Kontruksi Modern

Penerapan Constructability: Solusi Efisiensi Waktu dan Biaya dalam Proyek Gedung

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025


Pendahuluan: Menjawab Tantangan Konstruksi Modern

Di tengah kompleksitas dan dinamika proyek konstruksi modern, efisiensi waktu dan biaya menjadi tolok ukur utama keberhasilan. Salah satu pendekatan yang mulai banyak dikaji dan diimplementasikan untuk menjawab tantangan ini adalah constructability—yaitu integrasi keahlian konstruksi ke dalam seluruh tahap proyek, mulai dari perencanaan, perancangan, hingga pelaksanaan. Artikel karya Dony Yunianto, Jati Utomo Dwi Hatmoko, dan Arif Hidayat ini menyajikan evaluasi mendalam terhadap penerapan constructability pada dua proyek nyata: Gedung Universitas Diponegoro dan proyek apartemen swasta di Semarang.

Penelitian ini bukan hanya mengukur tingkat penerapan constructability, tetapi juga menyoroti peran stakeholder serta dampak nyata terhadap siklus hidup proyek.

 

Apa Itu Constructability dan Mengapa Penting?

Constructability merupakan konsep strategis yang menekankan pentingnya keterlibatan konstruksi sejak tahap awal proyek. Pendekatan ini mampu:

  • Mengurangi rework atau pekerjaan ulang

  • Meningkatkan efisiensi desain

  • Meminimalisir waste time

  • Menyederhanakan proses pengadaan

  • Menurunkan biaya total proyek secara jangka panjang
     

Banyak proyek gagal tepat waktu dan anggaran karena keterputusan informasi antara perencana dan pelaksana. Di sinilah constructability menjadi jembatan yang menjamin kelancaran dan kesinambungan proses.

 

Studi Kasus: Proyek Universitas Diponegoro vs Proyek Apartemen Swasta

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Responden berasal dari pihak pemilik proyek, kontraktor, dan tim teknis. Penilaian dilakukan berdasarkan 34 konsep constructability yang dikembangkan dari model CII, Nima (2001), dan Trigunarsyah (2004), yang mencakup tahap:

  • Perencanaan awal dan konsep

  • Perancangan dan pengadaan

  • Pra-konstruksi

  • Konstruksi
     

Tingkat penerapan constructability diukur dengan skala Likert 1–4:

  • Nilai <1: sangat rendah
     

  • 1–2: sedang
     

  • 2–3: tinggi
     

  • 3–4: sangat tinggi
     

 

Analisis:

  • Proyek apartemen swasta memiliki penerapan constructability “sangat tinggi”, sedangkan proyek universitas berada di kategori “tinggi”.

  • Gap terbesar terlihat pada tahap pra-konstruksi. Hal ini menunjukkan pentingnya perencanaan teknis yang matang dan sinergi antar tim sejak awal.
     

 

Dampak Terhadap Siklus Hidup Proyek

Proyek Universitas Diponegoro (Design-Bid-Build)

  • Sistem kontrak terpisah antar tahap proyek.

  • Total waktu: ±28 bulan.

  • Waste time: ±16 bulan (lebih dari 50% waktu proyek).

  • Tantangan birokrasi APBN dua tahun anggaran menyebabkan inefisiensi.
     

Simulasi Alternatif: Design and Build

  • