Farmasi

Strategi Total Quality Management (TQM) untuk Meningkatkan Kualitas Layanan dan Kepuasan Klien di Sektor Kesehatan: Telaah Konseptual dan Reflekti

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 05 Agustus 2025


Pendahuluan: Relevansi TQM dalam Lingkungan Kesehatan Modern

Dalam era globalisasi dan persaingan ketat antar institusi pelayanan kesehatan, manajemen mutu menyeluruh atau Total Quality Management (TQM) menjadi pendekatan yang kian relevan. Studi oleh Grossu-Leibovica dan Kalkis ini mengeksplorasi peran penting TQM dalam meningkatkan kualitas layanan dan kepuasan klien di sektor kesehatan melalui pendekatan tinjauan sistematis kualitatif.

Secara umum, makalah ini menjelaskan bagaimana penerapan prinsip dan alat TQM berdampak signifikan pada peningkatan efisiensi, kualitas layanan, serta loyalitas dan kepuasan pasien. Dengan menyaring 573 artikel hingga terpilih 12 yang relevan, kajian ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan TQM sebagai strategi manajerial dalam ekosistem kesehatan.

Konsep Dasar dan Teori yang Mendasari TQM dalam Pelayanan Kesehatan

Apa Itu Total Quality Management?

TQM adalah pendekatan manajemen organisasi berbasis kualitas secara menyeluruh, yang menekankan pada:

  • Keterlibatan seluruh karyawan,

  • Fokus pada pelanggan (pasien),

  • Peningkatan berkelanjutan,

  • Pengambilan keputusan berbasis data.

Dalam konteks kesehatan, prinsip-prinsip ini mencerminkan upaya institusi untuk menjawab tantangan kompleks: tingginya biaya obat, perubahan teknologi, hingga tuntutan pasien terhadap layanan yang efisien dan humanis.

Refleksi Teoritis: TQM sebagai Kerangka Berpikir Transformasional

Penulis menempatkan TQM bukan sekadar sebagai alat manajemen, melainkan sebagai paradigma transformatif. Dalam kerangka ini, TQM dapat dilihat sebagai sistem nilai dan budaya organisasi yang mengintegrasikan:

  • Change management,

  • Continuous improvement, dan

  • Global business process integration.

Refleksi konseptual ini memperkuat argumen bahwa keberhasilan TQM tidak sekadar bergantung pada alat atau teknik, tetapi pada kedalaman komitmen organisasi terhadap nilai-nilai mutu.

Metodologi: Kajian Sistematis Kualitatif (QSR)

Langkah-langkah QSR

Penulis menggunakan pendekatan QSR untuk menyusun kajian literatur yang komprehensif:

  1. Menentukan pertanyaan penelitian,

  2. Menyusun kriteria inklusi dan eksklusi,

  3. Menyaring dokumen dari lima basis data besar,

  4. Menganalisis 12 artikel yang paling relevan.

Kritik Metodologis

Meskipun pendekatan ini valid, keterbatasan muncul pada representasi geografis data yang didominasi oleh negara-negara Asia Selatan dan Timur Tengah. Kekurangan literatur dari negara maju (misalnya Eropa dan Amerika Utara) menimbulkan potensi bias kontekstual.

Namun demikian, pemilihan artikel berdasarkan keterkaitan dengan TQM, kualitas layanan, dan kepuasan pasien memperlihatkan konsistensi dalam fokus kajian.

Temuan Utama: Hubungan antara TQM, Kualitas Layanan, dan Kepuasan Klien

Angka-angka Penting

  • Dari 11.517 artikel awal, disaring menjadi 573, lalu diseleksi menjadi 12 studi inti.

  • Studi dilakukan terutama di Iran, Yordania, Pakistan, dan India.

  • Banyak studi menunjukkan peningkatan efisiensi operasional dan kepuasan pasien setelah penerapan TQM.

Poin-poin Utama Temuan

  • Keterlibatan manajemen adalah indikator kuat dalam implementasi TQM.

