Menavigasi Ketidakpastian: Prospek Ekonomi Global 2025 Menurut OECD

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

30 Oktober 2025, 18.01

Perekonomian global pada 2024 menunjukkan ketahanan yang relatif kuat, namun tanda-tanda perlambatan mulai tampak menjelang 2025. Menurut laporan OECD Economic Outlook Interim Report (2025), pertumbuhan global masih bertahan di kisaran 3,2% pada 2024, tetapi diperkirakan menurun menjadi 3,1% pada 2025 dan 3,0% pada 2026. Fenomena ini mencerminkan meningkatnya ketegangan perdagangan, fragmentasi geopolitik, serta tekanan inflasi yang belum sepenuhnya mereda.

Kenaikan tarif antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Kanada, dan Meksiko menambah ketidakpastian di pasar global. OECD memperingatkan bahwa eskalasi proteksionisme dan kebijakan fiskal yang tidak terkoordinasi dapat memperlambat investasi serta menekan daya beli rumah tangga. Sementara itu, inflasi di banyak negara anggota G20 tetap berada di atas target bank sentral, menunjukkan bahwa proses disinflation berlangsung lebih lambat dari perkiraan.

Dalam konteks ini, laporan OECD menyoroti pentingnya kebijakan moneter yang hati-hati, disiplin fiskal yang konsisten, serta kerja sama internasional untuk menghindari spiral ketidakpastian ekonomi.

 

Dinamika Global: Antara Ketahanan dan Perlambatan

Laporan OECD Economic Outlook Interim Report (Maret 2025) menggambarkan situasi ekonomi global yang paradoksal — di satu sisi menunjukkan ketahanan, di sisi lain menampakkan tanda-tanda pelemahan struktural. Pertumbuhan global yang masih stabil pada angka 3,2% di tahun 2024 seolah menjadi bukti bahwa sistem ekonomi dunia berhasil bertahan dari guncangan pandemi, inflasi, dan konflik geopolitik. Namun di balik angka itu, terdapat fragilitas mendalam yang bersumber dari ketimpangan pemulihan, fragmentasi rantai pasok, dan kebijakan perdagangan yang semakin terpolarisasi.

1. Ketahanan yang Bersumber dari Konsumsi dan Adaptasi Teknologi

OECD menilai bahwa ketahanan global terutama ditopang oleh kekuatan konsumsi rumah tangga di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Korea Selatan. Kenaikan pendapatan riil, disertai dengan pelonggaran pasar tenaga kerja, mendorong stabilitas konsumsi meski tingkat suku bunga masih tinggi. Selain itu, adaptasi cepat terhadap teknologi digital dan otomatisasi memungkinkan sektor jasa tetap tumbuh bahkan ketika sektor manufaktur melambat.

Faktor ini menjelaskan mengapa kontraksi industri di Eropa dan Jepang tidak serta-merta menekan pertumbuhan global secara keseluruhan. Namun OECD mengingatkan bahwa ketahanan ini bersifat siklikal, bukan struktural — konsumsi yang menopang ekonomi dunia saat ini belum diimbangi peningkatan produktivitas dan investasi jangka panjang. Jika tren ini berlanjut, dunia berisiko menghadapi fase “slow growth equilibrium”, yaitu pertumbuhan rendah yang berkelanjutan tanpa pendorong produktivitas baru.

2. Perlambatan Investasi dan Tekanan Geopolitik

Di sisi lain, data OECD menunjukkan perlambatan signifikan dalam investasi modal tetap global, terutama di negara-negara G7.
Kombinasi suku bunga tinggi, ketegangan geopolitik, dan ketidakpastian kebijakan perdagangan menahan keputusan investasi korporasi besar. Sektor manufaktur global mengalami kontraksi selama empat kuartal berturut-turut hingga awal 2025, sementara indikator kepercayaan bisnis turun ke level terendah sejak 2020.

