Industri Farmasi

Kenaikan 8,78 Persen: Ekspor Produk Farmasi Indonesia Meningkat, Tantangan dan Potensi di Pasar Global

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024


Jakarta (ANTARA) - Indonesia mencatatkan kenaikan sebesar 8,78 persen pada total nilai yang diperoleh dari ekspor produk farmasi pada tahun 2023, demikian disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Selasa.

"Nilai ekspor produk farmasi Indonesia, termasuk obat kimia dan obat tradisional, pada tahun 2023 mencatatkan kenaikan sebesar 8,78 persen dibandingkan dengan tahun 2022," katanya.

Dia mencatat bahwa meskipun mengalami peningkatan, kontribusi produk farmasi Indonesia ke pasar obat tradisional global masih belum signifikan.

"Nilai pasar obat tradisional global telah mencapai US$200,95 miliar pada tahun 2023 dan diperkirakan akan terus meningkat. Namun, kontribusi Indonesia terhadap pasar tersebut masih berada pada tingkat yang rendah," katanya.

Kartasasmita mencatat bahwa Indonesia memiliki potensi obat alami yang sangat besar yang harus dioptimalkan, mengingat fakta bahwa tanah air Indonesia dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang melimpah.

Oleh karena itu, menteri menekankan perlunya Indonesia mengerahkan upaya yang lebih besar lagi untuk mengembangkan industri obat alami agar dapat bersaing di tingkat global.

Dia menyarankan agar Indonesia mengoptimalkan potensi obat-obatan herbal dalam upaya untuk mempercepat pengembangan industri farmasi, mencatat bahwa UNESCO telah mendaftarkan jamu, jamu tradisional khas Indonesia, sebagai bagian dari warisan budaya takbenda dunia pada tanggal 6 Desember 2023.

Menperin kemudian menyoroti bahwa pelaku industri obat bahan alam Indonesia telah memproduksi 17 ribu obat jenis jamu, 79 obat herbal terstandar, dan 22 jenis fitofarmaka.

Berdasarkan data Bank Indonesia, volume industri kimia, farmasi, dan obat tradisional Indonesia dalam Prompt Manufacturing Index telah mencapai skor yang lebih baik yaitu 52,50 poin pada kuartal keempat tahun 2023.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian telah merilis skor Indonesia dalam Indeks Keyakinan Industri (IKI) untuk periode Januari 2024, di mana Indonesia mencapai skor 52,35 poin, meningkat 1,03 poin dibandingkan dengan skor pada Desember 2023.

Menurut kementerian, skor ICI baru-baru ini didasarkan pada kinerja 23 subsektor. Penilaian skor memperhitungkan tingkat ekspansi dan jumlah pesanan baru, produksi, dan ketersediaan produk. (INE)

Disadur dari: en.antaranews.com

Selengkapnya
Kenaikan 8,78 Persen: Ekspor Produk Farmasi Indonesia Meningkat, Tantangan dan Potensi di Pasar Global

Industri Farmasi

Indonesia Membangun Strategi Peningkatan Peringkat Farmasi Halal

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024


Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan strategi untuk mengatasi penurunan posisi Indonesia di antara produsen produk farmasi halal terkemuka di dunia, kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

Menurut The State of the Global Islamic Economy Report 2022, peringkat global sektor farmasi halal Indonesia turun ke posisi kesembilan pada tahun 2022 dari posisi keenam pada tahun 2021, katanya.

"Kita tentu perlu mencermati penurunan ini. Kita perlu mengidentifikasi negara mana saja yang menyalip kita, terutama di sektor farmasi, dan bagaimana mereka melakukannya. Kita perlu memetakannya," kata Menteri Kartasasmita dalam acara Indonesia Halal Industry Awards 2023 di Jakarta, Senin.

Dia juga menginformasikan bahwa dia telah menginstruksikan kepala Pusat Pemberdayaan Industri Halal (PPIH) kementerian untuk melakukan uji tuntas.

"Kami perlu melakukan uji tuntas, sehingga kami memiliki tolok ukur dan dapat melancarkan 'serangan balik' dengan harapan dapat mengembalikan posisi kami setidaknya ke posisi enam besar. Mudah-mudahan, di masa depan, kita akan naik ke posisi lima besar," katanya.

