat beroperasi lebih efisien, aman, dan berkelanjutan. Di tengah meningkatnya kompleksitas proyek dan tuntutan lingkungan, integrasi metode seperti FMEA sangat relevan dan mendesak untuk diterapkan secara luas.
Sumber:
Soebandrija, K. E. N., Ho, H.-C., Suharjanto, G., Selvi, G. V., & Darmawan, R. (2022). Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) in Indonesia’s Construction Project through Lens of Improvement and Decision-Making Strategy. Proceedings of the First Australian International Conference on Industrial Engineering and Operations Management. Tersedia di: IEOM Society International