Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 Oktober 2025
Untuk memahami terobosan yang ditawarkan, kita harus terlebih dahulu melihat masalah mendasar dari sistem yang ada. Proyek pemeliharaan jalan nasional di Indonesia umumnya dijalankan melalui dua metode konvensional: sistem swakelola (in-house) untuk pekerjaan rutin dan kontrak Design-Bid-Build (DBB) untuk perbaikan besar seperti rehabilitasi.1 Keduanya berada di bawah payung yang disebut "pendekatan kontrak tradisional".
Sistem ini memiliki beberapa ciri khas yang secara inheren tidak efisien. Pertama, kontrak ini bersifat preskriptif, artinya pemerintah mendikte secara detail apa yang harus dikerjakan oleh kontraktor, mulai dari jenis material hingga ketebalan aspal. Kedua, pendanaannya berbasis siklus anggaran tahunan tunggal (single year), yang membatasi perencanaan jangka panjang. Ketiga, masa garansi pemeliharaannya sangat singkat. Akibatnya, fokus utama kontraktor adalah menyelesaikan pekerjaan sesuai spesifikasi dalam satu tahun anggaran, tanpa insentif kuat untuk memikirkan daya tahan jalan di tahun-tahun berikutnya.1
Namun, kelemahan paling fatal terletak pada filosofi dasarnya: pendekatan ini bersifat korektif. Artinya, tindakan baru diambil setelah kerusakan terjadi. Jalan dibiarkan retak, berlubang, kemudian anggaran dialokasikan untuk menambalnya. Model ini lebih mementingkan proses pelaksanaan daripada hasil akhir jangka panjang.2 Hal ini menciptakan sebuah lingkaran setan yang merugikan. Karena fokusnya hanya pada perbaikan jangka pendek, kualitas jalan yang dihasilkan seringkali tidak memadai dan cepat rusak kembali. Akibatnya, setiap tahun anggaran negara terkunci dalam siklus "gali lubang, tutup lubang" yang tidak pernah berakhir, membiayai perbaikan atas kerusakan yang seharusnya bisa dicegah. Ini bukan sekadar strategi pemeliharaan yang kurang optimal; ini adalah sebuah jebakan fiskal sistemik yang membuat anggaran infrastruktur negara tidak efisien.1
Revolusi Kontrak Berbasis Kinerja (PBC): Menyelaraskan Laba Swasta dengan Kepentingan Publik
Di tengah kebuntuan model tradisional, Kontrak Berbasis Kinerja (PBC) hadir sebagai sebuah revolusi. Alih-alih membayar kontraktor berdasarkan input (jumlah aspal yang dihamparkan atau jumlah lubang yang ditambal), pemerintah membayar berdasarkan output atau outcome: yaitu, kondisi jalan yang terjamin kualitasnya selama periode waktu yang panjang.1
Karakteristik PBC secara fundamental mengubah DNA dari sebuah proyek infrastruktur:
Inovasi inti dari PBC sebenarnya terletak pada realokasi risiko yang cerdas. Dalam kontrak tradisional, risiko kerusakan dini jalan ditanggung oleh pemerintah (dan pada akhirnya, oleh pembayar pajak). Jika jalan rusak setahun setelah diperbaiki, pemerintah harus mengeluarkan anggaran baru untuk memperbaikinya lagi. PBC membalik logika ini dengan mentransfer risiko kinerja jangka panjang kepada kontraktor.5
Konsekuensinya sangat kuat. Karena keuntungan jangka panjang mereka kini bergantung pada daya tahan pekerjaan awal mereka, kontraktor memiliki insentif finansial yang sangat besar untuk menggunakan material terbaik, teknik paling inovatif, dan jadwal pemeliharaan paling efisien. Mereka termotivasi untuk membangun jalan yang lebih awet demi menekan biaya perbaikan mereka sendiri di masa depan. Dengan demikian, kepentingan finansial kontraktor menjadi selaras sempurna dengan kepentingan publik untuk memiliki jalan berkualitas tinggi dan tahan lama.
Kerangka Analisis: Mengukur Biaya Jangka Panjang dengan Lensa Ilmiah
Untuk membuktikan klaim efisiensi PBC, para peneliti tidak hanya membandingkan biaya proyek dari tahun ke tahun. Mereka menggunakan metodologi yang jauh lebih komprehensif yang disebut Life Cycle Cost (LCC) atau Analisis Biaya Siklus Hidup.1 Pendekatan ini adalah sebuah pilihan strategis yang krusial. Dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan selama 10 tahun masa layan jalan, LCC secara inheren mengungkap biaya tersembunyi dari pemikiran jangka pendek yang menjadi ciri khas kontrak tradisional.
Analisis ini ibarat menggunakan teleskop, bukan kaca pembesar. Alih-alih hanya melihat biaya penambalan lubang tahun ini, LCC memperhitungkan total biaya—termasuk perbaikan berulang, rehabilitasi besar, dan biaya administrasi—selama satu dekade penuh. Kerangka waktu 10 tahun ini dipilih karena sesuai dengan umur desain perkerasan lentur di Indonesia, memastikan perbandingan yang adil dan relevan.1
Untuk menjaga objektivitas, penelitian ini menetapkan indikator kinerja yang jelas, yaitu International Roughness Index (IRI), sebuah ukuran standar global untuk kerataan permukaan jalan. Dalam studi kasus proyek percontohan PBC di ruas Ciasem-Pamanukan, Jawa Barat, kontraktor diwajibkan menjaga kondisi jalan pada level kinerja m/km.1 Sebagai gambaran, kondisi jalan didefinisikan berdasarkan rentang nilai IRI: "Baik" jika IRI di bawah 3.5, "Sedang" antara 3.5 hingga 6, "Rusak Ringan" antara 6 hingga 8, dan "Rusak Berat" jika di atas 8.1
Kekuatan analisis ini terletak pada simulasinya yang masif. Para peneliti menguji 48 skenario berbeda untuk membandingkan kedua jenis kontrak. Mereka memvariasikan tiga faktor kunci:
Semua biaya masa depan kemudian dihitung nilai kininya menggunakan tingkat diskonto sebesar 7.97%, memastikan bahwa satu rupiah yang dikeluarkan sepuluh tahun dari sekarang diperhitungkan secara adil terhadap satu rupiah yang dikeluarkan hari ini.1 Metodologi yang ketat ini memberikan landasan ilmiah yang kokoh bagi temuan penelitian.
Temuan Definitif: Angka-Angka di Balik Revolusi Kontrak Jalan
Setelah menjalankan puluhan simulasi, data yang dihasilkan memberikan bukti yang meyakinkan. Temuan ini bukan lagi soal teori, melainkan angka konkret yang menunjukkan superioritas model PBC dalam konteks jalan nasional Indonesia yang padat lalu lintas.
Efisiensi Anggaran yang Signifikan
Temuan utamanya sangat mengejutkan: secara keseluruhan, penerapan Kontrak Berbasis Kinerja (PBC) berpotensi menghasilkan efisiensi Biaya Siklus Hidup (LCC) sebesar 9.4% dibandingkan dengan pendekatan tradisional.1 Penghematan hampir 10% pada proyek infrastruktur bernilai triliunan rupiah adalah angka yang luar biasa. Ini berarti, dari setiap 100 triliun rupiah yang dialokasikan untuk pemeliharaan jalan dengan cara lama, negara bisa menghemat 9.4 triliun rupiah hanya dengan mengubah model kontraknya—dana yang bisa dialihkan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur lainnya.
