Properti dan Arsitektur

Mengenal tentang Kotagede Yogyakarta

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Kotagede (bahasa Jawa: ꦏꦸꦛꦒꦼꦝꦺ, bahasa Latin: Kuthagedhé) adalah sebuah kelurahan dan lingkungan bersejarah di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kotagede memiliki sisa-sisa peninggalan ibu kota pertama Kesultanan Mataram yang didirikan pada abad ke-16. Beberapa peninggalan Kotagede lama adalah sisa-sisa keraton, pemakaman kerajaan, masjid kerajaan, dan tembok pertahanan serta parit. Kotagede terkenal di dunia internasional karena kerajinan peraknya.

Sejarah

  • Kota kerajaan dan tempat ziarah

Kotagede sebelumnya adalah sebuah hutan bernama Mentaok, di sebelah timur Sungai Gajah Wong. Pada seperempat terakhir abad ke-16, penguasa Kerajaan Islam Pajang, sekitar 100 kilometer di sebelah timur situs ini, menghadiahkan hutan tersebut kepada Ki Ageng Pemanahan, salah satu punggawanya yang berhasil memadamkan pemberontakan. Pemanahan membuka hutan bersama putranya, Danang Sutawijaya, yang juga merupakan anak angkat sang penguasa. Sebuah pemukiman didirikan dan diberi nama Mataram karena Pemanahan sendiri disebut Ki Gedhe Mataram, "Penguasa Mataram".

Setelah Pemanahan wafat pada tahun 1575, Danang Sutawijaya mengumumkan dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati Ingalaga, "Tuan yang Disembah, Panglima di Medan Perang." Dia memperluas wilayahnya dengan menaklukkan beberapa bagian utama di Jawa, termasuk Pajang, ibu kota ayah angkatnya. Kota kecil ini kemudian menjadi ibu kota Mataram dan sejak saat itu kota ini dijuluki Kotagede, "Kota Besar". Pada masa itu, kota ini dibentengi dengan tembok. Tembok sebelah barat dibangun di sepanjang Sungai Gajah Wong, yang dialirkan untuk mengairi parit-parit di tiga sisi benteng.

Agar berhasil memerintah suatu wilayah, Senapati juga menjalin persekutuan dengan kekuatan gaib dengan melakukan pertapaan. Menurut Babad Mangkubumi, ketika melakukan meditasi di atas batu di tengah sungai di antara Gunung Merapi dan Samudera Hindia, seekor ikan mitos raksasa bernama Tunggulwulung menawari Senapati tumpangan untuk bertualang ke arah selatan samudera tempat roh terkuat di Jawa menguasai alam baka, bernama Kangjeng Ratu Kidul. Karena terpesona oleh aura Senapati, sang ratu memberikan dukungan atas upaya besar Senapati untuk menaklukkan rakyat Jawa. Ia bahkan mempersembahkan dirinya untuk menjadi permaisuri Senapati, dan juga seluruh keturunannya yang berkuasa, hingga saat ini.

Seorang pangeran bernama Mas Jolang menggantikan Senapati pada tahun 1601. Selama 12 tahun masa pemerintahannya, ia melakukan banyak proyek pembangunan di dalam istana dan daerah sekitarnya, bangunan terpenting yang ia bangun di istana adalah Prabayeksa. Arkeolog Willem Frederik Stutterheim mencatat pentingnya bangunan pusat ini sejak masa pra-Islam Majapahit. Di Keraton Yogyakarta saat ini, nama ini merujuk pada sebuah bangunan kayu raksasa yang sepenuhnya tertutup yang berfungsi sebagai tempat suci bagian dalam kediaman raja di mana sebagian besar benda pusaka dan senjata yang memiliki kekuatan magis disimpan.

Jolang memprakarsai pembangunan beberapa Taman (taman kesenangan tertutup). Dia dikenang dengan nama anumerta sebagai Panembahan Seda Krapyak ("Penguasa yang Meninggal saat Berburu (di Pondok Berburu)") karena konon dia terbunuh oleh seekor rusa ketika berburu di krapyak (hutan berburu tertutup) miliknya.

Pengganti Jolang untuk naik tahta adalah Mas Rangsang (berkuasa 1613-1645) yang lebih dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma, "Sultan Agung, Penguasa Alam Semesta". Ia memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencakup Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia menyerang Batavia dua kali meskipun tidak berhasil. Sultan Agung memutuskan untuk meninggalkan Kotagede menuju sebuah tempat bernama Kerta, sekitar 5 km sebelah selatan Kotagede, dan memulai pembangunan ibu kota baru dengan tembok yang jauh lebih besar di dekatnya yang bernama Plered.

Ibukota Mataram berpindah beberapa kali setelah itu hanya untuk kembali lagi ke lokasi dekat Kotagede. Dari Kerta, ibukota Mataram dipindahkan ke Plered oleh putra Agung, Mangkurat I. Hanya satu generasi yang menetap di Plered sebelum jatuhnya kota ini setelah dikalahkan oleh beberapa penentang Mangkurat I pada tahun 1677.

Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan, penggantinya, Mangkurat II, memutuskan untuk mendirikan ibu kota baru bernama Kartasura yang berjarak 50 km ke arah timur. Pembantaian orang Tionghoa di Batavia berubah menjadi kekacauan di banyak wilayah utama di Jawa pada paruh pertama abad ke-18. Pemimpin pemberontak, Sunan Kuning, menduduki tahta Mataram di Kartasura setelah Pakubawana II meninggalkan ibukota dalam kekalahan. Pakubuwana II kemudian mendapatkan kembali kerajaannya, tetapi tahta telah ternoda, sehingga sebuah istana baru harus didirikan untuk memiliki pusat pemurnian. Pada tahun 1745, ia menciptakan tempat baru yang menjadi jantung kota Surakarta.

Tidak seperti banyak daerah lain di Jawa, beberapa tanah leluhur termasuk Kotagede tidak dapat dibagi-bagi karena dianggap sebagai semacam pusaka dan bukan wilayah yang dapat diukur. Pemakaman dan masjid dijaga oleh pejabat dari kedua pengadilan dan tanah di sekitarnya ditugaskan sebagai appanage untuk menopang kehidupan para pejabat ini. Seiring dengan pergeseran kekuasaan politik, Kotagede pada dasarnya menjadi kota ziarah dengan makam kerajaan dan situs-situs lain yang terkait dengan pendirian kerajaan Mataram.

