Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan: Kota Cerdas dan Tantangan Air Urban
Kota-kota masa depan dituntut untuk lebih tanggap terhadap krisis lingkungan, pertumbuhan penduduk, dan perubahan iklim. Salah satu elemen vital yang kerap luput dalam transformasi kota adalah infrastruktur air perkotaan (urban water infrastructure/UWI). Paper "Towards a Smart Water City" oleh Oberascher et al. (2022) memaparkan kerangka komprehensif untuk membangun sistem kota cerdas air, dengan fokus pada aplikasi berbasis data, teknologi komunikasi, dan strategi integrasi antarsistem.
Visi Kota Cerdas Air: Lebih dari Sekadar Teknologi
Kota cerdas air bukan hanya soal digitalisasi. Visi utamanya mencakup:
Pendekatan Penelitian: Review Sistematis dan Kerangka Praktis
Penulis melakukan review literatur sistematis terhadap 286 studi, disertai analisis kerangka teknis enam lapis:
Mereka juga mengklasifikasikan aplikasi ke dalam lima kategori:
Studi Kasus & Data: Skala dan Resolusi
Contoh konkret dari penerapan sistem kota cerdas air meliputi:
Penulis menyarankan:
Teknologi Komunikasi: Mana yang Cocok?
Paper ini menyajikan analisis rinci dari lebih dari 10 teknologi komunikasi, termasuk:
Salah satu keunggulan paper ini adalah pemetaan kebutuhan komunikasi terhadap:
Aplikasi Cerdas untuk Drainase, Distribusi, dan Alam
Drainase Perkotaan (UDN):
Distribusi Air (WDN):
Nature-Based Solutions (NBS):
Tantangan dan Solusi Etis
Tantangan Teknis dan Sosial:
Solusi dan Masa Depan:
Rekomendasi Strategis
Penutup: Menuju Kota Air yang Resilien dan Terhubung
Kota cerdas air bukanlah sekadar jargon teknologi. Ia adalah visi lintas disiplin yang menyatukan manusia, data, ekosistem, dan teknologi untuk menciptakan sistem air perkotaan yang efisien, berkeadilan, dan tahan terhadap guncangan masa depan. Paper ini layak dijadikan rujukan penting oleh para pembuat kebijakan, peneliti, maupun praktisi infrastruktur kota yang ingin membangun masa depan kota yang berorientasi data dan keberlanjutan.
Sumber : Oberascher, M., Rauch, W., & Sitzenfrei, R. (2022). Towards a smart water city: A comprehensive review of applications, data requirements, and communication technologies for integrated management. Sustainable Cities and Society, 76, 103442.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan: Ketika Kota Tak Cukup Sekadar “Pintar”
Kota-kota modern tengah berlomba melakukan transformasi digital (DT) demi meningkatkan efisiensi pelayanan publik, terutama pengelolaan aset infrastruktur perkotaan (Urban Infrastructure Assets/UIA) seperti air, jalan, dan sistem sanitasi. Namun, penelitian oleh Lafioune, Poirier, dan St-Jacques (2024) menemukan bahwa banyak kota justru gagal dalam implementasi DT karena kurangnya kerangka kerja, kepemimpinan, dan manajemen data.
Tujuan Penelitian dan Kontribusi Unik
Artikel ini bertujuan:
Hasilnya adalah 22 elemen hambatan dalam 6 kategori utama, yang dijadikan dasar untuk pengembangan strategi DT kota yang lebih terstruktur.
Studi Kasus dan Metodologi Penelitian
Peneliti melakukan:
Hasilnya mengungkap bahwa manajemen perubahan organisasi, manajemen data, dan ketidakselarasan praktik saat ini menjadi penghambat utama.
Enam Kategori Hambatan Transformasi Digital
1. Strategi dan Kepemimpinan
2. Proses dan Manajemen
3. Struktur Organisasi dan Budaya
4. Regulasi dan Standar
5. Manusia dan Komunitas
6. Ekosistem Digital dan Teknologi
Temuan Utama dari Literatur dan Workshop
Implikasi Strategis: Apa yang Bisa Dilakukan?
Studi Kasus Kota A dan Kota B: Perbandingan Nyata
Nilai Tambah Penelitian
Framework 22 hambatan dari artikel ini tidak hanya untuk akademisi, tapi juga praktisi pemerintah. Bisa digunakan untuk:
Kesimpulan: Kunci Transformasi Digital Ada di Manajemen dan Visi
Transformasi digital di tingkat kota bukan sekadar pengadaan sistem baru, tapi proses sistemik yang menyentuh struktur organisasi, budaya kerja, dan manajemen data. Artikel ini mengingatkan bahwa tanpa kepemimpinan, strategi, dan pelibatan SDM yang tepat, digitalisasi hanya akan menjadi proyek mahal tanpa hasil jangka panjang.
