Ekonomi

Menavigasi Ketidakpastian: Prospek Ekonomi Global 2025 Menurut OECD

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Oktober 2025


Perekonomian global pada 2024 menunjukkan ketahanan yang relatif kuat, namun tanda-tanda perlambatan mulai tampak menjelang 2025. Menurut laporan OECD Economic Outlook Interim Report (2025), pertumbuhan global masih bertahan di kisaran 3,2% pada 2024, tetapi diperkirakan menurun menjadi 3,1% pada 2025 dan 3,0% pada 2026. Fenomena ini mencerminkan meningkatnya ketegangan perdagangan, fragmentasi geopolitik, serta tekanan inflasi yang belum sepenuhnya mereda.

Kenaikan tarif antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Kanada, dan Meksiko menambah ketidakpastian di pasar global. OECD memperingatkan bahwa eskalasi proteksionisme dan kebijakan fiskal yang tidak terkoordinasi dapat memperlambat investasi serta menekan daya beli rumah tangga. Sementara itu, inflasi di banyak negara anggota G20 tetap berada di atas target bank sentral, menunjukkan bahwa proses disinflation berlangsung lebih lambat dari perkiraan.

Dalam konteks ini, laporan OECD menyoroti pentingnya kebijakan moneter yang hati-hati, disiplin fiskal yang konsisten, serta kerja sama internasional untuk menghindari spiral ketidakpastian ekonomi.

 

Dinamika Global: Antara Ketahanan dan Perlambatan

Laporan OECD Economic Outlook Interim Report (Maret 2025) menggambarkan situasi ekonomi global yang paradoksal — di satu sisi menunjukkan ketahanan, di sisi lain menampakkan tanda-tanda pelemahan struktural. Pertumbuhan global yang masih stabil pada angka 3,2% di tahun 2024 seolah menjadi bukti bahwa sistem ekonomi dunia berhasil bertahan dari guncangan pandemi, inflasi, dan konflik geopolitik. Namun di balik angka itu, terdapat fragilitas mendalam yang bersumber dari ketimpangan pemulihan, fragmentasi rantai pasok, dan kebijakan perdagangan yang semakin terpolarisasi.

1. Ketahanan yang Bersumber dari Konsumsi dan Adaptasi Teknologi

OECD menilai bahwa ketahanan global terutama ditopang oleh kekuatan konsumsi rumah tangga di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Korea Selatan. Kenaikan pendapatan riil, disertai dengan pelonggaran pasar tenaga kerja, mendorong stabilitas konsumsi meski tingkat suku bunga masih tinggi. Selain itu, adaptasi cepat terhadap teknologi digital dan otomatisasi memungkinkan sektor jasa tetap tumbuh bahkan ketika sektor manufaktur melambat.

Faktor ini menjelaskan mengapa kontraksi industri di Eropa dan Jepang tidak serta-merta menekan pertumbuhan global secara keseluruhan. Namun OECD mengingatkan bahwa ketahanan ini bersifat siklikal, bukan struktural — konsumsi yang menopang ekonomi dunia saat ini belum diimbangi peningkatan produktivitas dan investasi jangka panjang. Jika tren ini berlanjut, dunia berisiko menghadapi fase “slow growth equilibrium”, yaitu pertumbuhan rendah yang berkelanjutan tanpa pendorong produktivitas baru.

2. Perlambatan Investasi dan Tekanan Geopolitik

Di sisi lain, data OECD menunjukkan perlambatan signifikan dalam investasi modal tetap global, terutama di negara-negara G7.
Kombinasi suku bunga tinggi, ketegangan geopolitik, dan ketidakpastian kebijakan perdagangan menahan keputusan investasi korporasi besar. Sektor manufaktur global mengalami kontraksi selama empat kuartal berturut-turut hingga awal 2025, sementara indikator kepercayaan bisnis turun ke level terendah sejak 2020.

Selain itu, fragmentasi geopolitik semakin mengubah pola perdagangan internasional. Perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang kembali meningkat di akhir 2024, serta kebijakan reshoring di Eropa dan Amerika Utara, memicu terbentuknya blok-blok ekonomi baru berbasis kepentingan strategis. OECD memperingatkan bahwa tren regionalisasi ekstrem ini dapat menurunkan efisiensi rantai pasok global hingga 2–3% dari PDB dunia dalam jangka menengah.

Meskipun tujuan kebijakan ini adalah meningkatkan ketahanan domestik, konsekuensinya adalah biaya logistik yang lebih tinggi, penurunan perdagangan lintas wilayah, dan meningkatnya inflasi struktural. Dengan kata lain, dunia sedang menghadapi bentuk baru dari “proteksionisme modern” — bukan dengan tarif langsung, tetapi melalui kebijakan strategis dan regulasi domestik yang mempersempit arus barang dan teknologi.

3. Inflasi yang Belum Terkendali Sepenuhnya

Salah satu temuan utama OECD adalah bahwa inflasi inti tetap tinggi di banyak negara maju. Meskipun tekanan harga energi dan pangan mulai mereda, kenaikan upah nominal dan biaya produksi tetap menjaga inflasi di atas target. Pada 2025, inflasi rata-rata negara G20 masih berkisar 4,6%, jauh di atas target umum 2–3%.

OECD menekankan adanya pergeseran sumber inflasi: dari sisi penawaran (supply-driven inflation) selama krisis energi dan pandemi, kini beralih ke sisi permintaan dan upah. Peningkatan biaya tenaga kerja di sektor jasa menyebabkan kenaikan harga yang lebih persisten, terutama di negara dengan pasar tenaga kerja yang ketat seperti Amerika Serikat dan Australia.

Bagi bank sentral, kondisi ini menciptakan dilema kebijakan: menurunkan suku bunga terlalu cepat berisiko memicu inflasi baru, tetapi mempertahankannya terlalu lama dapat menekan pertumbuhan dan investasi. Karena itu, OECD menyarankan strategi “monetary patience” — kebijakan bertahap yang menjaga kredibilitas anti-inflasi sambil menghindari guncangan permintaan.

4. Ketimpangan Pemulihan dan Risiko Negara Berkembang

Sementara negara maju masih mampu menopang pertumbuhan melalui konsumsi dan kebijakan fiskal, negara berkembang menghadapi kondisi yang lebih menantang. Peningkatan biaya pinjaman global membatasi ruang fiskal, sementara harga komoditas yang tidak stabil mengancam stabilitas neraca perdagangan. Beberapa negara Afrika dan Amerika Latin mulai menunjukkan tekanan utang publik yang meningkat.

Namun, Asia menjadi pengecualian penting. India, Indonesia, dan Vietnam masih menunjukkan pertumbuhan PDB di atas 5%, didorong oleh ekspansi industri domestik dan kebijakan fiskal yang hati-hati. OECD memandang Asia sebagai “jangkar pertumbuhan global baru” — kawasan yang mampu menyeimbangkan perlambatan Barat dan ketidakpastian geopolitik Timur Tengah.

Meski demikian, laporan tersebut menegaskan bahwa ketergantungan Asia terhadap ekspor teknologi dan bahan mentah masih menjadi risiko, terutama jika fragmentasi global semakin dalam. Kemandirian inovasi dan diversifikasi ekspor menjadi syarat utama bagi ketahanan jangka panjang kawasan ini.

5. Tantangan Struktural di Tengah Siklus Ketahanan

Secara keseluruhan, OECD menilai ekonomi global sedang memasuki fase ketahanan semu (resilient stagnation) — fase di mana indikator makro tampak stabil, tetapi fondasi pertumbuhan belum cukup kuat. Produktivitas global stagnan, investasi lemah, dan ketimpangan antarnegara meningkat. Sementara itu, transisi energi dan digitalisasi yang belum merata menciptakan tekanan baru terhadap biaya produksi dan struktur tenaga kerja.

Oleh karena itu, OECD mendorong negara-negara untuk berinvestasi dalam produktivitas jangka panjang, bukan hanya kebijakan jangka pendek. Kombinasi antara inovasi teknologi, reformasi pasar tenaga kerja, dan tata kelola fiskal yang disiplin dianggap sebagai kunci untuk keluar dari fase ketahanan semu menuju pertumbuhan berkelanjutan.

Singkatnya, dinamika global menjelang pertengahan dekade ini mencerminkan keseimbangan rapuh antara ketahanan ekonomi dan perlambatan struktural. Ekonomi dunia berhasil menahan gejolak, tetapi belum menemukan mesin pertumbuhan baru. Jika kebijakan global tetap bersifat defensif dan terfragmentasi, dunia bisa menghadapi masa stagnasi panjang stabil namun tanpa kemajuan signifikan. Sebaliknya, dengan koordinasi internasional dan orientasi pada produktivitas, dekade ini masih dapat menjadi awal baru bagi transformasi ekonomi global yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

 

Laporan OECD Economic Outlook Interim Report (2025) memperlihatkan bahwa dunia tengah memasuki periode ekonomi yang penuh ketidakpastian — bukan hanya karena fluktuasi jangka pendek, tetapi karena perubahan struktural yang memengaruhi arah pertumbuhan global. Pertumbuhan masih berlanjut, namun fondasinya mulai bergeser: dari ekspansi berbasis globalisasi menuju efisiensi regional, inovasi teknologi, dan ketahanan sistemik.

