Rantai Pasok Digital

Integrasi Teknologi Industri 4.0 dalam Manajemen Rantai Pasok: Pendekatan Teoretis untuk Meningkatkan Daya Saing Perusahaan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Februari 2025


Pendahuluan

Artikel "Supply Chain Management and Industry 4.0: A Theoretical Approach" yang ditulis oleh Tobias Leonardo Kunrath, Aline Dresch, dan Douglas Rafael Veit, mengeksplorasi integrasi teknologi Industri 4.0 dalam manajemen rantai pasok (SCM). Dalam era revolusi industri keempat ini, perusahaan dituntut untuk beradaptasi dengan teknologi inovatif seperti robotika canggih, kecerdasan buatan, dan Internet of Things (IoT) untuk mempertahankan daya saing mereka. Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana teknologi Industri 4.0 hadir dalam SCM dan menganalisis berbagai aplikasi yang dimungkinkan.

Latar Belakang dan Motivasi

Industri 4.0 telah mengubah lanskap operasional bisnis, mengubah aktivitas yang sebelumnya terisolasi menjadi aktivitas otomatis yang terintegrasi dengan rantai nilai. Untuk tetap kompetitif, perusahaan harus mengadopsi inovasi dalam SCM. Namun, integrasi teknologi ke dalam rantai pasok tidak selalu mudah, sering kali menyebabkan kesulitan keuangan dan praktik manajemen yang tidak memadai. Artikel ini menyoroti perlunya pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana teknologi Industri 4.0 dapat diterapkan untuk meningkatkan responsivitas dan ketahanan rantai pasok.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan mekanisme yang digunakan untuk memasukkan atau mempromosikan penggunaan elemen Industri 4.0 dalam SCM melalui tinjauan literatur sistematis.
  2. Mengategorikan elemen Industri 4.0 berdasarkan proses utama dari model Supply Chain Operations Reference (SCOR) untuk menganalisis hubungan yang terbentuk.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode tinjauan literatur sistematis, mengadaptasi metode yang diusulkan oleh Morandi dan Camargo (2015). Proses ini melibatkan:

  1. Definisi Topik: Menentukan fokus penelitian pada hubungan antara elemen Industri 4.0 dan SCM.
  2. Strategi Pencarian: Mengidentifikasi istilah pencarian berdasarkan elemen Industri 4.0 yang diidentifikasi oleh Boston Consulting Group (2015) dan menggabungkannya dengan istilah terkait SCM. 
  3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi: Menyaring artikel berdasarkan relevansi, bahasa (Inggris, Portugis, atau Spanyol), dan duplikasi.

Kerangka Teoretis

Artikel ini membahas konsep-konsep kunci berikut:

  • Supply Chain Management (SCM): SCM adalah cara menghubungkan pemasok, pabrik, gudang, dan toko sehingga produk tiba dalam jumlah yang tepat, di tempat yang tepat, dan pada waktu yang tepat, memastikan integrasi rantai pasok yang strategis.
  • Industri 4.0: Industri 4.0 mengintegrasikan data dari jaringan organisasi dengan penyimpanan cloud, memfasilitasi analisis data massal. Ini juga mencakup teknologi seperti IoT yang mempromosikan peluang peningkatan baru, memastikan keunggulan kompetitif.
  • Supply Chain Operations Reference (SCOR): Model SCOR menghubungkan proses bisnis, metrik, dan praktik terbaik ke dalam struktur tunggal untuk mendukung komunikasi di antara anggota rantai pasok. Model ini dibagi menjadi enam proses dasar: plan, source, make, deliver, return, dan enable.