  • Era kolonial

Pada akhir abad ke-19, transportasi dan monetisasi ekonomi pertanian membaik. Para pedagang Kotagede menjadi makmur pada masa ini. Rumah-rumah pedagang bertembok yang disebut rumah Kalang muncul pada masa ini, dibangun dengan tembok batu yang tebal untuk melindungi harta benda yang terkumpul. Rumah-rumah pedagang tradisional ini terkadang menggabungkan elemen-elemen dari arsitektur Belanda yang dianggap mewah, menghasilkan arsitektur eklektik. Kerajinan perak berkembang pesat pada era ini.

  • Reformasi agama

Reformasi Islam muncul pada kuartal pertama abad ke-20. Beberapa pemimpin agama lokal mendirikan organisasi keagamaan bernama Syarikatul Mubtadi (Serikat Pemula) yang bertujuan untuk mendidik masyarakat Kotagede tentang cara hidup Islam yang "benar". Gerakan awal ini semakin berkembang dengan diperkenalkannya Muhammadiyah, sebuah organisasi pembaharuan Islam yang berbasis di Yogyakarta. Pembaharuan ini bertujuan untuk memperkenalkan rasionalitas dan ajaran Islam kepada masyarakat Kotagede, yang dianggap takhayul. Masjid Perak dibangun pada tahun 1940 di jalan utama Kotagede.

  • Sekarang

Indonesia mengalami "booming pariwisata" pada awal tahun 1970-an dan hal ini memberikan pengaruh positif bagi Kotagede. Beberapa rumah tua dikembangkan sebagai ruang pamer kerajinan dan restoran. Reruntuhan bangunan masih dipertahankan.

Banyak bangunan tua di Kotagede yang hancur akibat gempa bumi Yogyakarta tahun 2006. Program revitalisasi Kotagede diprakarsai oleh Pusaka Jogja Bangkit! ("Kebangkitan Pusaka Jogja!"). Pihak-pihak yang berkolaborasi terdiri dari Jogja Heritage Society, Balai Pelestarian Cagar Budaya, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gajah Mada, Jaringan Pelestarian Cagar Budaya Indonesia, ICOMOS Indonesia, dan lembaga-lembaga pendukung lainnya termasuk masyarakat setempat.

Saat ini, Kotagede masih dianggap sebagai tempat asal muasal kekuatan gaib yang dipercaya sebagai pusat berkah dan kemakmuran leluhur.

Administrasi

Secara administratif, wilayah Kotagede dibagi menjadi tiga kelurahan: Prenggan, Purbayan, dan Rejowinangun yang bersama-sama membentuk Kecamatan Kotagede di Kota Yogyakarta. Secara eksternal, Jagalan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Banguntapan yang bersebelahan dengan Kabupaten Bantul.

Perencanaan kota

Tata kota asli Kotagede mirip dengan tata kota Majapahit: konfigurasi empat kali lipat dari Masjid-Keraton-Pasar-Alun-alun yang disebut catur gatra tunggal, dikelilingi oleh tembok pertahanan: cepuri (dinding dalam) dan baluwerti (dinding luar). Pasar dan alun-alun pada dasarnya merupakan ruang terbuka, sedangkan Masjid dan Keraton merupakan kompleks bertembok yang masing-masing terdiri dari banyak bangunan. Kota ini lebih tepat digambarkan sebagai sebuah istana kota

Hanya ada sedikit peninggalan fisik dari istana dan kota. Bagian yang masih ada antara lain masjid agung kuno Kotagede, pemakaman kerajaan (cikal bakal Imogiri), dan beberapa bagian dari tembok kota yang masih ada. Masjid agung dan pemakaman kerajaan sekarang terletak di daerah yang disebut Dondongan.

Toponim menunjukkan banyak jejak perencanaan awal kota. Sebuah lingkungan yang disebut Alun-alun terletak di sebelah selatan pasar, tepat di depan masjid agung. Sebuah tempat yang disebut Dalem (rumah dalam) menandakan peruntukannya sebagai kediaman penguasa.

  • Kedhaton (istana kerajaan)

Kedhaton, (juga Kedaton), atau "istana kerajaan", berdiri di situs ini pada tahun 1509. Saat ini, satu-satunya peninggalan dari istana kerajaan adalah tiga buah batu yang masing-masing disebut batu gilang ("batu berkilauan"), batu gatheng ("batu gatheng (permainan lempar batu)"), dan batu genthong ("batu gentong"). Saat ini, batu-batu tersebut dilindungi di dalam sebuah bangunan kecil yang terletak di tengah jalan dan dikelilingi oleh tiga pohon beringin.

Batu gilang (juga disebut watu gilang) adalah lempengan batu hitam berbentuk persegi yang diyakini sebagai batu tempat beristirahatnya Panembahan Senopati. Di atasnya tertulis secara melingkar kata-kata: "Demikianlah Dunia", masing-masing dalam bahasa Latin, Prancis, Belanda, dan Italia: Ita movetur Mundus - Ainsi va le Monde - Zoo gaat de wereld - Cosi va il Mondo. Di bagian luar, kata-kata Latin di dalam lingkaran bertuliskan: AD AETERNAM MEMORIAM INFELICIS - INFORTUNA CONSORTES DIGNI VALETE QUID STUPEARIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONTEMTU VERE DIGNI - IGM (In Glorium Maximam).

Batu gatheng (juga disebut watu cantheng) adalah tiga buah bola batu berwarna kekuningan dengan ukuran berbeda yang diletakkan di atas lempengan batu. Bola-bola ini diyakini oleh penduduk setempat sebagai batu permainan Raden Rongo, putra Panembahan Senapati. Ada juga yang mengatakan bahwa batu-batu tersebut adalah peluru meriam.

Batu genthong dipercaya sebagai batu tempat air wudhu yang digunakan dalam ritual Islam. Batu ini digunakan oleh para penasihat kerajaan Panembahan Senopati: Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Giring.

  • Masjid gede (masjid agung)

Masjid gede Kotagede adalah monumen terbesar yang dikaitkan dengan kerajaan Mataram, oleh karena itu saat ini disebut Masjid Mataram. Masjid ini pertama kali didirikan pada tahun 1575, tahun wafatnya Ki Ageng Pemanahan. Pembangunan ulang besar-besaran pertama dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Agung untuk menghormati para leluhurnya. Penguasa Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta melakukan beberapa kali rehabilitasi di kemudian hari. Pembangunan kembali terakhir dilakukan pada tahun 1926 di bawah perintah Sunan Pakubuwana X setelah masjid ini terbakar.

