Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di Industri Galangan Kapal Kecil

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi aspek fundamental dalam operasional industri yang berisiko tinggi, termasuk industri galangan kapal kecil. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2012 mengatur penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) sebagai standar wajib bagi perusahaan yang memiliki potensi bahaya besar atau mempekerjakan minimal 100 pekerja. Penelitian oleh Hugo Nainggolan dan Hendra dalam Jurnal Kesehatan Tambusai mengkaji implementasi SMK3 di industri galangan kapal kecil PT. X, menggunakan audit awal berdasarkan 64 kriteria yang ditetapkan dalam PP No. 50 Tahun 2012. Hasilnya menunjukkan tingkat kepatuhan hanya 21,88%, sementara ketidaksesuaian mencapai 78,12%, mencerminkan tantangan besar dalam implementasi SMK3 di sektor ini.

Hasil Evaluasi Penerapan SMK3 di PT. X

Penelitian ini mengungkapkan bahwa tingkat penerapan SMK3 di PT. X masih jauh dari optimal, dengan rincian sebagai berikut:

  • Kesesuaian penerapan SMK3: 21,88%.
  • Ketidaksesuaian penerapan SMK3: 78,12%.
    • Temuan mayor: 51%.
    • Temuan minor: 45%.
    • Temuan kritikal: 4%.

Kekurangan utama yang ditemukan meliputi kurangnya kebijakan keselamatan yang efektif, minimnya penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), serta kurangnya pelatihan keselamatan bagi pekerja. Selain itu, belum adanya prosedur standar operasional (SOP) untuk beberapa pekerjaan berisiko tinggi semakin memperburuk kondisi K3 di perusahaan.

Beberapa faktor utama yang menyebabkan rendahnya penerapan SMK3 di industri galangan kapal kecil meliputi:

  1. Kurangnya Kepemimpinan dalam Keselamatan Kerja
    • Manajer dan pemimpin di PT. X belum menunjukkan komitmen penuh terhadap implementasi SMK3.
    • Tidak adanya sistem evaluasi rutin untuk memastikan kepatuhan terhadap kebijakan keselamatan.
  2. Minimnya Pelatihan Keselamatan
    • Hanya 32% pekerja yang pernah mendapatkan pelatihan K3 formal.
    • Tidak ada prosedur kerja standar untuk pekerjaan berisiko tinggi seperti pengelasan dan penggunaan alat berat.
  3. Kurangnya Fasilitas dan Peralatan K3
    • 55% fasilitas keselamatan seperti rambu-rambu dan jalur evakuasi tidak tersedia atau dalam kondisi rusak.
    • APD yang tersedia tidak mencukupi jumlah pekerja yang ada.
  4. Tingkat Kepatuhan yang Rendah terhadap Regulasi
    • Perusahaan hanya memiliki tingkat kesesuaian sebesar 21,88% dengan PP No. 50 Tahun 2012.
    • Proses audit internal jarang dilakukan, sehingga banyak pelanggaran tidak teridentifikasi.

Untuk meningkatkan implementasi SMK3 di industri galangan kapal kecil, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan meliputi:

  1. Meningkatkan Kepemimpinan dalam K3
    • Manajemen harus menunjukkan komitmen yang lebih kuat dalam mendukung kebijakan keselamatan.
    • Menetapkan sistem penghargaan dan sanksi bagi pekerja yang patuh atau melanggar aturan K3.
  2. Meningkatkan Pelatihan dan Kesadaran Pekerja
    • Mengadakan pelatihan K3 secara rutin untuk seluruh pekerja.
    • Mengintegrasikan pelatihan dengan sertifikasi kompetensi K3 untuk pekerjaan berisiko tinggi.
  3. Menyediakan Fasilitas dan APD yang Memadai
    • Menyediakan APD berkualitas dan memastikan penggunaannya oleh seluruh pekerja.
    • Melakukan inspeksi rutin terhadap peralatan keselamatan dan memperbaiki fasilitas yang rusak.
  4. Meningkatkan Kepatuhan terhadap Regulasi
    • Mengimplementasikan sistem audit internal yang ketat untuk memastikan kepatuhan terhadap SMK3.
    • Berkolaborasi dengan pihak eksternal, seperti Dinas Tenaga Kerja dan BPJS Ketenagakerjaan, untuk meningkatkan pengawasan terhadap implementasi SMK3.

Kesimpulan

Studi ini menunjukkan bahwa penerapan SMK3 di industri galangan kapal kecil PT. X masih jauh dari standar yang diharapkan. Dengan tingkat kepatuhan hanya 21,88%, banyak aspek yang perlu diperbaiki untuk memastikan keselamatan dan kesehatan pekerja di lingkungan kerja yang berisiko tinggi ini. Implementasi kebijakan yang lebih ketat, pelatihan yang memadai, serta peningkatan fasilitas dan pengawasan merupakan langkah kunci dalam meningkatkan efektivitas SMK3 di sektor ini.