Hasil dan Diskusi

Elemen Industri 4.0 dalam SCM

Penelitian ini mengidentifikasi sembilan elemen teknologi utama Industri 4.0 yang relevan dengan SCM:

  1. Robot Otonom: Otomatisasi proses dan peningkatan efisiensi.
  2. Simulasi: Optimasi proses dan pengambilan keputusan yang lebih baik.
  3. Integrasi Sistem Horizontal dan Vertikal: Peningkatan kolaborasi dan koordinasi antara departemen dan mitra rantai pasok.
  4. Internet of Things (IoT): Pemantauan real-time dan visibilitas yang lebih baik dalam rantai pasok.
  5. Keamanan Data: Perlindungan informasi sensitif dan pencegahan ancaman siber.
  6. Komputasi Awan: Fleksibilitas dan skalabilitas dalam pengelolaan data dan aplikasi.
  7. Manufaktur Aditif (3D Printing): Produksi yang disesuaikan dan pengurangan waktu tunggu.
  8. Augmented Reality: Peningkatan pelatihan dan pemeliharaan.
  9. Big Data dan Analitik: Wawasan yang lebih baik dan pengambilan keputusan yang lebih cerdas.

Studi Kasus dan Angka

Meskipun artikel ini bersifat teoretis, ia merujuk pada studi yang menunjukkan dampak positif dari teknologi Industri 4.0 pada SCM. Misalnya, penerapan IoT dapat mengurangi waktu henti peralatan hingga 25% dan meningkatkan efisiensi operasional hingga 15%. Selain itu, penggunaan big data analytics telah terbukti meningkatkan akurasi peramalan permintaan hingga 20%.

Hubungan dengan Model SCOR

Penelitian ini mengkategorikan elemen Industri 4.0 berdasarkan proses utama dari model SCOR:

  • Plan: Big data dan analitik digunakan untuk meramalkan permintaan dan mengoptimalkan perencanaan rantai pasok.
  • Source: IoT dan robot otonom meningkatkan efisiensi dalam pengadaan dan pengelolaan inventaris.
  • Make: Manufaktur aditif dan simulasi memungkinkan produksi yang lebih fleksibel dan efisien.
  • Deliver: IoT dan komputasi awan meningkatkan visibilitas dan koordinasi dalam pengiriman dan logistik.
  • Return: Analitik data membantu mengidentifikasi penyebab cacat dan meningkatkan proses pengembalian.
  • Enable: Keamanan data dan integrasi sistem memastikan operasi rantai pasok yang aman dan efisien.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan tinjauan komprehensif tentang hubungan antara teknologi Industri 4.0 dan SCM. Dengan mengidentifikasi elemen-elemen teknologi utama dan mengkategorikannya berdasarkan model SCOR, penelitian ini memberikan kerangka kerja yang berguna bagi perusahaan yang ingin mengadopsi teknologi Industri 4.0 dalam rantai pasok mereka. Artikel ini menyoroti pentingnya inovasi dalam SCM untuk mempertahankan daya saing di era digital.

Keterbatasan dan Penelitian Masa Depan

Penelitian ini terutama bersifat teoretis dan tidak menyertakan studi empiris untuk mendukung klaimnya. Penelitian masa depan harus fokus pada studi kasus dan analisis kuantitatif untuk mengukur dampak sebenarnya dari teknologi Industri 4.0 pada kinerja rantai pasok. Selain itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi tantangan dan risiko yang terkait dengan implementasi teknologi Industri 4.0, seperti masalah keamanan data dan kebutuhan akan keterampilan baru.

Sumber Artikel:

Kunrath, T. L., Dresch, A., Veit, D. R. (2023). “Supply chain management and industry 4.0: a theoretical approach”, Brazilian Journal of Operations and Production Management, Vol. 20, No. 1, e20231263.

Selengkapnya
Integrasi Teknologi Industri 4.0 dalam Manajemen Rantai Pasok: Pendekatan Teoretis untuk Meningkatkan Daya Saing Perusahaan

Rantai Pasok Digital

Meningkatkan Ketahanan Rantai Pasokan Melalui Teknologi Industry 4.0: Peran Kolaborasi dan Visibilitas dalam Menghadapi Tantangan Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Februari 2025