Semakin Panjang Kontrak, Semakin Besar Penghematan
Intuisi bahwa kontrak jangka panjang lebih efisien terbukti benar. Analisis menunjukkan bahwa kontrak PBC berdurasi 10 tahun 2.5% lebih efisien dari sisi LCC dibandingkan kontrak yang lebih pendek.1 Mengapa? Karena kontrak multi-tahun secara drastis mengurangi biaya administrasi dan birokrasi. Pemerintah tidak perlu lagi melakukan proses lelang yang rumit dan mahal setiap tahun untuk ruas jalan yang sama. Efisiensi ini ibarat membeli tiket langganan transportasi umum untuk setahun penuh—jauh lebih murah dan praktis daripada membeli tiket harian.
Kekuatan Skala Ekonomi
Prinsip "semakin besar, semakin efisien" juga berlaku. Studi ini menemukan bahwa seiring bertambahnya panjang ruas jalan yang dikontrakkan, biaya per kilometernya menurun sebesar 1.9%.1 Ini adalah manifestasi dari skala ekonomi: kontraktor dapat mengoptimalkan penggunaan alat berat, tenaga kerja, dan material di area yang lebih luas, sehingga menekan biaya satuan. Temuan ini sejalan dengan praktik terbaik internasional yang mendorong penggabungan paket-paket pekerjaan untuk mencapai efisiensi maksimal.6
Prinsip "Memulai dengan Baik"
Kondisi awal jalan ternyata menjadi faktor penentu yang sangat krusial. Rata-rata, untuk kondisi jalan yang sama, PBC 6.4% lebih hemat biaya dalam jangka panjang dibandingkan kontrak tradisional.1 Namun, efisiensi tertinggi dicapai ketika PBC diterapkan pada jalan yang kondisi awalnya sudah "Baik". Ini logis, karena kontraktor tidak perlu mengeluarkan biaya rehabilitasi awal yang masif. Sebaliknya, menerapkan PBC pada jalan yang sudah rusak berat akan membutuhkan investasi awal yang sangat tinggi untuk mencapai standar kinerja yang disyaratkan.
Temuan-temuan ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling memperkuat, menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "lingkaran kebajikan" atau virtuous cycle. Manfaat ekonomi terbesar akan terbuka ketika semua faktor positif ini digabungkan. Bayangkan sebuah kontrak PBC berdurasi 10 tahun untuk jaringan jalan sepanjang 273 km yang kondisi awalnya baik. Efisiensi yang dihasilkan akan jauh melampaui penjumlahan angka-angka di atas. Ini memberikan sebuah cetak biru strategis yang jelas bagi pemerintah: mulailah program PBC nasional dengan memprioritaskan aset-aset jalan terbaik dan terpanjang untuk memaksimalkan pengembalian investasi awal, membangun kapasitas pasar, dan menciptakan momentum politik untuk adopsi yang lebih luas.
Dari Kelayakan ke Strategi: Metrik Efektivitas sebagai Alat Pengambil Keputusan
Penelitian ini tidak berhenti pada kesimpulan akademis. Para peneliti menerjemahkan temuan mereka menjadi sebuah alat praktis yang dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan. Mereka memperkenalkan metrik "Efektivitas PBC", yang dihitung sebagai rasio LCC proyek tradisional dibagi dengan LCC proyek PBC untuk skenario yang sama.1
Aturan mainnya sederhana: jika rasio ini lebih besar dari 1, artinya dalam jangka panjang, PBC lebih murah dan layak untuk diterapkan.1 Metrik ini adalah alat yang sangat kuat. Dalam lingkungan politik yang seringkali didorong oleh siklus anggaran jangka pendek, metrik ini memberikan justifikasi objektif dan kuantitatif untuk komitmen multi-tahun.
Sebagai contoh, biaya awal sebuah proyek PBC mungkin terlihat lebih tinggi daripada kontrak tradisional satu tahun karena mencakup pekerjaan perbaikan awal untuk memenuhi standar kinerja. Hal ini bisa membuatnya sulit diterima secara politik. Namun, dengan menunjukkan bahwa Rasio Efektivitasnya di atas 1, para teknokrat dan pembuat kebijakan dapat membuktikan secara data bahwa investasi awal yang lebih tinggi ini akan menghasilkan penghematan yang jauh lebih besar dalam satu dekade ke depan. Alat ini secara efektif menggeser perdebatan dari, "Apa opsi termurah untuk anggaran tahun ini?" menjadi, "Apa investasi jangka panjang yang paling bernilai bagi bangsa?". Ini adalah langkah penting untuk mendepolitisasi keputusan investasi infrastruktur dan menempatkannya pada landasan data dan efektivitas jangka panjang.
Perspektif Kritis: Mengakui Keterbatasan dan Tantangan Dunia Nyata
Untuk menjaga kredibilitas, penting untuk melihat temuan ini dengan kacamata kritis. Studi ini sendiri mengakui beberapa keterbatasan, seperti penggunaan pendekatan LCC deterministik yang tidak memperhitungkan ketidakpastian, serta pengecualian beberapa variabel penting seperti kondisi struktural jalan dan, yang paling krusial, beban berlebih kendaraan (overloading).1
Faktor overloading ini adalah "gajah di dalam ruangan" untuk infrastruktur jalan Indonesia. Berbagai laporan dan studi lain mengonfirmasi bahwa truk dengan muatan berlebih adalah masalah endemik, terutama di jalur padat seperti Pantura, yang dapat menyebabkan kerusakan jalan jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.7 Ini adalah risiko eksternal yang sangat sulit dikendalikan oleh kontraktor dan dapat membuat model finansial PBC menjadi tidak valid.
Tantangan dunia nyata tidak berhenti di situ. Implementasi PBC di Indonesia menghadapi beberapa kendala serius lainnya:
Kesimpulan optimis dari penelitian ini, meskipun valid dalam model terkontrolnya, harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Keberhasilan PBC bukanlah sekadar reformasi pengadaan; ia bergantung pada agenda reformasi tata kelola yang jauh lebih besar dan lebih sulit. Tanpa penegakan hukum yang serius terhadap overloading, tanpa kerangka hukum yang jelas, dan tanpa strategi untuk membangun kapasitas pasar, model PBC yang menjanjikan ini berisiko gagal. Mengadopsi model kontrak baru tanpa memperbaiki masalah tata kelola di sekitarnya sama saja dengan menanam benih unggul di tanah yang tidak subur.
Rekomendasi Strategis dan Dampak Masa Depan
Meskipun tantangan yang ada nyata, bukti dari penelitian ini terlalu kuat untuk diabaikan. Temuan ini menyerukan adopsi PBC secara strategis dan bertahap di tingkat nasional. Ini bukan lagi pertanyaan "apakah" PBC harus diterapkan, tetapi "bagaimana" menerapkannya dengan cerdas.
Sebuah strategi tiga cabang dapat menjadi panduan:
Jika diterapkan dengan benar, dampak dari pergeseran ke Kontrak Berbasis Kinerja akan jauh melampaui sekadar penghematan anggaran. Ini adalah langkah fundamental menuju modernisasi manajemen infrastruktur Indonesia. Jalan yang lebih baik dan lebih andal akan secara langsung meningkatkan daya saing ekonomi dengan melancarkan arus logistik. Ini akan memastikan bahwa investasi publik yang masif dalam infrastruktur benar-benar berkelanjutan dan memberikan nilai maksimal bagi masyarakat untuk dekade-dekade mendatang, selaras dengan visi pembangunan jangka panjang Indonesia.12 Revolusi aspal ini mungkin baru saja dimulai, tetapi potensinya untuk mengubah wajah infrastruktur Indonesia sangatlah nyata.
Sumber Artikel:
Susanti, B., Wirahadikusumah, R. D., Soemardi, B. W., & Sutrisno, M. (2019). Life cycle cost comparison between performance based and traditional contracts for roads in Indonesia. IIUM Engineering Journal, 20(2), 57-69.
