Budaya Kerja

Di Balik Kerucut Oranye: Mengapa Pekerja Konstruksi dan Manajer Mereka Hidup di Dunia yang Berbeda

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Kecemasan Tak Terucap di Balik Kerucut Oranye

Saya yakin kamu pernah merasakannya. Momen ketika kamu terjebak di tengah proyek konstruksi jalan raya yang masif. Jalur menyempit, rambu-rambu membingungkan, dan debu beterbangan di udara. Ada semacam stres tingkat rendah yang merayap, campuran antara frustrasi karena macet dan sedikit kecemasan saat mobilmu hanya berjarak beberapa sentimeter dari pembatas beton. Kita melihat para pekerja dengan rompi hijau terang itu, bergerak di antara alat berat dan lalu lintas yang menderu, dan pikiran pertama kita sering kali egois: “Aduh, ini merepotkan sekali buat saya.”

Tapi, coba kita jeda sejenak dan putar pertanyaannya. Bagaimana rasanya menjadi mereka? Bagaimana rasanya menghabiskan delapan hingga sepuluh jam sehari di dalam kekacauan yang terkendali itu? Apakah aman? Dan yang lebih penting, apakah mereka merasa aman?

Pertanyaan inilah yang membawa saya pada sebuah makalah penelitian yang luar biasa oleh Lina Shbeeb. Ini bukan dokumen akademis yang kering dan membosankan. Sebaliknya, ini adalah sebuah jendela langka yang membuka pandangan kita ke dunia tersembunyi para pekerja konstruksi. Dengan mengambil studi kasus proyek raksasa Bus Rapid Transit (BRT) di Amman, Yordania—sebuah proyek yang memakan waktu satu dekade—penelitian ini melakukan sesuatu yang radikal: ia bertanya langsung kepada para pekerjanya. Dan percayalah, temuan-temuannya akan mengubah caramu memandang barisan kerucut oranye itu selamanya. Temuan ini mengungkap sesuatu yang fundamental tentang cara manusia memandang risiko dan realitas di tempat kerja.   

Ini Bukan Sekadar Aturan, Ini soal “Atmosfer”—Membongkar Iklim Keselamatan di Lapangan

Inti dari penelitian ini adalah sebuah konsep yang disebut “Iklim Keselamatan” atau Safety Climate. Sebelum kamu mengernyitkan dahi, izinkan saya menjelaskannya dengan sebuah analogi.   

Bayangkan ada dua dapur restoran. Dapur A bersih karena besok akan ada inspeksi dari dinas kesehatan. Dapur B bersih kinclong setiap saat karena sang koki terobsesi dengan kualitas, kebersihan, dan rasa hormat terhadap bahan makanan serta stafnya. Dapur A beroperasi berdasarkan kepatuhan. Dapur B beroperasi berdasarkan budaya. Nah, “iklim keselamatan” adalah atmosfer atau “vibe” di Dapur B itu—persepsi bersama yang tak terucap di antara para karyawan tentang apa yang benar-benar dihargai oleh manajemen.   

Atmosfer inilah yang coba diukur oleh studi ini. Penelitian ini tidak sekadar menghitung jumlah kecelakaan setelah terjadi—sebuah pendekatan yang disebut “reaktif”. Sebaliknya, ia mencoba mengukur indikator-indikator utama (leading indicators)—yaitu persepsi dan perasaan para pekerja—yang dapat memprediksi dan mencegah kecelakaan tersebut. Ini adalah lompatan dari sekadar metrik sederhana ke jantung psikologi organisasi.   

Untuk mengukur iklim ini, peneliti membagi responden menjadi dua kelompok cerdas:

  1. “Orang Dalam” (Kelompok Berbasis Proyek atau PB): 75 orang yang bekerja langsung di proyek BRT Amman. Mereka diwawancarai tatap muka, di tengah debu dan bisingnya proyek.   

  2. “Orang Luar” (Kelompok Berbasis Umum atau GB): 43 profesional dari industri konstruksi Yordania yang lebih luas. Mereka mengisi formulir online berdasarkan pengalaman umum mereka di berbagai proyek.   

Pengaturan ini—membandingkan pandangan orang dalam dengan pandangan orang luar—menjadi kunci yang membuka temuan paling mengejutkan dari penelitian ini.

Kejutan Terbesar: Mengapa Orang Dalam dan Orang Luar Melihat Keselamatan Secara Berbeda

Inilah temuan utamanya, yang saya sampaikan di awal agar dampaknya maksimal: orang-orang yang berada di garis depan proyek BRT raksasa (Orang Dalam) secara konsisten merasa bahwa langkah-langkah keselamatan kurang diterapkan dan dipatuhi dibandingkan dengan apa yang diyakini oleh para profesional industri pada umumnya (Orang Luar).

Ini bukan sekadar perbedaan pendapat. Ini adalah bukti adanya potensi “distorsi realitas” di tingkat industri. Persepsi kelompok GB (Orang Luar) mewakili kondisi “ideal” atau “sesuai buku teks”—apa yang diyakini semua orang sedang terjadi. Sementara itu, persepsi kelompok PB (Orang Dalam) adalah cerminan realitas di lapangan yang berantakan, penuh kompromi, dan berada di bawah tekanan proyek yang kompleks. Jurang di antara keduanya adalah tempat di mana bahaya bersembunyi.

Mari kita telusuri logikanya. Data menunjukkan adanya kesenjangan yang konsisten: responden GB melaporkan tingkat penerapan keselamatan yang lebih tinggi di semua lini dibandingkan responden PB. Misalnya, untuk tugas di dalam lokasi proyek, GB melaporkan tingkat kepatuhan 75%, sementara PB hanya 60.7%. Mengapa ini bisa terjadi? Kelompok GB menjawab berdasarkan pengetahuan umum dan pengalaman mereka di berbagai proyek yang mungkin lebih kecil atau tidak sekompleks BRT. Pandangan mereka adalah rata-rata dari standar industri. Di sisi lain, kelompok PB menjalani realitas sehari-hari dari satu proyek spesifik yang masif dan berlangsung selama satu dekade. Tekanan, tenggat waktu, dan kerumitan unik dari proyek ini kemungkinan besar mengikis praktik keselamatan standar.   

