Kecemasan Tak Terucap di Balik Kerucut Oranye
Saya yakin kamu pernah merasakannya. Momen ketika kamu terjebak di tengah proyek konstruksi jalan raya yang masif. Jalur menyempit, rambu-rambu membingungkan, dan debu beterbangan di udara. Ada semacam stres tingkat rendah yang merayap, campuran antara frustrasi karena macet dan sedikit kecemasan saat mobilmu hanya berjarak beberapa sentimeter dari pembatas beton. Kita melihat para pekerja dengan rompi hijau terang itu, bergerak di antara alat berat dan lalu lintas yang menderu, dan pikiran pertama kita sering kali egois: “Aduh, ini merepotkan sekali buat saya.”
Tapi, coba kita jeda sejenak dan putar pertanyaannya. Bagaimana rasanya menjadi mereka? Bagaimana rasanya menghabiskan delapan hingga sepuluh jam sehari di dalam kekacauan yang terkendali itu? Apakah aman? Dan yang lebih penting, apakah mereka merasa aman?
Pertanyaan inilah yang membawa saya pada sebuah makalah penelitian yang luar biasa oleh Lina Shbeeb. Ini bukan dokumen akademis yang kering dan membosankan. Sebaliknya, ini adalah sebuah jendela langka yang membuka pandangan kita ke dunia tersembunyi para pekerja konstruksi. Dengan mengambil studi kasus proyek raksasa Bus Rapid Transit (BRT) di Amman, Yordania—sebuah proyek yang memakan waktu satu dekade—penelitian ini melakukan sesuatu yang radikal: ia bertanya langsung kepada para pekerjanya. Dan percayalah, temuan-temuannya akan mengubah caramu memandang barisan kerucut oranye itu selamanya. Temuan ini mengungkap sesuatu yang fundamental tentang cara manusia memandang risiko dan realitas di tempat kerja.
Ini Bukan Sekadar Aturan, Ini soal “Atmosfer”—Membongkar Iklim Keselamatan di Lapangan
Inti dari penelitian ini adalah sebuah konsep yang disebut “Iklim Keselamatan” atau Safety Climate. Sebelum kamu mengernyitkan dahi, izinkan saya menjelaskannya dengan sebuah analogi.
Bayangkan ada dua dapur restoran. Dapur A bersih karena besok akan ada inspeksi dari dinas kesehatan. Dapur B bersih kinclong setiap saat karena sang koki terobsesi dengan kualitas, kebersihan, dan rasa hormat terhadap bahan makanan serta stafnya. Dapur A beroperasi berdasarkan kepatuhan. Dapur B beroperasi berdasarkan budaya. Nah, “iklim keselamatan” adalah atmosfer atau “vibe” di Dapur B itu—persepsi bersama yang tak terucap di antara para karyawan tentang apa yang benar-benar dihargai oleh manajemen.
Atmosfer inilah yang coba diukur oleh studi ini. Penelitian ini tidak sekadar menghitung jumlah kecelakaan setelah terjadi—sebuah pendekatan yang disebut “reaktif”. Sebaliknya, ia mencoba mengukur indikator-indikator utama (leading indicators)—yaitu persepsi dan perasaan para pekerja—yang dapat memprediksi dan mencegah kecelakaan tersebut. Ini adalah lompatan dari sekadar metrik sederhana ke jantung psikologi organisasi.
Untuk mengukur iklim ini, peneliti membagi responden menjadi dua kelompok cerdas:
-
“Orang Dalam” (Kelompok Berbasis Proyek atau PB): 75 orang yang bekerja langsung di proyek BRT Amman. Mereka diwawancarai tatap muka, di tengah debu dan bisingnya proyek.
-
“Orang Luar” (Kelompok Berbasis Umum atau GB): 43 profesional dari industri konstruksi Yordania yang lebih luas. Mereka mengisi formulir online berdasarkan pengalaman umum mereka di berbagai proyek.