Menteri mengutip temuan laporan tersebut bahwa dalam hal sektor makanan halal, Indonesia naik ke posisi kedua pada tahun 2022 dari posisi keempat pada tahun 2021.

Di sektor fesyen modest, Indonesia tetap berada di posisi ketiga selama periode 2021-2022, katanya.

Namun, dalam hal indikator ekonomi syariah, Indonesia masih berada di peringkat keempat di dunia selama periode tersebut, kata menteri.

"Secara pribadi, saya tidak puas dengan (Indonesia) berada di posisi keempat," katanya.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa ia berharap semua pemangku kepentingan terkait akan memperkuat kolaborasi dan sinergi untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan industri halal nasional.

Indonesia menargetkan untuk menjadi pusat industri halal dunia dengan mencapai target sertifikasi halal sebanyak 10 juta produk pada tahun depan, tambahnya.

Disadur dari: en.antaranews.com

Selengkapnya
Indonesia Membangun Strategi Peningkatan Peringkat Farmasi Halal

Industri Farmasi

Potensi Indonesia sebagai Pusat Industri Farmasi di Asia Tenggara: Transformasi, Inovasi, dan Kebijakan yang Mendukung

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024


Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat industri farmasi di Asia Tenggara, untuk itu transformasi di industri ini menjadi hal yang sangat penting, dengan mengadopsi inovasi sebagai basisnya, kata Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).

"Indonesia perlu memilih kebijakan industri yang tepat dan memperhatikan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan. Misalnya, meningkatkan anggaran penelitian dan pengembangan serta mengadopsi fleksibilitas dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI)," kata peneliti madya di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ronald Tundang dalam sebuah pernyataan yang diterima di Jakarta, Senin.

Tundang mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mengusulkan agar obat dan vaksin COVID-19 menjadi komoditas publik, melalui dukungannya terhadap pengecualian perlindungan HKI untuk obat dan vaksin COVID-19 berdasarkan Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs).

Pemerintah telah menerapkan kebijakan untuk memfasilitasi kemandirian industri farmasi, khususnya dalam produksi Bahan Baku Obat (BBO), misalnya melalui kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

Pemerintah juga mewajibkan penggunaan produk dalam negeri untuk pengadaan barang dan jasa, termasuk melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Kebijakan lain termasuk insentif fiskal, seperti pengurangan pajak dan pembebasan bea masuk bagi perusahaan farmasi yang akan memproduksi bahan baku.

Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan yang dapat digunakan dalam skenario normal dan saat kondisi mendesak, seperti pandemi. Kebijakan industri, seperti TKDN dan insentif untuk industri BBO, dapat meningkatkan harga obat dalam kondisi mendesak.

"Harga obat yang terjangkau dan kemandirian industri farmasi merupakan dua hal yang penting namun memiliki tujuan yang berbeda. Harga obat yang terjangkau dapat dicapai melalui impor BBO, sesuatu yang bertentangan dengan kemandirian industri farmasi," katanya.

Kemandirian industri farmasi dalam jangka panjang dapat menghasilkan harga obat yang terjangkau, katanya. Namun, hal itu tidak mudah, karena membutuhkan kemampuan riset dan pengembangan yang tinggi.

Tundang mengatakan ada beberapa pilihan bagi Indonesia untuk mengembangkan industri ini.

Pertama, Indonesia dapat meniru India dan China dalam memproduksi obat generik atau mengikuti langkah Amerika Serikat dan Swiss yang menjadi pusat riset dan pengembangan teknologi.

"Selama ini Indonesia belum memiliki posisi yang jelas dalam hal ini," katanya.

Apabila Indonesia memilih opsi pertama, maka Indonesia harus menyiapkan strategi yaitu identifikasi obat paten yang akan segera habis masa berlakunya.

Hal ini memungkinkan produsen obat generik nasional untuk mengajukan izin edar untuk menggunakan obat paten yang masih berlaku. Ketentuan Bolar juga berlaku untuk opsi kedua, karena banyak negara yang menggunakannya untuk tujuan penelitian dan pengembangan.

Indonesia belum dipertimbangkan karena tidak ada basis industri untuk bahan baku obat dan karena kapasitas penelitian dan pengembangan yang rendah.

Pemerintah juga harus meningkatkan kapasitas penelitian dan mengembangkan skala industri farmasi dengan menambah anggaran untuk itu.