  • Pelatihan karyawan dan pelanggan meningkatkan kualitas layanan.

  • Inovasi dan sistem perubahan mendukung efisiensi organisasi.

  • TQM terbukti berdampak positif terhadap key performance indicators (KPI) rumah sakit.

Refleksi Teoritis atas Temuan

Temuan ini memperlihatkan bahwa TQM mampu:

  • Menjadi jembatan antara harapan pasien dan proses pelayanan kesehatan,

  • Menggeser paradigma dari sistem reaktif menuju sistem proaktif,

  • Membangun budaya organisasi yang tanggap, partisipatif, dan berbasis data.

Diskusi: Manfaat dan Tantangan Implementasi TQM

Keunggulan yang Ditawarkan TQM dalam Sektor Kesehatan

  • Respon cepat terhadap kebutuhan pasien,

  • Peningkatan produktivitas tenaga kesehatan,

  • Peningkatan efisiensi biaya operasional,

  • Loyalitas pasien melalui kualitas layanan yang konsisten.

Kritik terhadap Logika dan Pendekatan Penulis

Meskipun penulis berhasil menunjukkan hubungan antara TQM dan indikator kinerja, logika kausalitas belum sepenuhnya dibuktikan secara empiris karena keterbatasan studi primer.

Selain itu, pemusatan data pada rumah sakit di negara berkembang tanpa perbandingan dengan institusi di negara maju membuat generalisasi temuan agak terbatas. Penulis belum mengeksplorasi variasi konteks budaya dan regulasi yang mungkin mempengaruhi keberhasilan TQM.

Namun, secara konseptual, artikel ini tetap bernilai karena berhasil menyusun landasan teoretis yang kuat untuk penelitian lanjutan.

Implikasi Ilmiah dan Potensi Penelitian Lanjutan

Kontribusi terhadap Ilmu Manajemen dan Kesehatan

  • Menyediakan kerangka kerja konseptual untuk studi TQM di sektor kesehatan.

  • Menawarkan justifikasi empiris bagi manajer rumah sakit untuk mengadopsi TQM.

  • Menjadi basis awal untuk penelitian komparatif antarnegara.

Rekomendasi untuk Studi Selanjutnya

  • Melibatkan lebih banyak data dari negara maju,

  • Menyasar berbagai jenis institusi (klinik, panti jompo, lab kesehatan),

  • Menguji kausalitas melalui pendekatan kuantitatif atau mixed-method,

  • Mengkaji peran teknologi digital dalam mendukung implementasi TQM.

Kesimpulan: TQM sebagai Pilar Transformasi Sistem Kesehatan

Studi ini menegaskan bahwa TQM bukan hanya sekadar alat manajemen, melainkan filosofi dan sistem yang mampu mengubah lanskap layanan kesehatan. Dengan implementasi yang tepat, TQM tidak hanya meningkatkan efisiensi dan kepuasan pasien, tetapi juga memperkuat posisi kompetitif institusi kesehatan.

Diperlukan pendekatan lintas-disiplin dan adaptasi kontekstual agar TQM dapat berkembang menjadi standar universal dalam manajemen mutu pelayanan kesehatan.

DOI Resmi Artikel: https://doi.org/10.1051/shsconf/202213102009

 

Selengkapnya
Strategi Total Quality Management (TQM) untuk Meningkatkan Kualitas Layanan dan Kepuasan Klien di Sektor Kesehatan: Telaah Konseptual dan Reflekti

Farmasi

Merancang Mutu Klinis: Refleksi Teoretis atas Quality by Design dalam Disertasi Katharina Klatte

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 05 Agustus 2025


Pendahuluan: Menata Ulang Landasan Mutu Uji Klinik

Dalam disertasinya, Katharina Klatte menyajikan pendekatan inovatif dan reflektif terhadap integrasi Quality by Design (QbD) dalam ranah uji klinik, membangun jembatan antara teori manajemen mutu dan praktik klinis kontemporer. Lewat penyusunan sistematis dan berbasis studi empiris, Klatte menjawab satu pertanyaan besar: bagaimana QbD bisa mengatasi kegagalan mutu yang selama ini terjadi dalam uji klinik?