Sumber Asli

Nainggolan, Hugo & Hendra. Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Industri Galangan Kapal Kecil di Indonesia. Jurnal Kesehatan Tambusai, Volume 4, Nomor 4, Desember 2023. ISSN: 2774-5848 (Online), ISSN: 2774-0524 (Cetak).

Selengkapnya
Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di Industri Galangan Kapal Kecil

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Evaluasi Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Industri 4.0

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Industri 4.0 menghadirkan revolusi besar dalam sektor manufaktur dengan integrasi teknologi canggih seperti Internet of Things (IoT), robotika, dan kecerdasan buatan. Namun, kemajuan ini juga membawa risiko baru bagi keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Studi yang dilakukan oleh Aylin Adem, Erman Çakit, dan Metin Dağdeviren dalam jurnal SN Applied Sciences (2020) menyoroti risiko baru yang muncul akibat pergeseran ke lingkungan kerja berbasis teknologi tinggi. Dengan menggunakan pendekatan Hesitant Fuzzy Analytic Hierarchy Process (AHP), penelitian ini mengidentifikasi, mengelompokkan, dan memprioritaskan risiko K3 dalam konteks Industri 4.0.

Para peneliti menggunakan metode Hesitant Fuzzy AHP untuk menentukan peringkat risiko yang muncul akibat penggunaan teknologi Industri 4.0. Metode ini memungkinkan para ahli menilai risiko dengan lebih fleksibel dan akurat dibandingkan metode tradisional. Studi ini mengumpulkan data dari pakar industri dan membandingkan berbagai faktor risiko dengan mempertimbangkan tingkat kepentingannya.

Risiko Utama dalam Industri 4.0

Penelitian ini mengidentifikasi lima risiko utama dalam lingkungan kerja berbasis teknologi:

  1. Kelelahan Mental (Mental Fatigue)
    • Peringkat risiko tertinggi dalam penelitian ini.
    • Disebabkan oleh interaksi manusia-mesin yang kompleks dan tuntutan kognitif tinggi.
    • Berkontribusi terhadap stres kerja dan menurunkan produktivitas.
  2. Tekanan Psikologis (Psychological Pressure)
    • Timbul akibat kebutuhan untuk beradaptasi dengan tugas yang membutuhkan kreativitas tinggi.
    • Pekerja merasa tertekan karena harus menguasai teknologi baru dengan cepat.
  3. Gangguan Mata (Eye-related Disorders)
    • Disebabkan oleh paparan layar komputer dalam waktu lama.
    • Dapat mengarah pada kelelahan mata digital (digital eye strain).
  4. Gangguan akibat Posisi Kerja Statis (Disorders from Static Working Position)
    • Pekerjaan berbasis teknologi sering kali membuat pekerja berada dalam posisi duduk dalam waktu lama.
    • Risiko kesehatan meliputi nyeri punggung, leher, dan gangguan muskuloskeletal lainnya.
  5. Paparan Partikel Berbahaya dari Interaksi dengan Robot (Exposure to Unknown Dangerous Particles)
    • Berisiko karena bahan atau partikel yang dihasilkan oleh robot atau mesin otomatis.
    • Risiko ini sulit diprediksi karena kurangnya data tentang dampak jangka panjangnya.

Analisis dan Implikasi

Berdasarkan hasil penelitian, dua risiko tertinggi yang perlu mendapat perhatian utama adalah kelelahan mental dan tekanan psikologis. Ini menunjukkan bahwa meskipun otomatisasi dan digitalisasi mengurangi beban kerja fisik, mereka membawa tantangan baru terkait kesejahteraan mental pekerja. Beberapa implikasi penting dari temuan ini meliputi:

  • Perlu adanya program manajemen stres di tempat kerja untuk membantu pekerja menghadapi tekanan akibat peralihan ke Industri 4.0.
  • Desain ulang lingkungan kerja yang mengurangi beban mental dan mendukung keseimbangan kerja-hidup yang lebih baik.
  • Implementasi sistem rotasi pekerjaan untuk mengurangi dampak posisi kerja statis dan kelelahan akibat penggunaan layar.
  • Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang lebih baik untuk mengatasi paparan partikel berbahaya dari robot dan mesin otomatis.

Rekomendasi untuk Masa Depan

Agar transisi ke Industri 4.0 berjalan lancar tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja, perusahaan harus mengambil langkah-langkah berikut:

  1. Peningkatan Kesadaran tentang Risiko Baru
    • Pelatihan reguler bagi pekerja dan manajer tentang dampak psikologis dari lingkungan kerja berbasis teknologi.
  2. Optimasi Penggunaan Teknologi
    • Menggunakan teknologi yang mendukung ergonomi kerja, seperti standing desks dan pencahayaan adaptif.
  3. Pengembangan Kebijakan Kesehatan Mental
    • Memberikan dukungan psikologis dan menciptakan budaya kerja yang sehat secara mental.
  4. Pemantauan dan Evaluasi Berkelanjutan
    • Menggunakan data analitik untuk memantau kesejahteraan pekerja dan menyesuaikan strategi K3 sesuai kebutuhan.