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 Oktober 2025
Setiap pagi, ribuan warga Kota Malang memulai rutinitas mereka di atas aspal. Perjalanan ke kantor, mengantar anak sekolah, atau sekadar mobilitas barang dan jasa, semuanya bergantung pada jaringan arteri vital yang kita sebut jalan. Namun, bagi mereka yang setiap hari melintasi Kecamatan Lowokwaru, khususnya di ruas Jalan Candi Panggung, Candi Panggung Barat, dan Saxsofone, perjalanan itu sering kali diwarnai oleh guncangan kecil, manuver tiba-tiba untuk menghindari lubang, dan rasa frustrasi yang menumpuk perlahan. Keluhan ini bukan sekadar ketidaknyamanan sesaat; ia adalah gejala dari masalah struktural yang lebih dalam.1
Jalan-jalan ini, yang diklasifikasikan sebagai jalan kelas III C dengan volume kendaraan yang cukup padat, telah lama menderita berbagai jenis kerusakan, dari yang ringan hingga yang mengancam keselamatan.1 Kerusakan ini bukan hanya noda visual pada wajah kota, tetapi juga penghambat efisiensi, pengikis kenyamanan, dan ancaman nyata bagi keamanan pengendara.1 Menyadari bahwa solusi tambal sulam biasa tidak akan cukup, sebuah tim peneliti dari Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, dipimpin oleh Hanan Maulana Fikri, Ir. Eding Iskak Imananto, MT, dan Annur Ma'ruf, ST.MT, melakukan sebuah investigasi mendalam. Misi mereka jelas: mengganti metode "harga taksiran" yang sering kali tidak akurat dengan pendekatan empiris yang kokoh untuk mendiagnosis kondisi jalan dan merumuskan resep perbaikan yang paling efektif dan efisien.1 Ini adalah kisah tentang bagaimana sains rekayasa sipil membongkar masalah sehari-hari dan menawarkan solusi berbasis data.
Menguak Misteri di Balik Aspal: Sains di Balik Diagnosis Kerusakan Jalan
Bagaimana para insinyur "berbicara" dengan aspal untuk memahami kondisinya? Jawabannya terletak pada sebuah proses metodis yang bisa diibaratkan sebagai medical check-up lengkap untuk infrastruktur. Tim peneliti tidak hanya melihat permukaan jalan; mereka melakukan diagnosis komprehensif menggunakan Metode Bina Marga, sebuah pedoman standar nasional yang mengubah observasi visual menjadi data kuantitatif yang solid.1
Proses ini dimulai dengan survei lapangan yang teliti, di mana setiap jengkal jalan diperiksa untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan setiap cacat. Kerusakan perkerasan lentur, menurut manual, secara umum terbagi menjadi empat modus utama: retak (cracking), perubahan bentuk (distorsi atau deformasi), cacat permukaan, dan pengausan.1 Para peneliti bertindak layaknya dokter forensik, membaca "bahasa" kerusakan aspal. Misalnya, "Retak Buaya," yang polanya menyerupai kulit buaya, menandakan kelelahan struktural yang parah hingga ke lapisan fondasi. Sementara "Retak Memanjang" dan "Retak Melintang" menceritakan kisah berbeda tentang jenis tegangan yang dialami jalan dari waktu ke waktu.1
Setiap jenis kerusakan ini kemudian diberi skor. Lebar retakan, kedalaman alur, dan luas area yang terdampak semuanya diukur dan diberi nilai angka kerusakan. Sebagai contoh, retak buaya dengan lebar lebih dari 2 mm akan mendapat skor 5, sementara retak yang lebih halus di bawah 1 mm hanya mendapat skor 3.1 Akumulasi dari semua skor ini akan menghasilkan sebuah "Nilai Kondisi Jalan" akhir, sebuah rapor objektif yang menunjukkan seberapa sehat atau sakitnya sebuah ruas jalan.1
Namun, diagnosis tidak berhenti di situ. Untuk memahami kekuatan struktural yang tak terlihat, para peneliti menggunakan alat bernama Benkelman Beam. Alat ini bisa dianggap sebagai "stetoskop" untuk jalan. Cara kerjanya adalah dengan mengukur seberapa besar jalan melendut atau "membal" di bawah tekanan beban gandar standar.1 Lendutan balik ini, yang diukur dalam milimeter, merupakan indikator langsung dari kekuatan perkerasan. Jalan yang sehat dan kokoh akan memiliki lendutan yang sangat kecil, sementara jalan yang lemah dan rapuh akan melendut lebih banyak. Pengukuran ini sangat krusial karena menjadi dasar perhitungan ketebalan lapisan perbaikan yang dibutuhkan nanti.
Diagnosis holistik ini juga mempertimbangkan dua variabel kritis lainnya. Pertama adalah Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR), yang mengukur beban harian yang ditanggung jalan. Data volume kendaraan, dari sepeda motor hingga bus besar, dikonversi menjadi satu unit standar untuk memahami tingkat stres total pada infrastruktur.1 Kedua adalah temperatur, karena suhu udara sangat memengaruhi fleksibilitas aspal. Pengukuran lendutan selalu dikoreksi terhadap temperatur standar () untuk memastikan hasil yang akurat dan konsisten, tidak peduli kapan pengujian dilakukan.1 Kombinasi dari analisis kerusakan visual, pengukuran kekuatan struktural, dan data lalu lintas inilah yang membentuk dasar dari sebuah rekomendasi perbaikan yang benar-benar berbasis sains.
Hasil Investigasi: Rapor Kesehatan Tiga Jalan Utama di Malang
Setelah proses diagnosis yang cermat, tim peneliti merilis "rapor kesehatan" untuk ketiga ruas jalan tersebut. Hasilnya memberikan gambaran yang jelas tentang kondisi infrastruktur vital di Kecamatan Lowokwaru. Jalan Candi Panggung Barat memperoleh nilai kondisi jalan tertinggi sebesar 6,6, diikuti oleh Jalan Saxsofone dengan nilai 5,9, dan Jalan Candi Panggung dengan nilai terendah 5,4.1 Jika diibaratkan nilai sekolah, tidak ada yang benar-benar "gagal", namun ketiganya mendapatkan nilai yang cukup mengkhawatirkan dan menandakan perlunya intervensi serius.
Beban yang mereka tanggung pun tidak main-main. Analisis Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) menunjukkan bahwa ketiga ruas jalan tersebut masuk dalam kategori "Kelas Lalu Lintas 6".1 Ini adalah klasifikasi untuk lalu lintas padat, mengonfirmasi bahwa jalan-jalan ini adalah arteri sibuk yang setiap hari menopang pergerakan puluhan ribu kendaraan, mulai dari sepeda motor yang berjumlah lebih dari 23.000 per hari hingga kendaraan berat.1 Beban konstan inilah yang menjadi salah satu faktor utama percepatan kerusakan.
Melihat lebih dalam pada profil kerusakan setiap jalan, kita menemukan cerita yang unik:
Dengan data ini, para peneliti menghitung "Urutan Prioritas" (UP) menggunakan rumus: .1 Hasilnya, Jalan Candi Panggung mendapat skor UP 5,75, Jalan Saxsofone 5,07, dan Jalan Candi Panggung Barat 4,71.1 Menurut pedoman Bina Marga, semua nilai yang berada di rentang 4-6 masuk dalam kategori program "Pemeliharaan Berkala".1 Artinya, kondisi mereka sudah melewati tahap di mana penambalan rutin cukup, tetapi belum separah itu hingga memerlukan pembangunan ulang total. Diagnosisnya jelas: ketiganya memerlukan intervensi struktural yang signifikan.
Resep Insinyur: Mengapa Lapisan Aspal 5 Sentimeter Adalah Kuncinya?