Framework yang dikembangkan relevan untuk seluruh kota, dari metropolis hingga kota kecil, karena bersifat agnostik dan fleksibel terhadap konteks.
Sumber : Lafioune, N., Poirier, E. A., & St-Jacques, M. (2024). Managing urban infrastructure assets in the digital era: Challenges of municipal digital transformation. Digital Transformation and Society, 3(1), 3–22.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pengantar
Konsep Smart City telah menjadi arah kebijakan strategis bagi kota-kota besar di Indonesia, termasuk Kota Semarang. Dalam era digital dan globalisasi, pemerintah dituntut memberikan pelayanan yang efektif dan efisien berbasis teknologi. Paper berjudul Penerapan Konsep Smart City dalam Tata Kelola Pemerintahan Kota Semarang oleh Irfan Setiawan dan Elfrida Tri Farah Aindita, mengulas bagaimana Kota Semarang menerapkan kebijakan Smart City melalui enam pilar utama, kendala implementasi yang dihadapi, serta dampaknya terhadap pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan.
Konsep dan Pilar Smart City
Kota cerdas tidak hanya sekadar pemanfaatan teknologi digital, melainkan sistem holistik untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pemerintah Kota Semarang mengacu pada enam pilar Smart City versi Kominfo:
Kota Semarang mendukung enam pilar tersebut melalui pengembangan website dan lebih dari 40 aplikasi layanan publik, termasuk Lapor Hendi, E-Kinerja, dan Call Center 112. Website resmi smartcity.semarangkota.go.id menjadi pusat koordinasi pelayanan digital.
Transformasi Digital Layanan Publik
Smart Governance menjadi pondasi digitalisasi layanan Kota Semarang. Dinas Dukcapil misalnya, menerapkan registrasi online untuk layanan administrasi kependudukan. Selain itu, aplikasi JAGA digunakan masyarakat untuk memantau kebijakan publik di bidang perizinan dan kesehatan.
Inisiatif seperti Kampung Pelangi dan Kartu Semarang Hebat mencerminkan Smart Living, sementara Smart Park seperti Taman Piere Tendean sudah dilengkapi Wi-Fi gratis, toilet disabilitas, charging station, dan sistem penyiraman otomatis. Sistem PJU juga memakai Smart Lighting System (SLS) berbasis nirkabel dan komputerisasi jarak jauh.
Studi Kasus dan Angka Penting
Hambatan dan Tantangan
Opini dan Analisis Tambahan
Transformasi digital memang mendorong efisiensi, namun implementasinya memerlukan kesiapan kelembagaan dan sosial. Penerapan Smart City tidak bisa hanya fokus pada pembangunan aplikasi, tapi harus disertai sosialisasi aktif kepada masyarakat, pelatihan ASN, dan penyesuaian kebijakan inklusif untuk kelompok rentan.
Kota Semarang menunjukkan progres bertahap: dari sistem manual ke digital, dari pelayanan konvensional ke daring, dari lampu biasa ke pencahayaan pintar. Tapi gap digital masih terasa, khususnya pada warga usia lanjut dan masyarakat berpendidikan rendah. Oleh karena itu, pendekatan hybrid (digital + konvensional) masih relevan sambil memperluas literasi digital.
Arah Masa Depan dan Rekomendasi
Untuk mempercepat transformasi Smart City, Kota Semarang perlu:
Kesimpulan
Smart City di Kota Semarang menjadi bukti bahwa transformasi digital adalah proses bertahap dan kompleks. Dengan fondasi enam pilar, kota ini telah membangun ekosistem pelayanan publik modern. Namun, untuk menjadi kota pintar yang sesungguhnya, perlu sinergi antara teknologi, manusia, dan kelembagaan. Paper ini menegaskan bahwa pembangunan kota masa depan harus inklusif, efisien, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Sumber:
Setiawan, Irfan dan Aindita, Elfrida Tri Farah. Penerapan Konsep Smart City dalam Tata Kelola Pemerintahan Kota Semarang. Jurnal Ilmiah Administrasi Pemerintahan Daerah, Vol. 14, No. 1, 2022, hlm. 97–116.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pengantar
Sistem air dan air limbah (WW) adalah fondasi penting bagi kesehatan publik dan keberlanjutan lingkungan. Namun, banyak negara maju sekalipun menghadapi tantangan besar terkait pembiayaan, peremajaan aset, dan adaptasi perubahan iklim. Studi oleh Najar dan Persson (2023) dalam Water Policy menyajikan evaluasi 11 organisasi utilitas air limbah di Swedia yang berhasil meningkatkan status fasilitas WW mereka, berdasarkan parameter Sustainability Index (SI) nasional.