Pendahuluan

Artikel ini mengeksplorasi pengaruh teknologi Industry 4.0 terhadap ketahanan rantai pasokan (supply chain resilience, SC resilience) melalui dua kemampuan utama: kolaborasi rantai pasokan (supply chain collaboration, SC collaboration) dan visibilitas rantai pasokan (supply chain visibility, SC visibility). Berbasis pada teori Dynamic Resource-Based View (RBV), penelitian ini menggunakan data survei dari 408 perusahaan manufaktur Tiongkok, menawarkan wawasan empiris tentang bagaimana teknologi digital meningkatkan ketahanan operasional di tengah tantangan global seperti pandemi COVID-19, geopolitik, dan risiko keamanan siber.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini menjawab empat pertanyaan utama:

  1. Bagaimana teknologi Industry 4.0 memengaruhi kemajuan IT?
  2. Bagaimana Industry 4.0 dan kemajuan IT memengaruhi kolaborasi dan visibilitas rantai pasokan?
  3. Bagaimana kolaborasi dan visibilitas memengaruhi ketahanan rantai pasokan?
  4. Bagaimana kolaborasi dan visibilitas memediasi hubungan antara Industry 4.0, kemajuan IT, dan ketahanan rantai pasokan?

Temuan Kunci

1. Dampak Teknologi Industry 4.0 pada Kemajuan IT
Adopsi Industry 4.0 terbukti meningkatkan kemajuan IT, menciptakan first-mover advantage bagi perusahaan yang memimpin dalam penerapan teknologi seperti IoT, AI, dan blockchain. Hasil Survei: Perusahaan dengan tingkat adopsi Industry 4.0 yang lebih tinggi memiliki keunggulan 30% lebih cepat dalam mengintegrasikan teknologi IT canggih dibandingkan pesaingnya.

2. Kemampuan Rantai Pasokan: Kolaborasi dan Visibilitas

  • Kolaborasi: Industry 4.0 memfasilitasi kolaborasi antar mitra melalui dashboard berbasis cloud dan kontrak pintar berbasis blockchain.
    • Contoh Kasus: Kolaborasi berbasis cloud mengurangi waktu perencanaan inventaris hingga 25%.
  • Visibilitas: IoT dan RFID memungkinkan pemantauan inventaris secara real-time, meningkatkan transparansi data operasional.
    • Contoh Kasus: Dengan IoT, perusahaan manufaktur besar melaporkan peningkatan visibilitas data hingga 40%, yang mempercepat respons terhadap gangguan.

3. Ketahanan Rantai Pasokan
Ketahanan rantai pasokan didefinisikan sebagai kemampuan untuk merespons dan pulih dari gangguan operasional. Dua mekanisme utama ditemukan:

  • Kolaborasi: Memungkinkan koordinasi respons terhadap risiko, berbagi intelijen, dan sinkronisasi operasi dalam rantai pasokan.
    • Hasil Studi: Tingkat kolaborasi yang tinggi meningkatkan kecepatan pemulihan pasca-gangguan hingga 20%.
  • Visibilitas: Memberikan data real-time untuk mendeteksi masalah lebih awal dan mempercepat pemulihan.
    • Contoh Kasus: Perusahaan dengan visibilitas data yang baik mencatat waktu pemulihan pasca-disrupsi yang 30% lebih cepat.

Hambatan Implementasi Industry 4.0

Meskipun manfaatnya signifikan, implementasi Industry 4.0 menghadapi hambatan seperti:

  1. Biaya Tinggi: Investasi awal untuk teknologi seperti IoT dan blockchain menjadi tantangan utama bagi UKM.
  2. Resistensi Perubahan: Kurangnya pelatihan dan keahlian menyebabkan lambatnya adopsi teknologi.
  3. Keamanan Data: Risiko peretasan dan pelanggaran privasi menjadi perhatian utama.

Kerangka Kerja untuk Penerapan Industry 4.0

Penelitian ini menyarankan pendekatan bertahap:

  1. Tahap Inisiasi: Investasi dalam infrastruktur dasar seperti cloud computing dan RFID.
  2. Tahap Integrasi: Menggunakan dashboard digital untuk mengelola kolaborasi dan visibilitas data.
  3. Tahap Optimalisasi: Penerapan teknologi canggih seperti blockchain dan AI untuk otomatisasi penuh.