Saat ini, anggaran penelitian dan pengembangan Indonesia berada di peringkat terendah di G20, dengan hanya 0,2 persen dari PDB.

Disadur dari: en.antaranews.com

Selengkapnya
Potensi Indonesia sebagai Pusat Industri Farmasi di Asia Tenggara: Transformasi, Inovasi, dan Kebijakan yang Mendukung

Industri Farmasi

Peran Etana dalam Masa Depan Layanan Kesehatan di Indonesia: Inovasi Bioteknologi untuk Produksi Lokal dan Kemandirian Kesehatan

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024


Di negara dengan populasi yang berkembang pesat dan permintaan yang terus meningkat akan layanan kesehatan yang berkualitas, peran penting bioteknologi di Indonesia tidak dapat dilebih-lebihkan. Hal ini bukan hanya sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan warganya, namun juga sebagai jalan untuk mencapai kemandirian nasional dalam bidang kesehatan. Memanfaatkan bioteknologi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan warganya sangat penting dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh. 

Namun, Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan bioteknologi. Menurut Global Biotechnology Innovation Scorecard 2021, Indonesia berada di peringkat ke-52 dari 54 negara dalam pengembangan bioteknologi. Indonesia masih bergantung pada bahan baku obat impor, dan sektor bioteknologi dalam negeri masih dalam tahap awal. 

Dalam memajukan lanskap kesehatan Indonesia, ada dua alasan kuat mengapa perusahaan teknologi kesehatan sangat penting, terutama untuk mengembangkan bioteknologi untuk aplikasi medis. Pertama, buku putih Genomics dari East Ventures mencatat bahwa Indonesia menyaksikan peningkatan kasus resistensi antimikroba, membuat antibiotik dan obat-obatan antimikroba menjadi kurang efektif dan infeksi semakin sulit untuk diobati. Kedua, kita menghadapi tantangan dalam pengobatan primer yang menggunakan obat-obatan yang disintesis secara kimiawi, sehingga membutuhkan terapi yang lebih agresif. Indonesia masih sangat bergantung pada produk biologi onkologi impor, sehingga kita perlu mengembangkan produksi biologi lokal untuk infeksi, hipertensi jantung, kanker, dan penyakit ginjal.

Untuk menjawab tantangan ini, Etana adalah perusahaan bioteknologi terkemuka yang didirikan di Indonesia pada tahun 2014. Etana telah menjadi pengubah permainan dalam merevolusi sistem perawatan kesehatan nasional. Melalui terobosan-terobosan yang dilakukannya dengan platform biologi, Etana menjadi ujung tombak kemajuan bioteknologi di Indonesia. Perusahaan ini baru-baru ini mendapatkan pendanaan dari East Ventures dan investor global lainnya untuk memperkuat lini produk dan portofolio mereka, dengan fokus pada produk onkologi biologi dan fasilitas manufaktur bahan obat.

Kami percaya pada Etana dan misi mereka untuk mentransformasi layanan kesehatan di Indonesia melalui bioteknologi. Karya mereka dalam teknologi mRNA dan antibodi monoklonal dapat memberikan solusi inovatif bagi pasien yang membutuhkan, membentuk kembali lanskap perawatan kesehatan.

Merintis bioteknologi untuk produksi lokal 
Kemajuan luar biasa dalam bioteknologi baru-baru ini datang dari platform RNA. Teknologi mRNA memiliki potensi yang sangat besar untuk sistem kesehatan Indonesia. Teknologi ini menyediakan platform pengembangan vaksin yang fleksibel yang dapat dengan cepat menanggapi permintaan akan produk biofarmasi yang inovatif dan mudah beradaptasi, termasuk vaksin kanker. 

Di Asia Tenggara, Etana merupakan pelopor dalam pemanfaatan platform berbasis mRNA dan peptida virus untuk produksi vaksin. Dengan memanfaatkan teknologi mRNA, Etana telah berhasil mengembangkan vaksin mRNA COVID-19 yang telah mendapatkan izin penggunaan darurat, ketentuan halal, dan sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pencapaian ini mendapat apresiasi dari Presiden Joko Widodo.