Dalam konteks ini, negara berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan yang lebih kompleks.
Ketika negara maju mengalihkan perhatian pada proteksi industri dan kemandirian energi, ruang ekspor dan investasi bagi negara berkembang menjadi lebih sempit. Namun, justru di tengah keterbatasan ini terdapat peluang strategis — untuk menyusun ulang model pembangunan yang lebih berkelanjutan dan tahan terhadap gejolak eksternal.

Bagi Indonesia, pembelajaran utamanya jelas.

Pertama, disiplin makroekonomi dan kredibilitas kebijakan publik harus dijaga sebagai fondasi stabilitas.
Kedua, fokus pembangunan perlu bergeser dari konsumsi jangka pendek ke penguatan produktivitas struktural, melalui investasi di pendidikan, riset, dan digitalisasi industri.
Ketiga, diversifikasi ekonomi—baik melalui hilirisasi komoditas maupun pengembangan sektor hijau—harus menjadi prioritas agar ketergantungan terhadap pasar global tidak terlalu besar.

Ketahanan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir membuktikan bahwa kebijakan yang konsisten mampu melindungi perekonomian dari gejolak eksternal. Namun, ketahanan saja tidak cukup untuk menghadapi dunia yang sedang berubah cepat. Diperlukan strategi transformasi yang lebih menyeluruh: menghubungkan stabilitas jangka pendek dengan visi jangka panjang menuju produktivitas, keberlanjutan, dan daya saing global.

Menavigasi ketidakpastian berarti beradaptasi tanpa kehilangan arah. Selama kebijakan ekonomi Indonesia tetap berpijak pada efisiensi fiskal, peningkatan produktivitas, dan inovasi berkelanjutan, maka krisis global tidak lagi menjadi ancaman, melainkan panggilan untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional menuju 2030.

 

Refrensi:

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2024). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

International Monetary Fund. (2024). World Economic Outlook: Navigating divergent recoveries. Washington, DC: IMF.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2025). OECD Economic Outlook, Interim Report: Steering through uncertainty. Paris: OECD Publishing.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2024). Economic policy reforms 2024: Going for growth. Paris: OECD Publishing.

World Bank. (2024). Global Economic Prospects: Balancing growth and stability. Washington, DC: World Bank Group.

Selengkapnya
Menavigasi Ketidakpastian: Prospek Ekonomi Global 2025 Menurut OECD

Ekonomi

Menatap 2030: Tantangan dan Arah Baru Daya Saing Ekonomi Global

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Oktober 2025


Dunia sedang berada pada persimpangan besar transformasi ekonomi. Menjelang 2030, peta daya saing global tidak lagi ditentukan semata oleh kekuatan industri atau stabilitas finansial, melainkan oleh kemampuan negara beradaptasi terhadap perubahan teknologi, demografi, dan lingkungan. Laporan terbaru World Economic Forum (2025) berjudul Global Economic Futures: Competitiveness in 2030 menggambarkan bahwa dekade ini akan menjadi masa redefinisi terhadap makna “daya saing” — dari sekadar efisiensi ekonomi menuju ketahanan sistemik dan kemampuan berinovasi secara berkelanjutan.

Pandemi global, disrupsi rantai pasok, dan percepatan digitalisasi telah memperlihatkan bahwa ekonomi modern tidak lagi dapat bertumpu pada keunggulan biaya atau sumber daya alam. Sebaliknya, kualitas institusi, kesiapan teknologi, kapasitas inovasi, dan inklusi sosial kini menjadi pilar utama yang menentukan keberhasilan jangka panjang. Negara yang gagal menyeimbangkan keempat faktor ini akan tertinggal, bahkan jika memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara nominal.

Indonesia menghadapi tantangan dan peluang besar dalam lanskap baru ini. Sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia, Indonesia memiliki potensi demografis dan pasar domestik yang kuat, namun juga harus beradaptasi dengan dinamika global yang semakin kompleks — termasuk otomatisasi industri, transisi energi hijau, dan persaingan inovasi berbasis kecerdasan buatan (AI).
Kunci keberhasilan menuju 2030 bukan hanya mempercepat pertumbuhan, tetapi membangun struktur ekonomi yang tangguh, adaptif, dan inklusif.

Laporan WEF menekankan bahwa daya saing masa depan akan bergeser ke arah “systemic competitiveness” — konsep yang menggabungkan produktivitas ekonomi, ketahanan sosial, dan kemampuan teknologi dalam satu ekosistem. Artinya, negara harus mampu mengelola bukan hanya apa yang diproduksi, tetapi bagaimana nilai diciptakan dan didistribusikan di tengah perubahan global yang cepat. Dalam konteks ini, peningkatan produktivitas nasional, investasi pada modal manusia, dan penguatan tata kelola menjadi tiga fondasi utama bagi transformasi ekonomi Indonesia.

Pendekatan baru terhadap daya saing ini tidak hanya menuntut inovasi di sektor swasta, tetapi juga reformasi kebijakan publik yang lebih adaptif dan kolaboratif. Pemerintah perlu berperan bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai katalis ekosistem inovasi — mendorong riset, memperkuat keterampilan digital, dan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak meninggalkan kelompok masyarakat manapun.

Dengan arah global yang bergerak menuju keberlanjutan, digitalisasi, dan inklusivitas, dekade menuju 2030 akan menjadi ujian bagi kapasitas Indonesia untuk menyeimbangkan pertumbuhan dan ketahanan. Ekonomi masa depan tidak lagi dimenangkan oleh yang terbesar, tetapi oleh yang paling gesit, berpengetahuan, dan berkelanjutan.

 

Tren Global: Redefinisi Daya Saing di Era Pasca-Disrupsi

Daya saing global kini berada dalam fase redefinisi mendasar. Jika pada dekade 1990–2010 kekuatan ekonomi ditentukan oleh efisiensi biaya dan liberalisasi perdagangan, maka menjelang 2030, indikatornya telah bergeser menjadi inovasi, resiliensi, dan keberlanjutan. Laporan Global Economic Futures dari World Economic Forum (2025) mencatat bahwa daya saing tidak lagi hanya bergantung pada seberapa cepat suatu negara tumbuh, tetapi seberapa tangguh ia bertahan dan beradaptasi di tengah disrupsi.

Tiga poros utama membentuk wajah baru kompetisi global ini:

1. Revolusi Teknologi dan Otomatisasi Inklusif

Kecerdasan buatan (AI), machine learning, dan otomatisasi telah mengubah lanskap industri lebih cepat dari prediksi awal.
WEF memperkirakan bahwa lebih dari 40% pekerjaan di negara berkembang akan terdampak otomatisasi parsial pada 2030, tetapi pada saat yang sama muncul peluang baru di bidang desain algoritma, analisis data, dan rekayasa sistem cerdas. Daya saing ke depan ditentukan oleh kemampuan negara untuk memadukan inovasi teknologi dengan kesiapan tenaga kerja.

Negara-negara yang berhasil mengintegrasikan teknologi dengan pelatihan vokasi, riset terapan, dan kewirausahaan digital menunjukkan peningkatan produktivitas yang berkelanjutan. Sebaliknya, negara yang menekankan adopsi teknologi tanpa transformasi pendidikan justru mengalami “productivity paradox” — teknologi meningkat, tapi manfaat ekonominya stagnan karena keterampilan manusianya tertinggal.

2. Transisi Energi dan Keberlanjutan Sebagai Aset Kompetitif

Keberlanjutan kini bukan beban, melainkan sumber daya saing baru. WEF menyoroti bahwa negara yang berinvestasi dalam energi bersih dan infrastruktur rendah karbon bukan hanya menekan emisi, tetapi juga menciptakan basis industri baru yang efisien dan berdaya tahan.
Transisi hijau membuka peluang investasi global senilai lebih dari USD 3 triliun pada 2030 — mencakup energi terbarukan, kendaraan listrik, dan teknologi penyimpanan karbon.

Indonesia, dengan potensi energi surya, panas bumi, dan biomassa yang besar, memiliki peluang strategis untuk menjadi pemain utama dalam ekonomi hijau Asia. Namun, daya saing di bidang ini menuntut koordinasi lintas sektor: antara industri, lembaga riset, dan kebijakan publik. Negara yang mampu menghubungkan inovasi energi dengan kebijakan industri akan unggul dalam rantai pasok global hijau masa depan.

3. Pergeseran Geopolitik dan Regionalisasi Ekonomi

Selain faktor teknologi dan lingkungan, dinamika geopolitik juga mengubah peta daya saing dunia. Fragmentasi rantai pasok global akibat ketegangan perdagangan dan konflik geopolitik telah mendorong regionalisasi ekonomi baru. Negara tidak lagi berlomba hanya untuk ekspor global, tetapi membangun ekosistem ekonomi regional yang tangguh melalui kerja sama strategis dan integrasi rantai pasok domestik.

Bagi kawasan Asia Tenggara, ini berarti memperkuat kerja sama antarnegara ASEAN dalam riset, logistik, dan manufaktur berbasis teknologi tinggi.WEF mencatat bahwa daya saing kolektif kawasan akan meningkat jika negara-negara ASEAN berhasil membangun “connected competitiveness” — kemampuan untuk saling melengkapi dalam inovasi dan kapasitas produksi, bukan saling bersaing secara biaya rendah.