Disertasi ini tak hanya memformulasikan ulang pengertian mutu di dunia klinik, tetapi juga menganalisis kebijakan regulasi, metode risk assessment, serta peluang dan batasan penerapan QbD dalam konteks industri farmasi Eropa.

Kontribusi Ilmiah Disertasi

H2: Apa yang Dibawa Klatte ke Meja Akademik?

  1. Formulasi teoritis menyeluruh atas QbD dalam konteks uji klinik.

  2. Penilaian kritis terhadap efektivitas pendekatan QbD berdasarkan data empiris dari proyek IMI-2 "Trials@Home".

  3. Pengembangan argumen reflektif tentang integrasi regulasi, etika, dan risiko dalam desain studi klinik.

Dengan demikian, Klatte menyatukan tiga dimensi: konseptual, operasional, dan reflektif, menjadikan disertasi ini kontribusi penting dalam diskusi lintas disiplin antara farmasi, regulasi, dan ilmu manajemen risiko.

Kerangka Teoretis: Mutu sebagai Rancangan, Bukan Temuan

Quality by Design dalam Ranah Klinik

Klatte mendefinisikan QbD sebagai pendekatan proaktif untuk menjamin mutu, dimulai dari desain studi dan dilandasi pemahaman ilmiah, manajemen risiko, serta nilai pasien. Ia mengkritik model tradisional yang hanya menekankan inspeksi, dan menggantinya dengan logika sistem mutu berbasis pemahaman kausal dan kontrol terencana.

ICH Guidelines dan Pilar Regulatif

Kerangka QbD yang dijabarkan mengacu kuat pada:

  • ICH E6(R2): Prinsip Good Clinical Practice terbaru,

  • ICH E8(R1): Pendekatan klinik berbasis kualitas,

  • ICH Q8–Q10: Panduan mutu berbasis desain dari sisi industri.

Namun, Klatte tidak hanya mengulang dokumen regulatif. Ia justru menginterpretasikan ulang isi dan semangat ICH sebagai alat transformasi budaya mutu dalam pengembangan obat.

Struktur Argumentatif Disertasi

H3: Dari Teori Menuju Praktik Sistemik

Disertasi dibagi dalam tiga bagian utama:

  1. Bagian I – Dasar Teoretis dan Historis QbD
    Klatte memulai dengan mengulas sejarah kegagalan mutu dalam uji klinik dan bagaimana QbD berkembang dari industri manufaktur ke bidang studi klinik. Ia menjelaskan bahwa budaya “post-hoc checking” dalam klinik gagal melindungi partisipan, dan QbD menjadi solusi untuk “mendesain” kualitas ke dalam sistem.

  2. Bagian II – Studi Empiris dan Kasus Proyek IMI Trials@Home
    Di bagian ini, Klatte meneliti pendekatan QbD dalam studi decentralized clinical trials (DCT) yang dilakukan oleh public-private partnership Eropa, menganalisis:

    • Keterlibatan tim multidisiplin,

    • Integrasi risiko dalam desain protokol,

    • Penetapan Quality Tolerance Limits (QTLs) dan Key Risk Indicators (KRIs).

    Ia menunjukkan bahwa meski prinsip QbD diadopsi, hambatan organisasi dan keterbatasan regulasi menghambat keberhasilannya secara penuh.

  3. Bagian III – Refleksi, Kritik, dan Rekomendasi Kebijakan
    Klatte memberikan kritik mendalam atas bias struktural, hambatan kepemimpinan, serta kebutuhan akan redefinisi peran regulator dalam mendorong QbD.

Hasil dan Sorotan Kuantitatif

Studi Trials@Home – Implikasi Praktik QbD

Dalam studi empirisnya, Klatte menunjukkan:

  • Dari 8 tim proyek, hanya 3 yang menyatakan penerapan QbD secara menyeluruh.