Artinya, kesenjangan ini bukan hanya tentang satu proyek. Ini menyiratkan bahwa proyek-proyek skala besar mungkin secara sistematis memiliki kinerja keselamatan yang lebih rendah dibandingkan dengan persepsi industri itu sendiri. “Pengetahuan umum” industri tentang standar keselamatannya sendiri mungkin terlalu optimis dan berbahaya.

Kisah Dua Realitas: Data Tak Pernah Bohong

Mari kita pecah perbedaan ini dengan beberapa poin data yang paling mencolok, agar kamu bisa melihat betapa lebarnya jurang pemisah itu.

  • 🚀 Bongkar Muat—Kesenjangan Terbesar: Kelompok GB (Orang Luar) melaporkan tingkat kepatuhan protokol keselamatan bongkar muat yang mengesankan, yaitu 80.9%. Kelompok PB (Orang Dalam)? Angkanya anjlok 20.7 poin persentase lebih rendah. Ini adalah perbedaan paling signifikan yang ditemukan dalam studi ini. Bayangkan, aktivitas yang sangat berisiko ini ternyata menjadi titik buta terbesar.   

  • 🤔 Manajemen Harian yang Tergelincir: Orang Dalam merasa bahwa “pemeliharaan dan manajemen” protokol keselamatan adalah salah satu area terlemah, dengan hanya 51.4% yang mengonfirmasi kepatuhan. Namun, Orang Luar memandang area ini jauh lebih positif, di angka 64.1%. Ini menunjukkan kegagalan bukan pada aturannya, tetapi pada penegakan dan pemeliharaan yang konsisten dari hari ke hari.   

  • 🧠 Tahu Aturan vs. Melaksanakannya: Menariknya, kedua kelompok menilai area seperti “pelatihan staf” dengan cukup baik. Masalahnya bukan kurangnya pengetahuan. Masalahnya adalah kesenjangan antara mengetahui aturan dan mengikutinya di bawah tekanan.

  • 💡 Pelajaran yang Menyadarkan: Data ini melukiskan gambaran yang jelas: ada jurang berbahaya antara citra budaya keselamatan industri dan pengalaman nyata di sebuah proyek berisiko tinggi. Bergantung pada standar industri saja tidak cukup.

Pandangan dari Sudut yang Berbeda: Bagaimana Jabatanmu Mengubah Realitasmu

Jika temuan tadi belum cukup mengejutkan, studi ini menggali lebih dalam dan menemukan bahwa bahkan di dalam proyek itu sendiri, tidak ada satu realitas tunggal. Peran, pengalaman, dan pendidikan seseorang menciptakan dunia yang sama sekali berbeda di atas sebidang tanah yang sama.

Studi ini menemukan tren yang jelas dan signifikan secara statistik: para pekerja lapangan secara konsisten memberikan peringkat terendah untuk kelayakan penerapan keselamatan, sementara para insinyur penghubung (liaison engineers) dan direktur proyek memberikan peringkat tertinggi.   

Ini seperti bertanya tentang kualitas makanan di sebuah restoran. Pemiliknya, yang merancang menu, akan mengatakan makanannya fantastis. Pelayan, yang mendengar keluhan pelanggan, akan memiliki pandangan yang lebih beragam. Sementara itu, petugas cuci piring, yang melihat sisa makanan yang dibuang, akan memiliki perspektif yang paling jujur dan brutal. Mereka semua bekerja di gedung yang sama, tetapi mereka mengalami realitas yang berbeda.

Data ini menunjukkan bahwa semakin jauh seseorang dari risiko fisik secara langsung, semakin tinggi persepsi mereka tentang keselamatan. Ini adalah bias kognitif yang mendalam dan berbahaya dalam manajemen. Seorang direktur proyek di kantor ber-AC yang meninjau laporan keselamatan melihat sebuah sistem yang berfungsi di atas kertas. Seorang pekerja yang menghindari alat berat melihat sebuah sistem dengan celah-celah berbahaya. Kesenjangan ini bukan tentang niat jahat; ini tentang perbedaan mendasar dalam pengalaman hidup.

Peringkat keselamatan yang positif dari manajemen mungkin tidak mencerminkan realitas, melainkan keberhasilan sistem pelaporan mereka. Mereka melihat kepatuhan formal, bukan insiden nyaris celaka atau jalan pintas yang diambil pekerja untuk memenuhi tenggat waktu. Ini menciptakan lingkaran umpan balik di mana manajemen, karena percaya semua aman, mungkin tidak menyelidiki lebih lanjut, membiarkan risiko yang mendasarinya tidak teratasi.

Lalu ada “paradoks pengalaman”. Studi ini menemukan sesuatu yang berlawanan dengan intuisi. Pekerja paling berpengalaman (lebih dari 15 tahun) menilai keselamatan dengan tinggi, tetapi kelompok karir menengah (7–10 tahun) menilainya paling rendah. Ini sangat menarik. Mungkin ada semacam “kurva sinisme”. Pekerja baru (1–3 tahun) mungkin masih optimis. Kelompok karir menengah telah melihat cukup banyak untuk mengetahui risiko dan jalan pintas, tetapi belum berada di posisi untuk mengubah keadaan. Kelompok paling berpengalaman sering kali telah beralih ke peran senior, mengadopsi pandangan sistemik yang lebih jauh, sehingga menilai keselamatan lebih tinggi lagi.   