Pengaturan ini—membandingkan pandangan orang dalam dengan pandangan orang luar—menjadi kunci yang membuka temuan paling mengejutkan dari penelitian ini.
Kejutan Terbesar: Mengapa Orang Dalam dan Orang Luar Melihat Keselamatan Secara Berbeda
Inilah temuan utamanya, yang saya sampaikan di awal agar dampaknya maksimal: orang-orang yang berada di garis depan proyek BRT raksasa (Orang Dalam) secara konsisten merasa bahwa langkah-langkah keselamatan kurang diterapkan dan dipatuhi dibandingkan dengan apa yang diyakini oleh para profesional industri pada umumnya (Orang Luar).
Ini bukan sekadar perbedaan pendapat. Ini adalah bukti adanya potensi “distorsi realitas” di tingkat industri. Persepsi kelompok GB (Orang Luar) mewakili kondisi “ideal” atau “sesuai buku teks”—apa yang diyakini semua orang sedang terjadi. Sementara itu, persepsi kelompok PB (Orang Dalam) adalah cerminan realitas di lapangan yang berantakan, penuh kompromi, dan berada di bawah tekanan proyek yang kompleks. Jurang di antara keduanya adalah tempat di mana bahaya bersembunyi.
Mari kita telusuri logikanya. Data menunjukkan adanya kesenjangan yang konsisten: responden GB melaporkan tingkat penerapan keselamatan yang lebih tinggi di semua lini dibandingkan responden PB. Misalnya, untuk tugas di dalam lokasi proyek, GB melaporkan tingkat kepatuhan 75%, sementara PB hanya 60.7%. Mengapa ini bisa terjadi? Kelompok GB menjawab berdasarkan pengetahuan umum dan pengalaman mereka di berbagai proyek yang mungkin lebih kecil atau tidak sekompleks BRT. Pandangan mereka adalah rata-rata dari standar industri. Di sisi lain, kelompok PB menjalani realitas sehari-hari dari satu proyek spesifik yang masif dan berlangsung selama satu dekade. Tekanan, tenggat waktu, dan kerumitan unik dari proyek ini kemungkinan besar mengikis praktik keselamatan standar.
Artinya, kesenjangan ini bukan hanya tentang satu proyek. Ini menyiratkan bahwa proyek-proyek skala besar mungkin secara sistematis memiliki kinerja keselamatan yang lebih rendah dibandingkan dengan persepsi industri itu sendiri. “Pengetahuan umum” industri tentang standar keselamatannya sendiri mungkin terlalu optimis dan berbahaya.
Kisah Dua Realitas: Data Tak Pernah Bohong
Mari kita pecah perbedaan ini dengan beberapa poin data yang paling mencolok, agar kamu bisa melihat betapa lebarnya jurang pemisah itu.
-
🚀 Bongkar Muat—Kesenjangan Terbesar: Kelompok GB (Orang Luar) melaporkan tingkat kepatuhan protokol keselamatan bongkar muat yang mengesankan, yaitu 80.9%. Kelompok PB (Orang Dalam)? Angkanya anjlok 20.7 poin persentase lebih rendah. Ini adalah perbedaan paling signifikan yang ditemukan dalam studi ini. Bayangkan, aktivitas yang sangat berisiko ini ternyata menjadi titik buta terbesar.
-
🤔 Manajemen Harian yang Tergelincir: Orang Dalam merasa bahwa “pemeliharaan dan manajemen” protokol keselamatan adalah salah satu area terlemah, dengan hanya 51.4% yang mengonfirmasi kepatuhan. Namun, Orang Luar memandang area ini jauh lebih positif, di angka 64.1%. Ini menunjukkan kegagalan bukan pada aturannya, tetapi pada penegakan dan pemeliharaan yang konsisten dari hari ke hari.