  • Hanya 2 dari 7 protokol studi yang memasukkan risk control plan eksplisit.

  • Meskipun tim menyadari pentingnya QbD, keterbatasan waktu dan kompleksitas prosedural membuat penerapan cenderung parsial.

Refleksi Teoretis: Apa Makna Data Ini?

Data ini memperlihatkan bahwa kesadaran akan QbD telah tumbuh, tetapi belum disertai mekanisme struktural dan budaya organisasi yang mendukung implementasi menyeluruh. Ini membuka perdebatan: apakah QbD hanyalah “slogan” jika tidak didukung insentif sistemik?

Elemen-Elemen Kunci dalam QbD Klinik menurut Klatte

Klatte mengidentifikasi enam pilar utama QbD dalam studi klinik:

  1. Identifikasi proses dan data kritikal

  2. Analisis risiko berbasis konteks studi

  3. Penggunaan QTL dan KRI dalam pengawasan mutu

  4. Desain protokol dan formulir yang koheren

  5. Kolaborasi lintas fungsi (tim multidisiplin)

  6. Keterlibatan pasien sebagai pusat desain mutu

Yang menarik, Klatte menekankan bahwa QbD bukan hanya soal teknik dan regulasi, tetapi juga soal etika dan filosofi: apakah kita benar-benar memprioritaskan keselamatan dan kualitas dari awal?

Kritik terhadap Metodologi dan Logika Pemikiran

Kekuatan:

  • Pendekatan holistik antara teori dan praktik,

  • Argumentasi interdisipliner yang mencakup ilmu regulasi, etika, dan manajemen risiko,

  • Refleksi mendalam terhadap bias organisasi dan dinamika kekuasaan.

Catatan Kritis:

  1. Keterbatasan Studi Empiris
    Fokus pada satu proyek (Trials@Home) bisa membatasi generalisasi. Disertasi akan lebih kuat jika menambahkan studi komparatif dari sektor swasta.

  2. Kurang Visualisasi Data
    Analisis numerik yang dibahas bersifat deskriptif. Tabel atau grafik bisa membantu pembaca memahami signifikansi perbandingan antar tim/protokol.

  3. Ketergantungan pada Narasi Kualitatif
    Sebagian besar data disajikan melalui wawancara dan observasi, tanpa triangulasi kuantitatif.

Implikasi Ilmiah dan Potensi Jangka Panjang

Perubahan Budaya Mutu

Klatte menyerukan perubahan mendasar dalam budaya organisasi—dari kepatuhan administratif ke tanggung jawab ilmiah terhadap mutu. Ini memerlukan pelatihan lintas peran, pelibatan pasien, dan kolaborasi transdisipliner.

Reformasi Regulatif

Regulator harus bergeser dari hanya menjadi penilai akhir ke peran sebagai mitra mutu, yang mendorong penggunaan QbD secara aktif.

Kontribusi Akademik

Disertasi ini dapat menjadi referensi penting untuk:

  • Kurikulum manajemen risiko klinik,

  • Evaluasi audit mutu,

  • Rancangan studi terdesentralisasi.

Kesimpulan: Menempatkan Kualitas sebagai Desain, Bukan Kejadian

Disertasi Katharina Klatte mengingatkan kita bahwa mutu bukanlah keberuntungan statistik di akhir studi, melainkan hasil dari keputusan sadar sejak tahap desain. Dengan menyatukan teori, praktik, dan refleksi etis, Klatte menunjukkan bahwa QbD bukan hanya wacana regulatif, tapi peluang transformasi paradigma dalam ilmu klinik.