Kesimpulan

Industri 4.0 membawa perubahan signifikan dalam dunia kerja, termasuk risiko baru bagi keselamatan dan kesehatan pekerja. Penelitian ini menegaskan bahwa kelelahan mental dan tekanan psikologis merupakan tantangan utama dalam lingkungan kerja berbasis teknologi. Oleh karena itu, perusahaan harus mengambil langkah proaktif untuk mengurangi dampak negatif ini dan memastikan kesejahteraan pekerja tetap menjadi prioritas.

Sumber Asli

Adem, Aylin., Çakit, Erman., & Dağdeviren, Metin. Occupational Health and Safety Risk Assessment in the Domain of Industry 4.0. SN Applied Sciences, 2:977, 2020.

Selengkapnya
Evaluasi Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Industri 4.0

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Peran Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Meningkatkan Produktivitas Karyawan di Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan faktor penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan kondusif, terutama bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Penelitian yang dilakukan oleh Aseel Mousa Matar dalam jurnal Journal of University Studies for Inclusive Research menyoroti bagaimana manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dapat meningkatkan produktivitas karyawan di UKM industri. Penelitian ini menyoroti risiko yang dihadapi tenaga kerja, dampak terhadap produktivitas, serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan sistem K3 di UKM.

Latar Belakang dan Masalah Penelitian

UKM merupakan pilar utama dalam perekonomian berbagai negara, baik yang maju maupun berkembang. Namun, sektor ini sering menghadapi berbagai tantangan seperti persaingan pasar, keterbatasan teknologi, serta kurangnya tenaga kerja yang terlatih. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi UKM adalah rendahnya penerapan standar keselamatan kerja, yang berdampak langsung pada tingkat kecelakaan dan produktivitas karyawan.

Menurut penelitian sebelumnya, banyak UKM yang masih mengabaikan penerapan sistem keselamatan dan kesehatan kerja yang baik. Surienty (2019) menegaskan bahwa penerapan K3 yang lemah dalam UKM sering kali menyebabkan cedera kerja dan menurunkan efisiensi produksi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana penerapan manajemen K3 berpengaruh terhadap produktivitas karyawan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan meninjau berbagai literatur serta studi kasus di beberapa UKM industri. Data dikumpulkan dari berbagai sumber seperti jurnal, buku, dan laporan studi kasus untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai peran K3 dalam meningkatkan produktivitas.

Hasil Penelitian dan Temuan Utama

1. Pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di UKM

Penelitian ini menunjukkan bahwa banyak UKM masih belum menerapkan prosedur keselamatan kerja yang memadai. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya implementasi K3 di UKM antara lain:

  • Kurangnya kesadaran manajemen terhadap pentingnya keselamatan kerja.
  • Keterbatasan sumber daya dan biaya dalam menerapkan standar keselamatan yang tinggi.
  • Minimnya regulasi dan pengawasan pemerintah terhadap UKM dalam penerapan K3.

Namun, penelitian juga menegaskan bahwa UKM yang menerapkan sistem keselamatan kerja dengan baik cenderung memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi.

2. Hubungan Antara Keselamatan Kerja dan Produktivitas

Menurut data yang dikumpulkan, penerapan K3 yang baik dapat meningkatkan produktivitas dengan cara berikut:

  • Mengurangi tingkat kecelakaan kerja, sehingga karyawan dapat bekerja dengan lebih efektif tanpa gangguan akibat cedera.
  • Meningkatkan moral dan motivasi karyawan, karena mereka merasa lebih aman dan dihargai oleh perusahaan.
  • Menurunkan biaya pengobatan dan kompensasi akibat kecelakaan kerja, yang pada akhirnya menghemat anggaran perusahaan.

Surienty et al. (2011) mengungkapkan bahwa pekerja yang merasa aman di lingkungan kerja cenderung memiliki semangat kerja lebih tinggi dan lebih fokus dalam menyelesaikan tugas mereka.

3. Studi Kasus Implementasi K3 di UKM Industri

Dalam penelitian ini, dilakukan studi kasus terhadap beberapa UKM yang telah berhasil menerapkan sistem manajemen K3. Salah satu contoh sukses adalah sebuah perusahaan manufaktur kecil di Malaysia yang mengalami peningkatan produktivitas sebesar 20% setelah menerapkan kebijakan keselamatan yang lebih ketat, termasuk:

  • Penyediaan alat pelindung diri (APD) bagi pekerja.
  • Pelatihan keselamatan secara rutin untuk meningkatkan kesadaran pekerja terhadap risiko kerja.
  • Inspeksi berkala dan evaluasi risiko untuk mengurangi potensi bahaya di tempat kerja.