Latar Belakang dan Urgensi
Hanya 4% dari 184 organisasi WW di Swedia yang mencapai klasifikasi "hijau" dalam parameter status fasilitas, menunjukkan mayoritas mengalami penurunan performa infrastruktur. Sementara itu, kebutuhan investasi WW nasional diperkirakan mencapai SEK 820 miliar, atau sekitar SEK 80.000 per penduduk. Depresiasi fasilitas lebih cepat daripada tingkat penggantiannya, menyebabkan tarif air limbah saat ini belum menutupi biaya sesungguhnya, dan akan perlu dua kali lipat dalam 20 tahun ke depan.
Metode Penelitian dan Studi Kasus
Studi ini menggunakan desain studi kasus ganda (multiple-case study) terhadap 11 organisasi WW dari berbagai skala kota di Swedia (grup B dan C), termasuk Arvika, Växjö, dan Umeå. Penelitian mencakup analisis dokumen evaluasi SI tahunan dan wawancara mendalam dengan manajer strategi dari 9 organisasi.
Hasil Kunci dari Sustainability Index (SI)
Empat organisasi – Arvika, Ljungby, Ängelholm, dan Umeå – mendapatkan nilai SI hijau dengan nilai bobot 1,4–2. Sebaliknya, mayoritas organisasi nasional mendapat nilai merah. Parameter SI meliputi:
Strategi Sukses yang Diadopsi
Tantangan Implementasi
Perhitungan Kebutuhan Investasi dan Laju Pembaruan
Arvika dan Ronneby termasuk pengecualian: meskipun kota kecil, keduanya mencapai laju pembaruan 1% per tahun. Hal ini menantang asumsi sebelumnya bahwa kota kecil memiliki kapasitas lebih rendah.
Rekomendasi Praktis dari Studi
Kesimpulan
Studi ini menekankan bahwa keberhasilan peningkatan infrastruktur air limbah tidak bergantung pada besar kecilnya kota, melainkan pada komitmen strategis, efisiensi perencanaan, dan kekuatan organisasi internal. Swedia memberikan contoh kuat bagaimana pengelolaan fasilitas air limbah dapat dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan dengan kolaborasi antara teknokrasi, kebijakan publik, dan masyarakat lokal.
Sumber:
Najar, N., & Persson, K. M. (2023). Status improvement in water and wastewater fixed facilities: Success and challenges of 11 Swedish water utilities as case studies. Water Policy, 25(7), 656–672.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pengantar
Krisis akses air dan sanitasi masih menjadi tantangan global, terutama di negara berkembang. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) melalui Checklist for Public Action (2009) mengajukan panduan strategis bagi pemerintah dalam melibatkan sektor swasta dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur air. Dokumen ini menjadi respons atas kegagalan sebagian besar skema kemitraan publik-swasta (KPS) sebelumnya dalam memenuhi ekspektasi investasi dan pelayanan.
Latar Belakang dan Urgensi
Dalam 20 tahun terakhir, banyak negara mencoba menarik investasi swasta untuk memperluas layanan air dan sanitasi. Target MDGs misalnya, membutuhkan investasi USD 72 miliar per tahun. Namun, hasilnya tidak selalu sesuai harapan. Penyebab utama adalah minimnya pemahaman atas risiko bisnis sektor air serta lemahnya kerangka kelembagaan dan regulasi.
Karakteristik Sektor Air
Sektor air memiliki karakter yang membuatnya unik dan menantang:
Bentuk Keterlibatan Swasta dan Risiko yang Terkait
OECD menyusun berbagai bentuk keterlibatan, dari kontrak layanan, manajemen, affermage/lease, konsesi, hingga BOT dan divestasi. Setiap bentuk memiliki implikasi alokasi risiko berbeda.