Selain itu, fragmentasi geopolitik semakin mengubah pola perdagangan internasional. Perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang kembali meningkat di akhir 2024, serta kebijakan reshoring di Eropa dan Amerika Utara, memicu terbentuknya blok-blok ekonomi baru berbasis kepentingan strategis. OECD memperingatkan bahwa tren regionalisasi ekstrem ini dapat menurunkan efisiensi rantai pasok global hingga 2–3% dari PDB dunia dalam jangka menengah.

Meskipun tujuan kebijakan ini adalah meningkatkan ketahanan domestik, konsekuensinya adalah biaya logistik yang lebih tinggi, penurunan perdagangan lintas wilayah, dan meningkatnya inflasi struktural. Dengan kata lain, dunia sedang menghadapi bentuk baru dari “proteksionisme modern” — bukan dengan tarif langsung, tetapi melalui kebijakan strategis dan regulasi domestik yang mempersempit arus barang dan teknologi.

3. Inflasi yang Belum Terkendali Sepenuhnya

Salah satu temuan utama OECD adalah bahwa inflasi inti tetap tinggi di banyak negara maju. Meskipun tekanan harga energi dan pangan mulai mereda, kenaikan upah nominal dan biaya produksi tetap menjaga inflasi di atas target. Pada 2025, inflasi rata-rata negara G20 masih berkisar 4,6%, jauh di atas target umum 2–3%.

OECD menekankan adanya pergeseran sumber inflasi: dari sisi penawaran (supply-driven inflation) selama krisis energi dan pandemi, kini beralih ke sisi permintaan dan upah. Peningkatan biaya tenaga kerja di sektor jasa menyebabkan kenaikan harga yang lebih persisten, terutama di negara dengan pasar tenaga kerja yang ketat seperti Amerika Serikat dan Australia.

Bagi bank sentral, kondisi ini menciptakan dilema kebijakan: menurunkan suku bunga terlalu cepat berisiko memicu inflasi baru, tetapi mempertahankannya terlalu lama dapat menekan pertumbuhan dan investasi. Karena itu, OECD menyarankan strategi “monetary patience” — kebijakan bertahap yang menjaga kredibilitas anti-inflasi sambil menghindari guncangan permintaan.

4. Ketimpangan Pemulihan dan Risiko Negara Berkembang

Sementara negara maju masih mampu menopang pertumbuhan melalui konsumsi dan kebijakan fiskal, negara berkembang menghadapi kondisi yang lebih menantang. Peningkatan biaya pinjaman global membatasi ruang fiskal, sementara harga komoditas yang tidak stabil mengancam stabilitas neraca perdagangan. Beberapa negara Afrika dan Amerika Latin mulai menunjukkan tekanan utang publik yang meningkat.

Namun, Asia menjadi pengecualian penting. India, Indonesia, dan Vietnam masih menunjukkan pertumbuhan PDB di atas 5%, didorong oleh ekspansi industri domestik dan kebijakan fiskal yang hati-hati. OECD memandang Asia sebagai “jangkar pertumbuhan global baru” — kawasan yang mampu menyeimbangkan perlambatan Barat dan ketidakpastian geopolitik Timur Tengah.

Meski demikian, laporan tersebut menegaskan bahwa ketergantungan Asia terhadap ekspor teknologi dan bahan mentah masih menjadi risiko, terutama jika fragmentasi global semakin dalam. Kemandirian inovasi dan diversifikasi ekspor menjadi syarat utama bagi ketahanan jangka panjang kawasan ini.

5. Tantangan Struktural di Tengah Siklus Ketahanan

Secara keseluruhan, OECD menilai ekonomi global sedang memasuki fase ketahanan semu (resilient stagnation) — fase di mana indikator makro tampak stabil, tetapi fondasi pertumbuhan belum cukup kuat. Produktivitas global stagnan, investasi lemah, dan ketimpangan antarnegara meningkat. Sementara itu, transisi energi dan digitalisasi yang belum merata menciptakan tekanan baru terhadap biaya produksi dan struktur tenaga kerja.