Hasilnya, perusahaan tersebut mengalami penurunan jumlah kecelakaan kerja dari 15 kasus per tahun menjadi hanya 3 kasus per tahun setelah menerapkan kebijakan ini.

Rekomendasi untuk Meningkatkan Keselamatan Kerja di UKM

Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa langkah yang dapat diterapkan oleh UKM untuk meningkatkan keselamatan kerja dan produktivitas karyawan:

  1. Meningkatkan Kesadaran Manajemen
    • Manajemen UKM harus memahami bahwa investasi dalam keselamatan kerja akan memberikan keuntungan jangka panjang dalam bentuk peningkatan produktivitas dan efisiensi.
  2. Pelatihan Keselamatan Rutin
    • Karyawan harus diberikan pelatihan berkala mengenai prosedur keselamatan kerja yang benar dan cara menggunakan alat pelindung diri (APD) dengan baik.
  3. Penyediaan Fasilitas Keselamatan yang Memadai
    • UKM harus memastikan bahwa tempat kerja dilengkapi dengan fasilitas keselamatan yang sesuai, seperti jalur evakuasi yang jelas, alat pemadam kebakaran, dan ventilasi yang baik.
  4. Pengawasan dan Inspeksi Rutin
    • Melakukan inspeksi secara berkala untuk mengidentifikasi potensi bahaya dan mengambil tindakan korektif sebelum terjadi kecelakaan.
  5. Menerapkan Budaya Keselamatan
    • Mendorong karyawan untuk melaporkan risiko keselamatan tanpa takut akan hukuman, sehingga dapat dilakukan perbaikan segera.

Penelitian ini menegaskan bahwa manajemen keselamatan dan kesehatan kerja memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas karyawan di UKM. Dengan mengurangi kecelakaan kerja, meningkatkan kesadaran pekerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, UKM dapat mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi serta mengurangi biaya akibat cedera kerja.

Penerapan sistem K3 yang baik di UKM bukan hanya sekadar kewajiban hukum, tetapi juga merupakan investasi jangka panjang untuk meningkatkan kinerja bisnis dan daya saing di pasar. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dari manajemen UKM untuk lebih serius dalam menerapkan langkah-langkah keselamatan kerja.

Sumber Asli

Matar, Aseel Mousa. The Role of Occupational Safety and Health Management in Enhancing Employee Productivity in SMEs. Journal of University Studies for Inclusive Research, Vol.3, Issue 1 (2019), 243-260.

Selengkapnya
Peran Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Meningkatkan Produktivitas Karyawan di Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Strategi Peningkatan Performa Insinyur Profesional Melalui Peningkatan Kesadaran dan Penerapan K3

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan aspek penting dalam profesi insinyur yang bertujuan untuk melindungi tenaga kerja, masyarakat, dan lingkungan dari risiko yang ditimbulkan oleh aktivitas keinsinyuran. Paper ini membahas bagaimana peningkatan kesadaran dan penerapan K3 dapat meningkatkan performa insinyur profesional di Indonesia. Studi ini dilakukan melalui analisis penerapan K3 di berbagai sektor teknik dan industri.

Dalam dunia kerja, kecelakaan dan risiko kerja masih menjadi tantangan utama, terutama di sektor konstruksi dan manufaktur. Menurut data yang dikutip dalam paper ini, kecelakaan kerja di sektor konstruksi mencapai 32 persen dari total kecelakaan kerja di Indonesia. Hal ini menunjukkan pentingnya penerapan K3 dalam pekerjaan insinyur. Beberapa alasan utama perlunya peningkatan kesadaran K3 antara lain:

  • Mengurangi angka kecelakaan kerja dan cedera.
  • Meningkatkan efisiensi dan produktivitas tenaga kerja.
  • Memastikan keberlanjutan proyek teknik dengan standar keamanan yang tinggi.
  • Meningkatkan daya saing insinyur Indonesia dalam pasar tenaga kerja global.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode:

  • Wawancara dengan insinyur profesional dan tenaga kerja industri.
  • Kajian terhadap regulasi dan kebijakan K3 di Indonesia.
  • Studi kasus penerapan K3 di beberapa proyek teknik dan industri.

Penelitian ini menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhi penerapan K3 serta mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam implementasinya.