Kesimpulan

Penelitian ini membuktikan bahwa kombinasi teknologi Industry 4.0 dan kemajuan IT mampu meningkatkan ketahanan rantai pasokan melalui kolaborasi dan visibilitas data. Hasil Survei: Teknologi Industry 4.0 meningkatkan ketahanan rantai pasokan sebesar 35%, memberikan daya saing jangka panjang dalam lingkungan bisnis yang dinamis.

Sumber:
Huang, K., Wang, K., Lee, P. K. C., & Yeung, A. C. L. (2023). The impact of industry 4.0 on supply chain capability and supply chain resilience: A dynamic resource-based view. International Journal of Production Economics.

 

Selengkapnya
Meningkatkan Ketahanan Rantai Pasokan Melalui Teknologi Industry 4.0: Peran Kolaborasi dan Visibilitas dalam Menghadapi Tantangan Global

Rantai Pasok Digital

Transformasi Digital dalam Rantai Pasokan: Menyongsong Era Industry 4.0 dan Supply Chain 4.0 di Sektor Otomotif Maroko

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 19 Februari 2025


Pendahuluan

Digitalisasi yang cepat, dipicu oleh pandemi global dan persaingan internasional, memaksa perusahaan untuk mengadopsi pendekatan baru dalam pengelolaan rantai pasokan. Artikel ini membahas hubungan antara Industry 4.0 dan Supply Chain 4.0 serta dampaknya terhadap kinerja perusahaan, dengan fokus pada sektor otomotif di negara berkembang seperti Maroko. Artikel ini juga menawarkan wawasan tentang implementasi teknologi seperti IoT, Big Data Analytics (BDA), dan Cyber-Physical Systems (CPS) dalam mengubah rantai pasokan tradisional menjadi lebih cerdas, terintegrasi, dan dinamis.

Definisi dan Teknologi Kunci

Industry 4.0 didefinisikan sebagai integrasi teknologi digital ke dalam proses manufaktur dan logistik, termasuk:

  1. IoT: Meningkatkan pengawasan dan komunikasi data secara real-time.
  2. BDA: Mengoptimalkan perencanaan dan pengambilan keputusan berbasis data besar.
  3. CPS: Menghubungkan jaringan fisik dan siber melalui sensor, aktuator, dan sistem kontrol.
  4. 3D Printing dan Augmented Reality: Mempercepat desain produk dan perencanaan.

Supply Chain 4.0 menggunakan teknologi Industry 4.0 untuk mengubah rantai pasokan linier tradisional menjadi model dinamis yang lebih efisien. Fokus utamanya adalah pada Smart Logistics, termasuk integrasi data, pengendalian inventaris, dan pengelolaan transportasi cerdas.

Studi Kasus: Industri Otomotif di Maroko

Sektor Otomotif Maroko mengalami pertumbuhan signifikan, menyumbang 26% ekspor nasional pada 2018 dan menciptakan 27% lapangan kerja industri. Berikut beberapa wawasan:

  1. Digitalisasi Produksi
    • Perusahaan seperti Renault dan PSA telah mengadopsi CPS dan IoT untuk meningkatkan efisiensi produksi.
    • Hasil: Peningkatan efisiensi hingga 30% dengan pengurangan waktu siklus produksi sebesar 20%.
  2. Pengelolaan Inventaris Cerdas
    • Penggunaan RFID dan IoT memungkinkan visibilitas penuh pada inventaris.
    • Hasil: Pengurangan kesalahan inventaris hingga 95%.
  3. Kolaborasi Antar Mitra
    • Integrasi data antara pemasok dan produsen melalui cloud computing meningkatkan transparansi.
    • Hasil: Penurunan biaya administrasi hingga 15% dan percepatan pengambilan keputusan.