Tren-tren ini menegaskan bahwa daya saing masa depan bukan sekadar hasil dari efisiensi, tetapi dari kapasitas adaptasi sistemik.
Negara yang mampu memanfaatkan teknologi secara cerdas, berinvestasi pada energi hijau, dan menjaga stabilitas geopolitik akan memimpin era pasca-disrupsi.Sementara itu, bagi Indonesia, momentum 2030 menjadi titik krusial untuk membangun daya saing berbasis inovasi dan keberlanjutan, bukan sekadar ekspansi ekonomi jangka pendek.

 

Posisi dan Tantangan Daya Saing Indonesia Menjelang 2030

Dalam lanskap daya saing global yang semakin kompleks, Indonesia menempati posisi transisi strategis — berada di antara ekonomi berkembang besar dengan potensi demografis tinggi dan tantangan struktural yang masih signifikan.
Menurut laporan World Economic Forum (2025), daya saing Indonesia menunjukkan peningkatan stabil dalam hal stabilitas makroekonomi, pasar domestik, dan infrastruktur digital, tetapi masih menghadapi hambatan di aspek inovasi, produktivitas tenaga kerja, serta efektivitas tata kelola.

Perjalanan menuju 2030 akan menjadi ujian bagi kemampuan Indonesia dalam mengonversi kekuatan demografi dan sumber daya alam menjadi keunggulan berbasis pengetahuan dan teknologi.

1. Produktivitas Nasional yang Belum Proporsional dengan Potensi

Selama satu dekade terakhir, Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil di kisaran 5 persen per tahun.
Namun, pertumbuhan ini sebagian besar masih didorong oleh konsumsi domestik dan ekspor komoditas, bukan peningkatan produktivitas sektor industri dan jasa bernilai tambah tinggi. Kesenjangan antara output dan efisiensi tenaga kerja masih cukup lebar, menandakan perlunya transformasi menuju ekonomi berbasis produktivitas dan inovasi.

Dalam konteks global, WEF menempatkan Indonesia di kelompok negara dengan “efficiency-driven economy” — tahap di mana efisiensi pasar dan infrastruktur menjadi pendorong utama, tetapi belum mencapai tingkat “innovation-driven” seperti Korea Selatan atau Jerman. Untuk naik kelas, Indonesia perlu memperkuat sistem riset terapan, teknologi industri, dan kolaborasi akademi–bisnis agar dapat menghasilkan inovasi yang berkelanjutan.

2. Kesiapan Teknologi dan Transformasi Digital

Laporan WEF menyoroti bahwa salah satu faktor paling menentukan daya saing masa depan adalah “technological readiness.”
Indonesia memiliki kemajuan signifikan di bidang digitalisasi konsumen — terlihat dari pertumbuhan e-commerce, fintech, dan ekonomi digital yang telah menyumbang lebih dari USD 80 miliar terhadap PDB pada 2024.

Namun, digitalisasi di tingkat industri dan pemerintah masih belum merata. Banyak sektor manufaktur dan layanan publik belum sepenuhnya terintegrasi dengan teknologi otomasi, data analytics, atau kecerdasan buatan.
Kesenjangan digital antarwilayah juga masih besar: sebagian besar infrastruktur data dan konektivitas terkonsentrasi di Jawa.

Kondisi ini menunjukkan bahwa daya saing digital Indonesia masih bersifat konsumtif, bukan produktif.
Artinya, negara harus beralih dari sekadar pengguna teknologi menjadi pencipta nilai digital (digital value creator) melalui investasi riset, pengembangan perangkat lunak, dan industri berbasis data.

3. Kualitas Sumber Daya Manusia dan Keterampilan Masa Depan

Sumber daya manusia (SDM) adalah pilar daya saing yang paling menentukan dalam dekade mendatang. Indonesia memiliki bonus demografi yang langka — sekitar 70% penduduk berada pada usia produktif. Namun, laporan WEF menunjukkan bahwa kualitas pendidikan dan kesiapan keterampilan kerja (future skills readiness) masih menjadi tantangan besar.

Indikator kompetensi digital, kemampuan berpikir kritis, dan literasi teknologi Indonesia masih berada di bawah rata-rata OECD. Jika tidak ditingkatkan, bonus demografi ini justru dapat berubah menjadi “beban struktural,” di mana jumlah tenaga kerja besar tidak diimbangi dengan kualitas dan relevansi keterampilan. Program peningkatan vokasi, reskilling, dan lifelong learning menjadi kunci untuk menutup kesenjangan ini. Investasi pada pendidikan teknologi, sains terapan, dan kewirausahaan digital akan menentukan apakah tenaga kerja Indonesia dapat menjadi motor inovasi, bukan sekadar pengguna sistem ekonomi baru.

4. Institusi, Tata Kelola, dan Kepastian Kebijakan

Selain faktor ekonomi dan teknologi, daya saing juga sangat bergantung pada kualitas tata kelola. WEF menilai bahwa transparansi, birokrasi, dan kepastian regulasi masih menjadi titik lemah Indonesia. Kecepatan dalam mengadaptasi kebijakan baru sering kali terhambat oleh koordinasi antarinstansi dan ketidakkonsistenan implementasi di tingkat daerah.

Di era ekonomi global yang bergerak cepat, fleksibilitas kebijakan menjadi bagian penting dari daya saing nasional.
Negara-negara seperti Singapura dan Finlandia menunjukkan bahwa inovasi kebijakan — misalnya melalui regulatory sandbox dan reformasi cepat — dapat menjadi faktor kunci menarik investasi dan talenta global.
Indonesia perlu membangun ekosistem kebijakan yang lebih eksperimental, berbasis data, dan berorientasi hasil (outcome-based governance).

5. Daya Saing Hijau dan Transisi Energi

Menjelang 2030, kompetisi global tidak hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang kemampuan negara menjaga keberlanjutan lingkungan. Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin dalam ekonomi hijau Asia, namun juga menghadapi dilema antara kebutuhan energi fosil dan komitmen dekarbonisasi. WEF menilai bahwa transformasi menuju energi terbarukan akan menjadi indikator baru dari daya saing negara — bukan hanya karena efisiensi, tetapi juga karena persepsi global terhadap keberlanjutan.

Dengan potensi besar di sektor surya, air, dan panas bumi, Indonesia dapat membangun basis daya saing hijau yang menghubungkan investasi lingkungan dengan inovasi industri. Namun, hal ini memerlukan strategi yang konsisten: reformasi subsidi energi, insentif investasi hijau, serta penguatan teknologi penyimpanan dan efisiensi energi.

Secara keseluruhan, daya saing Indonesia menjelang 2030 ditentukan oleh kemampuan bertransformasi — bukan sekadar bertumbuh. Produktivitas, inovasi, dan keberlanjutan harus menjadi satu kesatuan yang membentuk fondasi baru pembangunan nasional. Dengan kebijakan yang tepat dan koordinasi lintas sektor yang kuat, Indonesia dapat naik dari posisi ekonomi efisiensi menuju ekonomi inovasi — menjadi salah satu pusat pertumbuhan dan daya saing global di kawasan Asia.

 

Arah Strategis Indonesia Menuju Daya Saing 2030

Menghadapi perubahan global yang cepat dan penuh ketidakpastian, Indonesia membutuhkan strategi daya saing jangka panjang yang lebih adaptif, inovatif, dan kolaboratif. WEF menekankan bahwa daya saing modern tidak hanya mencerminkan kekuatan ekonomi saat ini, tetapi juga kapasitas negara untuk mengantisipasi masa depan — membangun sistem yang mampu belajar, berinovasi, dan beradaptasi secara berkelanjutan.

Dalam konteks ini, arah strategis Indonesia menuju 2030 dapat dirumuskan melalui lima agenda utama berikut:

1. Mendorong Transformasi Produktivitas Melalui Inovasi Teknologi

Produktivitas tetap menjadi fondasi daya saing. Namun, di era pasca-disrupsi, peningkatan produktivitas tidak bisa lagi mengandalkan ekspansi tenaga kerja atau eksploitasi sumber daya alam. Fokus harus beralih ke inovasi berbasis teknologi dan efisiensi sistemik.

Pemerintah dapat memperkuat ekosistem inovasi nasional dengan:

  • Meningkatkan investasi riset dan pengembangan (R&D) hingga minimal 1% dari PDB;

  • Memperkuat kemitraan universitas–industri untuk riset terapan;

  • Memberi insentif bagi startup teknologi dan deep-tech enterprises; serta

  • Mengintegrasikan digitalisasi dalam rantai nilai industri melalui AI, Internet of Things (IoT), dan data-driven manufacturing.

Langkah ini bukan hanya meningkatkan produktivitas per sektor, tetapi juga memperluas ruang pertumbuhan ekonomi baru berbasis pengetahuan.

2. Mengembangkan Talenta Digital dan SDM Adaptif

Sumber daya manusia menjadi faktor pembeda utama dalam daya saing global. Meningkatkan kualitas tenaga kerja berarti menyiapkan masyarakat untuk pekerjaan masa depan, bukan sekadar memenuhi pasar tenaga kerja hari ini.