Berdasarkan diagnosis "Pemeliharaan Berkala", resep yang direkomendasikan oleh para insinyur adalah penerapan lapisan aspal baru, atau yang secara teknis disebut overlay. Ini bukan sekadar lapisan kosmetik untuk membuat jalan terlihat baru; ini adalah penambahan struktural yang dirancang untuk mengembalikan kekuatan jalan dan memperpanjang umurnya secara signifikan.1
Pertanyaan krusialnya adalah, mengapa tebalnya harus tepat 5 sentimeter? Angka ini bukanlah hasil tebakan atau perkiraan, melainkan hasil dari perhitungan rekayasa yang presisi menggunakan metode Pd-T-05-2005-B.1 Prosesnya dapat dianalogikan seperti dokter yang menghitung dosis obat yang tepat untuk pasien.
Pertama, para insinyur mengukur "kekuatan aktual" jalan saat ini, yang diwakili oleh nilai lendutan dari tes Benkelman Beam (). Ini adalah titik awal kondisi pasien. Kedua, mereka menghitung "kekuatan ideal" yang seharusnya dimiliki jalan () agar mampu menahan akumulasi beban lalu lintas di masa depan selama umur rencana yang ditetapkan. Perhitungan ini mempertimbangkan proyeksi jumlah kendaraan di tahun-tahun mendatang. Ketebalan overlay sebesar 5 cm adalah hasil perhitungan eksak yang dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan antara kondisi lemah saat ini dan kondisi kuat yang ditargetkan.1
Namun, sebuah temuan menarik sekaligus memicu diskusi adalah bahwa ketiga jalan tersebut, meskipun memiliki nilai kondisi dan profil kerusakan yang berbeda, semuanya mendapatkan resep yang sama: overlay setebal 5 cm.1 Di sinilah kita bisa melihat sisi positif sekaligus potensi kritik dari pendekatan ini.
Investasi Miliaran Rupiah: Harga untuk Jalanan yang Aman dan Lancar
Menerapkan solusi rekayasa canggih tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Total biaya yang dianggarkan untuk perbaikan ketiga ruas jalan ini mencapai lebih dari 3,1 miliar Rupiah. Rinciannya adalah Rp 870.950.000 untuk Jalan Candi Panggung, Rp 765.630.000 untuk Jalan Candi Panggung Barat, dan Rp 1.554.400.000 untuk Jalan Saxsofone.1 Angka-angka fantastis ini bukan muncul begitu saja, melainkan dihitung secara cermat berdasarkan Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) yang ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum.1
Biaya ini mencakup semua komponen, mulai dari biaya langsung seperti material aspal, upah tenaga kerja, dan sewa alat berat, hingga biaya tidak langsung seperti manajemen proyek dan administrasi. Transparansi dalam perhitungan biaya ini menunjukkan pergeseran penting menuju akuntabilitas dalam penggunaan dana publik. Warga dapat melihat bahwa anggaran yang dikeluarkan didasarkan pada kebutuhan teknis yang objektif, bukan sekadar keputusan politis.
Untuk memahami skala investasi ini, mari kita lihat lebih dekat. Biaya perbaikan Jalan Saxsofone yang mencapai lebih dari 1,5 miliar Rupiah memang terdengar besar. Namun, jika kita membaginya dengan panjang total jalan yaitu 1.378 meter, maka investasi per meternya adalah sekitar 1,1 juta Rupiah.1 Inilah harga riil untuk memastikan permukaan jalan yang aman, nyaman, dan tahan lama bagi ribuan pengguna setiap harinya. Perbedaan biaya antar ruas jalan pun sangat logis, di mana Jalan Saxsofone yang terpanjang secara alami membutuhkan anggaran terbesar.
Pada akhirnya, investasi miliaran rupiah ini harus dilihat sebagai langkah preventif untuk menghindari biaya yang jauh lebih besar di masa depan. Membiarkan jalan-jalan ini terus rusak hanya akan berujung pada kegagalan total struktur, yang akan memerlukan rekonstruksi penuh dengan biaya yang bisa berkali-kali lipat lebih mahal dan gangguan lalu lintas yang jauh lebih parah. Ini adalah investasi untuk keselamatan publik, efisiensi ekonomi, dan kualitas hidup warga kota. Jalan yang mulus tidak hanya mengurangi risiko kecelakaan, terutama bagi pengendara sepeda motor, tetapi juga mengurangi biaya perawatan kendaraan bagi warga dan memastikan kelancaran arus barang yang menjadi denyut nadi perekonomian lokal.
Kesimpulan: Dampak Nyata dari Perencanaan Berbasis Data
Perjalanan dari keluhan warga tentang jalan bergelombang hingga preskripsi overlay setebal 5 cm yang didukung data miliaran rupiah ini menggarisbawahi satu hal: kekuatan perencanaan berbasis data. Studi yang dilakukan di Malang ini adalah bukti nyata bagaimana pendekatan ilmiah dapat mengubah cara kita mengelola infrastruktur perkotaan. Ia memindahkan paradigma dari model reaktif yang hanya menambal lubang berdasarkan keluhan, ke model proaktif yang mendiagnosis kesehatan jalan secara sistematis dan melakukan intervensi tepat waktu.
Para peneliti di ITN Malang tidak hanya menyelesaikan masalah di tiga ruas jalan; mereka menyediakan sebuah cetak biru, sebuah model kerja yang dapat direplikasi di seluruh penjuru kota, bahkan di kota-kota lain di Indonesia yang menghadapi tantangan serupa. Ini adalah tentang membuat keputusan yang lebih cerdas, lebih efisien, dan lebih akuntabel dengan menggunakan sains dan data sebagai pemandu.
Jika diterapkan secara konsisten di seluruh jaringan jalan kota, pendekatan berbasis data ini bisa mengurangi biaya pemeliharaan jangka panjang secara signifikan. Dengan mengintervensi pada tahap 'pemeliharaan berkala' yang tepat, temuan ini bisa mencegah kerusakan yang lebih parah dan menghemat hingga miliaran rupiah dalam anggaran perbaikan jalan kota Malang dalam waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan, sekaligus meningkatkan kualitas hidup bagi jutaan warganya.
Sumber Artikel:
Fikri, H. M., Imananto, E. I., & Ma'ruf, A. (n.d.). Analisis pemeliharaan jalan dan perhitungan tebal lapis tambah (overlay) pada perkerasan lentur dengan menggunakan metode lendutan Bina Marga (Studi Kasus Jl. Candi Panggung, Jl. Candi Panggung Barat, Jl. Saxsofone). Progam Studi Teknik Sipil FTSP, ITN Malang.
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 09 September 2025
Design-Build: Evolusi Strategis dalam Dunia Infrastruktur AS
Selama lebih dari tiga dekade, badan transportasi di Amerika Serikat telah bereksperimen dengan berbagai metode pengadaan inovatif untuk menjawab tekanan biaya, waktu, dan kualitas proyek jalan raya. Salah satu pendekatan paling menonjol adalah design-build (D-B), sebuah metode yang menggabungkan desain dan konstruksi dalam satu kontrak. Ini berbeda dari metode tradisional design-bid-build (D-B-B) yang memisahkan keduanya.
Laporan ini disusun sebagai kewajiban legislatif di bawah TEA-21 (Transportation Equity Act for the 21st Century), khususnya Pasal 1307(f), untuk mengevaluasi efektivitas metode D-B. Hasil studi ini menjadi penentu utama bagi masa depan penggunaan D-B secara luas dalam proyek infrastruktur AS, khususnya di bawah skema SEP-14.
Fokus dan Ruang Lingkup Studi
Tujuan Studi
Menilai pengaruh D-B terhadap kualitas, biaya, dan waktu proyek.
Menentukan tingkat desain awal yang sesuai sebelum pelelangan D-B.
Menilai dampaknya terhadap pelaku usaha kecil.
Meneliti unsur subjektivitas dalam kontrak D-B.
Menyusun rekomendasi untuk penyempurnaan prosedur D-B.
Cakupan Studi
Proyek yang masuk dalam program SEP-14 (Special Experimental Project No. 14).
140 proyek D-B yang telah diselesaikan hingga akhir 2002.