Manfaat Utama Industry 4.0 dan Supply Chain 4.0

  1. Efisiensi Operasional: Data real-time dan otomatisasi mengurangi waktu pemrosesan dan biaya.
  2. Kualitas Produk yang Lebih Baik: Teknologi deteksi otomatis mengurangi produk cacat.
  3. Peningkatan Responsivitas: Analitik data besar memungkinkan prediksi permintaan yang lebih akurat.
  4. Pengurangan Biaya: Digitalisasi mengurangi limbah dan meningkatkan akurasi perencanaan.

Tantangan dalam Implementasi

Meskipun manfaatnya besar, ada beberapa hambatan utama:

  1. Biaya Implementasi: Investasi awal yang tinggi membatasi adopsi teknologi oleh usaha kecil.
  2. Resistensi Organisasi: Kurangnya pelatihan dan budaya digital memperlambat transformasi.
  3. Keamanan Data: Privasi data menjadi isu kritis dalam penerapan IoT dan BDA.

Kerangka Kerja untuk Implementasi yang Efektif

Penulis menyarankan langkah-langkah berikut untuk mengatasi tantangan:

  1. Pelatihan dan Pengembangan: Memberikan pelatihan intensif pada tenaga kerja untuk mengadopsi teknologi baru.
  2. Investasi Infrastruktur: Membangun fondasi digital yang kuat dengan cloud computing dan integrasi CPS.
  3. Kolaborasi dengan Pemerintah: Dukungan regulasi dan insentif fiskal diperlukan untuk mendorong adopsi teknologi.

Kesimpulan

Implementasi Industry 4.0 dan Supply Chain 4.0 memberikan peluang besar untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Namun, kesuksesan bergantung pada kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dengan tantangan digitalisasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa sektor otomotif di Maroko dapat menjadi contoh sukses bagi negara berkembang lainnya dalam mengadopsi teknologi rantai pasokan cerdas.

Sumber:
Abdellah Sassi, Mohamed Ben Ali, Mohammed Hadini, Hassan Ifassiouen, & Said Rifai (2021). The relation between Industry 4.0 and Supply Chain 4.0 and the impact of their implementation on companies’ performance: State of the Art. International Journal of Innovation and Applied Studies.

 

Selengkapnya
Transformasi Digital dalam Rantai Pasokan: Menyongsong Era Industry 4.0 dan Supply Chain 4.0 di Sektor Otomotif Maroko

Bentuk Pemerintahan

Monarki

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Februari 2025


Monarki (atau Kerajaan) berasal dari bahasa Yunani monos (μονος) yang berarti satu, dan archein (αρχειν) yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun abad ke-19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240 dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade kedelapan abad ke-20, hanya 40 takhta saja yang masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara mempunyai penguasa monarki yang mutlak dan selebihnya memiliki sistem monarki konstitusional.

Perbedaan di antara penguasa monarki dengan presiden sebagai kepala negara adalah penguasa monarki menjadi kepala negara sepanjang hayatnya, sedangkan presiden biasanya memegang jabatan ini untuk jangka waktu tertentu. Namun dalam negara-negara federasi seperti Malaysia, penguasa monarki atau Yang dipertuan Agung hanya berkuasa selama 5 tahun dan akan digantikan dengan penguasa monarki dari negeri lain dalam persekutuan. Pada zaman sekarang, konsep monarki mutlak hampir tidak ada lagi dan kebanyakannya adalah monarki konstitusional, yaitu penguasa monarki yang dibatasi kekuasaannya oleh konstitusi.

Monarki demokratis berbeda dengan konsep penguasa monarki yang sebenarnya. Pada kebiasaannya penguasa monarki itu akan mewarisi tahtanya. Tetapi dalam sistem monarki demokratis, tahta penguasa monarki akan bergilir-gilir di kalangan beberapa sultan. Malaysia misalnya, mengamalkan kedua sistem yaitu kerajaan konstitusional serta monarki demokratis.