"Peresmian pabrik biofarmasi Etana dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo, didampingi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan; Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin; Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito; dan Presiden Direktur Etana, Nathan Tirtana.  Pabrik ini diresmikan pada Oktober 2022 dan berlokasi di Kawasan Industri Pulogadung (JIEP), Jakarta. Sumber foto: Etana"

Komitmen Etana meluas ke produksi sel mamalia untuk antibodi monoklonal. Dengan membangun kapasitas produksi sel mamalia, Etana memastikan produksi dengan kandungan lokal yang tinggi dan kemampuan teknologi. Rencana Etana meliputi produksi biosimilar bevacizumab, obat antibodi monoklonal anti-VEGF rekombinan yang dimanusiakan untuk pasien kanker. Dengan menggunakan sel mamalia untuk memproduksi protein terapeutik, produk yang dihasilkan lebih menyerupai protein endogen manusia, sehingga fungsional dan relevan secara klinis. Strategi ini memungkinkan Etana untuk meningkatkan kapasitas produksi bahan baku obat biologis mereka.

Ke depannya, Etana akan fokus pada produksi lokal dan transfer teknologi melalui kerja sama dengan para mitra. Tujuannya adalah untuk meningkatkan jalur pengobatan dengan mengganti atau melengkapi produk kimia dengan alternatif biologis, sehingga memperluas jangkauan pilihan pengobatan yang tersedia bagi pasien. Etana secara aktif terlibat dalam pendidikan, diskusi, dan sesi konsultasi dengan institusi dan asosiasi medis untuk mendorong dialog dan berbagi pengetahuan, yang pada akhirnya meningkatkan kesadaran dan pemanfaatan produk biologis dalam komunitas medis.

Etana memberikan penekanan yang signifikan dalam memastikan sertifikasi halal dan ketertelusuran semua produk mereka. Dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam, mematuhi standar halal sangatlah penting. Vaksin mRNA COVID-19 Etana telah memperoleh sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sehingga menjamin pasien yang lebih luas. Dengan memprioritaskan sertifikasi halal dan ketertelusuran, Etana tidak hanya memenuhi kebutuhan populasi Muslim Indonesia tetapi juga menunjukkan komitmennya terhadap kepatuhan dan kesesuaian produk. 

East Ventures mengakui Etana sebagai perintis dalam gelombang baru dalam lanskap kesehatan di Indonesia: memanfaatkan bioteknologi untuk mempromosikan produksi lokal. Kami akan terus mendukung perusahaan teknologi kesehatan seperti Etana dalam mengatasi tantangan kesehatan di Indonesia, untuk bangsa yang lebih sehat.

Disadur dari: east.vc

Selengkapnya
Peran Etana dalam Masa Depan Layanan Kesehatan di Indonesia: Inovasi Bioteknologi untuk Produksi Lokal dan Kemandirian Kesehatan

Industri Farmasi

Meningkatnya Inovasi Bioteknologi dalam Menangani Permasalahan Kesehatan di Indonesia: Potensi Pasar dan Dampaknya yang Signifikan

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024


Dengan lebih dari 270 juta penduduk, Indonesia tetap menjadi pasar medis yang sedang berkembang, didukung oleh lonjakan kesadaran akan kesehatan yang dituntut oleh masyarakat berpenghasilan menengah yang terus meningkat. Namun, negara ini telah menghadapi masalah kronis karena pandemi mengungkap kekurangan dan rasa urgensi yang tinggi untuk mengembangkan sistem perawatan kesehatan yang lebih tangguh dan inovasi.

"Kami memiliki keyakinan yang kuat bahwa inovasi bioteknologi dapat membantu mengatasi masalah kesehatan yang telah ada di Indonesia selama bertahun-tahun. Nalagenetics dan Nusantics merupakan startup bioteknologi yang memiliki metodologi berbeda dalam memecahkan masalah. Kedua pendiri startup ini memiliki latar belakang yang kuat di bidang sains dan industri bioteknologi, yang merupakan aset yang tidak terpisahkan dari perusahaan," ujar Avina Sugiarto, Venture Partner di East Ventures.

Kedua perusahaan rintisan bioteknologi ini didukung oleh East Ventures, perusahaan modal ventura perintis dan terkemuka di Indonesia.

Nalagenetics: perusahaan bioteknologi yang mengkhususkan diri pada kemanjuran resep dan respon obat melalui tes DNA

Nalagenetics didirikan pada tahun 2016 oleh tim ilmuwan dari Indonesia dan Singapura. Mereka adalah Levana Sani, Alexander Lezhava, Astrid Irwanto, dan Jianjun Liu. 