Kesenjangan persepsi yang dramatis antara seorang pekerja dan seorang direktur proyek ini menyoroti titik kegagalan kritis di banyak organisasi: kurangnya bahasa dan pemahaman risiko yang sama. Hal ini menggarisbawahi mengapa pelatihan standar dan berkualitas tinggi di semua tingkatan organisasi bukanlah sebuah kemewahan, melainkan sebuah keharusan. Untuk menjembatani kesenjangan ini, semua orang dari karyawan baru hingga manajer senior harus berada di halaman yang sama, yang merupakan tujuan dari program pengembangan profesional komprehensif seperti yang ditawarkan oleh (https://diklatkerja.com/).

Pandangan Saya: Sebuah Studi Hebat dengan Sedikit Catatan Jujur

Sejujurnya, saya sangat mengapresiasi penelitian ini. Saya memuji metodologinya yang berani melihat elemen manusia. Riset semacam ini sangat penting karena menggeser percakapan dari “perbanyak aturan” menjadi “perbaiki budaya”. Ia memperlakukan pekerja bukan sebagai roda penggerak mesin, tetapi sebagai individu kompleks yang persepsinya adalah data keselamatan paling berharga yang bisa kita dapatkan.

Namun, ada satu hal yang ingin saya soroti, yang justru menunjukkan kekuatan dan kejujuran dari penelitian ini. Peneliti menggunakan teknik statistik yang sangat canggih bernama Confirmatory Factor Analysis (CFA) untuk menguji apakah data yang mereka kumpulkan cocok dengan model teoretis mereka tentang iklim keselamatan.   

Dengan sangat transparan, penulis mengakui bahwa “beberapa kriteria kesesuaian model masih belum terpenuhi”. Indeks kesesuaian modelnya berada di bawah ambang batas ideal, yang menunjukkan bahwa data dari dunia nyata sedikit lebih “berantakan” daripada yang bisa ditangkap dengan sempurna oleh model teoretis.   

Bagi non-statistikawan, ini mungkin terdengar seperti kelemahan. Saya melihatnya sebagai kebalikannya. Ini adalah tanda penelitian yang jujur. Dunia manusia di lokasi konstruksi itu rumit dan penuh nuansa. Fakta bahwa ia tidak pas dengan sempurna ke dalam kotak statistik bukanlah kegagalan model; itu adalah bukti kompleksitas masalahnya. Ini justru memperkuat pesan inti dari studi ini: persepsi manusia itu bernuansa dan tidak dapat diprediksi dengan sempurna, dan itulah mengapa kita harus lebih sering mendengarkannya.

Kesimpulan: Membangun Realitas yang Lebih Aman, Bukan Sekadar Buku Aturan yang Lebih Tebal

Perjalanan kita melintasi kerucut oranye ini membawa kita pada sebuah kesimpulan yang kuat. Keselamatan sejati tidak ditemukan dalam buku aturan yang lebih tebal atau poster baru di dinding. Keselamatan sejati dibangun di ruang antara manusia—dalam kepercayaan antara pekerja dan pengawas, dalam pemahaman bersama bahwa mengambil jalan pintas tidak akan pernah sepadan, dan dalam komitmen tulus dari pimpinan untuk mendengarkan suara-suara dari “ujung tombak”.

Lain kali kamu terjebak dalam kemacetan karena proyek konstruksi, cobalah melihatnya secara berbeda. Bukan sebagai ketidaknyamanan, tetapi sebagai ekosistem manusia yang kompleks di mana alat keselamatan terpenting bukanlah helm, melainkan realitas yang dipahami bersama. Proyek yang sesungguhnya bukanlah sekadar membangun jalan; ini tentang membangun budaya keselamatan, satu percakapan dan satu pengamatan jujur pada satu waktu.

Tulisan ini hanya menggores permukaan dari sebuah studi yang kaya dan mendetail. Jika penjelajahan sisi manusiawi dari keselamatan ini telah memicu minatmu dan kamu siap untuk menyelam lebih dalam ke data dan model statistiknya, saya sangat menganjurkanmu untuk membaca penelitian aslinya.

(https://doi.org/10.1080/23311916.2023.2283320)

Selengkapnya
Di Balik Kerucut Oranye: Mengapa Pekerja Konstruksi dan Manajer Mereka Hidup di Dunia yang Berbeda

Budaya Kerja

Bukan Soal Helm: Pelajaran Mengejutkan Tentang Keselamatan Kerja dari Sebuah Paper di Ghana

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 22 Oktober 2025


Pendahuluan - Momen "Nyaris" yang Mengubah Segalanya

Sabtu sore itu, saya merasa seperti pahlawan. Proyek renovasi kecil di rumah—memasang beberapa rak buku di dinding—hampir selesai. Tinggal beberapa sekrup lagi. Didorong oleh keinginan untuk cepat-cepat melihat hasilnya, saya mengambil jalan pintas. Alih-alih turun dari tangga untuk mengambil palu yang pas, saya meraih gagang obeng dan menggunakannya untuk mengetuk wall plug ke tempatnya. Tentu saja, gagang plastik itu licin. Tangan saya terpeleset, dan buku-buku jari saya menghantam tepi rak dengan keras.

Tidak ada darah, tidak ada patah tulang. Tapi ada momen hening setelahnya. Bukan rasa sakit yang saya rasakan, melainkan gelombang kejut kesadaran: "Wah, itu tadi nyaris celaka." Jari-jari saya hanya beberapa sentimeter dari ujung sekrup yang tajam. Momen "nyaris" itu membuat saya berhenti dan berpikir. Betapa mudahnya kita mengabaikan prosedur keselamatan yang paling dasar sekalipun, hanya demi menghemat beberapa menit. Kita semua melakukannya, baik di rumah maupun di tempat kerja.