-
🧠Tahu Aturan vs. Melaksanakannya: Menariknya, kedua kelompok menilai area seperti “pelatihan staf” dengan cukup baik. Masalahnya bukan kurangnya pengetahuan. Masalahnya adalah kesenjangan antara mengetahui aturan dan mengikutinya di bawah tekanan.
-
💡 Pelajaran yang Menyadarkan: Data ini melukiskan gambaran yang jelas: ada jurang berbahaya antara citra budaya keselamatan industri dan pengalaman nyata di sebuah proyek berisiko tinggi. Bergantung pada standar industri saja tidak cukup.
Pandangan dari Sudut yang Berbeda: Bagaimana Jabatanmu Mengubah Realitasmu
Jika temuan tadi belum cukup mengejutkan, studi ini menggali lebih dalam dan menemukan bahwa bahkan di dalam proyek itu sendiri, tidak ada satu realitas tunggal. Peran, pengalaman, dan pendidikan seseorang menciptakan dunia yang sama sekali berbeda di atas sebidang tanah yang sama.
Studi ini menemukan tren yang jelas dan signifikan secara statistik: para pekerja lapangan secara konsisten memberikan peringkat terendah untuk kelayakan penerapan keselamatan, sementara para insinyur penghubung (liaison engineers) dan direktur proyek memberikan peringkat tertinggi.
Ini seperti bertanya tentang kualitas makanan di sebuah restoran. Pemiliknya, yang merancang menu, akan mengatakan makanannya fantastis. Pelayan, yang mendengar keluhan pelanggan, akan memiliki pandangan yang lebih beragam. Sementara itu, petugas cuci piring, yang melihat sisa makanan yang dibuang, akan memiliki perspektif yang paling jujur dan brutal. Mereka semua bekerja di gedung yang sama, tetapi mereka mengalami realitas yang berbeda.
Data ini menunjukkan bahwa semakin jauh seseorang dari risiko fisik secara langsung, semakin tinggi persepsi mereka tentang keselamatan. Ini adalah bias kognitif yang mendalam dan berbahaya dalam manajemen. Seorang direktur proyek di kantor ber-AC yang meninjau laporan keselamatan melihat sebuah sistem yang berfungsi di atas kertas. Seorang pekerja yang menghindari alat berat melihat sebuah sistem dengan celah-celah berbahaya. Kesenjangan ini bukan tentang niat jahat; ini tentang perbedaan mendasar dalam pengalaman hidup.
Peringkat keselamatan yang positif dari manajemen mungkin tidak mencerminkan realitas, melainkan keberhasilan sistem pelaporan mereka. Mereka melihat kepatuhan formal, bukan insiden nyaris celaka atau jalan pintas yang diambil pekerja untuk memenuhi tenggat waktu. Ini menciptakan lingkaran umpan balik di mana manajemen, karena percaya semua aman, mungkin tidak menyelidiki lebih lanjut, membiarkan risiko yang mendasarinya tidak teratasi.
Lalu ada “paradoks pengalaman”. Studi ini menemukan sesuatu yang berlawanan dengan intuisi. Pekerja paling berpengalaman (lebih dari 15 tahun) menilai keselamatan dengan tinggi, tetapi kelompok karir menengah (7–10 tahun) menilainya paling rendah. Ini sangat menarik. Mungkin ada semacam “kurva sinisme”. Pekerja baru (1–3 tahun) mungkin masih optimis. Kelompok karir menengah telah melihat cukup banyak untuk mengetahui risiko dan jalan pintas, tetapi belum berada di posisi untuk mengubah keadaan. Kelompok paling berpengalaman sering kali telah beralih ke peran senior, mengadopsi pandangan sistemik yang lebih jauh, sehingga menilai keselamatan lebih tinggi lagi.