Di Genome Institute of Singapore (GIS), para ilmuwan tersebut bekerja pada penelitian Genomik Manusia yang berfokus pada farmakogenomik pada obat yang disebut Dapsone, obat resep untuk mengobati kusta. Kelompok peneliti di GIS menemukan biomarker yang memprediksi Sindrom Hipersensitivitas Dapsone (DHS), sebuah reaksi obat yang berpotensi merugikan, yang disebabkan oleh obat yang seharusnya menyelamatkan nyawa mereka. 

Tim peneliti berhasil menarik perhatian pemerintah Indonesia, dan membantu pemerintah dalam menyebarkan 1.000 alat tes genetik di lima desa di Papua. Penelitian ini menemukan bahwa 20 persen pasien kusta membawa biomarker tersebut, dan hal ini membantu para dokter untuk menentukan pasien mana yang dapat diobati dengan obat tersebut. Para pendiri kemudian mendirikan Nalagenetics, untuk mengembangkan kemampuan seputar genomik populasi yang dimulai dengan farmakogenomik, sebuah cabang yang memprediksi metabolisme obat dengan tujuan untuk mengurangi reaksi obat yang merugikan, meningkatkan kemanjuran resep, dan efisiensi biaya.

"Reaksi obat yang merugikan bertanggung jawab atas 8 persen dari penerimaan pasien di rumah sakit saat ini, membuang sekitar $30 miliar sumber daya perawatan kesehatan di Amerika Serikat dan jumlah yang sama pentingnya di Asia. Oleh karena itu, mengetahui susunan genetik seseorang dapat menyelamatkan pasien dari efek samping yang tidak diinginkan - yang terkadang mematikan," kata CEO Nalagenetics, Levana Sani.


Program ini telah digunakan untuk menyesuaikan dosis dan resep untuk terapi tambahan kanker payudara. Program ini juga telah menunjukkan efektivitas biaya untuk perawatan di bidang kardiologi dan pasca-kemoterapi kanker payudara. Selain farmakogenomik, Nalagenetics telah mengembangkan modul pelaporan dan interpretasi untuk berbagai aplikasi untuk sekuensing germline dan skor risiko poligenik. Nalagenetics telah bekerja sama dengan lebih dari 40 dokter dan rumah sakit penelitian di Singapura dan Jakarta. Pendapatan perusahaan telah tumbuh 400 persen pada mitra rumah sakit dan 60 persen pada tes pada tahun 2021.

Nusantics: perusahaan bioteknologi yang mengkhususkan diri dalam pengujian mikrobioma dan mikroba

Nusantics didirikan pada tahun 2019 oleh para pionir bioteknologi Indonesia; Sharlini Eriza Putri, Vincent Kurniawan, dan Revata Utama, sebagai perusahaan rintisan teknologi genomik pertama di Indonesia yang berspesialisasi dalam pengujian mikrobioma dan mikroba.

Sharlini dan Vincent memiliki pengalaman yang kuat dalam industri produk berbasis bio. Sementara itu, Revata adalah seorang Ilmuwan Biomedis dengan pengalaman lebih dari 10 tahun dalam mengembangkan produk dan solusi biologi molekuler. 

"Mikrobioma telah menyebabkan lebih dari 20 juta kasus penyakit menular setiap tahunnya. Di Indonesia, penyakit infeksi merupakan bagian dari sepuluh penyakit teratas yang ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Oleh karena itu, Nusantics ingin mengatasi masalah yang terkait dengan mikroba ini dengan melakukan deteksi dini menggunakan solusi PCR dan NGS," ujar Sharlini Eriza Putri, co-founder dan CEO Nusantics.

Nusantics mulai memperkenalkan teknologi genomik ini ke industri kecantikan karena industri ini merupakan sektor yang menguntungkan dan siap untuk disrupsi dengan produk dan solusi yang didukung oleh sains. Di laboratoriumnya, perusahaan rintisan ini melakukan tes usap wajah bagi konsumen untuk menilai keseimbangan mikrobioma kulit. Dengan memahami keragaman mikrobioma kulit konsumen, Nusantics menyediakan berbagai solusi perawatan kulit ramah mikrobioma yang telah teruji secara klinis untuk perawatan keseimbangan mikrobioma kulit.