📘 Link resmi disertasi:
https://edoc.hu-berlin.de/handle/18452/25690

Selengkapnya
Merancang Mutu Klinis: Refleksi Teoretis atas Quality by Design dalam Disertasi Katharina Klatte

Farmasi

Menyulam Kualitas Sejak Awal: Transformasi Manajemen Risiko dan Quality by Design dalam Uji Klinik

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 05 Agustus 2025


Pendahuluan: Revolusi Kualitas dalam Uji Klinik

Dalam dunia pengembangan obat, uji klinik merupakan tahap kritis yang menghubungkan penemuan ilmiah dengan keamanan pasien. Namun, kompleksitas yang meningkat, desain studi yang adaptif, dan tekanan regulasi global menuntut pendekatan baru dalam manajemen mutu.

Melalui presentasi yang padat dan aplikatif, Chris Wells menekankan pentingnya mengintegrasikan Risk-Based Quality Management (RBQM) dan Quality by Design (QbD) sebagai inti strategi jaminan mutu dalam konteks klinis. Keduanya tidak hanya merespons tantangan pengawasan mutu, tetapi juga merancang kualitas ke dalam proses sejak awal.

Kontribusi Utama Presentasi

H2: Apa yang Ditawarkan oleh Wells?

  1. Pemisahan dan integrasi fungsi RBQM dan QRM dalam pengawasan uji klinik.

  2. Penjabaran peran QbD dalam mendesain protokol uji yang tangguh dan konsisten.

  3. Penggunaan alat seperti Key Risk Indicators (KRIs), Quality Tolerance Limits (QTLs), dan monitoring statistik.

  4. Ulasan kritis atas tantangan nyata implementasi di lapangan, dari metodologi hingga resistensi budaya.

Definisi Konseptual: RBQM, QRM, dan QbD

H3: Risk-Based Quality Management (RBQM)

RBQM adalah kerangka kerja yang berfokus pada identifikasi data dan proses kritikal dalam uji klinik. Dengan pendekatan ini, sumber daya dialokasikan secara strategis ke area yang paling memengaruhi keamanan pasien dan validitas data.

Quality Risk Management (QRM)

Berbeda dengan RBQM, QRM bersifat lebih menyeluruh. Ia mencakup proses sistematis untuk menilai, mengontrol, dan mengomunikasikan risiko yang dapat mengganggu mutu klinis. QRM penting untuk membangun sistem mutu yang patuh regulasi dan menjaga integritas uji.

Catatan: RBQM dan QRM memiliki fokus berbeda, tetapi saling melengkapi. RBQM lebih ke pelaksanaan studi, QRM lebih ke sistem dan pencegahan risiko.

Quality by Design (QbD)

QbD dalam konteks uji klinik tidak hanya berarti pengendalian variabel, tetapi juga desain yang bijak terhadap protokol, pemilihan variabel studi, dan penyusunan formulir elektronik berdasarkan pengetahuan terdahulu. Contohnya termasuk:

  • Penggunaan template protokol standar,

  • Desain formulir pelaporan kasus elektronik (eCRFs),

  • Pemanfaatan eksperimen terencana (DoE),

  • Integrasi data sebelumnya ke dalam desain.

Landasan Regulasi: Pedoman ICH yang Mendasari

ICH E6 R2 dan R3 – Dasar RBQM

Menekankan perlunya pendekatan risiko dalam pengawasan kualitas studi.

ICH E8 R1 & ICH Q9 – Dasar QbD

Mendorong desain yang mengedepankan kualitas melalui pemahaman ilmiah dan data terdahulu.

ICH E9 R1 – Estimands

Mengarahkan pada prinsip kuantitatif dalam estimasi efek pengobatan, baik dari sisi efikasi maupun keamanan.

Alat dan Metodologi Pengawasan Mutu dalam RBQM

1. Quality Tolerance Limits (QTLs)

QTL digunakan untuk mengidentifikasi penyimpangan sistemik dari rencana studi. Misalnya, jika tingkat kehilangan data melebihi batas yang ditentukan, intervensi harus dilakukan.

2. Key Risk Indicators (KRIs)

KRIs memantau performa situs uji klinik, seperti:

  • Rata-rata waktu input data,

  • Tingkat pertanyaan (queries) terhadap data kritikal,

  • Frekuensi kunjungan pasien.

