Konteks Industri Konstruksi Skala Kecil di Indonesia
Indonesia mencatat pertumbuhan yang signifikan di sektor konstruksi, menyumbang 10,5% dari produk domestik bruto dan menyerap 5,3% tenaga kerja nasional. Angka-angka ini menandakan peluang besar, khususnya bagi pelaku usaha jasa konstruksi skala kecil yang ingin berkembang. Namun, peluang ini datang dengan tantangan besar: keterbatasan pengalaman dan manajemen sumber daya yang tidak efisien sering kali berujung pada keterlambatan proyek dan sanksi penalti dari pemberi kerja.
Permasalahan Keterlambatan dan Penalti
Keterlambatan penyelesaian proyek merupakan ancaman nyata bagi profitabilitas perusahaan konstruksi. Berdasarkan Peraturan LKPP No. 14 Tahun 2012, keterlambatan dapat dikenai denda sebesar 1/1000 dari nilai kontrak untuk setiap hari keterlambatan. Dalam studi kasus ini, jika proyek senilai Rp 45,78 miliar terlambat 21 hari, maka penyedia jasa konstruksi harus menanggung penalti sebesar Rp 961.422.000.
Strategi Time Cost Trade Off: Opsi Lembur vs. Sistem Shift
Untuk menghindari penalti tersebut, penelitian ini mengusulkan dua strategi peningkatan produktivitas:
- Sistem kerja lembur selama empat jam (hingga pukul 22.00)
- Sistem kerja shift dua kali delapan jam (shift pagi dan malam)
Kedua pendekatan ini dievaluasi menggunakan metode Time Cost Trade Off yang bertujuan mengurangi durasi proyek tanpa mengorbankan kualitas kerja.
Studi Kasus dan Temuan Utama
Proyek konstruksi yang dijadikan studi kasus melibatkan berbagai pekerjaan seperti struktur gudang (warehouse), truck scale, car parking shelter, dan instalasi MEP (Mechanical, Electrical, Plumbing). Dengan analisis CPM (Critical Path Method), peneliti berhasil mengidentifikasi lintasan kritis dan menghitung normal duration proyek sebesar 294 hari dengan biaya Rp 45.782.000.000.
Melalui penerapan metode TCTO, hasil menunjukkan:
- Sistem Shift: Mampu mempercepat proyek sebesar 70 hari menjadi hanya 224 hari. Total biaya tambahan sebesar Rp 679.105.767.
- Sistem Lembur: Mempercepat proyek sebesar 67 hari, namun dengan biaya tambahan sebesar Rp 885.218.178.
Sistem shift terbukti lebih hemat dan efisien dibandingkan lembur, yang memerlukan upah tambahan sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP. 102/MEN/VI/2004—upah lembur jam pertama 1,5 kali dan selanjutnya 2 kali lipat upah normal.
Analisis Angka: Efisiensi Biaya
Dengan sistem shift, crash cost pekerjaan seperti pekerjaan warehouse turun dari Rp 1.156.505.283 menjadi Rp 1.369.470.955 (naik Rp 212 juta). Namun, bila menggunakan sistem lembur, crash cost-nya melonjak menjadi Rp 1.826.797.212 (naik Rp 706 juta), menunjukkan efisiensi biaya yang signifikan pada sistem shift.
Lebih jauh, total penghematan yang didapatkan dengan memilih sistem shift dibandingkan tidak melakukan percepatan adalah sebesar Rp 2.525.634.233. Ini mencakup pengurangan denda yang harus ditanggung karena keterlambatan proyek.
Implikasi Praktis dan Relevansi Industri
Studi ini menunjukkan bahwa perusahaan jasa konstruksi skala kecil tidak harus terpaku pada model kerja konvensional. Dengan perencanaan matang dan penerapan metode manajemen proyek modern seperti TCTO, mereka dapat secara signifikan menekan biaya dan risiko.
Penerapan sistem kerja shift memungkinkan fleksibilitas tenaga kerja, efisiensi produktivitas, dan penghematan biaya tanpa menurunkan output. Ini sangat relevan dalam konteks urbanisasi dan permintaan konstruksi yang terus meningkat, di mana penyelesaian tepat waktu menjadi aspek krusial untuk menjaga reputasi dan kesinambungan proyek.
Opini dan Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Dibandingkan dengan studi sebelumnya yang juga menggunakan metode TCTO seperti karya Desi Yasri (2018) pada proyek pembangunan gudang arsip, pendekatan yang digunakan dalam studi ini jauh lebih komprehensif karena tidak hanya memperhitungkan biaya langsung dan waktu, tetapi juga efek sistem kerja terhadap produktivitas aktual tenaga kerja.
Selain itu, studi ini secara cerdas mempertimbangkan faktor-faktor seperti penurunan produktivitas saat lembur, pengaruh regulasi ketenagakerjaan terhadap upah, dan kondisi kerja yang memengaruhi motivasi pekerja. Ini menjadikannya model yang bisa direplikasi oleh banyak kontraktor kecil di Indonesia.
Kritik dan Saran Pengembangan
Meski begitu, paper ini memiliki keterbatasan karena hanya menggunakan satu studi kasus proyek. Generalisasi hasil penelitian mungkin tidak sepenuhnya sesuai jika diterapkan pada proyek dengan skala lebih besar, jenis pekerjaan berbeda, atau lokasi yang memiliki tantangan geografis maupun sosial tertentu.
Penulis bisa mempertimbangkan variabel eksternal lain seperti kondisi cuaca, supply chain material, hingga kompetensi tenaga kerja di area proyek yang memengaruhi produktivitas. Studi lanjutan bisa membandingkan lebih banyak proyek dengan pendekatan kuantitatif berbasis data historis untuk meningkatkan akurasi hasil.
Kesimpulan
Paper ini memberikan kontribusi penting dalam manajemen proyek konstruksi skala kecil di Indonesia, dengan menyajikan solusi nyata dan terukur dalam menghadapi risiko penalti akibat keterlambatan. Melalui strategi TCTO berbasis sistem kerja shift, perusahaan jasa konstruksi dapat:
- Meningkatkan efisiensi produktivitas tenaga kerja
- Menghemat biaya hingga lebih dari Rp 2,5 miliar
- Mengurangi keterlambatan proyek hingga 70 hari
- Menurunkan beban risiko denda secara signifikan
Dengan mempertimbangkan tren digitalisasi dan efisiensi proyek di industri konstruksi, penerapan strategi TCTO berbasis data seperti ini dapat menjadi standar baru dalam manajemen proyek konstruksi modern di Indonesia.
Sumber asli artikel:
Felicia T. Nuciferani, Mohamad F.N. Aulady, Putut A. Wibowo. 2019. Pengurangan Risiko Pinalti dengan Time Cost Trade Off pada Proyek Konstruksi. Jurnal Qua Teknika, Vol. 9 No. 2, September 2019, Hal. 1–11. Fakultas Teknik, Universitas Islam Balitar.