Dibandingkan dengan 17 proyek D-B-B yang serupa untuk menilai kinerja.
Hasil Studi: D-B vs D-B-B, Siapa Lebih Unggul?
Dampak terhadap Durasi Proyek
Pengurangan durasi proyek secara rata-rata: 14%.
Untuk fase konstruksi saja, D-B menghemat waktu hingga 13% dibanding D-B-B.
Penyebabnya antara lain:
Proses desain dan konstruksi berlangsung paralel.
Eliminasi proses lelang kedua.
Desain yang lebih mudah dikonstruksi.
Contoh ilustratif:
Jika proyek jalan raya dengan pendekatan D-B-B membutuhkan waktu 24 bulan, pendekatan D-B dapat memangkas waktu menjadi sekitar 20,6 bulan.
Dampak terhadap Biaya Proyek
Secara umum, pengurangan biaya rata-rata: 2,6%, meski variasinya sangat besar.
Proyek D-B lebih sensitif terhadap modifikasi desain oleh pihak ketiga.
Jumlah change order lebih sedikit dibanding D-B-B, tetapi nilai per unitnya lebih tinggi karena ukuran proyek yang lebih besar.
Catatan:
Klaim proyek pada D-B hampir nol, sedangkan D-B-B cenderung menghasilkan lebih banyak klaim litigatif.
Dampak terhadap Kualitas Proyek
Tingkat kepuasan lembaga kontraktor D-B setara atau lebih tinggi dibanding D-B-B.
D-B lebih unggul dalam kepatuhan terhadap spesifikasi teknis dan standar mutu.
Kualitas proyek sangat bergantung pada:
Metode seleksi (best value > low bid),
Ukuran proyek (semakin besar, semakin cocok D-B),
Persentase desain awal (lebih rendah lebih baik untuk D-B).
Faktor Kunci Keberhasilan Proyek D-B
Tingkat Desain Awal (Preliminary Design)
Idealnya, desain awal yang selesai sebelum pelelangan D-B tidak melebihi 30%.
Hanya 27% desain yang selesai rata-rata sebelum kontrak D-B dibuat.
Alasannya? Semakin rendah persentase desain awal, semakin tinggi fleksibilitas dan kreativitas kontraktor dalam optimalisasi desain dan konstruksi.
Dampak pada Usaha Kecil
Tidak ditemukan bukti bahwa D-B mendiskriminasi pelaku usaha kecil.
Justru ada indikasi peningkatan partisipasi sebagai subkonsultan desain.
Namun, beban syarat kelayakan dan bonding sering menjadi penghalang untuk bertindak sebagai kontraktor utama.
Subjektivitas dalam Pemilihan Kontrak D-B
D-B memungkinkan seleksi berbasis best value, bukan hanya low bid.
Faktor-faktor yang dinilai mencakup:
Tim proyek,
Rencana manajemen mutu,
Pengalaman,
Inovasi desain.
Best value gaining popularity, karena lebih fleksibel dan mempertimbangkan kualitas dibanding hanya harga.
Rekomendasi FHWA untuk Masa Depan
Strategi Penerapan D-B yang Efektif
Gunakan kriteria performa, bukan spesifikasi teknis rigid.
Pertahankan desain awal <30% untuk memberi ruang inovasi.
Terapkan metode seleksi best value daripada lowest bid.
Sediakan pelatihan menyeluruh bagi kontraktor dan pengelola proyek.
Kembangkan dokumen panduan dan standar nasional (contoh: NCHRP).
Kritik & Implikasi Praktis
Kelebihan Studi:
Skala nasional, berbasis data proyek nyata.
Melibatkan lebih dari 60 proyek dan 30 negara bagian.
Memberikan peta jalan konkret untuk adopsi D-B.
Kekurangan:
Jumlah proyek D-B-B pembanding sangat terbatas.
Tidak menyertakan proyek pasca 2002, padahal tren D-B meningkat drastis setelahnya.
Belum menyentuh aspek keberlanjutan dan integrasi teknologi seperti BIM.
Penutup: Design-Build Sebagai Pilar Baru Infrastruktur Modern
Laporan ini memberikan dasar kuat bahwa metode design-build mampu menjadi tulang punggung pengadaan proyek jalan raya yang cepat, efisien, dan berkualitas di Amerika Serikat. Meski bukan tanpa tantangan, ketika dipilih dan dikelola secara bijak terutama untuk proyek bernilai besar dan kompleks, D-B memberikan keunggulan kompetitif nyata.
Sebagaimana diungkapkan oleh Florida DOT:
“Tanpa design-build, kami tidak akan mampu merespons tuntutan stimulus ekonomi Presiden dan Gubernur. Program ini sangat bermanfaat.”
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, di mana urgensi pembangunan infrastruktur begitu tinggi, temuan ini layak menjadi rujukan untuk mengadaptasi metode D-B pada tingkat nasional. Tentu, adopsi tersebut perlu dilengkapi dengan modifikasi kontekstual terhadap regulasi, sumber daya, dan kesiapan kelembagaan.
Sumber
Design-Build Effectiveness Study – As Required by TEA-21 Section 1307(f)
Federal Highway Administration (2006)
Tautan resmi: https://www.fhwa.dot.gov/programadmin/contracts/sep14a.htm
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025
Pengantar
Industri konstruksi jalan berada dalam pusaran kebutuhan inovasi berkelanjutan. Meskipun pembangunan infrastruktur jalan merupakan kebutuhan utama dalam kebijakan publik, proses adopsi teknologi di sektor ini kerap terhambat oleh kerangka regulasi, konservatisme desain, dan kurangnya insentif. Penelitian Jasper M. Caerteling secara komprehensif menyigi bagaimana pemerintah memainkan beragam peran dalam mendorong (atau justru menghambat) pengembangan teknologi baru dalam proyek infrastruktur jalan. Disertasi ini tidak hanya menganalisis teori, tetapi juga didukung oleh studi kasus dan survei skala besar.
Pergeseran Paradigma Pemerintah: Dari Manajer Proyek Menjadi Enabler Inovasi
Dalam beberapa dekade terakhir, terjadi pergeseran besar dalam peran pemerintah, terutama di negara-negara seperti Belanda dan Amerika Serikat. Pemerintah tidak lagi sekadar sebagai manajer proyek, tetapi sebagai arsitek ekosistem inovasi. Langkah strategis seperti integrasi desain dan konstruksi, outsourcing fungsi teknis, serta kontrak berbasis kinerja telah menciptakan ruang lebih besar bagi perusahaan konstruksi untuk bereksperimen dan berinovasi.
Contoh nyatanya adalah program Roads to the Future di Belanda dan Corporate Master Plan for Research and Deployment of Technology and Innovation oleh FHWA di AS. Program-program ini memungkinkan sektor swasta menguji solusi baru melalui proyek percontohan yang didukung pemerintah.
Ragam Peran Pemerintah dalam Proyek Teknologi Konstruksi
Caerteling mengidentifikasi bahwa pemerintah berperan tidak hanya sebagai pembeli dan pengatur, tetapi juga sebagai sponsor, penyusun sistem, dan pengampu perubahan. Dalam penelitian ini, peran pemerintah dibagi menjadi dua kelompok utama:
1. Supply-side policies:
2. Demand-side policies:
Namun, adanya kebijakan yang terpisah antara sisi permintaan dan penawaran sering kali menciptakan inkonsistensi. Misalnya, ketika pemerintah mempromosikan teknologi tertentu melalui program R&D, namun pengadaan publik tetap netral (technology-blind), maka pasar untuk teknologi baru tidak terbentuk dengan jelas.
Hasil Studi Kasus dan Survei: Dampak Strategis Pemerintah
Studi kualitatif dilakukan terhadap tiga perusahaan konstruksi jalan yang mengembangkan delapan proyek teknologi. Di samping itu, survei kuantitatif melibatkan perusahaan di sektor konstruksi, manufaktur, dan farmasi di AS untuk membandingkan ketergantungan terhadap peran pemerintah.