Indonesia perlu mengembangkan kebijakan National Skills Acceleration Framework — kerangka percepatan keterampilan nasional — yang mencakup:

  • Revitalisasi pendidikan vokasi dan politeknik,

  • Program reskilling di bidang data, AI, dan teknologi energi,

  • Insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam pelatihan karyawan, dan

  • Integrasi platform pembelajaran digital untuk lifelong learning.

Melalui kebijakan ini, Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi sebagai bonus inovasi, bukan sekadar surplus tenaga kerja.

3. Membangun Ekosistem Kebijakan yang Lincah dan Berbasis Data

Keunggulan daya saing tidak hanya lahir dari sektor swasta, tetapi juga dari pemerintahan yang efisien, responsif, dan berbasis bukti. Arah kebijakan harus bergeser dari pendekatan administratif menjadi governance-as-an-enabler — tata kelola yang mendorong eksperimen, transparansi, dan inovasi publik.

Reformasi birokrasi digital, pemangkasan prosedur, dan sistem perizinan otomatis dapat meningkatkan kecepatan pengambilan keputusan ekonomi. Selain itu, penggunaan data analytics dan real-time policy feedback akan memungkinkan kebijakan lebih adaptif terhadap perubahan global.

Negara-negara dengan regulasi fleksibel terbukti mampu meningkatkan kepercayaan investor dan kelincahan ekonomi di tengah krisis global. Indonesia perlu menempuh arah serupa agar daya saingnya tetap relevan di tengah dinamika global yang cepat.

4. Mendorong Ekonomi Hijau dan Ketahanan Energi

Transisi menuju ekonomi hijau bukan sekadar komitmen lingkungan, melainkan strategi daya saing baru.
Negara yang berinvestasi lebih awal pada energi terbarukan dan efisiensi sumber daya akan menjadi pemimpin rantai pasok global masa depan.

Indonesia dapat menegaskan posisinya dengan mempercepat:

  • Investasi energi surya, panas bumi, dan bioenergi,

  • Pengembangan industri penyimpanan energi (baterai, hydrogen),

  • Skema insentif pajak untuk industri rendah karbon, dan

  • Sertifikasi hijau bagi ekspor manufaktur.

Selain itu, penerapan ekonomi sirkular dapat memperkuat ketahanan bahan baku industri, menurunkan biaya produksi, dan menciptakan lapangan kerja hijau. Dengan langkah-langkah ini, daya saing Indonesia akan berbasis keberlanjutan, bukan sekadar biaya rendah.

5. Memperkuat Posisi Indonesia dalam Ekosistem Regional dan Global

Dunia menuju era di mana kerja sama regional menjadi penentu utama daya saing. Indonesia perlu memainkan peran lebih besar dalam ekonomi kawasan ASEAN, terutama dalam integrasi rantai pasok dan inovasi lintas negara.

Fokus strateginya mencakup:

  • Peningkatan konektivitas logistik digital di Asia Tenggara,

  • Harmonisasi regulasi teknologi dan data antarnegara ASEAN,

  • Penguatan kemitraan riset hijau dan teknologi manufaktur berkelanjutan, serta

  • Diplomasi ekonomi aktif untuk menarik investasi strategis dari mitra G20.

Dengan pendekatan kolaboratif ini, Indonesia tidak hanya berkompetisi di tingkat nasional, tetapi juga menjadi pusat gravitasi ekonomi regional.

 

Kesimpulan

Daya saing global 2030 bukan hanya tentang efisiensi ekonomi, tetapi tentang kemampuan beradaptasi terhadap perubahan struktur dunia. Indonesia memiliki semua prasyarat untuk menjadi kekuatan ekonomi besar — pasar domestik, sumber daya alam, dan populasi produktif. Namun, keunggulan ini baru akan bermakna jika diubah menjadi nilai ekonomi berbasis inovasi, keterampilan, dan keberlanjutan.

Dengan menempatkan produktivitas, SDM, tata kelola, dan transisi hijau sebagai empat fondasi utama, Indonesia dapat menatap 2030 sebagai era kebangkitan daya saing nasional yang sejati bukan hanya tumbuh, tetapi juga tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

 

Refrensi:

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2024). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2023). Future of productivity and inclusive growth. Paris: OECD Publishing.

United Nations Industrial Development Organization. (2023). The role of innovation and industrial policy in enhancing competitiveness. Vienna: UNIDO.

World Bank. (2024). The changing nature of work in Southeast Asia: Skills, automation, and the digital economy. Washington, DC: World Bank Group.

World Economic Forum. (2025). Global Economic Futures: Competitiveness in 2030. Geneva: World Economic Forum.

World Economic Forum. (2024). Future of Jobs Report 2024. Geneva: World Economic Forum.

 

 

Selengkapnya
Menatap 2030: Tantangan dan Arah Baru Daya Saing Ekonomi Global

Ekonomi

Ekonomi Sirkular sebagai Strategi Transformasi Nasional: Manfaat Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan bagi Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 30 Oktober 2025


Menjelang dekade terakhir menuju target Sustainable Development Goals (SDGs) dan komitmen Paris Agreement 2030, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan ketahanan lingkungan. Dalam konteks tersebut, ekonomi sirkular muncul bukan hanya sebagai konsep manajemen limbah, melainkan sebagai kerangka transformasi ekonomi nasional yang mampu memperkuat produktivitas, menciptakan lapangan kerja, dan menurunkan emisi karbon.

Model ini menekankan pentingnya menjaga nilai material, komponen, dan produk agar tetap berada dalam siklus ekonomi selama mungkin. Dengan demikian, nilai tambah tercipta bukan dari eksploitasi sumber daya baru, melainkan dari efisiensi dan inovasi dalam memanfaatkan yang sudah ada. Pendekatan ini menjadi semakin relevan di Indonesia, di mana ketergantungan pada model ekonomi linear—ambil, buat, buang—telah menimbulkan tekanan besar pada sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Pemerintah Indonesia melalui Bappenas, UNDP, dan dukungan Pemerintah Denmark telah memulai langkah strategis dengan melakukan kajian manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari ekonomi sirkular. Hasilnya menunjukkan bathwa penerapan sistem ini tidak hanya akan menurunkan limbah hingga 50% di tahun 2030, tetapi juga berpotensi menambah PDB nasional sebesar Rp593–638 triliun, menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru, dan mengurangi emisi CO₂ sebesar 126 juta ton.

Dengan manfaat sebesar itu, ekonomi sirkular bukan lagi pilihan tambahan, melainkan fondasi baru pembangunan Indonesia yang hijau dan inklusif.

 

Potensi Ekonomi dan Produktivitas Nasional

Kajian UNDP dan Bappenas (2021) memperlihatkan bahwa ekonomi sirkular memiliki potensi ekonomi yang luar biasa bagi Indonesia, terutama dalam meningkatkan efisiensi sumber daya, memperkuat produktivitas lintas sektor, serta menciptakan peluang pertumbuhan baru berbasis inovasi. Dalam skenario implementasi yang moderat, transisi menuju ekonomi sirkular berpotensi menambah produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar Rp593–638 triliun pada tahun 2030, atau setara dengan peningkatan sekitar 2–3 persen terhadap baseline ekonomi linear.

Peningkatan ini tidak berasal dari ekspansi produksi semata, melainkan dari peningkatan efisiensi struktural yakni kemampuan sektor-sektor industri meminimalkan limbah, memaksimalkan pemanfaatan bahan, dan mengurangi ketergantungan pada input primer. Dengan demikian, ekonomi sirkular menjadi sumber produktifitas baru yang tidak bergantung pada penambahan faktor input konvensional seperti tenaga kerja atau energi, tetapi pada optimalisasi nilai dari setiap satuan sumber daya.

1. Transformasi Produktivitas di Sektor-Sektor Utama

Laporan UNDP–Bappenas mengidentifikasi lima sektor prioritas yang memiliki potensi paling besar dalam mengadopsi prinsip ekonomi sirkular:
(1) makanan dan minuman (F&B), (2) tekstil, (3) konstruksi, (4) elektronik, dan (5) ritel.
Kelima sektor ini menyumbang proporsi signifikan terhadap PDB nasional, sekaligus menjadi penyumbang utama timbulan limbah padat dan emisi karbon.

  • Sektor Makanan dan Minuman
    Penerapan sistem sirkular melalui pengurangan sisa makanan, pemanfaatan limbah organik sebagai energi atau kompos, serta efisiensi rantai pasok dapat meningkatkan nilai tambah hingga Rp125 triliun per tahun.
    Upaya ini juga berpotensi menurunkan emisi hingga 30 persen dan memperkuat ketahanan pangan nasional.

  • Sektor Tekstil
    Melalui daur ulang serat, desain ulang produk (eco-design), dan sistem take-back scheme, industri tekstil dapat menghemat bahan baku hingga 20 persen dan menciptakan rantai pasok baru di bidang daur ulang kain dan pakaian bekas.
    Pendekatan ini sejalan dengan tren global menuju sustainable fashion industry.