Contoh Kontrak:
Studi Bank Dunia (2009) menunjukkan:
Checklist OECD: Lima Pilar Aksi Publik
Risiko Khas dan Strategi Mitigasi
OECD mengidentifikasi risiko utama:
Contoh Penanganan Sengketa:
Inovasi dan Transformasi Lanskap Swasta
Saat ini, partisipasi swasta tidak hanya datang dari perusahaan multinasional. Ada:
Kasus Nyata:
Rekomendasi Umum OECD
Kesimpulan
Checklist OECD menjadi alat penting untuk mendorong keterlibatan swasta dalam infrastruktur air yang adil dan berkelanjutan. Fokusnya bukan pada privatisasi, tetapi pada kemitraan berbasis tata kelola yang sehat, pembagian risiko yang adil, dan tanggung jawab sosial. Di tengah tantangan pembiayaan dan perubahan iklim, pendekatan ini menjadi jalan tengah yang praktis dan realistis untuk meningkatkan akses air dan sanitasi di negara berkembang.
Sumber: OECD. (2009). Private Sector Participation in Water Infrastructure: OECD Checklist for Public Action. Organisation for Economic Co-operation and Development.
Kebijakan Infrastruktur Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pengantar
Krisis iklim global bukan lagi isu masa depan, melainkan tantangan yang nyata hari ini. Banjir besar, gelombang panas, dan kekeringan ekstrem telah memicu kerusakan parah pada infrastruktur vital di seluruh dunia. Laporan OECD (2024), Infrastructure for a Climate-Resilient Future, menegaskan bahwa hanya dengan mengarusutamakan ketahanan iklim dalam siklus hidup infrastruktur, dunia dapat menghindari kerugian sosial dan ekonomi yang masif.
Mengapa Infrastruktur Harus Tahan Iklim?
Infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, pembangkit listrik, dan jaringan air menjadi tulang punggung ekonomi dan layanan publik. Namun, mereka juga rentan terhadap gangguan iklim, dari banjir yang menghancurkan jembatan hingga kekeringan yang melumpuhkan PLTA. OECD mencatat bahwa setiap dolar yang diinvestasikan dalam infrastruktur tangguh iklim menghasilkan manfaat empat kali lipat, termasuk menekan biaya perbaikan, meningkatkan ketahanan layanan, dan memperpanjang umur aset.
Kerugian Nyata Akibat Bencana Iklim
Contoh konkret:
Langkah Menuju Infrastruktur Tangguh Iklim
OECD menawarkan empat tahapan utama:
Langkah ini memerlukan data spasial terperinci, koordinasi lintas sektor, dan pendekatan adaptif berbasis skenario.
Kesenjangan Finansial dan Peluang Ekonomi
OECD memperkirakan dunia perlu menginvestasikan USD 6,9 triliun per tahun hingga 2030 agar infrastruktur mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Paris Agreement. Namun, arus pembiayaan masih kurang, terutama di negara berkembang. OECD merekomendasikan:
Nature-Based Solutions (NbS) sebagai Solusi Efisien
NbS seperti restorasi hutan, pemulihan lahan basah, dan pembangunan terumbu tiruan terbukti efisien dalam:
Namun, NbS memerlukan dukungan regulasi dan pelatihan teknis agar setara dengan solusi abu-abu (grey infrastructure).
Kasus Filipina: Integrasi Ketahanan dalam Perencanaan Nasional
Dalam Philippine Development Plan 2023–28, pemerintah mengintegrasikan ketahanan iklim sebagai bagian dari prioritas pembangunan dan infrastruktur. Dengan dukungan OECD, strategi ini menjadi contoh bagaimana perencanaan nasional dapat memperkuat ketahanan proyek lokal.
Risiko Tertunda: Biaya Menunda Adaptasi
Menunda aksi ketahanan berarti memperbesar biaya jangka panjang:
Peran Pemerintah Daerah dan Kota
Subnasional government bertanggung jawab atas 69% dari investasi publik terkait iklim di negara OECD. Mereka berperan penting dalam:
Sinergi Global: Kolaborasi Internasional untuk Negara Berkembang
Untuk negara berkembang, OECD menekankan:
Kesimpulan
Membangun infrastruktur tangguh iklim bukan sekadar proyek teknis, melainkan investasi sosial, ekonomi, dan ekologis jangka panjang. OECD menegaskan bahwa resiliensi harus menjadi standar baru dalam semua tahapan pembangunan infrastruktur, mulai dari desain hingga pembiayaan. Tanpa itu, dunia akan terus terjebak dalam siklus kerusakan dan biaya tinggi.
Sumber: OECD. (2024). Infrastructure for a Climate-Resilient Future. OECD Publishing, Paris.