Pentingnya Kesadaran K3 bagi Insinyur Profesional

Paper ini mengidentifikasi bahwa rendahnya kesadaran terhadap pentingnya K3 sering kali menjadi penyebab utama tingginya angka kecelakaan kerja. Beberapa penyebab utama rendahnya penerapan K3 di lapangan meliputi:

  1. Kurangnya pelatihan dan edukasi K3 bagi tenaga kerja.
  2. Minimnya pengawasan terhadap implementasi standar keamanan.
  3. Tekanan untuk menyelesaikan proyek dengan cepat tanpa mempertimbangkan aspek keselamatan.
  4. Kurangnya anggaran yang dialokasikan untuk penerapan K3 di berbagai proyek.

Paper ini menyajikan studi kasus penerapan K3 di proyek konstruksi dan industri manufaktur. Berikut beberapa data yang ditemukan:

  • 70 persen insinyur mengakui bahwa penerapan K3 meningkatkan efisiensi kerja dan mengurangi kecelakaan kerja.
  • 60 persen perusahaan masih belum memiliki sistem manajemen K3 yang memadai.
  • Penerapan standar K3 yang ketat dapat mengurangi angka kecelakaan kerja hingga 40 persen.
  • 50 persen insinyur yang terlibat dalam proyek dengan regulasi K3 yang ketat melaporkan peningkatan produktivitas.

Implementasi K3 dalam Profesi Insinyur

Beberapa praktik terbaik dalam implementasi K3 yang dapat diterapkan oleh insinyur profesional meliputi:

  • Penerapan pelatihan K3 secara berkala bagi tenaga kerja.
  • Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang sesuai standar internasional.
  • Pengawasan ketat terhadap standar keselamatan di proyek konstruksi dan manufaktur.
  • Meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab individu terhadap keselamatan kerja.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Paper ini menegaskan bahwa peningkatan kesadaran dan penerapan K3 sangat berperan dalam meningkatkan performa insinyur profesional. Dengan penerapan K3 yang lebih baik, angka kecelakaan kerja dapat ditekan dan efisiensi kerja dapat meningkat secara signifikan.

Rekomendasi

  1. Meningkatkan pelatihan K3 bagi insinyur dan tenaga kerja industri.
  2. Meningkatkan pengawasan terhadap implementasi standar keselamatan kerja.
  3. Meningkatkan anggaran untuk mendukung implementasi sistem K3 di berbagai sektor industri.
  4. Mendorong peran aktif pemerintah dan asosiasi profesi dalam memastikan kepatuhan terhadap standar K3.

Dengan adanya penerapan yang lebih baik, diharapkan sistem K3 di Indonesia dapat mendukung peningkatan performa insinyur profesional serta mengurangi risiko kerja di berbagai sektor industri.

Sumber Artikel dalam Bahasa Asli

Mahmud Triwanto. (2021). "Strategi Peningkatan Performa Insinyur Profesional Melalui Peningkatan Kesadaran dan Penerapan K3." Seminar Keinsinyuran Program Studi Program Profesi Insinyur Universitas Muhammadiyah Malang, 2021.

 

Selengkapnya
Strategi Peningkatan Performa Insinyur Profesional Melalui Peningkatan Kesadaran dan Penerapan K3

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Digitalisasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Proyek Konstruksi: Solusi Masa Depan atau Tantangan Budaya?

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 07 Mei 2025


Pendahuluan

 

Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang penuh risiko. Setiap hari, ribuan pekerja di seluruh dunia berhadapan dengan bahaya mulai dari kecelakaan akibat jatuh, tertimpa material, hingga paparan zat kimia. Di tengah meningkatnya inovasi teknologi seperti sensor pintar, Internet of Things (IoT), BIM (Building Information Modeling), hingga realitas virtual dan augmented reality, muncul harapan baru untuk meminimalkan risiko kerja. Paper bertajuk Perspectives on Implementation of Digital Tools and Technologies within Construction Safety Management oleh Mara Matti dan Md Shan E Jahan mengkaji secara mendalam bagaimana teknologi digital dapat diterapkan untuk meningkatkan keselamatan kerja di lapangan konstruksi, sekaligus memahami hambatan psikologis dan budaya yang menyertainya.

 

Bahaya di Lokasi Konstruksi dan Urgensi Inovasi

 

Berdasarkan data dari Arbetsmiljöverket (2021), rata-rata terdapat 11 kecelakaan kerja per 100 pekerja konstruksi di Swedia setiap tahunnya. Dalam konteks global, industri konstruksi mencatat angka kecelakaan fatal tertinggi, dengan contoh 951 nyawa hilang di Amerika Serikat pada 2021. Kecelakaan umum seperti jatuh dari ketinggian dan tertimpa alat berat menjadi penyebab utama. Fakta ini mempertegas urgensi implementasi sistem keselamatan berbasis teknologi.