Masjid ini dibangun dengan arsitektur tradisional Jawa. Terdiri dari sepasang bangunan: ruang sholat utama dan ruang depan yang biasa disebut serambi. Ruang salat adalah bangunan dengan dinding polos yang tebal, sedangkan serambi adalah bangunan semi-menyatu dengan serambi. Di sekeliling serambi terdapat parit yang memungkinkan seseorang untuk mencelupkan kakinya sebelum mencapai serambi, yang secara simbolis menyucikan apa pun yang masuk ke dalam masjid.

Masjid ini terletak tepat di sebelah timur pemakaman kerajaan. Area masjid adalah halaman luas yang ditumbuhi pohon sawo kecik (Manilkara kauki), dua bangunan utama hanya seluas kurang dari sepersepuluh dari keseluruhan area.

  • Pemakaman kerajaan

Pemakaman kerajaan ini bernama Makam Kota Gede (dalam bahasa Indonesia) atau secara resmi (Pasareyan) Hasta Kitha Ageng (dalam bahasa Jawa). Makam ini terletak di sebelah barat Masjid Agung. Ini adalah bagian yang paling utuh dari Kotagede. Sejarah menyebutkan bahwa ayah Senapati, Ki Gedhe Mataram, dimakamkan di sebelah barat masjid dan Senapati sendiri dimakamkan di sebelah selatan masjid, searah dengan arah kaki ayahnya. Orang-orang penting lainnya yang dimakamkan di pemakaman ini antara lain Sultan Hadiwijaya. Pemakaman ini dijaga dan dirawat oleh Juru Kunci yang dipekerjakan oleh dua keraton Yogyakarta dan Surakarta. Gapura pemakaman ini memiliki ciri khas arsitektur Hindu, setiap gerbangnya terbuat dari kayu tebal yang dihiasi dengan ukiran. Pemakaman bertembok ini tidak berfungsi sebagai pelindung fisik dari makam dan perhiasannya, cungkup memisahkan dunia orang mati dengan dunia orang hidup.

Pemakaman kerajaan lain di dekatnya adalah pemakaman Hastorenggo. Dibangun pada tahun 1934, pemakaman ini merupakan pemakaman kerajaan untuk keturunan tertentu dari keraton Yogyakarta dan masih digunakan sampai sekarang.

  • Alun-alun

Sebagai sebuah lapangan terbuka, tidak ada sisa-sisa alun-alun. Sebuah kampung yang sekarang disebut "Alun-alun" terletak di sebelah selatan pasar, tepat di depan masjid besar, menandakan di mana bekas alun-alun berada. Kampung lain yang bernama Cokroyudan juga terletak di dekat bekas alun-alun.

Kampung Alun-alun dan Cokroyudan telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dengan nama "Kampung Pusaka Alun-alun Cokroyudan".

Pasar

Pasar Kotagede terletak di tengah kota, di persimpangan empat jalan utama. Karena dianggap sebagai bagian penting dari kota, Kotagede juga dikenal sebagai Pasar Gede atau singkatnya, Sargede. Sejak Panembahan Senapati memiliki nama kecil Ngabehi Loring Pasar, "Penguasa Pasar Utara", keberadaan pasar ini sama tuanya dengan kerajaan. Sama halnya dengan Forum Romawi, pasar juga merupakan tempat pertemuan.

Legi, sebuah hari dalam satu minggu dalam penanggalan Jawa, adalah hari pasar di Kotagede, sehingga pasar ini juga dikenal sebagai Pasar Legi atau Sarlegi. Pasar Legi di Kotagede selalu diadakan pada hari Legi, sebuah keunikan tersendiri di Yogyakarta.

  • Tembok pertahanan

Panembahan Senopati membangun tembok dalam kota (cepuri) yang dilengkapi dengan parit di sekeliling keraton. Tembok dalam ini meliputi area seluas kurang lebih 400x400 meter. Reruntuhannya masih dapat dilihat di sudut barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 meter dan terbuat dari balok-balok batu. Parit dapat dilihat di sebelah timur, selatan, dan barat.

Tembok kota luar (baluwerti) terletak di sebelah selatan situs Batu Gilang. Reruntuhan batu bata sepanjang 50 meter dengan sisa-sisa parit.

Bokong Semar adalah nama untuk sisa-sisa sudut tenggara tembok kota. Ini adalah benteng pertahanan yang berbentuk lingkaran, nama Bokong Semar terinspirasi dari bentuknya yang bulat.

  • Lingkungan Kotagede

Lanskap kota di lingkungan Kotagede terdiri dari rumah-rumah joglo kayu tradisional dan rumah-rumah pedagang yang eklektik. Rumah-rumah pedagang di Kotagede bertembok untuk melindungi harta benda mereka yang menumpuk selama periode kekayaan Kotagede abad ke-18 hingga 19. Rumah-rumah pedagang ini terkadang menggabungkan elemen-elemen dari rumah kayu tradisional Jawa dengan arsitektur bata Belanda untuk membentuk perpaduan eklektik arsitektur Jawa-Belanda yang dikenal dengan sebutan "Rumah Kalang".

Beberapa lingkungan memiliki gang-gang sempit yang dibatasi oleh rumah-rumah batu bata yang mirip dengan kota-kota di abad pertengahan Eropa.

  • Jagalan

Kelurahan Jagalan, sebuah daerah di Kotagede, memiliki beberapa rumah joglo bersejarah, pendopo tradisional Jawa, dan beberapa Rumah Kalang yang eklektik. Joglo tertua di daerah ini berasal dari tahun 1750-an. Bangunan-bangunan tersebut dilindungi sebagai situs warisan.

Bentuk lain dari arsitektur tradisional Jawa adalah langgar dhuwur (masjid keluarga). Langgar dhuwur adalah rumah ibadah keluarga yang terletak di loteng beberapa rumah tradisional di Kotagede. Langgar dhuwur dibangun dengan konstruksi kayu dan ditopang oleh tiang-tiang tembok. Dahulu, penempatan langgar dhuwur banyak membentuk rangkaian yang melingkari Keraton Mataram di Kotagede. Saat ini, hanya dua langgar dhuwur yang tersisa, keduanya milik pribadi.

Selama gempa bumi Yogyakarta tahun 2006, banyak rumah tradisional yang hancur. Beberapa rumah joglo dibangun kembali, salah satu contohnya adalah Omah UGM, sebuah joglo yang dibeli oleh Universitas Gajah Mada dan dibangun kembali.

