Faktor Utama Penyebab Klaim dan Sengketa dalam Kontrak EPC Proyek Infrastruktur di Indonesia: Analisis Mendalam dan Implikasi Praktis

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

27 Mei 2025, 13.08

Unsplash.com

Pendahuluan

 

Seiring dengan akselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia, model kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction) menjadi pilihan utama berbagai proyek strategis nasional. Namun, tingginya angka klaim dan sengketa yang muncul dalam implementasinya mengindikasikan adanya persoalan fundamental dalam pemahaman dan pelaksanaan kontrak tersebut. Paper yang ditulis oleh Iskandar, Sarwono Hardjomuljadi, dan Hendrik Sulistio (2021), dan dipublikasikan di jurnal Review of International Geographical Education (RIGEO), mengulas faktor-faktor dominan penyebab sengketa dan klaim dalam kontrak EPC infrastruktur di Indonesia.

 

Latar Belakang dan Urgensi Studi

 

Proyek-proyek besar seperti LRT, jalan tol, pembangkit listrik, hingga kereta cepat, kebanyakan menggunakan model kontrak EPC. Meski model ini menawarkan efisiensi melalui pembayaran lumpsum, kenyataannya banyak proyek menghadapi masalah karena perbedaan persepsi antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Tidak hanya berdampak finansial, namun sengketa ini memperlambat penyelesaian proyek dan memperburuk reputasi pelaku industri.

 

Metodologi Penelitian

 

Penelitian ini berbasis data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan 116 responden yang terdiri dari pemilik proyek, kontraktor, konsultan, dan auditor. Instrumen penelitian divalidasi menggunakan SPSS v23 dengan pendekatan uji validitas dan reliabilitas. Variabel diuji menggunakan indeks Relative Importance Index (RII) untuk mengukur bobot pengaruh terhadap penyebab klaim dan sengketa.

 

Temuan Utama Penelitian

 

1. Perbedaan Persepsi Antar Pihak

 

Terdapat perbedaan persepsi signifikan antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Mayoritas kontraktor menilai pihak lain sebagai penyebab utama sengketa, sedangkan auditor mengkritisi lemahnya pelaksanaan kontrak.

 

2. Tiga Faktor Utama Penyebab Sengketa

 

Berdasarkan hasil RII konsolidasi dari seluruh responden, tiga faktor utama penyebab sengketa adalah:

  • Administrasi kontrak yang tidak memadai (A1) – RII: 0.824
  • Serah terima lahan yang terlambat (B1) – RII: 0.820
  • Ambiguitas dokumen kontrak (A2) – RII: 0.810

 

3. Temuan Khusus Berdasarkan Kelompok Responden

 

  • Pemilik Proyek menyoroti keterlambatan penyelesaian pekerjaan oleh kontraktor sebagai isu utama (RII 0.86).
  • Kontraktor mengeluhkan lambatnya serah terima lahan dan penolakan pembayaran tambahan.
  • Konsultan menekankan ketidaksesuaian dokumen teknis dan pelaksanaan di lapangan.
  • Auditor menemukan ketidaksesuaian pada variasi pekerjaan dan implementasi kualitas yang buruk.

 

4. Studi Kasus Tambahan

 

Sebagai ilustrasi, proyek pembangkit listrik di Sumatera mengalami klaim sebesar 10% dari nilai kontrak akibat keterlambatan dokumen desain dari konsultan. Dalam hal ini, kontraktor menggugat perpanjangan waktu (EOT) dan kompensasi biaya, yang menimbulkan sengketa hingga ke tingkat arbitrase.

 

Analisis dan Opini

 

Penelitian ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai kompleksitas implementasi kontrak EPC. Fakta bahwa pemahaman kontrak masih minim dan proses administrasi tidak dijalankan dengan disiplin menjadi akar masalah utama. Ketiadaan standar baku nasional untuk implementasi kontrak EPC menambah kerumitan.

 

Menariknya, penelitian ini juga mengungkap bahwa pendekatan "saling menyalahkan" menjadi budaya dalam proyek, di mana tiap pihak merasa tidak bersalah. Ini menunjukkan pentingnya pelatihan kontraktual dan komunikasi lintas pihak sejak awal proyek.

 

Jika dibandingkan dengan studi internasional seperti yang dilakukan oleh Du et al. (2016) dan Tang et al. (2020), proyek EPC di Indonesia cenderung lebih rentan terhadap sengketa karena aspek pengawasan dan pendampingan hukum yang lemah.

 

Implikasi Praktis

 

Penelitian ini menyarankan langkah-langkah preventif yang dapat diambil oleh berbagai pihak:

 

  • Pemilik proyek harus menyusun TOR (Term of Reference) dan dokumen kontrak yang jelas dan lengkap sejak awal.
  • Kontraktor perlu memahami substansi kontrak secara menyeluruh dan menyediakan tim legal.
  • Pemerintah dapat membuat regulasi pendukung pelaksanaan EPC yang lebih eksplisit dan wajib.
  • Akademisi dan profesional disarankan mengembangkan modul pelatihan kontrak EPC dan manajemen klaim.

 

Kesimpulan

 

Kontrak EPC memiliki potensi untuk menyederhanakan pelaksanaan proyek besar, namun risiko sengketa tetap tinggi bila administrasi, pemahaman kontrak, dan koordinasi tidak dijalankan dengan benar. Tiga faktor dominan yang menyebabkan sengketa—yaitu administrasi kontrak, serah terima lahan, dan interpretasi kontrak—perlu mendapat perhatian khusus. Penelitian ini menjadi acuan penting untuk memperkuat ekosistem manajemen konstruksi di Indonesia.

 

Sumber:

 

Iskandar, Hardjomuljadi, S., & Sulistio, H. (2021). The Most Influencing Factors on the Causes of Construction Claims and Disputes in the EPC Contract Model of Infrastructure Projects in Indonesia. Review of International Geographical Education (RIGEO), 11(2), 80–91. https://doi.org/10.48047/rigeo.11.02.07