 

Solusi Teknologi dan Potensinya dalam Keselamatan Proyek

 

Beberapa teknologi yang disorot dalam penelitian ini meliputi:

  • BIM (Building Information Modeling): Mengantisipasi risiko desain dan mendeteksi potensi bahaya sejak tahap perencanaan.
  • Sensor & IoT: Mendeteksi kondisi berbahaya secara real-time, mengirim peringatan dini kepada pekerja.
  • Smart Helmets & BuildingCloud: Mendeteksi jatuh, memberi notifikasi lokasi pekerja, dan mencegah masuk ke zona berbahaya.
  • Drone & Robot Anjing (AI Robot Dog): Mengakses area sulit dijangkau untuk inspeksi keamanan.
  • Real-time Location System (RTLS): Melacak keberadaan pekerja dan alat berat untuk mencegah kecelakaan.

Salah satu studi kasus menarik adalah implementasi helm pintar dan sistem BuildingCloud yang memungkinkan deteksi jatuh dan respons cepat melalui pelacakan lokasi. Hasilnya, pekerja lebih cepat mendapat pertolongan dan sistem dapat melarang akses ke zona bahaya berdasarkan data.

 

Kendala Implementasi: Biaya, Budaya, dan Psikologi

 

Meski potensi teknologi sangat menjanjikan, penerapannya di lapangan tidaklah mulus. Hambatan yang teridentifikasi antara lain:

  • Biaya investasi awal yang tinggi
  • Kekhawatiran terhadap privasi data pekerja
  • Kurangnya literasi digital di antara tenaga kerja
  • Resistensi terhadap perubahan yang dilandasi budaya kerja konvensional

Studi ini juga menggunakan kerangka Technology Acceptance Model (TAM) untuk menganalisis persepsi pekerja terhadap teknologi. Ditemukan bahwa meskipun banyak yang mengakui manfaatnya, keraguan tetap muncul terutama dalam hal kemudahan penggunaan dan keyakinan bahwa teknologi benar-benar akan dipakai secara konsisten.

 

Temuan Lapangan dan Wawancara: Suara dari Industri

 

Melalui wawancara semi-terstruktur dan observasi lapangan, para peneliti menemukan berbagai pandangan:

  • Pekerja lapangan merasa terbantu dengan pelatihan keselamatan berbasis VR, namun merasa perangkatnya berat dan mengganggu.
  • Manajer proyek menyambut baik penggunaan drone dan sistem lokasi real-time, tetapi mengeluhkan ketergantungan pada konektivitas internet.
  • Desainer dan insinyur mulai menerapkan DfS (Design for Safety) dengan BIM, namun terbatas karena klien lebih fokus pada efisiensi biaya daripada keselamatan.

 

Studi Kasus Swedia: SmartBuiltEnvironment dan Uji Teknologi

 

Dalam program inovasi nasional SmartBuiltEnvironment, beberapa proyek uji coba dilakukan, seperti:

  • Safety & Cranes: Sistem AI yang dipasang di kabin crane untuk mendeteksi orang dan objek di area kerja. Mampu meningkatkan akurasi pengangkatan dan mengurangi risiko tabrakan.
  • SmartHelmet & BuildingCloud: Menyediakan sistem peringatan dan pelacakan berbasis lokasi yang terbukti mengurangi waktu respons kecelakaan.

 

Kritik dan Potensi Pengembangan

 

Studi ini sangat kuat dalam memberikan wawasan kualitatif dari berbagai perspektif: manajer, pelatih keselamatan, teknisi, dan pekerja lapangan. Namun, fokusnya terbatas pada konteks Swedia. Untuk relevansi global, diperlukan studi di negara berkembang dengan tantangan berbeda seperti infrastruktur digital yang belum merata dan ketimpangan akses teknologi.

 

Selain itu, paper ini menyoroti pentingnya kolaborasi antara pemilik proyek, regulator, dan pengembang teknologi. Diperlukan standardisasi dan regulasi yang mendorong penggunaan teknologi secara aman dan etis, seperti pengelolaan data pekerja, sertifikasi alat, dan integrasi sistem ke dalam perencanaan proyek.

 

Rekomendasi Strategis

 

1. Pendidikan & Pelatihan Digital: Pelatihan keselamatan harus mulai mengintegrasikan simulasi VR dan AR sebagai standar.

2. Inklusi Desain untuk Keselamatan (DfS): Gunakan BIM untuk mengenali risiko sejak tahap perencanaan.

3. Regulasi & Insentif Pemerintah: Pemerintah harus mendorong penggunaan teknologi dengan subsidi, sertifikasi, dan insentif pajak.

4. Standardisasi Teknologi: Kembangkan protokol terbuka untuk integrasi antara teknologi yang berbeda.

5. Kolaborasi Multistakeholder: Proyek harus melibatkan pengguna akhir (pekerja) dalam pengujian teknologi agar sesuai dengan kebutuhan lapangan.

6. Pendekatan Modular: Teknologi yang digunakan perlu dirancang agar modular dan dapat diadopsi secara bertahap oleh perusahaan kecil-menengah.