Kesenjangan persepsi yang dramatis antara seorang pekerja dan seorang direktur proyek ini menyoroti titik kegagalan kritis di banyak organisasi: kurangnya bahasa dan pemahaman risiko yang sama. Hal ini menggarisbawahi mengapa pelatihan standar dan berkualitas tinggi di semua tingkatan organisasi bukanlah sebuah kemewahan, melainkan sebuah keharusan. Untuk menjembatani kesenjangan ini, semua orang dari karyawan baru hingga manajer senior harus berada di halaman yang sama, yang merupakan tujuan dari program pengembangan profesional komprehensif seperti yang ditawarkan oleh (https://diklatkerja.com/).
Pandangan Saya: Sebuah Studi Hebat dengan Sedikit Catatan Jujur
Sejujurnya, saya sangat mengapresiasi penelitian ini. Saya memuji metodologinya yang berani melihat elemen manusia. Riset semacam ini sangat penting karena menggeser percakapan dari “perbanyak aturan” menjadi “perbaiki budaya”. Ia memperlakukan pekerja bukan sebagai roda penggerak mesin, tetapi sebagai individu kompleks yang persepsinya adalah data keselamatan paling berharga yang bisa kita dapatkan.
Namun, ada satu hal yang ingin saya soroti, yang justru menunjukkan kekuatan dan kejujuran dari penelitian ini. Peneliti menggunakan teknik statistik yang sangat canggih bernama Confirmatory Factor Analysis (CFA) untuk menguji apakah data yang mereka kumpulkan cocok dengan model teoretis mereka tentang iklim keselamatan.
Dengan sangat transparan, penulis mengakui bahwa “beberapa kriteria kesesuaian model masih belum terpenuhi”. Indeks kesesuaian modelnya berada di bawah ambang batas ideal, yang menunjukkan bahwa data dari dunia nyata sedikit lebih “berantakan” daripada yang bisa ditangkap dengan sempurna oleh model teoretis.
Bagi non-statistikawan, ini mungkin terdengar seperti kelemahan. Saya melihatnya sebagai kebalikannya. Ini adalah tanda penelitian yang jujur. Dunia manusia di lokasi konstruksi itu rumit dan penuh nuansa. Fakta bahwa ia tidak pas dengan sempurna ke dalam kotak statistik bukanlah kegagalan model; itu adalah bukti kompleksitas masalahnya. Ini justru memperkuat pesan inti dari studi ini: persepsi manusia itu bernuansa dan tidak dapat diprediksi dengan sempurna, dan itulah mengapa kita harus lebih sering mendengarkannya.
Kesimpulan: Membangun Realitas yang Lebih Aman, Bukan Sekadar Buku Aturan yang Lebih Tebal
Perjalanan kita melintasi kerucut oranye ini membawa kita pada sebuah kesimpulan yang kuat. Keselamatan sejati tidak ditemukan dalam buku aturan yang lebih tebal atau poster baru di dinding. Keselamatan sejati dibangun di ruang antara manusia—dalam kepercayaan antara pekerja dan pengawas, dalam pemahaman bersama bahwa mengambil jalan pintas tidak akan pernah sepadan, dan dalam komitmen tulus dari pimpinan untuk mendengarkan suara-suara dari “ujung tombak”.
Lain kali kamu terjebak dalam kemacetan karena proyek konstruksi, cobalah melihatnya secara berbeda. Bukan sebagai ketidaknyamanan, tetapi sebagai ekosistem manusia yang kompleks di mana alat keselamatan terpenting bukanlah helm, melainkan realitas yang dipahami bersama. Proyek yang sesungguhnya bukanlah sekadar membangun jalan; ini tentang membangun budaya keselamatan, satu percakapan dan satu pengamatan jujur pada satu waktu.
Tulisan ini hanya menggores permukaan dari sebuah studi yang kaya dan mendetail. Jika penjelajahan sisi manusiawi dari keselamatan ini telah memicu minatmu dan kamu siap untuk menyelam lebih dalam ke data dan model statistiknya, saya sangat menganjurkanmu untuk membaca penelitian aslinya.