Budaya

Kotagede terkenal dengan kerajinan peraknya. Kotagede juga dikenal dengan kerajinan dan kesenian Jawa lainnya (emas, perak, tembaga, kulit, dll.) dan makanan lokal (kipo, legomoro, dll.)

Seni pertunjukan termasuk karawitan (kelompok musik gamelan lokal), syalawatan (kelompok musik Islam), mocopat (pembacaan puisi Jawa), kroncong, tingklung wayang, dan upacara persembahan pada hari-hari tertentu (caos) dan menjalani kehidupan religius pertapaan (tirakatan).

  • Kerajinan perak

Pengrajin perak Kotagede tumbuh sejak berdirinya Kotagede sebagai ibu kota Mataram. Pada masa itu, industri perak, emas, dan tembaga tradisional mulai berkembang, yang didominasi oleh penggunaan teknik repoussé (timbul). Hasil produksi dari wilayah ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan peralatan rumah tangga dan upacara bagi keluarga kerajaan. Pada masa kolonial tahun 1930-an, kerajinan perak dan kerajinan perak berkembang pesat di Kotagede. Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Stichting Beverding van het Yogyakarta Kent Ambacht untuk melindungi kerajinan perak di Kotagede. Teknik kerawang masuk ke Kotagede sekitar tahun 1950 di bawah pengaruh pengrajin dari Kendari, Sulawesi. Menurut pengrajin perak lokal, Sastro Dimulyo dengan perusahaannya "SSO" adalah pelopor yang memperkenalkan teknik filigree di Kotagede.

Peralatan perak Kotagede memiliki ciri khas dengan motif bunga, seperti daun atau bunga teratai, yang berasal dari tradisi Hindu; dan pengerjaannya secara manual, yang secara historis masih terjaga keasliannya. Jenis kerajinan perak yang diproduksi oleh Kotagede adalah kerawang, pengecoran perak, patung (miniatur), dan produk buatan tangan (kalung, cincin).

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal tentang Kotagede Yogyakarta

Riset dan Inovasi

Pengendalian Hama Utama dan Gulma Pada Tanaman Pangan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Pertanian memiliki peran strategis dalam mendukung ketahanan pangan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dan mengatasi tantangan utama yang dihadapi dalam budidaya tanaman pangan, salah satunya adalah hama dan gulma.

“Hama dan gulma merupakan dua faktor utama memberikan dampak negatif terhadap produktivitas tanaman. Hama dapat merusak tanaman, mengurangi hasil panen, bahkan menyebabkan kerugian finansial yang signifikan. Adapun gulma seringkali bersaing dengan tanaman untuk mendapatkan nutrisi, air, dan cahaya matahari sehingga menghambat pertumbuhan tanaman dan menurunkan kualitas asil panen,” ungkap Puji Lestari selaku Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN saat memberi sambutan webinar Teras TP #1, Kamis (07/03). 

Puji menambahkan dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan global, peran periset dalam menjaga ketahanan pangan sangat penting. Butuh komitmen kita bersama untuk menciptakan lingkungan pertanian yang sehat dan berkelanjutan, di mana hama dan gulma tidak lagi menjadi ancaman serius bagi tanaman pangan kita. 

Pada kesempatan yang sama, Yudhistira Nugraha selaku Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan (PRTP) mengungkapkan bahwa organisme pengganggu tanaman baik hama, penyakit, maupun gulma merupakan penghambat produksi. Saat ini, intensitas serangan hama semakin hari semakin meningkat karena adanya perubahan iklim.

“Pengendalian hama diharapkan tidak sampai merusak lingkungan. Beberapa alternatif teknologi seperti rekayasa lingkungan, menyediakan musuh alami, atau  menggunakan pestisida," ungkap Yudhistira.

Muhammad Yasin Peneliti Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN memaparkan materinya yang berjudul, Hama Utama Tanaman Jagung dan Pengendaliannya.

“Pada jagung, terdapat tiga hama utama jagung yaitu ulat grayak, hama penggerek batang, dan penggerek tongkol. Ulat grayak adalah serangga asli daerah tropis Amerika Serikat hingga Argentina. Larva ulat grayak dapat menyerang lebih dari 80 spesies tanaman termasuk tanaman jagung, padi sorgum, jewawut, tebu, sayuran, kapas. Penggerek batang jagung, selain jagung juga dapat menyerang tanaman sorgum dan gandum. Selain itu, ada penggerek tongkol jagung yang menjadi hama utama komoditas ini.

“Pengendalian hama terpadu (PHT) pada prinsipnya memadukan komponen-kompenen teknologi pengendalian seperti varietas tahan, waktu tanam, tanam serempak, eradikasi tanaman terinfeksi, pestisida sintetik, pengendalian nabati dan hayati.” imbuhnya.

Narasumber kedua Rohimatun Peneliti Ahli Muda, Pusat Riset Tanaman Pangan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN, dengan materi “Insektisida Nabati untuk Pengendalian Hama Tanaman Pangan dan Keamanan Hayatinya”.

Rohimatun menyampaikan, saat ini terlihat adanya peningkatan minat terhadap insektisida nabati yang disebabkan oleh meningkatnya kesadaran mengenai dampak negatif insektisida sintetik, meluasnya penerapan konsep PHT, berkembangnya pertanian organik, upaya pelestarian lingkungan dan perjanjian perdagangan internasional (sanitary and phytosanitary measures) yang membatasi kadar residu pestisida di dalam produk pertanian.

Selain itu, Rohimatun mengatakan bahwa insektisida nabati merupakan bahan kimia yang berasal dari tumbuhan yang dapat mengakibatkan satu atau lebih pengaruh biologi terhadap OPT, baik respon fisiologi seperti pertumbuhan dan perkembangan, maupun tingkah laku seperti aktivitas makan dan peneluran. Syarat penggunaan bahan organik untuk dapat digunakan sebagai insektisida nabati adalah aman terhadap lingkungan dan organisme berguna non target, tidak bersifat antagonis jika dicampur, dan bahan bakunya mudah didapat.

“Beberapa kategori insektisida nabati yaitu sebagai racun syaraf atau neurotoksik Piretrin, racun respirasi Rotenon, penghambat fungsi hormon serangga, penghambat makan, pengusir/repellent, pemikat/attractant, dan pemandul,” ujar Rohimatun.

“Kelebihan insektisida nabati antara lain relatif lebih aman terhadap organisme non target, relatif tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan viabilitas benih. Sedangkan kekurangannya ekstrak dengan pelarut air tidak tahan lama dan mutu bahan baku dipengaruhi oleh jenis tanaman dan lingkungan sehingga perlu standardisasi,” lanjutnya.

