Mengapa Tenaga Terampil Enggan Disertifikasi? Analisis Faktor Penghambat Sertifikasi Kompetensi Konstruksi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj

26 Mei 2025, 12.07

pexels.com

Pendahuluan

Sertifikasi kompetensi dalam dunia konstruksi tidak sekadar formalitas administratif, melainkan penentu mutu kerja dan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar global. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi masih sangat minim. Artikel ilmiah karya Irika Widiasanti dan rekan-rekannya (2018) mengangkat isu ini melalui penelitian di tiga proyek bangunan tinggi, menggali persepsi tenaga terampil terhadap proses sertifikasi, serta faktor penghambat utama yang mereka hadapi.

Artikel ini mengupas ulang hasil penelitian tersebut secara kritis, disertai data, studi komparatif, dan analisis lapangan yang memperkuat urgensi reformasi sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Indonesia.

Latar Belakang Penelitian

Ironi Sertifikasi di Era Daya Saing Global

Dengan masuknya pasar global ke dalam sistem ekonomi Indonesia, permintaan akan tenaga kerja bersertifikat meningkat drastis. Namun, menurut data Kementerian PUPR (2018), baru 740.000 dari 7,4 juta tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi—hanya sekitar 10%. Target pemerintah mencapai 3 juta sertifikat pun masih jauh dari realisasi.

Sertifikasi Tenaga Terampil: Ujung Tombak Lapangan

Tenaga terampil atau tukang memegang peran vital dalam pelaksanaan proyek, khususnya proyek bangunan bertingkat tinggi. Tanpa sertifikasi, tidak hanya aspek legalitas yang dipertanyakan, namun juga kompetensi teknis dan keselamatan kerja di lapangan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif-deskriptif melalui survei kuesioner dan observasi di tiga proyek bangunan tinggi dengan total responden sebanyak 129 orang. Metode sampling yang digunakan adalah incidental sampling. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif berbentuk persentase.

Temuan Utama: Empat Faktor Penghambat Sertifikasi

1. Biaya Sertifikasi Kompetensi (26,59%)

Ini menjadi faktor paling dominan. Mayoritas responden menganggap biaya Rp 250.000 yang ditetapkan oleh LPJK terlalu mahal. Bahkan, sebagian besar menyatakan hanya mampu membayar Rp 100.000. Ini menunjukkan adanya ketimpangan antara kemampuan ekonomi tenaga terampil dan kebijakan tarif sertifikasi.

2. Pelaksanaan Sertifikasi yang Kurang Efektif (24,76%)

Banyak responden merasa proses sertifikasi tidak mudah diakses, kurang sosialisasi, dan jarang dilaksanakan di lokasi kerja mereka. Kegiatan sertifikasi dianggap membingungkan, tidak terjadwal dengan baik, dan kurang melibatkan pekerja sebagai subjek utama.

3. Tidak Ada Insentif Upah bagi Tenaga Bersertifikat (25,91%)

Salah satu alasan utama tenaga terampil enggan mengikuti sertifikasi adalah karena tidak ada perbedaan signifikan dalam hal upah antara pekerja bersertifikat dan non-sertifikat. Hal ini melemahkan motivasi mereka untuk mengikuti program.

4. Jaminan Mutu yang Tidak Terasa Nyata (22,72%)

Sertifikat kompetensi belum dianggap menjamin kualitas kerja karena perusahaan tidak selalu mempertimbangkan sertifikasi dalam proses rekrutmen atau penilaian kinerja. Akibatnya, sertifikat hanya menjadi "kertas formalitas" tanpa dampak nyata.

Persepsi Terhadap Biaya Sertifikasi

  • 21,4% responden menyebut biaya Rp 250.000 terlalu mahal.

  • 18,6% menyatakan bersedia jika biayanya Rp 100.000.

  • 19% mengatakan biaya bukan prioritas karena kebutuhan pokok lebih mendesak.

  • 21,3% menilai upah mereka tidak cukup untuk membayar sertifikasi.
     

Hal ini menunjukkan bahwa kendala biaya bukan sekadar angka nominal, melainkan berkaitan erat dengan daya beli, prioritas ekonomi keluarga, dan persepsi nilai manfaat sertifikat itu sendiri.

Analisis Tambahan dan Kritik

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Adi & Adillah (2012): Biaya dianggap sebagai hambatan umum sertifikasi di berbagai sektor.

  • Toreh & Wiguna (2015): Tidak ada perbedaan signifikan antara performa tukang bersertifikat dan tidak, memperkuat argumen bahwa sertifikasi harus diikuti dengan pelatihan teknis lanjutan.
     

Kritik terhadap Penelitian

  • Hanya menggunakan pendekatan deskriptif; tidak menguji hubungan antar variabel secara statistik lanjutan.

  • Wilayah penelitian terbatas pada tiga proyek di wilayah Jabodetabek; belum mencerminkan kondisi nasional.

  • Sampling insidental dapat menimbulkan bias keterwakilan data.
     

Rekomendasi Strategis

  1. Subsidi Sertifikasi bagi Tenaga Terampil melalui dana CSR atau APBN.

  2. Integrasi Sertifikasi dengan Kenaikan Upah dan Jenjang Karier.

  3. Perluasan Akses Melalui Sertifikasi Keliling dan Digitalisasi Proses.

  4. Kampanye Edukasi Nilai Sertifikasi yang melibatkan asosiasi kontraktor dan serikat buruh.
     

Dampak Jangka Panjang Jika Tidak Diatasi

Jika faktor-faktor penghambat ini tidak segera diatasi, maka risiko yang timbul antara lain:

  • Semakin rendah daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar ASEAN.

  • Meningkatnya angka kecelakaan kerja akibat tenaga tidak kompeten.

  • Sertifikasi akan dianggap tidak relevan dan kehilangan legitimasi sosial.
     

Kesimpulan

Penelitian ini berhasil mengungkap realita di lapangan bahwa meskipun sertifikasi kompetensi sangat penting, pelaksanaannya belum mampu menjangkau dan meyakinkan tenaga terampil untuk terlibat aktif. Biaya, pelaksanaan yang rumit, insentif yang tidak jelas, dan manfaat yang belum terasa nyata menjadi penghambat dominan. Solusinya bukan hanya pada aspek regulasi, tapi juga bagaimana membangun ekosistem yang membuat sertifikasi benar-benar bernilai di mata pekerja konstruksi.

Sumber Referensi

  • Widiasanti, I., Fridestu, A., Rochyadi, D., & Anisah. (2018). Faktor Dominan Penghambat Sertifikasi Kompetensi dalam Persepsi Tenaga Terampil di Sektor Konstruksi. Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Jakarta. https://jurnal.umj.ac.id/index.php/semnastek