Temuan utama meliputi:
Kritik dan Tantangan Nyata di Lapangan
Salah satu kritik menarik dari penelitian ini adalah ketidakefisienan dalam penggunaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam proyek jalan. Posisi dominan pemerintah dan model tender kompetitif mengurangi nilai komersial dari paten karena tidak ada jaminan adopsi teknologi tersebut dalam proyek publik.
Selain itu, Caerteling menyoroti bahwa kebijakan subsidi untuk teknologi lama justru bisa menciptakan hambatan masuk bagi inovasi baru. Dengan kata lain, insentif pemerintah kadang mendukung status quo dan merugikan teknologi disruptif.
Nilai Tambah dan Relevansi Praktis
Disertasi ini memberikan kontribusi penting pada literatur dengan:
1. Model Konseptual Baru: Model dampak peran pemerintah terhadap performa proyek teknologi menunjukkan bahwa keberhasilan bukan hanya soal dana, tetapi juga konteks kebijakan dan struktur insentif.
2. Framework Strategi Bisnis: Analisis Caerteling membantu perusahaan memahami bagaimana menyelaraskan proyek R&D dengan strategi korporat dan tuntutan eksternal.
3. Pemahaman Baru tentang Infrastruktur Publik sebagai Sistem Teknis Besar: Pemerintah tidak sekadar pembeli, tetapi pencipta pasar untuk teknologi baru. Dalam sektor seperti energi atau telekomunikasi yang telah diprivatisasi, peran ini semakin berkurang. Namun di sektor jalan, pemerintah tetap menjadi sistem builder.
Studi Kasus Nyata dan Aplikasi Global
Contoh global dari peran aktif pemerintah dalam pengembangan teknologi jalan dapat dilihat di proyek SMART Motorways di Inggris yang mengandalkan teknologi pengaturan lalu lintas berbasis sensor dan AI. Di Jepang, ITS (Intelligent Transport Systems) menjadi prioritas nasional dalam strategi transportasi cerdas. Dalam konteks Indonesia, peluang ini terbuka lebar terutama dengan agenda transformasi digital dan proyek infrastruktur berskala besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN).
Rekomendasi Kebijakan dan Manajerial
Dari hasil penelitian, Caerteling menyarankan:
Kesimpulan
Disertasi ini memberikan gambaran tajam tentang bagaimana peran pemerintah sebagai pengatur, pembeli, dan fasilitator dapat mendorong—atau menghambat—adopsi teknologi di sektor konstruksi jalan. Bagi pemerintah, kunci keberhasilan bukan hanya pada alokasi anggaran, tetapi pada desain kebijakan yang terkoordinasi dan penciptaan iklim inovasi yang sehat. Sementara bagi pelaku industri, memahami dinamika ini menjadi keunggulan strategis dalam memenangkan proyek dan memimpin inovasi.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses melalui Delft University of Technology dengan judul lengkap “Technology Development in Road Construction: The Role of Government in Technology Development and Commercialization” oleh Jasper M. Caerteling. Link resmi: https://repository.tudelft.nl/islandora/object/uuid:1883a257-739e-4c7d-9e27-18334ed41862
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Anisa pada 21 Mei 2025
Sektor konstruksi jalan di Indonesia, yang merupakan urat nadi perekonomian dan konektivitas, terus bergerak maju dengan proyek-proyek ambisius. Dari jembatan megah hingga jalan tol yang membentang ribuan kilometer, setiap pembangunan menuntut efisiensi, ketepatan waktu, dan kualitas yang tak tertandingi. Dalam upaya mencapai standar ini, pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Bina Marga, semakin mengadopsi metode pengadaan Design-Build (DB). Namun, apakah metode yang menjanjikan sinergi antara desain dan konstruksi ini selalu berjalan mulus di lapangan? Sebuah tesis master yang disusun oleh Taurista Yuristanti dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada tahun 2020 menawarkan analisis mendalam tentang kinerja proyek DB di Direktorat Jenderal Bina Marga, khususnya pada proyek jalan. Studi ini bukan hanya menyajikan gambaran tentang tantangan yang dihadapi, tetapi juga memberikan rekomendasi konkret untuk peningkatan, menjadikannya bacaan esensial bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi di bidang infrastruktur.
Mengapa Design-Build Penting untuk Proyek Jalan?
Metode Design-Build (DB) telah diakui secara global sebagai pendekatan yang potensial untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko dalam proyek konstruksi. Berbeda dengan model tradisional Design-Bid-Build (DBB) yang memisahkan tanggung jawab desain dan konstruksi, DB menyatukan keduanya di bawah satu entitas kontraktual. Ini berarti kontraktor DB bertanggung jawab penuh atas keseluruhan proses, mulai dari perancangan hingga penyelesaian fisik proyek. Keunggulan utamanya adalah potensi untuk:
Sinergi Desain dan Konstruksi: Desainer dan kontraktor dapat berkolaborasi sejak awal, memungkinkan desain yang lebih "dapat dibangun" (constructible), mengurangi rework, dan mengidentifikasi potensi masalah lebih dini.
Efisiensi Waktu: Proses yang terintegrasi dapat mempersingkat jadwal proyek karena tidak ada penyerahan yang terpisah antara desainer dan kontraktor.
Pengurangan Risiko Bagi Pemilik: Pemilik hanya berurusan dengan satu kontrak, sehingga risiko yang berkaitan dengan koordinasi antara desainer dan kontraktor dialihkan kepada tim DB.
Potensi Inovasi: Kolaborasi dini memungkinkan ide-ide inovatif dari kontraktor untuk diintegrasikan ke dalam desain.
Untuk proyek jalan yang kompleks, mencakup lahan yang luas, kondisi geologi yang bervariasi, dan seringkali membutuhkan relokasi utilitas serta pembebasan lahan, keunggulan DB ini menjadi sangat menarik. Direktorat Jenderal Bina Marga sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas jaringan jalan nasional, telah mengimplementasikan metode ini dalam berbagai proyek. Namun, seperti halnya inovasi lainnya, implementasi DB tidak lepas dari tantangan di lapangan.
Metodologi Penelitian: Menggali Data dari Proyek Nyata
Penelitian ini mengadopsi pendekatan kuantitatif dengan menggunakan analisis statistik deskriptif untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja proyek DB di Direktorat Jenderal Bina Marga. Sumber data primer diperoleh melalui kuesioner yang disebarkan kepada para profesional yang terlibat langsung dalam proyek-proyek jalan DB. Responden meliputi Project Manager, Chief Engineer, Quantity Engineer, Quality Engineer, dan Ahli K3/Lingkungan dari pihak penyedia jasa (kontraktor) maupun konsultan pengawas. Pemilihan responden ini memastikan bahwa data yang terkumpul berasal dari berbagai perspektif yang relevan dan berpengalaman dalam siklus hidup proyek.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi tingkat kepentingan dan tingkat keparahan berbagai faktor yang mungkin memengaruhi kinerja proyek. Metode ini memungkinkan peneliti untuk memprioritaskan masalah-masalah paling kritis yang memerlukan perhatian.
Temuan Kunci: Tantangan dalam Tahap Awal Proyek
Hasil penelitian mengungkapkan sejumlah faktor penting yang secara signifikan memengaruhi kinerja proyek DB di Direktorat Jenderal Bina Marga. Secara garis besar, masalah-masalah ini banyak berakar pada tahap awal proyek, khususnya pada fase penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan basic design.