Mengingat tantangan perawatan kesehatan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, Nusantics juga telah menyediakan berbagai solusi pengujian mikroba, termasuk Gargle PCR, yang menggabungkan metode pengumpulan obat kumur Nusantics yang baru dengan Kit qRT-PCR multipleks cepat dan AirScan PCR untuk mendeteksi keberadaan COVID-19 di udara dalam ruangan. Nusantics juga baru-baru ini meluncurkan kit qRT-PCR VarScreen RxReady untuk skrining varian COVID-19.
Hingga Januari 2022, Nusantics telah meluncurkan enam produk komersial dan memiliki lebih dari dua paten yang masih dalam proses dengan kit qRT-PCR yang digunakan untuk lebih dari 6 juta tes PCR COVID-19, yang menghasilkan pertumbuhan pendapatan sebesar tujuh kali lipat dari tahun ke tahun. Untuk merangkul dunia pasca-pandemi, Nusantics berencana untuk memperluas penawaran ke penyakit menular lainnya di panel PCR pernapasan, gastrointestinal, dan penyakit menular seksual serta membangun laboratorium langsung ke konsumen untuk mempromosikan diagnostik mikroba sebagai sebuah kebiasaan.

Potensi pasar kesehatan di Indonesia

Berdasarkan Indeks Keamanan Kesehatan Global 2021, yang dilakukan oleh John Hopkins Center for Health Security, Nuclear Threat Initiative, dan Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di peringkat 45 dari 195 negara, jauh tertinggal dari negara terdekatnya, yaitu Singapura (24) dan Malaysia (27). Indeks ini mengukur kapasitas 195 negara dalam mempersiapkan diri menghadapi epidemi dan pandemi.

Pandemi COVID-19 telah menjadi peringatan bagi Indonesia untuk mereformasi sistem perawatan kesehatannya.

Pemerintah merevisi Daftar Negatif Investasi pada tahun 2021, dan membuka kesempatan bagi investor asing di sebagian besar lini vertikal sektor kesehatan, terutama layanan penunjang kesehatan. 

"Kami melihat Nusantics dan Nalagenetics sebagai inovator bioteknologi terkemuka, yang memainkan peran penting dalam meningkatkan dan mengkatalisasi pertumbuhan industri kesehatan di Indonesia, mendukung para dokter, rumah sakit, dan produsen farmasi untuk mengembangkan solusi perawatan kesehatan yang lebih baik dan akurat," ujar Avina.

Disadur dari: east.vc

Selengkapnya
Meningkatnya Inovasi Bioteknologi dalam Menangani Permasalahan Kesehatan di Indonesia: Potensi Pasar dan Dampaknya yang Signifikan

Industri Farmasi

Prospek Cerah Industri Farmasi di Indonesia: Pertumbuhan yang Pesat dan Peluang Investasi

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024


Pasar farmasi Indonesia adalah pasar terbesar di kawasan Asia Tenggara. Penjualan obat-obatan di Indonesia bernilai Rp 110,6 triliun (sekitar US$ 7,6 miliar) pada tahun 2020 dan diperkirakan akan meningkat menjadi Rp 176,3 triliun pada tahun 2025, menurut Fitch Ratings yang berbasis di Amerika Serikat. Ini berarti tingkat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 9,8% dalam mata uang lokal, dan 10,7% dalam mata uang USD.

Hal ini seharusnya tidak mengejutkan bagi mereka yang sudah berkecimpung dalam bisnis farmasi di Indonesia. Selama 10 tahun terakhir, pasar farmasi Indonesia telah menjadi salah satu yang paling cepat berkembang di kawasan Asia Tenggara. Hal ini didorong oleh pasar Indonesia yang sangat besar dengan jumlah penduduk lebih dari 265 juta jiwa - populasi terbesar keempat di dunia - serta perluasan akses layanan kesehatan melalui program layanan kesehatan universal yang diberlakukan pada tahun 2014. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut di tahun-tahun mendatang, didukung oleh anggaran perawatan kesehatan yang terus meningkat. Untuk tahun 2022, pemerintah telah menganggarkan Rp 256 triliun dalam upaya penanggulangan pandemi COVID-19, atau sekitar 9,4% dari total anggaran. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari batas 5% yang diamanatkan oleh konstitusi. Meskipun hal ini dilakukan karena situasi luar biasa yang disebabkan oleh krisis corona, hal ini juga menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk menyediakan dan meningkatkan akses kesehatan bagi warganya.