KRIs dapat memicu tindakan mitigasi jika kinerja tidak sesuai target.

3. Monitoring Statistik

Penggunaan algoritma statistik untuk mendeteksi outlier atau anomali dalam data uji klinik. Misalnya:

  • Situs yang menghasilkan data terlalu “sempurna”,

  • Variasi ekstrem dalam waktu pelaporan efek samping.

Statistik ini memandu keputusan seperti eskalasi masalah atau audit lokasi.

Sistem Pendukung: JMP Clinical dan Standar CDISC

JMP Clinical

JMP Clinical adalah perangkat lunak khusus untuk analisis data uji klinik yang digunakan oleh industri dan regulator. Fitur utamanya meliputi:

  • Tinjauan keamanan,

  • Monitoring medis,

  • Visualisasi data berbasis subjek, lokasi, dan studi.

CDISC Standards

  • SDTM: Model tabulasi data studi,

  • ADaM: Model analisis data.

Dengan mengacu pada standar ini, JMP Clinical dapat melakukan deteksi outlier, analisis keamanan, dan visualisasi data yang konsisten dan regulatif.

Tantangan Implementasi: Dari Teori ke Realita

H3: Hambatan di Lapangan

  1. Akses Data Historis
    Desain berbasis data terdahulu sulit dilakukan jika data lama tidak tersedia atau tidak terstandar.

  2. Desain Studi Kompleks
    Studi seperti platform trials, basket studies, atau adaptive trials membuat penerapan RBQM dan QbD lebih sulit.

  3. Studi Skala Kecil atau Desentralisasi
    Studi kecil atau yang dilakukan tanpa lokasi pusat mengurangi efektivitas pendekatan statistik dan QTL.

  4. Metodologi Tidak Eksak
    Meskipun ada dukungan statistik, RBQM bukan ilmu pasti. Banyak keputusan tetap melibatkan subjektivitas dan penilaian profesional.

  5. Dukungan Kepemimpinan Senior
    Tanpa buy-in dari pimpinan, sistem RBQM sulit diimplementasikan secara penuh.

  6. Kerumitan Sistem Dibanding Manufaktur
    Tidak seperti produksi obat yang linier dan terstandarisasi, uji klinik bersifat organik dan bervariasi antar populasi dan lokasi.

Refleksi Teoretis dan Kritik

Kekuatan Presentasi

  • Pendekatan terpadu antara QbD dan RBQM.

  • Penggunaan alat terstandarisasi seperti JMP Clinical dan CDISC.

  • Penekanan pada desain berbasis risiko daripada reaktif.

Kekurangan dan Kritik

  • Kurangnya data numerik konkret: Tidak ada visualisasi angka keberhasilan QTL atau efektivitas KRIs.

  • Minim pembahasan etika atau bias pasien: Belum disentuh bagaimana RBQM berpengaruh terhadap inklusivitas atau representasi dalam studi.

  • Perluas cakupan AI/ML: Belum banyak eksplorasi integrasi AI dalam monitoring prediktif yang kini menjadi arus utama.

Potensi dan Implikasi Ilmiah

Mengintegrasikan QbD dan RBQM dalam uji klinik menciptakan sistem yang:

  • Lebih tangguh terhadap risiko tak terduga,

  • Lebih hemat sumber daya dengan alokasi yang cerdas,

  • Lebih responsif terhadap temuan lapangan,

  • Lebih disukai regulator karena dokumentasi berbasis risiko.

Potensinya sangat besar jika dikembangkan bersama teknologi AI, desain adaptif, dan manajemen berbasis cloud untuk studi multinasional.

Kesimpulan: Menyulam Kualitas dalam Setiap Tahap Uji Klinik

Melalui narasi yang ringkas namun substansial, Chris Wells menunjukkan bahwa kualitas dalam uji klinik bukanlah hasil inspeksi akhir, tetapi hasil desain sistem yang cermat. QbD dan RBQM bukan hanya metodologi, melainkan cara berpikir ilmiah dan strategis dalam menghadapi tantangan uji klinik modern.