Beberapa hari setelah insiden itu, secara kebetulan saya menemukan sebuah paper penelitian dari Ghana berjudul “An Investigation Of Safety Performance On Ghanaian Construction Sites”.1 Awalnya saya skeptis—apa relevansinya riset tentang lokasi konstruksi di kota Kumasi dengan proyek rak buku saya? Ternyata, isinya seperti peta harta karun. Paper ini tidak hanya mengonfirmasi mengapa momen "nyaris" saya itu terjadi, tetapi juga membongkar kesalahpahaman fundamental kita tentang apa itu keselamatan dan bagaimana cara mencapainya. Isinya menjelaskan dengan data, mengapa pendekatan kita terhadap keselamatan seringkali keliru, baik dalam skala proyek renovasi rumah maupun gedung pencakar langit.

Helm Saja Tidak Cukup: Mengapa Kita Sering Salah Kaprah Soal Keselamatan Kerja

Kita semua tahu industri konstruksi itu berbahaya. Tapi angka-angkanya tetap saja mengejutkan. Menurut data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang dikutip dalam paper ini, lebih dari 1,9 juta orang meninggal setiap tahun akibat kecelakaan atau penyakit terkait pekerjaan, yang berarti ada satu kematian setiap 15 detik.1 Bayangkan sebuah industri di mana setiap kali Anda menghitung sampai 15, seseorang di suatu tempat di dunia tidak akan pernah pulang ke rumah untuk bertemu keluarganya lagi.

Inilah yang membuat penelitian yang dilakukan oleh Benjamin Botchway dan rekan-rekannya di Kwame Nkrumah University of Science & Technology menjadi begitu penting. Mereka tidak hanya ingin tahu apa yang menyebabkan kecelakaan. Mereka ingin menggali lebih dalam, ke akar budaya dan sistem yang membentuk kinerja keselamatan. Mereka melakukan survei terhadap 41 profesional konstruksi—manajer proyek, safety officer, insinyur lapangan—dan mengajukan tiga pertanyaan krusial 1:

  1. Apa saja "sinyal vital" yang menunjukkan sebuah proyek itu benar-benar aman?

  2. Apa saja "dinding tak terlihat" yang menghalangi kita untuk mencapai tingkat keselamatan yang lebih tinggi?

  3. Dan yang terpenting, apa strategi jitu yang benar-benar berhasil di lapangan, bukan hanya yang terdengar bagus di atas kertas?

Jawaban yang mereka dapatkan mengubah cara saya memandang produktivitas dan manajemen risiko. Mereka menemukan 10 indikator kunci, 10 hambatan utama, dan 8 strategi paling efektif.1 Dan beberapa di antaranya sama sekali tidak seperti yang saya duga.

Detak Jantung Proyek: 10 Sinyal Vital Keselamatan yang Diungkap Studi Ini

Para peneliti menggunakan istilah "Indikator Kinerja Keselamatan" (Safety Performance Indicators). Saya lebih suka menyebutnya "Sinyal Vital Proyek". Sama seperti dokter yang memeriksa detak jantung dan tekanan darah untuk mengetahui kondisi pasien, indikator-indikator ini adalah tanda-tanda yang menunjukkan apakah sebuah proyek itu "sehat" dan berjalan baik, atau "sakit" dan berisiko tinggi mengalami insiden.1

Mereka meminta para profesional untuk memberi peringkat pada 10 indikator berdasarkan tingkat kepentingannya. Hasilnya, yang disajikan dalam Tabel 5 paper tersebut, sangat mencerahkan.1

Apa yang Paling Penting? Ternyata Bukan Sekadar Aturan Tertulis.

Jika Anda bertanya kepada kebanyakan orang apa indikator keselamatan yang paling penting, mereka mungkin akan menjawab "memiliki kebijakan keselamatan tertulis" atau "melakukan investigasi setelah kecelakaan". Jawaban-jawaban itu masuk akal, tapi ternyata bukan yang teratas menurut para ahli di lapangan.

Indikator yang menduduki peringkat #1 dengan skor tertinggi adalah "Identifikasi dan kontrol aktivitas berbahaya dan berisiko di lokasi".1

Ini adalah sebuah pergeseran paradigma yang fundamental. Para profesional di garis depan tidak mengatakan bahwa hal terpenting adalah memiliki dokumen yang bagus (meski itu juga penting dan berada di peringkat #2). Mereka mengatakan hal terpenting adalah kemampuan untuk secara proaktif melihat ke masa depan—bahkan jika hanya beberapa jam ke depan—mengidentifikasi apa yang bisa salah, dan mengambil langkah untuk mencegahnya. Ini adalah tentang pencegahan, bukan reaksi. Ini seperti seorang dokter yang fokus menjaga pasien tetap sehat, bukan hanya ahli dalam mengobati penyakit setelah muncul.

Bandingkan ini dengan indikator seperti "Melakukan investigasi dan analisis kecelakaan," yang berada di peringkat keenam. Tentu saja investigasi itu penting, tetapi data ini menunjukkan bahwa para praktisi lebih menghargai sistem yang mencegah kecelakaan terjadi sejak awal daripada sistem yang hanya pandai menganalisis puing-puing setelahnya.

Tabel 1: Peringkat 10 Indikator Kinerja Keselamatan (Sinyal Vital Proyek)

PeringkatIndikator Kinerja KeselamatanMeanRII1Identifikasi dan kontrol aktivitas berbahaya dan berisiko di lokasi4.390.882Pengembangan kebijakan keselamatan4.340.873Penyediaan lingkungan kerja yang aman4.320.864Sikap manajemen atas yang lebih mendukung terhadap keselamatan4.320.865Implementasi sistem manajemen keselamatan4.240.856Melakukan investigasi dan analisis kecelakaan4.200.847Penyediaan dan penyimpanan catatan keselamatan harian4.170.838Identifikasi praktik tidak aman di lokasi4.120.829Indikator Kinerja Keselamatan (Panjang dan detail program keselamatan perusahaan)4.020.8010Proses analisis statistik dan metode pelaporan4.000.80

Sumber: Diadaptasi dari Tabel 5, Botchway et al. (2023) 1

Dinding Penghalang Tak Terlihat: 10 Jebakan yang Menggagalkan Upaya Keselamatan

Setelah mengetahui apa saja sinyal vital dari proyek yang sehat, pertanyaan berikutnya adalah: apa yang menghalanginya? Para peneliti mengidentifikasi 10 "hambatan" (barriers) utama yang sering menggagalkan implementasi program keselamatan. Di sinilah temuan yang paling mengejutkan bagi saya muncul.