7. Integrasi dengan Sistem Manajemen K3: Setiap inovasi teknologi harus diintegrasikan dengan sistem K3 perusahaan agar tidak terputus dengan kebijakan organisasi.

 

Kesimpulan

 

Teknologi digital berpotensi besar untuk merevolusi sistem keselamatan kerja di industri konstruksi. Namun, kesuksesan implementasi sangat bergantung pada penerimaan manusia, desain teknologi yang ramah pengguna, dan dukungan struktural dari organisasi serta pemerintah. Studi ini menunjukkan bahwa transformasi digital bukan hanya soal alat, tetapi juga perubahan pola pikir dan budaya kerja.

 

 

Sumber: Matti, M., & Jahan, M.S.E. (2024). Perspectives on Implementation of Digital Tools and Technologies within Construction Safety Management. Royal Institute of Technology (KTH). https://www.diva-portal.org/smash/record.jsf?pid=diva2:1851703

Selengkapnya
Digitalisasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Proyek Konstruksi: Solusi Masa Depan atau Tantangan Budaya?

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Teknologi Digital dalam Menekan Kecelakaan Konstruksi di Irak: Peluang dan Tantangan

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 05 Mei 2025


Mengapa Keselamatan Konstruksi Jadi Sorotan?

 

Sektor konstruksi global terus menjadi penyumbang utama kecelakaan kerja fatal. Menurut International Labour Organization (ILO), tingkat kematian akibat kecelakaan konstruksi di negara berkembang 3–4 kali lebih tinggi dibanding negara maju. Irak, yang tengah gencar membangun kembali infrastruktur pasca konflik, menghadapi dilema serius: tingginya angka kecelakaan kerja yang mengancam produktivitas proyek dan keselamatan pekerja.

 

Dalam konteks inilah, riset oleh Yousif Saeed dan timnya menjadi sangat relevan. Artikel ini menyoroti peran teknologi, khususnya mobile application technologies (MATS), dalam pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja (Occupational Safety and Health / OSH) pada proyek konstruksi di Irak.

 

Latar Belakang: Kebutuhan Mendesak akan Solusi Digital

 

Irak sedang memasuki tahap rekonstruksi besar-besaran, khususnya di wilayah pasca-konflik. Ribuan proyek infrastruktur berskala kecil dan menengah telah diluncurkan, namun keselamatan kerja belum menjadi prioritas. Metode manajemen OSH masih konvensional—sebagian besar terbatas pada penggunaan email dan pesan singkat antar pekerja proyek.

 

Riset ini mengeksplorasi potensi teknologi seluler, seperti Building Information Modeling (BIM), Wearable Sensing Devices (WSD), dan sistem visualisasi lainnya, untuk meningkatkan manajemen keselamatan di lapangan.

 

Metodologi: Survei 98 Manajer Proyek Konstruksi di Irak

 

Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif melalui kuesioner yang disebar ke 140 profesional konstruksi di seluruh Irak, dengan 98 responden valid (rasio respons 70%). Mereka merupakan manajer proyek berpengalaman minimal 10 tahun di bidang manajemen OSH.

 

Data dianalisis untuk mengevaluasi:

  • Tingkat adopsi teknologi MATS
  • Manfaat nyata dari penggunaannya
  • Hambatan atau keterbatasan utama

 

 

Tingkat Adopsi Teknologi: Masih Rendah, Tapi Menjanjikan

 

Hasil survei menunjukkan bahwa BIM (25,5%) dan WSD (23,4%) adalah teknologi yang paling umum digunakan, meski masih jauh dari optimal. Berikut data lengkapnya:

 

Tingkat Penggunaan Teknologi untuk Manajemen OSH (Top 5):

  1. BIM – 25,5%
  2. Wearable Sensing Devices – 23,4%
  3. Mobile Devices Onsite – 18,3%
  4. Laser Scanning & LiDAR – 16,3%
  5. RFID – 16,3%

Catatan: Teknologi yang lebih canggih seperti Artificial Intelligence (11,2%), Virtual Reality (10,2%), dan Exoskeletons (7,1%) masih tergolong langka di lapangan.

 

Manfaat Teknologi MATS: Bukti Keefektifan yang Diakui

 

Meski tingkat adopsi masih rendah, pemahaman terhadap manfaat teknologi cukup tinggi:

 

Top 5 Manfaat Menurut Responden:

  • Menghilangkan bahaya sejak fase desain – 76,5%
  • Visualisasi bahaya secara nyata – 75,5%
  • Meningkatkan pelaporan insiden nyaris celaka (near miss) – 71,4%
  • Meningkatkan kesadaran pekerja terhadap bahaya – 66,3%
  • Meningkatkan inspeksi keselamatan – 54,0%

 

Analisis Tambahan: Ini menunjukkan bahwa pekerja dan manajer memahami betul nilai strategis teknologi, namun belum memiliki cukup dukungan (regulasi, infrastruktur, insentif) untuk mengimplementasikannya secara luas.