Integrasi teknologi seperti JMP Clinical, standar CDISC, dan pendekatan risiko bukanlah pilihan opsional—tetapi kebutuhan mutlak untuk menjamin keselamatan pasien dan integritas data dalam lanskap regulasi global yang semakin ketat.

📘 Link resmi artikel/tools terkait:

Selengkapnya
Menyulam Kualitas Sejak Awal: Transformasi Manajemen Risiko dan Quality by Design dalam Uji Klinik

Farmasi

Merancang Mutu Sejak Awal: Refleksi Konseptual atas Quality by Design dalam Farmasi Modern

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 05 Agustus 2025


Pendahuluan: Merumuskan Ulang Mutu dalam Dunia Farmasi

Artikel ini mengangkat urgensi perubahan pendekatan dalam menjamin mutu produk farmasi. Penulis menekankan bahwa sistem pengujian tradisional—yang memeriksa kualitas pada tahap akhir produksi—tidak lagi memadai di tengah kompleksitas dan ekspektasi regulasi saat ini. Solusinya? Quality by Design (QbD), sebuah kerangka berpikir strategis yang menjadikan mutu sebagai hasil dari desain proses yang terinformasi dan terkendali sejak awal.

Makalah ini tidak hanya menjelaskan definisi dan elemen-elemen QbD, tetapi juga menyuguhkan refleksi menyeluruh tentang peranannya dalam menjamin keamanan, efektivitas, dan efisiensi obat modern.

Kontribusi Ilmiah dan Tujuan Utama Artikel

H2: Apa yang Dikontribusikan Penulis?

  1. Penyajian komprehensif konsep QbD berdasarkan panduan ICH Q8, Q9, dan Q10.

  2. Penjelasan sistematis elemen-elemen kunci QbD seperti QTPP, CQA, CPP, dan design space.

  3. Analisis naratif tentang penerapan QbD dalam pengembangan dan produksi obat.

Dengan pendekatan pedagogis, artikel ini membimbing pembaca dalam memahami filosofi QbD sebagai sistem ilmiah, bukan sekadar alat regulasi.

Kerangka Teoretis: Menata Kembali Konsep Mutu

H3: Definisi QbD menurut Makalah

Quality by Design diposisikan sebagai pendekatan holistik yang dimulai dari tujuan produk yang telah ditentukan sebelumnya, dan menekankan:

  • Pemahaman mendalam atas produk dan proses,

  • Pengendalian berbasis risiko,

  • Perbaikan berkelanjutan sepanjang siklus hidup produk.

Didasarkan pada pemikiran Dr. Joseph M. Juran, mutu bukanlah sesuatu yang "diuji" di akhir, tetapi "dirancang" sejak awal.

Tiga Pilar Utama dari ICH

  • ICH Q8: Pharmaceutical Development

  • ICH Q9: Quality Risk Management

  • ICH Q10: Pharmaceutical Quality System

Artikel menekankan bahwa integrasi ketiganya menjadi landasan implementasi QbD yang komprehensif.

Elemen Fundamental QbD dalam Praktik Farmasi

Quality Target Product Profile (QTPP)

QTPP merupakan profil target mutu produk yang meliputi rute pemberian, bioavailabilitas, potensi terapeutik, dan atribut farmakokinetik. QTPP menjadi kerangka awal yang membentuk arah pengembangan produk.

Critical Quality Attributes (CQAs)

CQAs adalah atribut penting dari produk obat yang harus dikontrol agar kualitas tetap terjaga. Contohnya: kekerasan tablet, profil disolusi, ukuran partikel, dan kadar zat aktif.

Critical Process Parameters (CPPs) dan Critical Material Attributes (CMAs)

Parameter ini mencakup variabel dalam proses dan bahan baku yang secara signifikan mempengaruhi CQA. Misalnya, kecepatan pengadukan atau kelembaban bahan.