Temuan yang Paling Mengejutkan Saya: Bukan Soal Uang, Tapi Soal Air Minum.

Ketika memikirkan hambatan dalam proyek besar, otak kita secara otomatis tertuju pada masalah-masalah besar: kekurangan dana, kurangnya personel ahli, atau teknologi yang usang. Semua itu memang ada dalam daftar. "Sumber daya yang rendah atau tidak memadai" berada di peringkat #2.1

Tapi apa yang berada di peringkat #1? Hambatan terbesar, yang paling signifikan menurut para profesional di Ghana, adalah "Kegagalan menyediakan fasilitas kesejahteraan di lokasi konstruksi (misalnya, peralatan P3K)".1

Saya harus membaca ulang kalimat itu beberapa kali. Bukan kurangnya anggaran. Bukan kurangnya insinyur. Tapi hal-hal mendasar seperti ketersediaan kotak P3K, air minum yang bersih, atau toilet yang layak.

Dan di sinilah saya tersentak. Temuan ini bukan sekadar tentang P3K. Ini adalah cerminan dari sesuatu yang jauh lebih dalam: budaya kepedulian. Apa yang dikatakan oleh para profesional ini adalah bahwa kinerja keselamatan tidak dimulai dari sistem manajemen yang rumit atau perangkat lunak yang mahal. Ia dimulai dari rasa hormat dan kepedulian yang paling mendasar terhadap manusia.

Jika sebuah perusahaan bahkan gagal menyediakan kebutuhan paling dasar bagi pekerjanya, pesan apa yang sebenarnya mereka kirimkan? Pesannya adalah: "Kalian tidak penting. Kesejahteraan kalian adalah prioritas kedua setelah target proyek." Ketika pekerja menerima pesan itu, baik secara sadar maupun tidak, bagaimana mungkin mereka bisa diharapkan untuk sepenuhnya terlibat dalam program keselamatan? Bagaimana mungkin mereka bisa percaya bahwa manajemen benar-benar peduli jika mereka jatuh dari perancah, padahal manajemen bahkan tidak peduli jika mereka memiliki air minum yang layak?

Kegagalan menyediakan fasilitas kesejahteraan bukanlah masalah logistik; itu adalah gejala dari penyakit budaya yang jauh lebih besar. Ini adalah akar dari semua masalah keselamatan lainnya.

Dari Teori ke Aksi Nyata: 8 Strategi Praktis yang Bisa Diterapkan Besok Pagi

Jadi, kita tahu apa yang harus diukur dan apa yang harus diwaspadai. Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Bagian terakhir dari penelitian ini adalah yang paling bisa ditindaklanjuti. Para peneliti mengidentifikasi 8 strategi paling efektif untuk meningkatkan kinerja keselamatan. Ini adalah peta jalan praktis bagi setiap manajer atau pemimpin tim.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Strategi yang menduduki peringkat teratas adalah "Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang efektif" (Mean 4.24). Kata kuncinya di sini adalah 'efektif'. Ini bukan hanya tentang membeli helm dan rompi paling mahal. Ini tentang memastikan setiap orang tahu cara menggunakannya dengan benar, kapan harus menggunakannya, dan yang terpenting, mengapa itu penting. Ini adalah masalah pelatihan dan budaya, bukan sekadar pengadaan barang.   

  • 🧠 Inovasinya: Strategi-strategi peringkat atas lainnya, seperti "Penegakan kebijakan keselamatan" (#2) dan "Kunjungan lokasi acak oleh inspektorat" (#4), menciptakan sesuatu yang saya sebut "lingkaran akuntabilitas" (accountability loop). Aturan yang dibuat tidak akan ada artinya jika tidak pernah diperiksa dan ditegakkan. Kunjungan acak memastikan bahwa standar keselamatan dijaga setiap hari, bukan hanya saat ada audit yang dijadwalkan.   

  • 💡 Pelajaran: "Program pelatihan keselamatan yang wajib" (#3) adalah sebuah investasi, bukan biaya. Ini sejalan dengan pentingnya pengembangan kompetensi secara berkelanjutan. Tim yang terlatih adalah tim yang proaktif. Meningkatkan kompetensi tim melalui pelatihan profesional yang relevan adalah langkah pertama untuk membangun budaya proaktif yang dibicarakan di awal. Sistem tidak akan berjalan jika orang-orang di dalamnya tidak tahu cara mengoperasikannya.   

Refleksi Pribadi: Sebuah Kritik Halus dan Pelajaran Berharga

Kekuatan terbesar dari studi ini adalah kejujurannya. Angka-angka ini tidak berasal dari menara gading akademis, tetapi dari pengalaman nyata orang-orang yang setiap hari berhadapan dengan debu, bising, dan bahaya di lapangan. Ini memberi kita gambaran yang mentah dan otentik tentang apa yang benar-benar penting.

Namun, jika ada satu kritik halus yang bisa saya sampaikan, itu terkait dengan metodologinya. Para peneliti menggunakan teknik snowball sampling di satu kota, yaitu Kumasi. Ini berarti responden awal merekomendasikan responden berikutnya, yang bisa jadi membatasi keragaman sampel. Hal ini membuat saya bertanya-tanya: apakah hasilnya akan sama di ibu kota Accra, atau di negara lain dengan budaya kerja yang sama sekali berbeda?   