  • Sektor Konstruksi
    Penggunaan material daur ulang, pengelolaan limbah bangunan, serta desain modular untuk efisiensi sumber daya dapat mengurangi konsumsi material mentah hingga 15 persen, serta menurunkan biaya konstruksi jangka panjang.
    Dalam konteks urbanisasi cepat, hal ini memiliki dampak besar terhadap produktivitas ekonomi kota.

  • Sektor Elektronik dan Ritel
    Sistem daur ulang komponen elektronik (e-waste recycling) dan perpanjangan umur produk melalui repair economy berpotensi menghasilkan nilai ekonomi lebih dari Rp100 triliun serta menciptakan lapangan kerja teknis baru.
    Di sektor ritel, pergeseran menuju model reuse dan refill akan menurunkan biaya distribusi sekaligus mengurangi sampah kemasan plastik secara drastis.

Secara agregat, lima sektor ini dapat menjadi pendorong utama Total Factor Productivity (TFP) nasional, dengan kombinasi antara inovasi proses dan efisiensi penggunaan material.

2. Efisiensi Sumber Daya dan Penghematan Biaya Nasional

Selain peningkatan output ekonomi, ekonomi sirkular memberikan manfaat efisiensi biaya produksi dalam skala besar.
Laporan UNDP memperkirakan bahwa Indonesia berpotensi menghemat hingga Rp300 triliun per tahun dari pengurangan limbah, peningkatan efisiensi energi, dan daur ulang material. Manfaat ekonomi ini langsung berdampak pada daya saing industri, karena menurunkan biaya input dan memperkecil risiko terhadap fluktuasi harga bahan baku global.

Lebih jauh lagi, sistem sirkular memperkuat ketahanan ekonomi nasional terhadap gangguan eksternal.
Dengan memperpanjang umur material dan mengandalkan sumber daya lokal, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor bahan mentah dan energi, sekaligus memperkuat kemandirian industri.

3. Inovasi sebagai Motor Pertumbuhan Produktif

Ekonomi sirkular tidak hanya berorientasi pada penghematan, tetapi juga mendorong penciptaan nilai baru melalui inovasi.
Model bisnis baru seperti product-as-a-service, sharing platforms, dan remanufacturing membuka ruang ekonomi yang sebelumnya tidak dieksplorasi.
Perusahaan yang beradaptasi dengan cepat terhadap model ini menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi karena mampu menggabungkan efisiensi operasional dengan nilai tambah berbasis pengetahuan.

Dalam jangka panjang, inovasi yang lahir dari praktik sirkular akan mempercepat diversifikasi ekonomi Indonesia.
Ketergantungan pada sektor berbasis ekstraksi dapat digantikan oleh sektor bernilai tambah tinggi yang berfokus pada teknologi daur ulang, desain produk berkelanjutan, serta logistik hijau sektor-sektor yang menjadi ciri utama ekonomi masa depan.

Dengan kombinasi antara peningkatan efisiensi, inovasi model bisnis, dan penciptaan rantai nilai baru, ekonomi sirkular dapat menjadi motor penggerak produktivitas nasional yang paling strategis dalam dua dekade mendatang.
Transformasi ini bukan sekadar peluang ekonomi, tetapi juga fondasi bagi sistem produksi yang adaptif terhadap tantangan lingkungan dan perubahan iklim.

 

Manfaat Sosial: Lapangan Kerja dan Inklusi Ekonomi Baru

Transisi menuju ekonomi sirkular bukan hanya agenda industri atau lingkungan, tetapi juga agenda sosial.
Studi UNDP dan Bappenas (2021) menegaskan bahwa implementasi penuh ekonomi sirkular di Indonesia berpotensi menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru pada tahun 2030. Angka ini tidak hanya menunjukkan potensi ekspansi ekonomi, tetapi juga transformasi dalam struktur kesempatan kerja nasional.

Ekonomi sirkular membuka ruang bagi jenis pekerjaan baru dari desain produk berkelanjutan, pengelolaan limbah industri, logistik daur ulang, hingga teknologi digital untuk pelacakan rantai pasok. Lebih penting lagi, model ini menggeser orientasi tenaga kerja dari pola eksploitasi sumber daya menuju pengelolaan sumber daya.

Dengan demikian, lapangan kerja yang tercipta bukan hanya lebih banyak, tetapi juga lebih berkelanjutan dan bernilai tinggi.

1. Penciptaan Lapangan Kerja Hijau (Green Jobs)

Penerapan sistem sirkular menciptakan permintaan baru pada pekerjaan yang berhubungan langsung dengan efisiensi sumber daya dan inovasi proses. Sektor seperti pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang material; perbaikan dan perawatan produk; serta energi terbarukan menjadi penyumbang utama lapangan kerja hijau di masa depan.

UNDP memperkirakan bahwa sektor pengelolaan limbah dan daur ulang saja dapat menyerap lebih dari 1,5 juta pekerja baru pada 2030, dengan sebagian besar berasal dari tenaga kerja informal yang kini belum terintegrasi ke sistem industri formal.
Dengan dukungan kebijakan yang tepat, tenaga kerja informal dapat dilibatkan dalam rantai nilai formal melalui pelatihan, sertifikasi, dan insentif kemitraan dengan perusahaan besar. Langkah ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan pekerja, tetapi juga memperkuat struktur sosial ekonomi lokal di berbagai daerah.

Lebih luas lagi, konsep green jobs memberi peluang bagi pekerja muda dan perempuan untuk berpartisipasi dalam ekonomi baru yang berbasis pengetahuan dan inovasi. Industri berbasis daur ulang dan perbaikan produk, misalnya, memiliki hambatan masuk yang lebih rendah dan fleksibilitas tinggi, menjadikannya lahan ideal untuk pengembangan wirausaha hijau di tingkat komunitas.

2. Penguatan UMKM dan Inklusi Ekonomi Daerah

Ekonomi sirkular sangat relevan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Sebagian besar UMKM bergerak di sektor padat karya seperti makanan, tekstil, dan konstruksi, yang memiliki peluang besar untuk menerapkan prinsip sirkularitas melalui pemanfaatan limbah, efisiensi energi, dan inovasi material lokal.

Dengan pendekatan yang tepat, ekonomi sirkular dapat membantu UMKM menurunkan biaya produksi, meningkatkan daya saing, serta memperluas akses pasar hijau global. Sebagai contoh, pelaku industri kreatif yang menggunakan bahan daur ulang atau upcycled kini memiliki nilai jual lebih tinggi di pasar ekspor, terutama di negara-negara yang menerapkan standar sustainability labeling.

Selain itu, adopsi model sirkular juga memperkuat pemerataan ekonomi antarwilayah. Sumber daya sekunder seperti limbah organik, plastik, atau logam tersebar di berbagai daerah dan dapat diolah secara lokal. Hal ini mendorong munculnya pusat-pusat ekonomi baru di luar Jawa, sekaligus mengurangi tekanan urbanisasi berlebihan di kota besar.

3. Pengurangan Ketimpangan dan Penguatan Ketahanan Sosial

Implementasi ekonomi sirkular membawa manfaat sosial jangka panjang berupa pengurangan ketimpangan ekonomi dan peningkatan ketahanan sosial masyarakat. Dengan sistem yang menekankan penggunaan kembali sumber daya lokal dan pengelolaan limbah berbasis komunitas, masyarakat dapat lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan ekonominya.

Sebagai contoh, program pengelolaan limbah terpadu di beberapa kota seperti Surabaya dan Malang menunjukkan bahwa inisiatif daur ulang berbasis masyarakat tidak hanya menurunkan volume sampah, tetapi juga meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Pola ini jika diperluas secara nasional dapat memperkuat jejaring sosial-ekonomi yang lebih inklusif, terutama di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi.

Lebih jauh lagi, transisi ke ekonomi sirkular menciptakan sistem sosial yang lebih tangguh terhadap krisis.
Selama pandemi COVID-19, perusahaan yang telah mengadopsi model produksi efisien dan berbasis daur ulang terbukti lebih mampu menekan biaya dan mempertahankan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip sirkular bukan hanya solusi lingkungan, tetapi juga mekanisme perlindungan sosial dan ekonomi.

4. Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Kesadaran Ekologis

Di luar manfaat ekonomi dan lapangan kerja, ekonomi sirkular berkontribusi langsung terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dengan berkurangnya polusi udara, air, dan tanah akibat limbah industri, kesehatan masyarakat meningkat dan beban biaya medis menurun.

Selain itu, perubahan perilaku konsumsi menuju gaya hidup berkelanjutan (sustainable lifestyle) memperkuat kesadaran ekologis dan tanggung jawab sosial antar generasi.

Peningkatan kesadaran ini menjadi elemen penting dari keberhasilan transisi sirkular. Ekonomi yang efisien secara material hanya dapat bertahan jika didukung oleh masyarakat yang sadar akan nilai keberlanjutan. Karena itu, pendidikan lingkungan dan literasi hijau di tingkat sekolah, kampus, dan komunitas menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi sosial ekonomi sirkular.