Di sisi lain, pengeluaran pemerintah yang tinggi untuk sektor kesehatan juga mencerminkan salah satu poin yang paling diperdebatkan: fakta bahwa lebih dari 90% bahan baku yang dibutuhkan oleh sektor farmasi negara ini tidak dapat diproduksi secara lokal dan harus diimpor. Masalah ini membawa bobot politik tertentu dan dianggap sebagai risiko bagi para investor asing. Meskipun demikian, pemerintah saat ini menunjukkan dukungan kepada investor asing dan bahkan telah membuka sektor ini lebih jauh dari sebelumnya yang hanya memiliki sebagian kepemilikan asing menjadi 100% kepemilikan asing penuh melalui Omnibus Law Cipta Kerja yang diperkenalkan pada akhir tahun 2020.  

Dorongan untuk membuka sektor farmasi adalah harapan bahwa investor asing dapat membantu mengembangkan industri perawatan kesehatan nasional, yang telah menjadi tujuan pemerintahan saat ini. Menurut data dari Bank Dunia, rasio tempat tidur rumah sakit di Indonesia untuk setiap 1.000 pasien hanya 1,2, lebih rendah daripada Singapura (2,3) dan Korea Selatan (12,27). Sementara itu, pengeluaran untuk perawatan kesehatan hanya sebesar 3,3% dari PDB, lebih rendah daripada rata-rata negara berpenghasilan rendah (6,1% dari PDB) dan juga rata-rata negara Asia Pasifik (7,4% dari PDB). Namun, bahkan dengan pengeluaran perawatan kesehatan yang rendah ini, sebagian besar rumah sakit swasta sudah penuh sesak dan menguntungkan, yang mengimplikasikan adanya peluang pertumbuhan yang sangat besar.

Memang, di tengah kontraksi ekonomi yang signifikan akibat pandemi COVID-19, sektor kimia, farmasi, dan obat tradisional masih berhasil tumbuh 8,65% pada kuartal kedua tahun 2020, dan 5,59 di sepanjang paruh pertama tahun ini. Dalam jangka panjang, industri kesehatan akan mengalami pertumbuhan yang signifikan seiring dengan pertumbuhan kelas menengah Indonesia dan meningkatnya permintaan akan produk untuk mengobati kondisi umum dan bahkan kondisi khusus. Dalam hal ini, investor asing juga dapat memperhatikan pertumbuhan layanan kesehatan digital di Indonesia karena penggunaan aplikasi layanan kesehatan juga mengubah pasar lokal. Aplikasi layanan kesehatan lokal, Alodokter, mencatat lebih dari 30 juta pengguna aktif sejak Maret 2020. Pemerintah Indonesia juga berinvestasi di perusahaan-perusahaan yang disebut sebagai perusahaan telehealth. Kementerian Kesehatan bermitra dengan Halodoc, serta perusahaan transportasi online Gojek, untuk menyediakan layanan diagnostik COVID-19 di daerah-daerah terpencil.

SOROTAN

Sumber: Bank Dunia WDI, Ciptadana

Menurut data Bank Dunia, rasio tempat tidur rumah sakit di Indonesia untuk setiap 1.000 pasien hanya 1,2, lebih rendah dibandingkan Singapura (2,3) dan Korea Selatan (12,27). Sementara itu, belanja layanan kesehatan berada pada angka 3,3% dari PDB, lebih rendah dibandingkan rata-rata belanja negara-negara berpendapatan rendah (6,1% dari PDB) serta rata-rata negara-negara Asia Timur dan Pasifik (7,4% dari PDB).

Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS)

Indonesia memiliki peluang yang sangat besar bagi industri farmasi, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya industri dimana pada tahun 2015-2019, industri farmasi dalam negeri tumbuh sebanyak 132 industri baru. Industri bahan baku juga tumbuh dari 8 menjadi 14 antara tahun 2016 dan 2019.