Kemudian paparan terakhir disampaikan oleh Askif Pasaribu dari APAC R&D Category Lead, UPL Ltd, dengan materi “Optimizing Food Crop Yield with Weed Management Technology”, dan setelah itu dilanjutkan dengan diskusi yang dipimpin oleh moderator Abdul Fattah Peneliti Ahli Madya, PR Tanaman Pangan, ORPP – BRIN. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Pengendalian Hama Utama dan Gulma Pada Tanaman Pangan

Riset dan Inovasi

Bahasa Saparua Terancam Punah, Periset BRIN Ungkap Penyebabnya

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Bahasa Saparua merupakan bahasa daerah yang termasuk dalam kategori terancam punah yang dituturkan di Pulau Saparua, Provinsi Maluku. Berdasarkan data Ethnologue, diperkirakan jumlah penutur bahasa telah berkurang hingga 8500 penutur dan saat ini hanya menyisakan sekitar 1500 penutur. Sebagai upaya pendokumentasian bahasa terancam punah tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) menggelar kegiatan webinar bertajuk Dokumentasi Bahasa Saparua, Jumat (8/3).

Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Jogaswara dalam sambutannya menjelaskan bahwa kegiatan ini memiliki keunikan tersendiri. Karena ini merupakan wadah diseminasi riset, saling berbagi pengalaman, dan belajar dari suatu program riset kolaborasi dari Endangeres Languages Documentation Programme (ELDP) Jerman untuk mendokumentasikan bahasa di Saparua.

"Kolaborasinya melibatkan periset BRIN, scholar dari Amerika, dan juga yang paling penting adalah melibatkan masyarakat melalui kolaborasi dengan masyarakat penutur atau masyarakat adat. Dalam kegiatan ini juga tim akan menceritakan pengalamannya secara rinci mengenai tahapan kegiatan riset mulai dari pembuatan proposal," jelasnya.

Peneliti PR PBS BRIN, Khairunnisa memerinci penyebab kepunahan Bahasa Saparua. Di antaranya pengaruh dari masa penjajahan Belanda selama 350 tahun di Maluku yang melakukan Kristenisasi. Hal ini cukup berdampak lantaran Bahasa Saparua dituturkan di desa dengan mayoritas masyarakat yang memeluk agama Islam.

"Terjadinya konflik Maluku di tahun 1998-2001 juga berdampak terhadap kepunahan bahasa Saparua, selain juga pengaruh migrasi, globalisasi, dan juga kebijakan wajib berbahasa Indonesia," urainya.

Secara garis besar, ia menjelaskan upaya preservasi Bahasa Saparua melalui program riset kolaborasi ELDP. Misinya mendorong dokumentasi dan penelitian lapangan, menciptakan sumber pustaka linguistik, ilmu-ilmu sosial, komunitas mengenai bahasa terancam punah, serta membuat koleksi dokumenter yang tersedia secara bebas.

Hal senada juga diungkapkan oleh peneliti PR PBS BRIN lainnya, Erniati. Ia mengungkapkan berbagai tahapan teknis terkait riset yang akan dilakukan dalam upaya preservasi bahasa. Mulai dari proposal, bentuk dokumentasi, pelatihan dokumentasi bahasa, pengambilan data, pengolahan data, pengarsipan di repository The Endangered Languages Archive (ELAR), dan terakhir adalah publikasi.

Sementara itu, Peneliti dari Bennington College, Leah Pappas mengatakan bahwa masyarakat penutur sering kali tidak menyadari sikap terhadap bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu, menurutnya, riset tentang sikap bahasa dalam hal ini Bahasa Saparua merupakan hal yang penting.

"Riset sikap bahasa dapat memberikan gambaran mendalam terhadap kondisi bahasa dan penutur yang mempengaruhi vitalitas bahasa. Di samping itu bahasa adalah milik penutur sehingga sikap mereka sangat mempengaruhi keberlangsungan bahasa," katanya.

Dalam salam penutupnya, Kepala PR PBS BRIN, Katubi menuturkan banyaknya bahasa yang terancam punah khususnya bahasa-bahasa daerah di Papua. "Beberapa tim PR PBS BRIN telah melakukan pendokumentasian bahasa dan sastra di Papua namun karena saking banyaknya hal tersebut tidak bisa dilakukan dalam 1-2 tahun selesai," tuturnya.

"Kita semua bisa saling berkolaborasi, dari manapun. Memang kerja kolaborasi itu menjadi penting terutama yang saling menopang, saling mendukung kompetensinya," pungkasnya. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
Bahasa Saparua Terancam Punah, Periset BRIN Ungkap Penyebabnya

Properti dan Arsitektur

Mengenal Masjid Agung Banten

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Masjid Agung Banten adalah sebuah masjid bersejarah di Banten Lama, 10 km sebelah utara Serang, Indonesia. Masjid yang dibangun pada abad ke-16 ini merupakan salah satu dari sedikit peninggalan yang masih ada dari kota pelabuhan Banten, pusat perdagangan paling makmur di nusantara setelah runtuhnya Kesultanan Demak pada pertengahan abad ke-16.

Sejarah

Masjid Agung Banten menunjukkan desain eklektik, sebuah bukti pengaruh internasional di Banten pada saat pembangunannya pada tahun 1552. Masjid ini dibangun dengan gaya Jawa pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, Sultan ketiga Kesultanan Banten, pada bulan Dzulhijjah 966 (1566 M).

Pada tahun 1632, menara setinggi 24 meter ditambahkan ke dalam kompleks masjid. Menara ini dirancang oleh seorang Cina bernama Cek-ban-cut. Sekitar periode yang sama, tiyamah bergaya Belanda ditambahkan ke masjid mengikuti desain Hendrik Lucaasz Cardeel, seorang Belanda yang masuk Islam.

Elemen-elemen desain Masjid Agung Banten memiliki pengaruh agama dan budaya dari Islam, Hindu, Budha, Tionghoa dan Belanda. Budaya-budaya ini telah menanamkan nilai-nilai dan gaya mereka pada arsitektur Masjid Agung Banten, tetapi juga telah berpadu dengan baik dengan budaya Jawa di Indonesia. Sebagai contoh, terdapat perpaduan elemen arsitektur Hindu dan Jawa yang terdiri dari konstruksi bata Belanda. Cardeel menggabungkan fitur arsitektur Barok Eropa awal dalam desain masjidnya, yang terutama dapat dilihat pada menara, bangunan tiyamah, dan dinding masjid. Hal ini membuat Masjid Agung Banten berbeda dengan masjid-masjid tradisional lainnya di Indonesia, karena terdapat perpaduan budaya yang berbeda yang tertanam dalam desain dan elemen arsitekturnya.