 

Tantangan dan Hambatan: Masalah Biaya hingga Regulasi Minim

 

Top 5 Kendala Implementasi Teknologi:

  • Biaya tinggi – 86,7%
  • Minimnya regulasi pemerintah – 80,6%
  • Respons pekerja terhadap sistem peringatan rendah – 66,3%
  • Pelatihan tidak efisien dari segi biaya – 51,0%
  • Tidak adanya sistem data terpusat – 50,0%

 

Insight Tambahan:

 

Masalah biaya dan regulasi menjadi tantangan utama, bahkan dibandingkan dengan negara maju seperti AS, yang juga mengeluhkan mahalnya teknologi tetapi memiliki infrastruktur dukungan yang lebih kuat.

 

Faktor resistensi pekerja terhadap teknologi (contoh: abaikan peringatan dari perangkat) menjadi perhatian serius.

 

Perbandingan dengan Kasus di Amerika Serikat

 

Penelitian serupa oleh Nnaji & Karakhan (2020) di AS menunjukkan bahwa semua 15 jenis MATS digunakan oleh lebih dari 58% responden. Di Irak, bahkan BIM dan WSD hanya dipakai oleh sekitar 25%. Artinya:

Tingkat adopsi teknologi di Irak tertinggal lebih dari dua kali lipat dibanding AS.

Namun persepsi manfaat antara kedua negara relatif serupa, khususnya pada aspek visualisasi bahaya dan kesadaran keselamatan.

 

 

Interpretasi: Hambatan di Irak bukan pada mentalitas pekerja, tetapi pada ekosistem pendukung.

 

 

Studi Kasus Tambahan: Potensi Sukses di Masa Depan

 

BIM untuk manajemen risiko desain: Perusahaan di Finlandia menggunakan BIM untuk mengidentifikasi titik rawan kecelakaan sejak tahap desain, mengurangi potensi insiden hingga 30%.

WSD untuk pelacakan pekerja: Di proyek-proyek besar di Jepang, WSD digunakan untuk memantau posisi dan kondisi vital pekerja secara real-time.

Jika pendekatan ini ditiru dan disesuaikan untuk konteks Irak, peningkatan keselamatan bisa menjadi signifikan.

 

Rekomendasi dan Implikasi Praktis

 

1. Dukungan Pemerintah Dibutuhkan

Regulasi nasional harus mengatur standar penggunaan MATS dalam proyek publik.

Insentif pajak untuk perusahaan yang berinvestasi pada teknologi keselamatan.

 

2. Investasi dalam Pelatihan dan Infrastruktur

Pelatihan OSH berbasis teknologi harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan vokasi teknik.

Perlu dibangun sistem data keselamatan nasional berbasis cloud.

 

3. Kolaborasi Multisektor

Pemerintah, sektor swasta, universitas, dan lembaga internasional harus bekerja sama mempercepat transformasi digital keselamatan kerja.

 

Kritik dan Catatan Tambahan

 

Kelebihan:

  • Menggunakan data primer dari survei lapangan yang relevan dan terkini.
  • Memadukan data kuantitatif dan literatur internasional sebagai pembanding.

 

Keterbatasan:

  • Fokus hanya pada manajer proyek, belum mencakup pekerja lapangan sebagai aktor utama di lapangan.
  • Belum ada pengujian langsung efektivitas teknologi secara longitudinal.

 

 

Saran:

  • Penelitian lanjutan dapat mengukur korelasi langsung antara adopsi MATS dan pengurangan angka kecelakaan dalam proyek nyata.

 

Kesimpulan: Teknologi Bukan Sekadar Alat, Tapi Solusi Keselamatan

 

Artikel ini menegaskan bahwa transformasi digital dalam keselamatan kerja di sektor konstruksi adalah kebutuhan, bukan pilihan. Irak memiliki potensi besar untuk memperbaiki catatan keselamatannya dengan memanfaatkan teknologi seperti BIM, WSD, dan aplikasi seluler lainnya. Namun, kemajuan ini mensyaratkan keberanian politik, dukungan regulasi, dan kolaborasi lintas sektor.

 

Dengan roadmap yang jelas dan kemauan untuk berubah, teknologi dapat menjadi penyelamat nyawa—dan penyelamat produktivitas—di proyek-proyek konstruksi Irak.

 

 

Sumber

 

Yousif Saeed, Esam Aziz, & Leonid Zelentsov. (2021). Technology Role in Safety Management of Iraqi Construction Projects. E3S Web of Conferences, Vol. 263. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202126304043

Selengkapnya
Teknologi Digital dalam Menekan Kecelakaan Konstruksi di Irak: Peluang dan Tantangan
« First Previous page 3 of 6 Next Last »