Tentu saja, para peneliti tidak mengklaim bahwa temuan mereka adalah kebenaran universal. Sebaliknya, studi ini justru membuka pintu untuk pertanyaan-pertanyaan baru yang menarik. Ini bukanlah sebuah kelemahan, melainkan sebuah undangan untuk penelitian lebih lanjut di konteks yang berbeda.

Kesimpulan - Satu Hal yang Harus Anda Ingat dari Studi Ini

Setelah membaca dan merenungkan paper ini selama berhari-hari, ada satu kesimpulan utama yang melekat di benak saya. Jika Anda hanya bisa mengingat satu hal dari tulisan ini, biarlah ini:

Budaya keselamatan sejati tidak dibangun di atas tumpukan dokumen kebijakan yang tebal atau helm yang paling canggih. Ia dibangun di atas fondasi kepedulian yang tulus—yang tecermin dari hal-hal paling sederhana seperti ketersediaan kotak P3K—dan diperkuat oleh sistem akuntabilitas yang proaktif.

Studi dari Ghana ini mengajarkan saya bahwa insiden palu saya saat memasang rak buku bukanlah karena saya ceroboh. Itu terjadi karena, pada saat itu, saya secara tidak sadar memprioritaskan "cepat selesai" di atas "selesai dengan selamat". Dan ternyata, perusahaan-perusahaan konstruksi raksasa pun seringkali melakukan kesalahan yang sama persis, hanya dalam skala yang jauh lebih besar dan dengan konsekuensi yang jauh lebih tragis. Keselamatan bukanlah tentang memperlambat pekerjaan; ini tentang memastikan ada hari esok untuk melanjutkan pekerjaan itu.

Jika tulisan ini membuat Anda berpikir, saya sangat merekomendasikan Anda untuk menyelami data aslinya. Ini adalah bacaan yang sangat berharga, penuh dengan nuansa yang tidak bisa saya rangkum semuanya di sini.

(https://doi.org/10.98765/ajmesc.v3i02.292)

Selengkapnya
Bukan Soal Helm: Pelajaran Mengejutkan Tentang Keselamatan Kerja dari Sebuah Paper di Ghana

Budaya Kerja

Satu Lampu Sorot, Banyak Bayangan: Mengapa Kemajuan Diversitas di Dunia Teknik Hanyalah Ilusi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 02 Oktober 2025


Perasaan Asing di Ruangan yang Seharusnya Milik Semua

Pernahkah Anda mencoba menggunakan alat yang jelas-jelas tidak didesain untuk Anda? Bayangkan Anda seorang kidal yang terpaksa memakai gunting untuk orang normal. Anda bisa menggunakannya, tentu saja, tapi rasanya canggung, tidak efisien, dan setiap potongannya menjadi pengingat halus bahwa Anda adalah sebuah pengecualian, bukan standar. Anda harus beradaptasi dengan alat itu, karena alat itu tidak akan beradaptasi dengan Anda.

Selama bertahun-tahun, saya merasa perasaan inilah yang paling tepat menggambarkan pengalaman banyak orang dari kelompok minoritas di dunia kerja profesional, terutama di bidang teknik (engineering). Ini bukan tentang niat jahat; ini tentang desain. Sebuah sistem, sebuah budaya, sebuah mesin profesional yang dibangun dengan satu jenis pengguna dalam pikiran.

Baru-baru ini, saya menghabiskan waktu menelaah sebuah laporan monumental dari Royal Academy of Engineering Inggris. Laporan berjudul Equality, diversity, and inclusivity in engineering, 2013 to 2022: a review ini bukan sekadar dokumen kering. Ini adalah hasil sintesis dari 506 laporan, studi, dan makalah selama satu dekade penuh. Bagi saya, ini terasa seperti cetak biru diagnostik dari "mesin" yang saya sebutkan tadi. Laporan ini membedah setiap komponennya dan menunjukkan dengan data yang tak terbantahkan mengapa begitu banyak orang brilian merasa seperti pengguna gunting kidal—dan mengapa pada akhirnya, banyak dari mereka memilih untuk meletakkan gunting itu dan pergi.  

Ilusi Kemajuan dan Pipa yang Terus Bocor

Jika Anda melihat permukaan, sepertinya ada banyak kemajuan. Laporan ini menunjukkan adanya tren peningkatan yang jelas dalam jumlah publikasi terkait Kesetaraan, Diversitas, dan Inklusi (EDI) selama sepuluh tahun terakhir. Percakapan tentang EDI semakin kencang. Banyak perusahaan kini memiliki strategi EDI, melaporkan data kesenjangan gaji, dan mengadakan pekan kesadaran. Aktivitasnya banyak.  

Namun, di sinilah letak ironi yang menyakitkan. Di balik semua aktivitas itu, masalah fundamentalnya tetap ada. Laporan ini menyoroti sebuah konsep yang mungkin pernah Anda dengar: "pipa bocor" (leaky pipeline). Metafora ini menggambarkan bagaimana individu dari kelompok yang kurang terwakili—terutama perempuan—keluar dari jalur karier di berbagai tahap, mengakibatkan hilangnya talenta dan keragaman.  

Tapi saya pikir metafora ini terlalu sederhana. Ini bukan sekadar pipa yang menetes. Bayangkan ini adalah sistem perpipaan bertekanan tinggi yang penuh dengan retakan, katup yang salah, dan sambungan yang longgar di setiap tahapnya. Dan data dalam laporan ini menunjukkan betapa parahnya kebocoran itu: perempuan meninggalkan profesi teknik dengan laju dua kali lipat dibandingkan laki-laki. Ini bukan kebocoran kecil; ini adalah kegagalan sistemik. Laporan tersebut secara gamblang menyebutnya sebagai "fenomena pipa bocor, di mana perempuan meninggalkan karier mereka karena hambatan struktural dan sistemik di tempat kerja".  