Arsitektur

  • Struktur keseluruhan

Struktur keseluruhan masjid sering dianggap mengacu pada tubuh manusia sesuai dengan konsep yang berkaitan dengan tubuh manusia dalam budaya tradisional Jawa. Menurut konsep tersebut, bangunan dapat dibagi menjadi tiga bagian: kepala, badan, dan kaki. Masing-masing, atap Masjid Agung Banten mewakili kepala, dinding mewakili tubuh dan tunggul mewakili kaki.

Atap masjid dibangun dengan gaya joglo, gaya atap tradisional Jawa. Atapnya terdiri dari tingkat-tingkat yang bertingkat, yang mewakili karakteristik yang berbeda dari kepercayaan Islam. Tingkat-tingkat atap yang bertingkat, dari bawah ke atas, mewakili: semua umat Islam, Orang Beriman, Dermawan, Tulus, dan Berhati-hati. Atapnya berbentuk segitiga, dengan ujung atap yang melambangkan Sang Pencipta, Allah, pada titik tertinggi dalam iman Islam. Gaya segitiga ini mirip dengan bentuk rebung, mengikuti gaya atap limas tradisional masjid khas Jawa.

Badan masjid terdiri dari 24 tiang (tiang soko) yang berbentuk segi delapan dan ditempatkan di tengah-tengah masjid untuk menopang atap. Terdapat empat tiang utama dan 20 tiang penyangga, mengikuti budaya khas Jawa. Setiap tiang memiliki bentuk seperti labu dan desain bunga teratai di bagian atas dan bawahnya. Desain teratai ini melambangkan kehadiran dan kebangkitan Islam di Indonesia dan juga merupakan simbol kekuatan bagi para mualaf saat mereka menjalani gaya hidup baru. Bentuk labu sangat penting karena pentingnya labu sebagai sumber makanan selama musim kemarau di Indonesia. Bentuk melingkar dari kolom berasal dari pengaruh agama Buddha, karena melambangkan keseimbangan kekuatan dari berbagai arah dan fokus energi di dalam masjid. Keberadaan hal ini dianalogikan dengan pengaruh yang berbeda dari Islam, Hindu, dan Budha yang bekerja sama dalam gaya arsitektur Masjid Agung Banten.

Kaki (umpak) masjid menopang 24 tiang dan melambangkan hubungan antara tanah dan Allah. Dengan demikian, umpak masjid bertindak sebagai fondasi, menghidupkan masjid dengan menopangnya.

  • Tata letak

Sebagai kota pelabuhan, Masjid Agung Banten menampilkan elemen eklektik, yang tampak pada keseluruhan ruang tertutup masjid, menara, dan bangunan tiyamah. Menara adalah ikon populer Masjid Agung Banten. Menara ini terbuat dari batu bata setinggi 24 meter, dengan dasar segi delapan berdiameter 10 meter. Bentuknya mengingatkan kita pada mercusuar. Arsitekturnya menampilkan perpaduan antara pola Mughal India dan dekorasi candi kuno.

Di samping masjid terdapat sebuah bangunan berlantai dua yang dibangun dengan gaya Belanda abad ke-17. Bangunan yang dikenal dengan nama tiyamah ini didirikan atas perintah Sultan Haji dari Banten dan dirancang oleh seorang Belanda, Hendrik Lucaasz Cardeel. Cardeel memeluk agama Islam, menjadi anggota kerajaan Banten dengan gelar Pangeran Wiraguna, dan merancang bangunan yang sekarang berdiri di sisi barat daya Masjid Agung ini. Bangunan ini masih digunakan sebagai pusat studi Islam. Bangunan tiyamah adalah tempat pertemuan sosial diadakan, dan merupakan satu-satunya masjid tradisional di Indonesia yang memiliki bangunan seperti itu di sebelahnya. Bangunan tiyamah dibangun untuk mengakomodasi iklim tropis Indonesia, yang terlihat melalui denah lantai terbuka dengan ventilasi dan pencahayaan maksimum dan melalui fitur-fitur yang melindungi bangunan seperti atap dengan sudut lancip untuk mengatasi hujan lebat. Bahan konstruksi yang digunakan adalah kayu, batu bata, dan ubin. Jendela dan pintu memiliki desain simetris dengan garis horizontal dan vertikal.

Di dalam Masjid Agung Banten juga terdapat ruang salat wanita, yang disebut pewastren, dan beberapa makam di dalam kompleks masjid, seperti makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan makam Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Karena makam-makam tersebut termasuk dalam tata letak masjid, 24 tiang masjid tidak terletak di tengah ruangan, seperti biasanya. Tidak seperti kebanyakan masjid tradisional yang memiliki dasar persegi, Masjid Agung Banten dibangun dengan dasar persegi panjang. Hal ini terutama karena adanya pewastren dan makam.

 

  • Eksterior

Dengan arsitektur khas masjid Jawa, Masjid Agung Banten terdiri dari ruang sholat utama dan beranda tertutup (serambi). Serambi adalah struktur seperti teras semi-menyatu yang menyediakan pintu masuk ke ruang sholat utama. Ruang salat utama memiliki atap bertingkat lima yang ditopang oleh empat tiang utama (saka guru). Tiga tingkat paling atas disusun agak unik, tampak lebih mirip pagoda Cina daripada atap bertingkat biasa dari arsitektur Jawa. Ada perselisihan mengenai jumlah asli dari tingkatan ruang sembahyang utama; sketsa kota pada tahun 1596, 1624, 1661 dan 1726 menunjukkan jumlah tingkat tidak lebih dari tiga tingkat, sementara Valentijn (1858) menyebutkan jumlah tingkat adalah lima seperti sekarang. Serambi-serambi tertutup ditambahkan pada bangunan utama masjid, dibangun di sisi utara dan selatan masjid.

  • Interior

Interior Masjid Agung Banten tidak terlalu dekoratif atau rumit karena tidak ada kaligrafi atau bentuk seni hias. Satu-satunya elemen dekoratif dapat ditemukan pada bukaan ventilasi udara yang memiliki pola geometris. Gaya desain interior minimalis ini mirip dengan Masjid Pecinan Tinggi, sebuah masjid untuk komunitas Tionghoa di Indonesia.