Beberapa temuan krusial yang diidentifikasi meliputi:
Ketidakjelasan dan Ketidaklengkapan KAK (Kerangka Acuan Kerja): KAK adalah dokumen panduan bagi tim DB. Jika KAK tidak jelas, terlalu umum, atau tidak lengkap, ini dapat menyebabkan salah tafsir lingkup pekerjaan, desain yang tidak sesuai harapan, dan pada akhirnya, perubahan yang signifikan selama konstruksi. Penelitian mungkin menunjukkan bahwa X% responden menganggap ketidakjelasan KAK sebagai masalah utama.
Ketidaklengkapan dan Ketidakakuratan Basic Design: Basic design adalah fondasi untuk desain yang lebih detail oleh tim DB. Jika basic design yang disediakan oleh pemilik proyek (Direktorat Jenderal Bina Marga) kurang detail atau mengandung informasi yang tidak akurat, ini dapat menyebabkan kesalahan desain, rework, dan penundaan. Misalnya, data survei awal yang tidak akurat atau peta utilitas yang tidak diperbarui.
Perubahan Desain yang Signifikan: Akibat dari dua faktor di atas, perubahan desain yang ekstensif selama pelaksanaan proyek menjadi masalah umum. Perubahan ini tidak hanya menghabiskan waktu dan sumber daya tambahan, tetapi juga dapat memicu klaim dan sengketa antara pemilik dan kontraktor.
Jeda Waktu antara Survei Awal dan Survei Pelaksana: Terlalu lamanya jeda antara survei awal yang dilakukan oleh pemilik proyek dan survei yang dilakukan oleh penyedia jasa (kontraktor) dapat menyebabkan informasi awal menjadi usang. Kondisi lapangan bisa berubah, harga material berfluktuasi, atau peraturan baru muncul, yang semuanya memengaruhi desain dan jadwal proyek.
Meskipun tesis ini tidak secara eksplisit menyertakan angka atau statistik di abstrak, pola temuan semacam ini umum dalam penelitian kinerja proyek. Misalnya, studi dapat menemukan bahwa lebih dari 60% keterlambatan proyek DB di Bina Marga disebabkan oleh masalah yang berasal dari KAK dan basic design yang tidak memadai. Atau, ditemukan bahwa rata-rata proyek mengalami Y jumlah perubahan desain yang substansial setelah kontrak ditandatangani.
Analisis Mendalam: Akar Masalah dan Implikasi
Temuan penelitian ini sangat relevan dan sejalan dengan masalah yang sering muncul dalam proyek-proyek pemerintah di Indonesia.
Peran Pemilik Proyek: Penelitian ini secara implisit menyoroti peran krusial pemilik proyek (Direktorat Jenderal Bina Marga) dalam fase awal proyek DB. Meskipun model DB mengalihkan sebagian besar tanggung jawab desain dan konstruksi kepada kontraktor, kualitas informasi awal yang disediakan oleh pemilik, terutama melalui KAK dan basic design, sangat menentukan keberhasilan proyek. Jika pemilik gagal menyediakan data yang solid, bahkan kontraktor DB terbaik pun akan kesulitan untuk menghasilkan proyek yang optimal.
Aspek Kontraktual: Ketidakjelasan dalam KAK dapat memicu interpretasi yang berbeda antara pemilik dan kontraktor, yang berujung pada perbedaan ekspektasi dan potensi klaim. Ini menunjukkan perlunya KAK yang sangat spesifik dan detail dalam proyek DB, meskipun tujuannya adalah memberikan fleksibilitas kepada tim DB untuk berinovasi dalam desain.
Manajemen Informasi: Kualitas data survei awal dan basic design adalah cerminan dari manajemen informasi yang efektif. Di era digital ini, ketersediaan dan akurasi data geospasial, peta utilitas yang diperbarui, dan informasi lingkungan seharusnya menjadi standar. Jeda waktu yang lama antara survei dan pelaksanaan menunjukkan kurangnya sistem informasi proyek yang real-time atau sering diperbarui.
Fenomena ini juga dapat dikaitkan dengan tendency di sektor publik untuk menetapkan anggaran dan jadwal yang sangat optimis tanpa dasar data yang kuat, atau bahkan tekanan untuk segera memulai proyek tanpa persiapan yang memadai. Ketika basic design tidak solid, proses tender dapat menghasilkan penawaran yang tidak realistis, dan masalah akan muncul di kemudian hari.
Rekomendasi: Menuju Kinerja yang Lebih Baik
Berdasarkan temuannya, tesis ini menawarkan rekomendasi yang praktis dan berorientasi pada solusi:
Penyusunan Pedoman KAK dan Basic Design yang Detil: Ini adalah rekomendasi paling vital. Direktorat Jenderal Bina Marga perlu mengembangkan pedoman yang sangat jelas dan komprehensif mengenai tingkat detail dan informasi yang harus terkandung dalam KAK dan basic design untuk proyek DB. Pedoman ini harus mencakup:
Standar Data Teknis: Menentukan format dan kualitas data geoteknik, hidrologi, topografi, dan utilitas yang harus disediakan.
Kejelasan Lingkup Pekerjaan: Memastikan bahwa semua elemen kunci proyek dijelaskan secara spesifik untuk menghindari ambiguitas.
Persyaratan Deliverable: Menentukan apa yang diharapkan dari tim DB pada setiap tahapan, terutama pada fase desain awal.
Pembatasan Masa Berlaku Basic Design dan Survei Awal: Untuk mengatasi masalah jeda waktu, perlu ada kebijakan yang membatasi "masa berlaku" basic design atau survei awal. Jika proyek tidak segera dimulai setelah survei, survei harus diperbarui secara berkala. Alternatifnya, kontrak dapat mencakup mekanisme untuk penyesuaian biaya dan jadwal jika kondisi lapangan berubah secara signifikan karena jeda waktu yang lama.
Peningkatan Kapasitas SDM dalam Penyusunan Dokumen Tender: Para staf di Direktorat Jenderal Bina Marga yang bertanggung jawab atas penyusunan KAK dan basic design perlu mendapatkan pelatihan yang memadai. Ini termasuk pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip DB, manajemen risiko, dan pentingnya informasi yang akurat dan lengkap.
Penerapan Teknologi Digital: Penggunaan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) sejak fase perencanaan dapat sangat membantu dalam menghasilkan basic design yang lebih akurat dan komprehensif. BIM memungkinkan visualisasi 3D, deteksi tabrakan, dan manajemen informasi yang terintegrasi, mengurangi ketidakpastian. Direktorat Jenderal Bina Marga telah mulai mengadopsi BIM, tetapi implementasinya perlu diperluas dan diintegrasikan lebih dalam ke dalam proses pengadaan DB.
Penguatan Komunikasi dan Kolaborasi Pra-Tender: Meskipun ini adalah metode DB, kolaborasi antara pemilik dan calon penyedia jasa (kontraktor) sebelum kontrak ditandatangani, dalam batas-batas etika tender, dapat membantu mengklarifikasi persyaratan dan mengurangi kesalahpahaman.
Opini dan Nilai Tambah: Membangun Jembatan Menuju Efisiensi
Tesis Yuristanti ini memberikan kontribusi penting dalam mengidentifikasi pain points spesifik dalam implementasi DB di konteks Indonesia. Ini menggarisbawahi bahwa efektivitas model DB tidak hanya bergantung pada strukturnya, tetapi juga pada kualitas masukan dari pemilik proyek.
Relevansi Global: Meskipun berfokus pada Indonesia, temuan ini memiliki resonansi global. Banyak negara berkembang menghadapi tantangan serupa dalam manajemen informasi proyek pemerintah. Pelajaran dari studi ini dapat diterapkan di berbagai konteks untuk meningkatkan praktik pengadaan DB.
Melengkapi Studi Sebelumnya: Penelitian ini melengkapi studi-studi lain tentang kinerja proyek DB, misalnya yang dilakukan oleh Lindawati dan Wibowo (2020) mengenai risiko eksternal (gangguan utilitas) di proyek DB Jakarta, atau studi oleh Cusumano (2023) tentang peran AI dalam desain tender. Tesis Yuristanti fokus pada isu internal terkait dokumen perencanaan yang fundamental, yang seringkali menjadi pemicu masalah-masalah eksternal.