Design Space

Design space adalah ruang kerja multidimensi dari parameter yang dapat divariasikan tanpa mempengaruhi mutu, selama masih dalam batas yang telah divalidasi. Ini memberikan fleksibilitas produksi yang lebih besar.

Penerapan Strategi QbD: Dari Konsep ke Implementasi

Langkah-langkah Strategis QbD dalam Industri Farmasi

  1. Identifikasi QTPP

  2. Penentuan CQA melalui risk assessment

  3. Penetapan CPP dan CMA menggunakan DoE (Design of Experiments)

  4. Pengembangan design space

  5. Implementasi kontrol strategi berbasis risiko

  6. Monitoring dan perbaikan berkelanjutan

Teknologi Pendukung: Process Analytical Technology (PAT)

PAT digunakan untuk memantau dan mengontrol parameter proses secara real-time. Dengan pendekatan ini, variasi dapat segera diidentifikasi dan dikendalikan.

Sorotan Konseptual dan Teoretis

Kelebihan QbD dibandingkan Pendekatan Tradisional

AspekPendekatan TradisionalQbDMutuDiuji di akhirDirancang sejak awalVariasiReaktifProaktifFleksibilitasRendahTinggi (dalam design space)EfisiensiTerbatasTinggi karena DoE dan PAT

 

Penulis menekankan bahwa QbD mampu menghasilkan produk yang lebih konsisten, efisien, dan tahan terhadap variasi dalam proses.

Refleksi terhadap Proses dan Nilai Teoretis

Artikel menyebutkan bahwa perusahaan yang menerapkan QbD cenderung mengalami:

  • Penurunan tingkat batch gagal,

  • Peningkatan kecepatan approval regulatori,

  • Penurunan kebutuhan pengujian akhir,

  • Efisiensi biaya jangka panjang.

Refleksi ini memperlihatkan nilai strategis QbD dalam membangun industri farmasi yang lebih tangguh, adaptif, dan berbasis sains.

Kritik terhadap Pendekatan Penulis

1. Minim Studi Kasus Kuantitatif

Meski makalah menyampaikan banyak konsep penting, ia hampir tidak menyertakan data numerik atau ilustrasi konkret dari implementasi QbD. Ini mengurangi kekuatan argumentatif bagi pembaca yang mencari bukti empirik.

2. Kurangnya Diskusi tentang Hambatan Implementasi

Tidak dibahas tantangan seperti:

  • Kebutuhan investasi awal,

  • Kompleksitas pelatihan sumber daya manusia,

  • Resistensi budaya organisasi terhadap perubahan sistemik.

3. Tidak Menyinggung Integrasi AI atau Digitalisasi

Artikel belum menjangkau topik penting seperti penerapan machine learning atau sistem kendali adaptif dalam design space yang kini menjadi bagian dari QbD modern.

Nilai Strategis dan Implikasi Praktis

Bagi Industri

  • Memberikan keunggulan kompetitif melalui konsistensi produk,

  • Menurunkan biaya kegagalan,

  • Memberikan fleksibilitas dalam modifikasi proses tanpa resubmisi.

Bagi Regulator

  • Proses review lebih efisien,

  • Penilaian berbasis risiko dan sains,

  • Mendorong inovasi yang aman.

Kesimpulan: QbD Sebagai Pilar Masa Depan Farmasi

Artikel ini menegaskan bahwa Quality by Design bukanlah sekadar metode, melainkan cara berpikir baru yang berakar pada pemahaman ilmiah dan desain sistematis. Dengan QbD, kualitas bukanlah sesuatu yang "dicapai", melainkan "dirancang".

Jika diterapkan secara konsisten dan didukung dengan infrastruktur digital serta komitmen budaya, QbD memiliki potensi besar untuk merevolusi cara obat diproduksi, diawasi, dan disampaikan ke pasien.

📘 Link resmi jurnal: https://www.irjmets.com

Selengkapnya