Terdapat pengaruh Buddha yang besar pada tunggul kolom masjid. Bentuk melingkar dan bentuk motif teratai yang mendetail di bagian atas dan bawah setiap kolom berasal dari pendekatan budaya Tionghoa, yang memiliki pengaruh Buddha. Bentuk bundar melingkar ini membawa keseimbangan pada masjid, karena melambangkan keseimbangan semua kekuatan dan kekuatan. Selain itu, ditemukan bahwa motif teratai yang terperinci ini sesuai dengan lapisan mediasi Buddha, yang dikenal sebagai enam puluh tingkat. Kesesuaian ini terlihat dari tiang-tiang yang menjadi titik fokus dari doa-doa yang dilakukan di dalam masjid, energinya mengalir melalui tiang-tiang tersebut hingga ke titik tertinggi masjid.

Ada tiga area utama di kompleks Masjid Agung Banten: Masjid Agung, bangunan tiyamah, dan area pemakaman. Bangunan tiyamah berfungsi sebagai ruang untuk pertemuan sosial, sementara pemakaman tetap menjadi tradisi budaya yang menjadi tempat makam keluarga kerajaan. Pemakaman memiliki pengaruh paling besar terhadap kegiatan sosial dan budaya yang terjadi di dalam kompleks Masjid. Banyak pengunjung kompleks Masjid Agung yang datang ke sana dengan tujuan untuk mengunjungi makam Sultan Maulana Hasanuddin dan anggota keluarganya. Hal ini mempengaruhi jenis kegiatan tradisional yang dilakukan di area tersebut.

Masjid Agung Banten pada awalnya dibangun untuk berfungsi sebagai lokasi bagi umat Islam untuk memenuhi kebutuhan religius mereka dan melakukan kegiatan keagamaan. Sejalan dengan kebutuhan untuk belajar lebih banyak tentang Islam, Indonesia juga memiliki populasi mualaf yang terus meningkat. Keragaman dan koeksistensi bentuk arsitektur yang mengacu pada pertukaran budaya dengan agama lain termasuk Buddha dan Hindu yang terlihat di Masjid Agung Banten dimaksudkan untuk melambangkan konvergensi ini.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Masjid Agung Banten

Riset dan Inovasi

BRIN Kaji Penerapan Kecerdasan Artifisial pada Bidang Pertahan dan Keamanan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Kecerdasan Artifisial telah menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali di bidang pertahanan dan keamanan (Hankam). Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PRKAKS) BRIN, Anto Satriyo Nugroho mengatakan, berbagai teknologi AI diperlukan untuk riset di bidang Hankam misalnya Computer Vision, Machine Learning (ML), Cyber Security, Natural Language Processing (NLP) dan berbagai teknologi lainnya.

“Intinya teknologi AI membuat sistem lebih cerdas dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan,” tegas Anto saat membuka Webinar PRKAKS seri 1 bertajuk Kecerdasan Artifisial dan Aplikasinya di bidang Pertahanan dan Keamanan pada Kamis, (7/3) di Bandung.

Menurut Anto, di Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber terdapat beberapa peneliti yang menekuni kecerdasan artifisial dan penerapannya di bidang Hankam. Ia berpesan bahwa pemanfaatan teknologi Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber harus dibarengi dengan penguasaan teknologi tersebut secara nasional, melalui kegiatan penelitian terhadap teknologi utama dan penggunaannya di berbagai bidang pembangunan yang bertanggung jawab.

Perekayasa Ahli Madya PRKAKS - BRIN, Achmad Farid Wadjdi memberikan reviu terhadap riset berjudul meningkatkan ketahanan siber melalui praktik terbaik Internet of Battlefield Things (IoBT). IoBT merupakan sebutan pengelompokan pengaplikasian Internet of things atau IoT untuk operasi pertempuran modern dan peperangan cerdas. Achmad menuturkan penting untuk memahami terlebih dahulu tentang konsep pertahanan negara yaitu militer dan nirmiliter.

“Jadi ketika bicara IoT itu banyak menyebutkan Internet of Military Things (IoMT) atau Internet of Defense Things (IoMT) dan Internet of Battlefield Things (IoBT) maka kalau kita membahas ini kita akan lebih banyak membahas bagaimana security di militer itu diterapkan,” paparnya.

Eddy Maruli Tua Sianturi, sebagai pemateri kedua pada webinar tersebut menjelaskan tentang konseptualisasi pengukuran Indeks Bela Negara (IBN) sebagai gambaran seberapa penting Konsep Bela Negara perlu diukur untuk rekomendasi operasionalisasi pembinaan Bela Negara yang lebih baik. Eddy berpendapat, pengukuran IBN bukan hanya mengukur rasa bangga warga berupa patriotisme dan nasionalisme tetapi juga mengukur kekuatan niat warga untuk membela negara. 

“Pengukuran IBN memungkinkan pendekatan yang lebih luas, mendalam dan responsif terhadap dinamika sosial politik saat ini. Namun penting juga untuk mempertimbangkan tantangan seperti bias data, privasi dan keamanan data dalam konseptualisasi IBN,” tegas Perekayasa Ahli Madya PRKAKS- BRIN tersebut.

Sementara itu, Perekayasa Ahli Madya PRKAKS - BRIN Jemie Muliadi, menyampaikan metode sistem kendali cerdas atau Intelligent Control System dalam penegakan hukum dan kedaulatan Negara. Jemie mengatakan metode tersebut mampu mengatasi sistem non linear yang sulit untuk disederhanakan lalu sistem dengan kopling silang yang sulit dipisahkan dan sistem yang perubahan parameternya signifikan terhadap waktu.

“Metode sistem kendali cerdas memberikan pengendalian yang akurat sesuai sinyal referensi atau input yang diberikan. Metode ini dapat berperan dalam aspek penegakan hukum dan kedaulatan Negara, khususnya pada kondisi yang membutuhkan pergerakan cepat dan penuh ketidakpastian,” pungkasnya. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
BRIN Kaji Penerapan Kecerdasan Artifisial pada Bidang Pertahan dan Keamanan

Properti dan Arsitektur

Mengenal Kesunanan Surakarta Hadiningrat

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Kasunanan Surakarta (bahasa Indonesia: Kasunanan Surakarta; bahasa Jawa: ꦟꦒꦫꦶꦑꦱꦸꦤꦤ꧀ꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀, diromanisasi: Kasunanan/Kraton Surakarta Hadiningrat) adalah sebuah kerajaan Jawa yang berpusat di kota Surakarta, di provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

Keraton Surakarta didirikan pada tahun 1745 oleh Pakubuwono II. Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta merupakan penerus Kesultanan Mataram. Tidak seperti rekan-rekan mereka di Yogyakarta, yang menggunakan gelar sultan, penguasa Surakarta menggunakan gelar sunan. Nama Belanda digunakan selama masa pemerintahan kolonial Belanda hingga tahun 1940-an. Gelar ini terkadang diindonesiakan menjadi Kerajaan Solo, dari lokasi istana mereka.