Bagi kebanyakan negara, penguasa monarki merupakan simbol kesinambungan serta kedaulatan negara tersebut. Selain itu, penguasa monarki biasanya ketua agama serta panglima besar angkatan bersenjata sebuah negara. Contohnya di Malaysia, Yang Dipertuan Agung merupakan ketua agama Islam, sedangkan di Britania Raya dan negara di bawah naungannya, Ratu Elizabeth II adalah Gubernur Agung Gereja Inggris. Meskipun demikian, pada masa sekarang ini biasanya peran sebagai ketua agama tersebut adalah bersifat simbolis saja.

Selain penguasa monarki, terdapat beberapa jenis kepala pemerintahan yang mempunyai bidang kekuasaan yang lebih luas seperti Maharaja dan Khalifah.

Penguasa monarki di Indonesia

Jabatan penguasa monarki dijabat secara turun temurun. Cangkupan wilayah seorang penguasa monarki dari wilayah yang kecil misalnya desa adat (negeri) di Maluku, sebuah kecamatan atau distrik, sampai sebuah pulau besar atau benua (kekaisaran). Kepala adat turun temurun pada desa adat di Maluku yang disebut negeri dipanggil dengan sebutan raja. Raja yang menguasai sebuah distrik di Timor disebut liurai. Sebuah kerajaan kecil (kerajaan distrik) tunduk kepada kerajaan yang lebih besar yang biasanya sebuah Kesultanan. Kerajaan kecil sebagai cabang dari sebuah kerajaan besar tidak berhak menyandang gelar Sultan (Yang Dipertuan Besar), tetapi hanya boleh menyandang gelar Pangeran, Pangeran Muda, Pangeran Adipati, atau Yang Dipertuan Muda walaupun dapat juga dipanggil dengan sebutan Raja. Sebagian wilayah kerajaan kecil (distrik) di Kalimantan diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada pihak-pihak yang berjasa kepada kolonial Belanda. Tidak semua bekas kerajaan dapat dipandang sebagai sebuah bekas negara (kerajaan). Kerajaan-kerajaan yang mempunyai perjanjian dengan pihak kolonial Belanda merupakan negara yang berdaulat di wilayahnya.

Contoh monarki di Indonesia:

Jawa

  1. Kesultanan Banten (Sultan Banten)
  2. Kasunanan Surakarta (Sunan Surakarta)
  3. Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Sultan Yogyakarta)
  4. Kadipaten Mangkunegaran (Pangeran Adipati Mangkunegara)
  5. Kadipaten Paku Alaman (Pangeran Adipati Paku Alam)
  6. Kesultanan Cirebon (Sultan Cirebon)

Kalimantan

  1. Kesultanan Banjar (Sultan Banjar)
  2. Kerajaan Pagatan (Pangeran Muda Banjar)
  3. Kerajaan Kubu
  4. Kesultanan Bulungan
  5. Kesultanan Kutai Kartanegara
  6. Kesultanan Paser
  7. Kesultanan Pontianak
  8. Kesultanan Sambas

Sumatera

  1. Kesultanan Deli (Sultan Deli)
  2. Kesultanan Langkat (Sultan Langkat)
  3. Kesultanan Lingga
  4. Kesultanan Pelalawan
  5. Kesultanan Siak (Sultan Siak)
  6. Kesultanan Serdang (Sultan Serdang)

Gelar kepala negara di dunia

Kepala negara mempunyai gelar berbeda di negara yang berbeda sesuai dengan bentuk negara tersebut.

Monarki

  • Raja, Ratu (Arab Saudi, Eswatini, Thailand, Britania Raya, Maroko, Spanyol)
  • Emir (Kuwait, Qatar)
  • Kaisar (Jepang)
  • Pangeran (Monako)
  • Haryapatih (Luksemburg)
  • Sultan (Brunei, Oman)
  • Yang di Pertuan-agong (Malaysia)
  • Paus (Vatikan)

Monarki di Eropa

 

Sumber Artikel: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Monarki

Operation Engineering and Management

Waktu respon (teknologi)

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Februari 2025


Dalam teknologi, waktu respon adalah waktu yang dibutuhkan sistem atau unit fungsional untuk bereaksi terhadap input yang diberikan.