 

Dampak Lingkungan dan Ketahanan Ekologis (Versi Diperluas)

Dampak lingkungan dari penerapan ekonomi sirkular merupakan salah satu dimensi paling penting dari seluruh transformasi sistem ekonomi ini. Model linear “ambil–buat–buang” telah lama menjadi penyebab utama krisis ekologi global — mulai dari meningkatnya emisi karbon, pencemaran air dan tanah, hingga tekanan terhadap keanekaragaman hayati.
Dalam konteks Indonesia, masalah tersebut semakin kompleks karena laju pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang cepat tidak diimbangi dengan sistem pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan.

Ekonomi sirkular menawarkan solusi struktural terhadap tantangan ini dengan mengubah cara produksi dan konsumsi di seluruh rantai nilai industri. Melalui efisiensi material, pengurangan limbah, dan regenerasi sumber daya alam, sistem ini menciptakan keseimbangan baru antara aktivitas ekonomi dan daya dukung lingkungan.

1. Pengurangan Emisi dan Kontribusi terhadap Target Net-Zero

Kajian UNDP dan Bappenas (2021) memperkirakan bahwa penerapan ekonomi sirkular di lima sektor prioritas dapat mengurangi emisi karbon hingga 126 juta ton CO₂ pada tahun 2030.
Angka ini setara dengan sekitar 11–12 persen dari target pengurangan emisi nasional yang tercantum dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.

Pengurangan emisi ini terutama dihasilkan dari tiga mekanisme utama:

  1. Efisiensi energi dalam proses produksi dan transportasi,

  2. Pengurangan limbah organik yang menurunkan emisi metana dari tempat pembuangan akhir, dan

  3. Substitusi bahan baku primer dengan material daur ulang yang memiliki jejak karbon lebih rendah.

Selain itu, penerapan model sirkular di sektor konstruksi dan tekstil juga dapat memperpanjang umur produk dan mengurangi intensitas energi dalam siklus hidup barang. Kombinasi kebijakan efisiensi ini menjadikan ekonomi sirkular sebagai kontributor signifikan terhadap strategi net-zero Indonesia pada 2060.

2. Pengelolaan Limbah dan Efisiensi Material

Salah satu dampak paling nyata dari transisi ke ekonomi sirkular adalah penurunan volume limbah secara signifikan.
Hasil kajian menunjukkan bahwa dengan penerapan penuh prinsip sirkular, Indonesia dapat menurunkan timbulan limbah padat hingga 50 persen pada tahun 2030 dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa.

Langkah ini tidak hanya menurunkan beban tempat pembuangan akhir (TPA), tetapi juga menghemat biaya pengelolaan limbah bagi pemerintah daerah. Melalui praktik reuse dan remanufacturing, bahan-bahan seperti plastik, logam, dan organik dapat digunakan kembali sebagai input industri, menciptakan siklus tertutup (closed-loop system) yang meminimalkan kehilangan sumber daya.

Di sektor makanan dan minuman, penerapan sistem food waste recovery telah terbukti menurunkan limbah organik hingga 35 persen sambil menghasilkan kompos dan biogas sebagai sumber energi alternatif. Sementara di sektor elektronik, e-waste management system berbasis daur ulang dan pemulihan logam mulia mampu mengurangi limbah berbahaya sekaligus memperpanjang ketersediaan bahan baku industri domestik.

3. Regenerasi Ekosistem dan Ketahanan Alam

Ekonomi sirkular juga berperan penting dalam memulihkan fungsi ekologis yang selama ini terganggu oleh aktivitas industri.
Prinsip regeneratif yang diusung model ini mendorong industri untuk tidak hanya mengurangi dampak negatif, tetapi juga membangun kembali kapasitas alam untuk memperbarui dirinya.

Sebagai contoh, penerapan konsep industrial symbiosis di kawasan industri dapat meminimalkan pembuangan limbah cair ke sungai, memperbaiki kualitas air, dan mengurangi beban pencemaran.
Demikian pula, penggunaan bahan baku terbarukan seperti bioplastik dari limbah pertanian membantu menurunkan ketergantungan terhadap sumber daya fosil sekaligus mendorong peningkatan nilai ekonomi di sektor agribisnis.

Selain itu, ekonomi sirkular memperkuat ketahanan ekologis (ecological resilience) — kemampuan sistem alam untuk pulih dari tekanan eksternal. Dengan mengurangi eksploitasi hutan, tambang, dan perairan, sistem ekonomi ini memperpanjang umur ekosistem sekaligus menjaga stabilitas fungsi layanan lingkungan seperti penyimpanan karbon, ketersediaan air bersih, dan kesuburan tanah.

4. Mengurangi Jejak Ekologis dan Polusi Plastik

Indonesia merupakan salah satu penghasil sampah plastik laut terbesar di dunia. Laporan UNDP menunjukkan bahwa penerapan ekonomi sirkular di sektor ritel dan kemasan dapat mengurangi polusi plastik hingga 5 juta ton per tahun melalui sistem refill, reuse packaging, dan producer responsibility scheme.

Selain menekan pencemaran laut, langkah ini juga menurunkan konsumsi energi dan emisi yang timbul dari proses pembuatan plastik baru. Dalam jangka panjang, sistem pengelolaan kemasan berbasis tanggung jawab produsen (Extended Producer Responsibility – EPR) akan memperkuat rantai nilai industri daur ulang domestik dan menciptakan peluang ekonomi baru di sektor logistik material.

5. Ketahanan Lingkungan sebagai Pilar Produktivitas Nasional

Manfaat lingkungan yang dihasilkan ekonomi sirkular memiliki konsekuensi langsung terhadap daya saing dan produktivitas nasional. Lingkungan yang sehat mendukung ketersediaan bahan baku, stabilitas energi, dan kesehatan tenaga kerja — tiga elemen penting dalam sistem produktif.

Dengan kata lain, keberlanjutan ekologi adalah fondasi jangka panjang bagi keberlanjutan ekonomi. Ketika perusahaan mampu menekan emisi, meminimalkan limbah, dan menggunakan kembali material secara efisien, mereka bukan hanya menjaga lingkungan, tetapi juga memperkuat posisi kompetitif di pasar global yang kini menuntut jejak karbon rendah.
Dengan demikian, ekonomi sirkular menjadi strategi adaptif terhadap perubahan iklim sekaligus strategi produktivitas industri masa depan.

Secara keseluruhan, dampak lingkungan dari ekonomi sirkular menegaskan bahwa keberlanjutan dan produktivitas bukanlah dua kutub yang berlawanan. Keduanya saling memperkuat dalam membangun sistem ekonomi yang tangguh, efisien, dan berdaya saing tinggi. Dengan penerapan yang sistematis dan dukungan kebijakan yang kuat, Indonesia berpotensi menjadi contoh sukses transisi hijau di kawasan Asia Tenggara — di mana pertumbuhan ekonomi tidak lagi bertentangan dengan keseimbangan ekologis.

 

Meneguhkan Arah Transformasi

Secara keseluruhan, arah kebijakan ekonomi sirkular di Indonesia harus difokuskan pada sinergi antara produktivitas, keberlanjutan, dan inklusivitas. Transformasi ini menuntut keseriusan politik dan konsistensi kebijakan, tetapi manfaatnya akan melampaui sektor ekonomi — menciptakan masyarakat yang lebih adil, industri yang lebih tangguh, dan lingkungan yang lebih sehat.

Dengan mengintegrasikan ekonomi sirkular ke dalam strategi pembangunan nasional, Indonesia dapat menjadi contoh global tentang bagaimana negara berkembang dapat tumbuh tanpa merusak. Ekonomi sirkular bukan lagi sekadar alternatif; ia adalah arah baru pembangunan produktif dan berkelanjutan menuju Visi Indonesia Emas 2045.

 

Refrensi:

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). The economic, social, and environmental benefits of a circular economy in Indonesia. Jakarta: United Nations Development Programme (UNDP) & Bappenas.

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. (2023). Making Indonesia 4.0: Peta Jalan Industri Nasional. Jakarta: Kementerian Perindustrian RI.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2022). Global lessons for circular economy transition in emerging economies. Paris: OECD Publishing.

United Nations Industrial Development Organization. (2023). Circular economy: A new paradigm for sustainable industrial development. Vienna: UNIDO.

World Economic Forum. (2020). Circular economy in emerging markets: Building resilient value chains. Geneva: WEF.

Selengkapnya
Ekonomi Sirkular sebagai Strategi Transformasi Nasional: Manfaat Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan bagi Indonesia

Ekonomi

Strategi Pembiayaan Proyek Ekonomi Sirkular: Studi Klinis dan Implikasi Nyata

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 16 September 2025


Ekonomi Sirkular dan Tantangan Pendanaannya

Ekonomi sirkular kini menjadi salah satu pendekatan paling menjanjikan dalam mengatasi krisis lingkungan dan pemborosan sumber daya global. Alih-alih mengikuti pola "ambil–buat–buang", ekonomi sirkular berusaha mengoptimalkan siklus hidup produk, meminimalkan limbah, dan menciptakan nilai berkelanjutan. Meski konsep ini makin diterima secara luas, salah satu tantangan terbesarnya adalah pembiayaan. Bagaimana cara membiayai proyek ekonomi sirkular yang cenderung inovatif, tidak biasa, dan berisiko tinggi di mata investor tradisional?