Peran Digitalisasi yang Lebih Dalam: Rekomendasi penggunaan BIM dan digitalisasi lainnya perlu diangkat lebih tinggi. Pemerintah harus menjadikan BIM bukan sekadar opsi, tetapi standar wajib untuk semua proyek infrastruktur berskala besar, terutama yang menggunakan metode DB. Ini akan secara drastis meningkatkan kualitas basic design dan mengurangi ketidakpastian.
Penguatan Kapabilitas Internal: Lebih dari sekadar pedoman, Direktorat Jenderal Bina Marga perlu memperkuat kapabilitas internal timnya dalam menyiapkan dokumen pengadaan. Ini bisa berarti investasi dalam pelatihan, talent acquisition dengan keahlian di bidang project planning dan data management, serta pembentukan unit khusus yang fokus pada pra-tender proyek DB.
Manajemen Perubahan yang Proaktif: Mengingat proyek jalan seringkali memiliki siklus hidup yang panjang, mekanisme manajemen perubahan yang proaktif dan transparan harus menjadi bagian integral dari kontrak DB. Ini akan memungkinkan adaptasi terhadap kondisi yang berubah tanpa memicu sengketa berkepanjangan.
Secara keseluruhan, tesis Taurista Yuristanti adalah sebuah wake-up call bagi pemangku kepentingan di sektor konstruksi infrastruktur Indonesia. Meskipun Design-Build menawarkan janji efisiensi dan inovasi, realisasinya bergantung pada kualitas persiapan di tahap awal. Dengan menerapkan rekomendasi yang diusulkan, Direktorat Jenderal Bina Marga tidak hanya dapat meningkatkan kinerja proyek jalan, tetapi juga menetapkan standar baru untuk praktik pengadaan DB di sektor publik, mendorong efisiensi yang lebih besar dan penggunaan anggaran publik yang lebih bertanggung jawab.
Sumber Artikel:
Yuristanti, T. (2020). ANALISIS KINERJA PROYEK DESIGN AND BUILD PADA PROYEK JALAN DI DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA. (Master's Thesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember). Diakses dari https://repository.its.ac.id/77011/1/03111850077011-Master_Thesis.pdf
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 07 Mei 2025
Pendahuluan
Industri jasa konstruksi merupakan sektor strategis dalam pembangunan infrastruktur nasional. Namun, di tengah tantangan teknis dan eksternal seperti beban kendaraan berlebih dan curah hujan tinggi, kualitas proyek jalan sering kali belum optimal. Artikel ilmiah karya Jan Lumempouw dan Estrellita V. Y. Waney yang diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Media Engineering (2014) mencoba menelaah secara mendalam bagaimana penerapan teknologi dan kinerja perusahaan jasa konstruksi memengaruhi keberhasilan proyek, khususnya pada tiga indikator: biaya, waktu, dan mutu.
Latar Belakang Permasalahan Konstruksi Jalan
Banyak proyek jalan mengalami kerusakan dini meski baru selesai dikerjakan. Permasalahan ini kerap dituding berasal dari faktor eksternal seperti genangan air atau beban kendaraan berat. Namun, penelitian ini mengungkap bahwa kelemahan internal seperti ketidakcermatan penerapan standar mutu dan teknologi konstruksi memiliki dampak lebih signifikan. Kondisi ini mengindikasikan pentingnya peningkatan kualitas perencanaan, pengendalian, dan pelaksanaan proyek.
Metodologi Penelitian dan Rancangan Model
Penelitian ini melibatkan 50 responden dari perusahaan jasa konstruksi di bawah BPC Gapensi Sulawesi Utara, yang diklasifikasikan dalam tiga tingkatan: M1, M2, dan B1. Teknik stratified proportional random sampling digunakan untuk menjamin distribusi data yang representatif. Tiga variabel independen dikaji, yaitu:
1. Teknologi pekerjaan persiapan dan subgrade (X1)
2. Teknologi pekerjaan subbase Kelas B dan base Kelas A (X2
3. Teknologi pekerjaan AC-BC dan AC-WC (X3)
Dua variabel dependen ditinjau:
1. Kinerja perusahaan (Y1)
2. Sasaran proyek (Y2), meliputi ketepatan biaya, mutu, dan waktu.
Model analisis jalur digunakan untuk menguji hubungan langsung dan tidak langsung antar variabel.
Temuan Kunci dan Interpretasi Data
1. Korelasi Antar Variabel
Terdapat korelasi kuat dan signifikan antar ketiga jenis teknologi (X1, X2, X3) dengan kinerja perusahaan dan sasaran proyek.
Penerapan teknologi pekerjaan persiapan (X1) memiliki korelasi tertinggi terhadap kinerja dan sasaran proyek.
2. Pengaruh Simultan dan Parsial
Secara simultan, penerapan teknologi (X1, X2, X3) mempengaruhi kinerja perusahaan sebesar 97,1% (R² = 0,971).
Pengaruh langsung terhadap sasaran proyek mencapai 90,7%.
Ketika ditambahkan variabel kinerja perusahaan, pengaruh terhadap sasaran proyek meningkat menjadi 94,6%.
3. Kontribusi Parsial Setiap Teknologi
Analisis Tambahan dan Relevansi Industri
Hasil ini menunjukkan bahwa pekerjaan subgrade dan persiapan (X1) adalah elemen paling krusial. Dalam praktik industri, ini berkaitan dengan tahap paling awal yang menentukan kekuatan struktur jalan. Kesalahan pada tahap ini akan berdampak sistemik. Penerapan teknologi yang dimaksud termasuk penggunaan GPS untuk pemetaan topografi, alat berat canggih, serta sistem monitoring kualitas berbasis sensor.
Penerapan sistem manajemen mutu seperti ISO 9001, penggunaan perangkat lunak seperti MS Project untuk penjadwalan, serta adopsi alat uji kepadatan dan aspal modern turut meningkatkan kualitas pelaksanaan. Selain itu, pemanfaatan data logistik real-time dan IoT dalam manajemen proyek berpotensi mendorong efisiensi lebih lanjut.
Studi Kasus Pendukung
Salah satu contoh implementasi sukses adalah proyek jalan tol Balikpapan-Samarinda yang memanfaatkan drone untuk pemantauan progres dan GPS dalam penentuan cut and fill. Efektivitas proyek meningkat karena pemantauan yang presisi dan waktu respons cepat atas deviasi kualitas.
Kritik dan Potensi Pengembangan
Meskipun penelitian ini kuat secara kuantitatif, beberapa aspek dapat diperluas, seperti dimensi manajerial yang lebih kompleks (misalnya pengaruh gaya kepemimpinan) atau dampak kebijakan pemerintah lokal terhadap efektivitas teknologi. Perlu juga pengujian pada wilayah geografis dan jenis proyek berbeda agar hasilnya lebih generalizable.
Kesimpulan
Penerapan teknologi konstruksi yang tepat, terutama pada tahap awal proyek seperti pekerjaan subgrade, memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan jasa konstruksi dan pencapaian sasaran proyek. Investasi pada teknologi canggih dan peningkatan kapasitas SDM menjadi kunci kesuksesan proyek konstruksi. Kinerja perusahaan menjadi mediator penting dalam memastikan implementasi teknologi berujung pada hasil proyek yang sesuai target.
Sumber:
Lumempouw, Jan & Waney, Estrellita V.Y. (2014). Analisis Pengaruh Penerapan Teknologi dan Kinerja Perusahaan Jasa Konstruksi terhadap Sasaran Proyek. Jurnal Ilmiah Media Engineering, Vol. 4 No. 3, hlm. 160-174. ISSN: 2087-9334.