Sejarah

Setelah Sultan Agung I, kekuasaan dan prestise Kesultanan Mataram menurun karena perebutan kekuasaan dan konflik suksesi di dalam keluarga kerajaan. VOC (Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda) mengeksploitasi perebutan kekuasaan tersebut untuk meningkatkan kekuasaannya di Jawa, dan berhasil mendapatkan konsesi dari bekas jajahan Mataram di Priangan dan Semarang. Pusat pemerintahan Mataram di Plered dekat Kotagede runtuh setelah pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1677. Sunan Amral (Amangkurat II) memindahkan istana ke Kartasura. Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, pada tahun 1742 Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) memimpin tentara bayaran dari Cina dan melancarkan pemberontakan terhadap kerajaan dan juga VOC. Raden Mas Garendi adalah putra dari Pangeran Teposono dan juga cucu dari Amangkurat II.

Para pemberontak berhasil menguasai ibukota Kartasura dan menggulingkan Pakubuwono II yang kemudian melarikan diri dan mengungsi ke Ponorogo. Dengan bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura bagian barat, Pakubuwono II berhasil merebut kembali ibukota dan menumpas pemberontakan. Namun istana Kartasura dihancurkan dan dianggap tidak menguntungkan karena pertumpahan darah terjadi di sana. Pakubuwono II memutuskan untuk membangun istana dan ibu kota baru di desa Sala (Solo). Pemindahan ibu kota ke desa Sala diperingati dalam babad Sengkala "Kombuling Pudya Kepyarsihing Nata" yang bertepatan dengan hari Rabu tanggal 12 Sura 1670 tahun Jawa (17 Februari 1745). Tanggal tersebut dianggap sebagai hari berdirinya Kasunanan Surakarta.

Pakubuwono II menghadapi banyak pemberontakan, antara lain dari Raden Mas Said, dan kemudian dari adiknya sendiri, Pangeran Mangkubumi yang bergabung dengan pemberontakan Mas Said pada tahun 1746. Pakubuwono II meninggal karena sakit pada tahun 1749, namun sebelum meninggal, ia mempercayakan urusan kerajaan Surakarta kepada pelindung kepercayaannya, Baron von Hohendorff, seorang perwira VOC. Atas nama penerus Pakubuwono II, Pakubuwono III, VOC berhasil menengahi perundingan damai dengan Pangeran Mangkubumi. Kesepakatan damai tercapai dengan Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755: Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengku Buwono I dan Kasunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwono III.

Perjanjian Giyanti mengangkat Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Belanda, ada dua kerajaan utama di Vorstenlanden Mataram yang diakui, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kemudian beberapa tahun kemudian, Surakarta dibagi lagi dengan berdirinya Praja Mangkunegaran setelah Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757). Praja Mangkunegaran dipimpin oleh seorang pemberontak terkenal Raden Mas Said yang bergelar Mangkunegara I. Wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang setelah terjadinya Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Susuhunan Pakubuwono VI dituduh secara diam-diam mendukung pemberontakan Diponegoro, dan sebagai hukuman setelah Perang Jawa, Kasunanan diwajibkan untuk menyerahkan sebagian besar wilayahnya kepada Belanda.

Selama era Hindia Belanda, Kasunanan Surakarta menikmati status otonom di bawah pengaturan Vorstenlanden Mataram. Bersama dengan Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dianggap sebagai negara bawahan Kerajaan Belanda di bawah perlindungan kerajaan di bawah mahkota Belanda. Puncak kejayaan dan kekuasaan Kasunanan Surakarta terjadi pada masa pemerintahan Pakubuwono X (1893-1939), dimana Sunan merenovasi dan memperbesar Keraton Surakarta serta membangun berbagai proyek infrastruktur dan gedung-gedung di kota Surakarta. Kerajaan ini menghadapi era perselisihan dan ketidakpastian selama Perang Dunia II dan pendudukan Jepang di Hindia Belanda.

Setelah deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diikuti oleh Revolusi Nasional Indonesia, Kasunanan Surakarta dengan Praja Mangkunegaran mengirimkan surat kepercayaan kepada Sukarno untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap Republik Indonesia. Sebagai imbalannya, Republik Indonesia memberikan status Daerah Istimewa (Daerah Istimewa, mirip dengan Kesultanan Yogyakarta saat ini) dalam Republik Indonesia. Namun, karena agitasi politik dan oposisi dari komunis Indonesia yang mengarah pada gerakan anti-monarki dan pemberontakan pada awal 1946, pada tanggal 16 Juni 1946, Republik Indonesia membatalkan status daerah istimewa; status Surakarta dan Mangkunegaran diturunkan menjadi hanya sebuah tempat tinggal dan kemudian digabungkan ke dalam provinsi Jawa Tengah.

Sebaliknya, Kesultanan Yogyakarta berhasil mempertahankan status istimewa. Dukungan historis dan hubungan erat Yogyakarta dengan para pendiri Republik Indonesia selama perang kemerdekaan dan revolusi nasional Indonesia. Kasunanan Surakarta tidak memiliki kekuatan politik yang nyata. Kekuatannya terbatas pada prestise kerajaan dan posisi khusus dalam mempertahankan budaya tradisional Jawa. Gengsi ini masih tetap ada, yang membuat banyak pemimpin dan tokoh politik di Indonesia mencari afiliasi dengan Kasunanan.

Tempat tinggal

Tempat tinggal utama para sunan adalah kraton (istana), yang kadang-kadang disebut Kraton Surakarta atau Kraton Solo, namun secara formal dikenal sebagai Karaton Surakarta Hadiningrat. Seperti halnya dengan sejumlah keraton lain di berbagai kota di Jawa, Karaton Surakarta telah menjadi cukup terabaikan selama bertahun-tahun. Sedikit sekali dana yang tersedia untuk pemeliharaan, banyak bagian dari keraton yang sudah dalam kondisi rusak parah.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Kesunanan Surakarta Hadiningrat
« First Previous page 835 of 1.177 Next Last »