Makalah berjudul “Financing Circular Economy Projects: A Clinical Study” karya Stefania Migliorelli (2021) menjawab pertanyaan ini dengan pendekatan klinis melalui studi kasus konkret. Artikel ini menjadi referensi penting karena mengombinasikan teori keuangan dengan dinamika riil implementasi ekonomi sirkular di Eropa.

Mengapa Pembiayaan Ekonomi Sirkular Itu Rumit?

Secara umum, proyek ekonomi sirkular memiliki karakteristik yang membuatnya sulit masuk dalam skema pendanaan konvensional. Beberapa hambatan utamanya adalah:

  • Model bisnis yang belum terbukti: Investor cenderung berhati-hati terhadap proyek yang belum memiliki rekam jejak kuat.
  • Return on investment (ROI) yang jangka panjang: Proyek daur ulang atau penggunaan ulang sering kali membutuhkan waktu lebih lama untuk menghasilkan keuntungan.
  • Risiko teknologi dan pasar: Karena proyek sirkular kerap bergantung pada teknologi baru dan perubahan perilaku konsumen, tingkat ketidakpastiannya lebih tinggi.
  • Kurangnya metrik yang distandarkan: Tidak ada indikator universal untuk menilai keberhasilan proyek sirkular secara finansial dan lingkungan.

Makalah ini menggarisbawahi bahwa sistem keuangan saat ini belum sepenuhnya siap mendukung transformasi menuju ekonomi sirkular, meskipun banyak bank, investor, dan lembaga multilateral sudah menunjukkan minat.

Studi Kasus: Proyek Circular Economy di Italia Utara

Sebagai bagian dari studi klinisnya, Migliorelli meneliti secara mendalam sebuah proyek ekonomi sirkular yang dilakukan oleh perusahaan publik lokal (local public utility company) di Italia Utara. Proyek ini difokuskan pada:

  • Pengelolaan limbah berbasis prinsip sirkular
  • Investasi dalam infrastruktur baru untuk pemrosesan dan daur ulang
  • Pemanfaatan kembali limbah organik untuk energi atau pupuk

Pendanaan proyek tersebut bernilai sekitar €85 juta, yang mencakup investasi dalam fasilitas pengolahan limbah, kendaraan pengangkut yang ramah lingkungan, dan teknologi pelacakan pintar. Sumber pendanaannya terdiri dari:

  • Dana sendiri (equity): sekitar 30%
  • Pinjaman bank: 45%
  • Dana publik (UE dan nasional): 25%

Pendekatan ini menjadi contoh nyata bagaimana skema pembiayaan bisa dirancang untuk proyek berisiko tinggi dengan melibatkan berbagai pihak.

Mekanisme Pembiayaan: Kolaborasi Multi-Pihak

Dalam proyek ini, perusahaan lokal bekerja sama dengan bank pembangunan daerah dan lembaga pemerintah nasional serta Uni Eropa. Sinergi ini memungkinkan perusahaan untuk mengurangi beban risiko keuangan secara signifikan.

Bank pembangunan tidak hanya menyediakan modal, tetapi juga berperan aktif dalam:

  • Evaluasi kelayakan teknis proyek
  • Penyusunan laporan dampak lingkungan
  • Penjaminan sebagian pinjaman

Sementara dana publik, baik dari program nasional maupun EU Cohesion Funds, digunakan untuk:

  • Menutupi biaya investasi awal
  • Memberikan insentif untuk inovasi teknologi
  • Mendukung pelatihan tenaga kerja lokal

Struktur pembiayaan ini menjadi model hibrida antara mekanisme pasar dan dukungan publik, yang dinilai efektif dalam mendanai proyek transformatif.

Faktor Kunci Keberhasilan Pembiayaan

Dari analisis klinis ini, ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil oleh pelaku industri dan pembuat kebijakan:

  1. Adanya peran fasilitator keuangan (financial enabler): Dalam hal ini, bank pembangunan daerah bertindak sebagai katalis yang mempertemukan pelaku proyek dengan sumber dana.
  2. Kepemimpinan lokal yang kuat: Proyek ini dipimpin oleh entitas publik lokal yang memiliki kapasitas teknis dan legitimasi sosial.
  3. Model bisnis yang adaptif: Perusahaan menerapkan prinsip fleksibilitas dalam model bisnisnya, termasuk diversifikasi layanan dan pendekatan berbasis nilai tambah lingkungan.
  4. Keterbukaan terhadap inovasi: Proyek ini menggabungkan teknologi digital untuk pelacakan limbah dan pemantauan dampak, yang meningkatkan transparansi dan efisiensi.
  5. Adanya dukungan kebijakan nasional dan regional: Proyek ini tidak berdiri sendiri, tetapi bagian dari kerangka strategi sirkular ekonomi nasional Italia dan agenda hijau Uni Eropa.

Perbandingan dengan Proyek Serupa di Negara Lain

Studi Migliorelli menarik untuk dibandingkan dengan upaya pembiayaan proyek sirkular di negara-negara seperti Belanda atau Jerman. Di Belanda, banyak proyek sirkular didanai melalui kemitraan publik-swasta dengan keterlibatan lembaga keuangan berkelanjutan. Sedangkan di Jerman, model yang banyak digunakan adalah insentif pajak dan skema leasing berbasis performa.

Namun yang membedakan studi kasus Italia adalah pendekatan klinis dan lokal—di mana pemerintah daerah memimpin langsung proses transformasi dan tidak bergantung pada investor korporat besar. Ini bisa menjadi model yang relevan untuk diterapkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, di mana peran pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah dan infrastruktur dasar sangat vital.

Tantangan Umum yang Perlu Diantisipasi

Meski studi ini menunjukkan keberhasilan relatif, masih ada beberapa tantangan yang tidak bisa diabaikan:

  • Kompleksitas koordinasi antar pemangku kepentingan: Butuh waktu dan energi untuk menyatukan visi dan ekspektasi antara sektor publik, bank, dan masyarakat.
  • Kebutuhan akan data lingkungan yang kuat: Banyak lembaga keuangan masih kesulitan mengukur risiko lingkungan secara kuantitatif.
  • Keterbatasan kapasitas teknis di tingkat lokal: Tidak semua pemerintah daerah memiliki SDM atau pengalaman untuk mengelola proyek sirkular berskala besar.

Implikasi bagi Indonesia: Bisa atau Tidak?

Dalam konteks Indonesia, pendekatan studi klinis Migliorelli sangat relevan. Banyak proyek pengelolaan limbah dan energi terbarukan di daerah yang tidak kunjung terlaksana karena masalah pembiayaan. Studi ini memberikan peta jalan tentang bagaimana pemerintah daerah, BUMD, dan lembaga keuangan bisa bersinergi:

  • Bank pembangunan daerah atau BUMN dapat mengambil peran seperti bank pembangunan di Italia Utara.
  • Dana transfer daerah atau green bond dapat digunakan untuk mendanai investasi awal proyek sirkular.
  • Kolaborasi dengan universitas dan startup bisa mendukung komponen inovasi dan teknologi digital.

Namun tentu saja, diperlukan dukungan kebijakan yang konsisten, termasuk insentif fiskal, pelatihan SDM, dan penyederhanaan prosedur birokrasi.

Kesimpulan: Menuju Ekonomi Sirkular yang Dibiayai dengan Cerdas

Studi Financing Circular Economy Projects: A Clinical Study memberikan gambaran nyata bagaimana proyek ekonomi sirkular dapat berhasil dibiayai jika ada kolaborasi strategis, kepemimpinan lokal yang kuat, dan model keuangan yang fleksibel. Studi kasus Italia Utara menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi hijau bukanlah mimpi, tetapi proyek yang bisa diwujudkan dengan pendekatan yang tepat.

Pelajaran penting dari studi ini adalah bahwa pembiayaan proyek sirkular membutuhkan pemahaman lintas sektor, penguatan kapasitas lokal, dan integrasi antara insentif ekonomi dan nilai lingkungan. Ke depan, tantangan terbesar bukanlah hanya soal uang, tetapi soal desain kelembagaan dan kemauan kolektif untuk berubah.

Sumber:

Migliorelli, Stefania. (2021). Financing Circular Economy Projects: A Clinical Study. ERBE (Environmental and Resource Economics Books and Essays), Issue 02104.

 

Selengkapnya
Strategi Pembiayaan Proyek Ekonomi Sirkular: Studi Klinis dan Implikasi Nyata

Ekonomi

Evaluasi Probabilistik dalam Keandalan Sistem Tenaga Listrik: Tinjauan Kritis

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 15 Mei 2025


Pendahuluan

Dalam dunia yang semakin tergantung pada listrik, pertanyaan besar yang muncul bukan lagi apakah listrik tersedia, tetapi seberapa andal sistem yang menyediakannya. Paper klasik oleh Ron Allan dan Roy Billinton berjudul “Probabilistic Assessment of Power Systems” (Proceedings of the IEEE, 2000) memberikan landasan kuat bagi pergeseran paradigma dari pendekatan deterministik menuju pendekatan probabilistik dalam evaluasi keandalan sistem tenaga listrik.

Makalah ini bukan hanya kajian teknis, tetapi juga refleksi filosofis terhadap perubahan fundamental dalam industri tenaga listrik—mulai dari unbundling, privatisasi, hingga masuknya kekuatan pasar sebagai faktor utama perencanaan.