Oleh karena itu, OECD mendorong negara-negara untuk berinvestasi dalam produktivitas jangka panjang, bukan hanya kebijakan jangka pendek. Kombinasi antara inovasi teknologi, reformasi pasar tenaga kerja, dan tata kelola fiskal yang disiplin dianggap sebagai kunci untuk keluar dari fase ketahanan semu menuju pertumbuhan berkelanjutan.

Singkatnya, dinamika global menjelang pertengahan dekade ini mencerminkan keseimbangan rapuh antara ketahanan ekonomi dan perlambatan struktural. Ekonomi dunia berhasil menahan gejolak, tetapi belum menemukan mesin pertumbuhan baru. Jika kebijakan global tetap bersifat defensif dan terfragmentasi, dunia bisa menghadapi masa stagnasi panjang stabil namun tanpa kemajuan signifikan. Sebaliknya, dengan koordinasi internasional dan orientasi pada produktivitas, dekade ini masih dapat menjadi awal baru bagi transformasi ekonomi global yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

 

Laporan OECD Economic Outlook Interim Report (2025) memperlihatkan bahwa dunia tengah memasuki periode ekonomi yang penuh ketidakpastian — bukan hanya karena fluktuasi jangka pendek, tetapi karena perubahan struktural yang memengaruhi arah pertumbuhan global. Pertumbuhan masih berlanjut, namun fondasinya mulai bergeser: dari ekspansi berbasis globalisasi menuju efisiensi regional, inovasi teknologi, dan ketahanan sistemik.

Dalam konteks ini, negara berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan yang lebih kompleks.
Ketika negara maju mengalihkan perhatian pada proteksi industri dan kemandirian energi, ruang ekspor dan investasi bagi negara berkembang menjadi lebih sempit. Namun, justru di tengah keterbatasan ini terdapat peluang strategis — untuk menyusun ulang model pembangunan yang lebih berkelanjutan dan tahan terhadap gejolak eksternal.

Bagi Indonesia, pembelajaran utamanya jelas.

Pertama, disiplin makroekonomi dan kredibilitas kebijakan publik harus dijaga sebagai fondasi stabilitas.
Kedua, fokus pembangunan perlu bergeser dari konsumsi jangka pendek ke penguatan produktivitas struktural, melalui investasi di pendidikan, riset, dan digitalisasi industri.
Ketiga, diversifikasi ekonomi—baik melalui hilirisasi komoditas maupun pengembangan sektor hijau—harus menjadi prioritas agar ketergantungan terhadap pasar global tidak terlalu besar.

Ketahanan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir membuktikan bahwa kebijakan yang konsisten mampu melindungi perekonomian dari gejolak eksternal. Namun, ketahanan saja tidak cukup untuk menghadapi dunia yang sedang berubah cepat. Diperlukan strategi transformasi yang lebih menyeluruh: menghubungkan stabilitas jangka pendek dengan visi jangka panjang menuju produktivitas, keberlanjutan, dan daya saing global.

Menavigasi ketidakpastian berarti beradaptasi tanpa kehilangan arah. Selama kebijakan ekonomi Indonesia tetap berpijak pada efisiensi fiskal, peningkatan produktivitas, dan inovasi berkelanjutan, maka krisis global tidak lagi menjadi ancaman, melainkan panggilan untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional menuju 2030.

 

Refrensi:

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2024). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

International Monetary Fund. (2024). World Economic Outlook: Navigating divergent recoveries. Washington, DC: IMF.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2025). OECD Economic Outlook, Interim Report: Steering through uncertainty. Paris: OECD Publishing.

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2024). Economic policy reforms 2024: Going for growth. Paris: OECD Publishing.

World Bank. (2024). Global Economic Prospects: Balancing growth and stability. Washington, DC: World Bank Group.