Sumber : Kementerian Perindustrian Republik Indonesia

Pada tahun 2016-2018 neraca perdagangan industri farmasi mengalami defisit yang semakin meningkat. Setelah sempat menurun pada tahun 2019, defisit neraca perdagangan kembali meningkat pada tahun 2022 hingga mencapai US$1,05 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan produk farmasi termasuk bahan bakunya, Indonesia masih mengandalkan impor.

TANTANGAN
Fakta bahwa lebih dari 90% bahan baku yang dibutuhkan untuk memproduksi obat-obatan masih harus diimpor dapat dilihat sebagai pedang bermata dua bagi investor asing karena banyak investor di Indonesia yang lebih suka melihat Indonesia memproduksi obat-obatannya sendiri untuk memenuhi permintaan domestik. Pemerintah Indonesia menargetkan untuk mengurangi impor sebesar 35% pada akhir tahun 2022 dalam upayanya untuk mengatasi ketergantungan pada impor bahan baku.  Namun, juga karena permintaan domestik yang besar ini, prospek penjualan obat di Indonesia masih terlihat positif. Meskipun peluang pertumbuhan pendapatan dari obat generik dari perusahaan multinasional pasti akan tertekan oleh kebijakan ini, obat-obatan inovatif masih akan tetap menguntungkan karena kurangnya keahlian ilmiah yang ada di negara ini. Gangguan pada rantai pasokan global saat ini yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 juga dapat dianggap sebagai keuntungan karena Indonesia secara strategis terletak di jalur laut utama yang menghubungkan Asia Timur, Asia Selatan, dan Oseania. Memang, pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa mereka ingin menarik perusahaan farmasi multinasional dari Tiongkok dan juga negara-negara Asia Tenggara lainnya dan meminta mereka membangun fasilitas produksi mereka di Indonesia dengan menawarkan pembebasan pajak dan insentif lainnya.

Namun, ambisi negara ini masih terhambat oleh fakta bahwa infrastruktur rantai pasokan, tingkat pekerja terampil, dan ketersediaan ilmuwan medis masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga regionalnya seperti Singapura, India, dan Korea Selatan. Selain itu, perusahaan-perusahaan multinasional asing mungkin juga terhalang oleh dominasi perusahaan-perusahaan milik negara dalam mendapatkan kontrak-kontrak besar dari pemerintah. Perusahaan-perusahaan domestik seperti Kalbe Farma, Tempo Scan Pacific, dan Kimia Farma telah mapan dengan kehadiran yang kuat di sub-sektor logistik, obat bebas, dan layanan kesehatan konsumen di seluruh nusantara. 

Menurut data dari Kementerian Perindustrian, terdapat 220 perusahaan yang mendukung industri farmasi di Indonesia, dan 90% di antaranya berfokus pada sektor hilir dalam memproduksi obat-obatan. Sementara itu, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa hingga tahun 2021, terdapat 241 industri formulasi farmasi, 17 industri bahan baku farmasi, 132 industri obat tradisional, dan 18 industri ekstraksi bahan alam.

KESIMPULAN
Terlepas dari tantangan-tantangan yang telah disebutkan di atas, industri farmasi di Indonesia masih sangat prospektif. Populasi Indonesia yang besar dan muda (lebih dari 80% berada di usia kerja dan 50% di bawah usia 24 tahun), ditambah dengan dukungan pemerintah terhadap revolusi layanan kesehatan, menjanjikan peluang pertumbuhan yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan asing. Pandemi COVID-19 semakin menyoroti tantangan yang dihadapi oleh sistem perawatan kesehatan negara ini dan bagaimana perusahaan asing dapat membantu Indonesia dalam mengembangkan industri perawatan kesehatan nasional. Peningkatan permintaan untuk peralatan medis dan obat-obatan farmasi selama pandemi terlihat jelas di pasar. Salah satu sub-sektor yang sangat potensial adalah sektor telemedicine, yang jika dilihat dari laporan sektor e-commerce Indonesia oleh Bain dan Temasek yang memperkirakan nilai pasar sebesar $83 miliar pada tahun 2025, hanyalah salah satu dari banyak peluang pertumbuhan yang tersedia di sektor farmasi Indonesia.

Disadur dari: business-indonesia.org

 

 

Selengkapnya
Prospek Cerah Industri Farmasi di Indonesia: Pertumbuhan yang Pesat dan Peluang Investasi
« First Previous page 888 of 997 Next Last »