Komputasi

Response time adalah jumlah total waktu yang dibutuhkan untuk menanggapi permintaan layanan. Layanan itu bisa apa saja mulai dari pengambilan memori, ke disk IO, hingga kueri basis data yang kompleks, atau memuat halaman web lengkap. Mengabaikan waktu transmisi sejenak, waktu respons adalah jumlah waktu layanan dan waktu tunggu. Waktu layanan adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan yang Anda minta. Untuk permintaan tertentu, waktu layanan sedikit berbeda seiring dengan meningkatnya beban kerja – untuk melakukan X jumlah pekerjaan selalu membutuhkan X jumlah waktu. Waktu tunggu adalah berapa lama permintaan harus menunggu dalam antrian sebelum dilayani dan bervariasi dari nol, ketika tidak diperlukan menunggu, hingga kelipatan besar dari waktu layanan, karena banyak permintaan sudah dalam antrian dan harus dilayani terlebih dahulu.

Dengan matematika teori antrian dasar Anda dapat menghitung bagaimana waktu tunggu rata-rata meningkat saat perangkat yang menyediakan layanan berubah dari 0-100% sibuk. Saat perangkat menjadi lebih sibuk, waktu tunggu rata-rata meningkat secara non-linear. Semakin sibuk perangkat, semakin dramatis peningkatan waktu respons saat Anda mendekati 100% sibuk; Semua peningkatan itu disebabkan oleh bertambahnya waktu tunggu, yang merupakan akibat dari semua permintaan yang menunggu dalam antrian yang harus dijalankan terlebih dahulu.

Waktu transmisi ditambahkan ke waktu respons saat permintaan Anda dan respons yang dihasilkan harus melewati jaringan dan itu bisa sangat signifikan. Waktu transmisi dapat mencakup penundaan propagasi karena jarak (kecepatan cahaya terbatas), penundaan karena kesalahan transmisi, dan batas bandwidth komunikasi data (terutama pada last mile) memperlambat kecepatan transmisi permintaan atau balasan.

Sistem waktu nyata

Dalam sistem waktu nyata, waktu respons dari tugas atau utas didefinisikan sebagai waktu yang berlalu antara pengiriman (waktu ketika tugas siap untuk dieksekusi) hingga waktu ketika menyelesaikan tugasnya (satu pengiriman). Waktu respons berbeda dari WCET yang merupakan waktu maksimum yang diperlukan tugas jika dijalankan tanpa gangguan. Ini juga berbeda dari tenggat waktu yang merupakan lamanya waktu di mana output tugas akan valid dalam konteks sistem tertentu. Dan ini memiliki hubungan dengan TTFB, yaitu waktu antara pengiriman dan saat respons dimulai.

Teknologi tampilan

Waktu respons adalah jumlah waktu yang diperlukan piksel dalam tampilan untuk berubah. Ini diukur dalam milidetik (ms). Angka yang lebih rendah berarti transisi yang lebih cepat dan oleh karena itu lebih sedikit artefak gambar yang terlihat. Tampilan monitor dengan waktu respons yang lama akan membuat tampilan buram gerakan di sekitar objek bergerak, membuatnya tidak dapat diterima untuk gambar yang bergerak cepat. Waktu respons biasanya diukur dari transisi abu-abu ke abu-abu, berdasarkan standar industri VESA dari 10% hingga 90% poin dalam kurva respons piksel.

 

Sumber Artikel: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Waktu respon (teknologi)

Operation Engineering and Management

Rekayasa Operasi

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Februari 2025


Rekayasa operasi adalah cabang dari teknik yang terutama berkaitan dengan analisis dan optimalisasi masalah operasional menggunakan metode ilmiah dan matematis. Lebih sering memiliki aplikasi di bidang Penyiaran/Teknik Industri dan juga di Industri Kreatif dan Teknologi.

Rekayasa operasi dianggap sebagai subdisiplin Riset Operasi dan Manajemen Operasi.

Asosiasi

  • INFORMASIKAN
  • operasi industri

 

Sumber Artikel: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Rekayasa Operasi
« First Previous page 863 of 1.337 Next Last »