Mengapa Penilaian Probabilistik?

Pendekatan deterministik telah lama digunakan dalam sistem tenaga listrik: misalnya, memastikan sistem mampu bertahan terhadap gangguan komponen tunggal (N-1 criterion). Namun pendekatan ini bersifat biner—gagal atau tidak gagal—dan sering kali mengabaikan kompleksitas nyata sistem, seperti:

  • Ketidakpastian cuaca
  • Fluktuasi permintaan harian dan musiman
  • Dinamika pasar listrik
  • Kegagalan bertingkat (cascading failures)

Pendekatan probabilistik, di sisi lain, mengakui bahwa sistem tenaga adalah sistem stokastik. Dalam pendekatan ini, reliabilitas dinilai sebagai kemungkinan (probabilitas) sistem gagal memenuhi permintaan, atau besarnya expected energy not supplied (EENS).

Perubahan Struktur Industri Energi

Dulu, sistem tenaga listrik bersifat terpusat dan nasional—dikelola oleh satu entitas. Kini, setelah restrukturisasi besar-besaran, muncul banyak aktor:

  • Produsen energi besar dan kecil
  • Operator jaringan
  • Penyedia energi
  • Regulator
  • Konsumen (yang kini bisa juga menjadi prosumer)

Perubahan ini menuntut metrik keandalan yang berbeda-beda, tergantung kebutuhan masing-masing pihak. Misalnya:

  • Konsumen butuh keandalan pasokan
  • Regulator butuh bukti performa sistem
  • Produsen dan operator butuh data untuk justifikasi investasi

Antara Biaya dan Manfaat: Reliability Worth

Salah satu kontribusi utama Allan & Billinton adalah menjelaskan konsep reliability worth—berapa nilai uang yang bersedia dibayar oleh konsumen untuk keandalan.

Studi Kasus: U.K. & Kanada

  • Di Inggris (1997/1998), perusahaan listrik membayar lebih dari £3 juta sebagai kompensasi akibat gangguan pasokan, berdasarkan Guaranteed Standards of Service.
  • Di Kanada, survei besar dilakukan untuk menghitung biaya gangguan listrik per sektor pelanggan. Hasilnya: pelanggan industri cenderung menilai gangguan jauh lebih mahal dibanding pelanggan rumah tangga.

Nilai Tambah

Penilaian ini membantu menentukan VoLL (Value of Lost Load), misalnya £2.599/kWh di Inggris tahun 1998. Angka ini digunakan untuk:

  • Mengkaji biaya-manfaat penambahan infrastruktur
  • Menentukan pool price (harga pasar tenaga listrik)
  • Membatasi harga maksimum listrik (seperti di Australia)

Indeks Probabilistik: Lebih dari Sekadar Angka

Penilaian keandalan sistem dilakukan dalam tiga level hierarki (HLI – HLIII):

HLI – Generation Only

  • LOLP (Loss of Load Probability): Kemungkinan beban melampaui kapasitas.
  • LOLE (Loss of Load Expectation): Hari/jam rata-rata beban melampaui kapasitas.
  • LOEE (Loss of Energy Expectation): Energi yang tidak disuplai karena keterbatasan kapasitas.

HLII – Generation + Transmission

  • Menggabungkan keandalan pembangkitan dan transmisi.
  • Menggunakan indeks seperti System Minutes (SM) dan Energy Index of Reliability (EIR).
  • Simulasi Monte Carlo sering digunakan, karena sistemnya kompleks dan waktu-berurutan.

HLIII – Termasuk Distribusi

  • Biasanya 80–95% gangguan listrik berasal dari sistem distribusi.
  • Indeks: SAIFI, SAIDI, dan AENS (Average Energy Not Supplied).

Studi Kasus: RBTS 5-Bus System

Allan & Billinton memberikan studi konkret menggunakan sistem sederhana 5-bus. Mereka menunjukkan bahwa:

  • Menambah satu jalur transmisi (misal line 7 dan 8) dapat mengurangi frekuensi gangguan pada bus tertentu secara signifikan.
  • Namun secara sistemik, efeknya kecil—menunjukkan pentingnya load point indexes dibanding sekadar system indexes.

Insight penting: Perubahan kecil dalam infrastruktur bisa berdampak besar secara lokal, tapi tidak selalu terlihat dalam metrik global.

Teknologi Embedded Generation & Tantangannya

Masuknya energi terdistribusi (misal: tenaga surya, angin, biomass) mengubah cara penilaian keandalan:

  • Fluktuatif dan tidak bisa dijadwalkan
  • Output tergantung pada faktor alam (angin, matahari)
  • Berada dekat dengan pelanggan → berisiko saat terjadi gangguan

Simulasi menjadi penting:

Simulasi sekuensial memungkinkan evaluasi realistis terhadap variabel cuaca dan output energi.

Nilai Tambah & Kritik

Kritik

  • Penilaian keandalan umumnya masih fokus pada adequacy (cukup atau tidaknya kapasitas), bukan security (kemampuan sistem merespon gangguan).
  • Belum banyak model yang menggabungkan antara kriteria deterministik dan probabilistik dalam satu kerangka (well-being analysis menjadi solusi awal).

Perbandingan dengan Literatur Lain

  • Penelitian lanjutan oleh Singh et al. (IEEE Transactions, 2010) mulai mengintegrasikan renewable uncertainty dalam penilaian keandalan.
  • Makalah ini tetap menjadi pondasi, tetapi perlu dikembangkan dengan data real-time dan integrasi energi hijau.

Tren Masa Depan

  • Reliabilitas berbasis AI & IoT: Prediksi gangguan berbasis machine learning dan sensor distribusi.
  • Dynamic Pricing: Menghubungkan nilai VoLL langsung ke tarif listrik untuk mendorong efisiensi.
  • Decentralized Energy Markets: Sistem mikrogrid mendorong perlunya evaluasi bottom-up reliability.

Kesimpulan

Paper Allan & Billinton adalah referensi fundamental dalam evolusi pemahaman keandalan sistem tenaga listrik. Dengan mengedepankan pendekatan probabilistik, mereka mengajak industri untuk berpikir lebih realistis, fleksibel, dan berorientasi ekonomi dalam perencanaan dan pengoperasian sistem tenaga.

Ke depannya, tantangan bukan hanya menghitung kemungkinan gangguan, tetapi bagaimana menyelaraskan teknologi baru, kebutuhan pasar, dan harapan pelanggan dalam kerangka sistem yang kompleks dan berubah cepat.

Sumber:

Allan, R., & Billinton, R. (2000). Probabilistic Assessment of Power Systems. Proceedings of the IEEE, Vol. 88, No. 2.
DOI: 10.1109/5.823995

Selengkapnya
Evaluasi Probabilistik dalam Keandalan Sistem Tenaga Listrik: Tinjauan Kritis

Ekonomi

Marketplace NFT OpenSea PHK 20% Pegawai, Inilah Imbas Badai Kripto

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


OpenSea sebagai marketplace non-fungible token (NFT) terbesar di dunia mengurangi sekitar 20% pegawainya. Aksi ini akan menambah daftar serangkaian pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda industri kripto disebabkan harga aset digital yang semakin merosot, dilansir dari Bisnis.com, JAKARTA.

CEO OpenSea Devin Finzer mengumumkan bahwa PHK pada sebuah cuitan di Twitter hari Kamis (14/7/2022) dan memperingatkan penurunan yang berkelanjutan di tengah jatuhnya harga kripto serta ketidakstabilan ekonomi yang lebih luas, dikutip dari Bloomberg, Jumat(15/7/2022).

Menurut LinkedIn, OpenSea mempunyai 769 pegawai. PHK ini akan menghilangkan lebih dari 150 pekerjaan.

OpenSea bergabung dengan perusahaan kripto lain yang mengumumkan PHK besar-besaran, termasuk  Gemini Trust, Coinbase Global, Crypto.com dan BlockFi.

PHK adalah suatu pukulan besar untuk OpenSea, yang nilainya lebih dari US$13,3 milyar pada Januari 2022 selama puncak ledakan modal ventura di industri kripto.

Didasarkan dari pelacak data blockchain DappRadar, OpenSea merupakan pasar NFT paling atas dilihat dari volume perdagangan, sudah menjalankan penjualan lebih dari US$31 milyar sepanjang waktu berdirinya.

Namun permintaan untuk NFT sudah menurun tajam selama pelemahan pasar kripto terbaru. OpenSea mengalami penurunan penjualan sampai setengahnya selama sebulan terakhir, dengan harga rata-rata NFT di pasarnya turun hampir 40 persen.

Terlebih lagi koleksi NFT blue-chip, mencakup Bored Ape Yacht Club dan CryptoPunks, sudah merasakan dinginnya apa yang disebut crypto winter.  

Menurut Finzer, OpenSea memiliki rencana untuk memberikan pesangon dan cakupan perawatan kesehatan sampai tahun 2023 dan mempercepat pembagian saham perusahaan untuk pegawai yang diberhentikan.

 

Disadur dari sumber market.bisnis.com

Selengkapnya
Marketplace NFT OpenSea PHK 20% Pegawai, Inilah Imbas Badai Kripto
page 1 of 3 Next Last »