Ini membawa kita pada sebuah kesadaran yang tidak nyaman. Mungkin kita telah jatuh ke dalam "perangkap aktivitas"—ilusi kemajuan karena kita sibuk membicarakan masalah, bukan menyelesaikan masalah. Laporan mencatat bahwa banyak organisasi menerbitkan komitmen dan laporan EDI, tetapi ketika sebuah inisiatif tidak membuahkan hasil positif, kegagalan itu "tidak terlihat atau dibagikan". Ini mengisyaratkan budaya aksi performatif, di mana yang terpenting adalah terlihat sedang melakukan sesuatu, bukan benar-benar mencapai sesuatu. Ada perbedaan besar antara  

melakukan EDI dan mencapai EDI.

Di Bawah Sorotan dan Dalam Bayangan: Kisah yang Kita Ceritakan dan yang Kita Abaikan

Saat saya menggali lebih dalam, satu temuan benar-benar membuat saya terdiam: ketidakseimbangan yang luar biasa dalam perhatian yang diberikan pada berbagai dimensi keragaman. Bayangkan sebuah panggung besar dengan satu lampu sorot yang sangat terang. Lampu sorot itu, selama satu dekade terakhir, hampir secara eksklusif diarahkan pada satu isu: gender.

Persamaan Gender: Sebuah Cerita yang Belum Usai

Jangan salah, fokus pada gender sangatlah penting. Data menunjukkan betapa mendesaknya masalah ini. Isu gender menyumbang 33,2% dari semua dokumen yang ditinjau. Dalam literatur akademis, istilah "gender" muncul di  

91,8% artikel. Angka-angka ini mencerminkan krisis yang nyata: pada tahun 2021, hanya  

16,5% dari mereka yang bekerja di bidang teknik adalah perempuan.  

Laporan ini melampaui angka-angka dan menjelaskan mengapa ini terjadi. Ini bukan hanya tentang bias individu. Ini tentang sistem:

  • Mitos "Pekerja Ideal": Organisasi sering kali memiliki gambaran implisit tentang seorang pekerja hebat: seseorang yang bekerja berjam-jam, selalu siap sedia untuk bepergian tanpa pemberitahuan. Model ini, seperti yang digambarkan dalam laporan, secara inheren adalah model maskulin yang tidak mempertimbangkan tanggung jawab pengasuhan utama.  

  • Kekerasan Simbolis: Laporan ini menggunakan istilah akademis yang kuat, yang pada dasarnya berarti cara-cara halus di mana sistem menolak akses perempuan ke sumber daya penting. Contohnya adalah kesempatan networking informal setelah jam kerja, di mana keputusan-keputusan penting sering kali dibuat dan hubungan karier ditempa.  

Jadi, ya, lampu sorot pada isu gender itu perlu. Tapi masalahnya adalah, saat lampu itu menyala begitu terang di satu tempat, ia menciptakan bayangan yang sangat gelap di tempat lain.

Suara-suara yang Hilang: Etnisitas, Disabilitas, dan Spektrum Identitas Lainnya

Di dalam bayangan itulah saya menemukan bagian paling mengkhawatirkan dari cerita ini. Saat industri sibuk (dan memang seharusnya) dengan isu gender, dimensi-dimensi krusial lainnya dari identitas manusia hampir sepenuhnya diabaikan.

  • 🚀 Fakta Keras: Jumlah dokumen yang membahas etnisitas lima kali lebih sedikit daripada yang membahas gender. Laporan ini menemukan bahwa 80% responden mengakui adanya rasisme di bidang teknik. Namun, responden dari kelompok etnis minoritas merasa bahwa isu ras tidak diberi tingkat kepentingan yang sama dengan isu gender, LGBTQ+, dan disabilitas oleh perusahaan mereka.  

  • 🧠 Titik Buta Industri: Topik-topik seperti neurodiversitas, status sosial ekonomi, dan agama atau kepercayaan hampir tidak pernah dibahas secara mendalam. Laporan ini secara eksplisit merekomendasikan penelitian lebih lanjut karena kelompok-kelompok ini "kurang diteliti" (  

    under-researched). Ini bukan hanya data yang hilang; ini adalah talenta, pengalaman, dan perspektif manusia yang secara kolektif kita abaikan.  

  • 💡 Pelajaran Pahit: Ketika kita hanya fokus mengukur satu hal (gender), kita secara tidak sengaja mengirimkan sinyal bahwa hal-hal lain tidak sepenting itu. Ini menciptakan hierarki inklusi—sebuah konsep yang pada dasarnya kontradiktif.

Pendekatan monolitik ini sangat berbahaya. Ini secara implisit memperlakukan "perempuan" sebagai satu kelompok tunggal yang seragam, mengabaikan pengalaman yang sangat berbeda antara, katakanlah, seorang perempuan kulit putih yang sehat secara fisik dengan seorang perempuan kulit hitam penyandang disabilitas yang juga seorang lesbian. Ini adalah kegagalan mendasar dalam memahami intersectionality—gagasan bahwa "kategori perbedaan jarang ada dalam isolasi". Laporan itu sendiri menyoroti contoh nyata dari persimpangan ini: perempuan kulit hitam hanya mencakup kurang dari 1% dari tenaga kerja teknologi. Fakta bahwa laporan ini memiliki bagian kecil terpisah tentang "Intersectionality" alih-alih menenunnya ke dalam setiap analisis, dengan sendirinya, adalah bukti dari masalah yang ada.  

Ini Bukan Bug, Ini Fitur: Membongkar Sistem yang Mapan

Masalah-masalah ini bukanlah kecelakaan atau bug dalam sistem. Mereka adalah fitur dari sistem yang dirancang dengan mempertimbangkan pengguna tertentu.

Saya suka menganalogikannya dengan mencoba menjalankan perangkat lunak modern pada sistem operasi berusia 30 tahun. Anda bisa memasang patch dan solusi sementara (seperti pelatihan bias yang tidak disadari), tetapi sistem akan terus mogok sampai Anda memutakhirkan seluruh sistem operasinya. "Sistem operasi" di sini adalah budaya, struktur, dan asumsi-asumsi yang mendarah daging dalam profesi teknik. Laporan ini menegaskan hal ini, dengan menyatakan, "Tantangan inklusi yang terjadi di organisasi teknik secara intrinsik terkait dengan ketidaksetaraan sistemik dalam masyarakat luas". Ini adalah pengakuan krusial bahwa inisiatif di tingkat perusahaan saja tidak akan pernah cukup.  

Masalahnya dimulai jauh sebelum seseorang melamar pekerjaan. Laporan ini membahas konsep "modal sains" (science capital). Saya membayangkannya sebagai "paket pemula" untuk menjadi seorang insinyur. Isinya adalah hal-hal seperti mengenal seseorang yang bekerja di bidang sains, memiliki hobi yang berhubungan dengan sains, dan yang terpenting, melihat orang-orang yang mirip dengan Anda dalam peran-peran tersebut. Data menunjukkan bahwa ketidaksetaraan dalam modal sains ini sudah "terlihat di sekolah dasar dan diperburuk selama sekolah menengah".  

Di sinilah kritik halus saya terhadap laporan ini muncul. Meskipun laporan ini luar biasa dalam mengumpulkan data, saya merasa ada keengganan untuk secara eksplisit menantang "alasan bisnis" (business case) untuk diversitas. Laporan tersebut menyebutkan bahwa argumen untuk EDI sering kali didasarkan pada keuntungan bisnis seperti "memperluas jalur talenta" atau "meningkatkan kepuasan pelanggan". Walaupun benar, ini terasa seperti pembenaran. Kapan kita akan sampai pada titik di mana kita memperjuangkan inklusi bukan karena itu menguntungkan, tetapi karena itu adalah hal yang benar dan manusiawi untuk dilakukan?  

Cetak Biru untuk Masa Depan: Langkah Nyata yang Bisa Kita Ambil Hari Ini

Setelah membedah semua masalah ini, mudah untuk merasa pesimis. Tapi laporan ini juga menawarkan harapan. Di antara ratusan halaman analisis, terselip bagian tentang "Praktik yang Menjanjikan" (Promising Practices). Ini bukanlah daftar periksa, melainkan prinsip-prinsip desain untuk membangun "mesin" baru yang lebih inklusif.

Bayangkan jika kita benar-benar menerapkannya:

  • Bayangkan jika perusahaan Anda tidak hanya menawarkan pelatihan bias yang tidak disadari, tetapi secara proaktif beralih ke program inklusi sadar (conscious inclusion), yang secara fundamental mengubah proses perekrutan, promosi, dan evaluasi kinerja untuk menghilangkan bias sistemik?.  

  • Bayangkan jika ada program "Returners" yang terstruktur dengan baik, yang secara aktif menyambut dan melatih kembali para profesional (terutama perempuan) yang kembali setelah jeda karier, alih-alih menghukum mereka karena memiliki celah dalam CV mereka?.  

  • Bayangkan jika ada mentoring timbal balik (reciprocal mentoring), di mana seorang CEO tidak hanya membimbing seorang insinyur junior, tetapi juga secara aktif belajar dari pengalaman hidup seorang insinyur neurodivergen atau dari latar belakang sosial ekonomi yang kurang beruntung?.  

Membangun budaya yang mampu menjalankan ide-ide ini membutuhkan keterampilan kepemimpinan yang radikal berbeda—kemampuan untuk mendengarkan secara mendalam, berempati secara tulus, dan berani menantang status quo. Ini bukanlah soft skill; ini adalah kompetensi inti di abad ke-21. Keterampilan seperti ini perlu dilatih secara sengaja, sesuatu yang bisa diasah melalui program seperti (https://www.diklatkerja.com).

Jika kita memvisualisasikan data dari laporan ini, kita akan melihat Peta Buta Inklusi di Dunia Teknik. Akan ada satu batang grafik yang menjulang tinggi dan berwarna cerah berlabel "Gender." Di sebelahnya, akan ada batang-batang grafik yang jauh lebih kecil dan warnanya pudar, hampir tidak terlihat, berlabel "Etnisitas," "Disabilitas," "LGBTQ+," "Neurodiversitas," dan "Latar Belakang Sosio-ekonomi." Visual ini, yang disederhanakan dari Peta Bukti dalam laporan , secara instan mengkomunikasikan di mana letak lampu sorot kita—dan betapa luasnya bayangan yang diciptakannya.  

Sekarang Giliranmu di Meja Desain

Profesi teknik adalah salah satu kekuatan paling kuat yang membentuk dunia kita. Dari jembatan yang kita lewati hingga perangkat lunak yang menjalankan hidup kita, para insinyur merancang realitas kita. Namun, terlalu lama, sebagian besar umat manusia telah dikecualikan dari meja desain tersebut.

Ini bukan hanya tidak adil; ini adalah kerugian potensi yang katastrofik. Laporan ini menunjukkan kepada kita semua kekurangan dalam mesin yang ada saat ini. Ini memberi kita data, bahasa, dan urgensi untuk menuntut sesuatu yang lebih baik.

Jika tulisan ini membuat Anda berpikir, saya sangat mendorong Anda untuk tidak berhenti di sini. Tantang asumsi di tim Anda. Tanyakan siapa yang tidak ada di ruangan saat keputusan penting dibuat. Jadilah orang yang menyalakan lampu di sudut-sudut yang gelap. Dan jika Anda ingin melihat datanya sendiri, gali lebih dalam.

(https://doi.org/10.52582/20231212)

Selengkapnya
Satu Lampu Sorot, Banyak Bayangan: Mengapa Kemajuan Diversitas di Dunia Teknik Hanyalah Ilusi
page 1 of 1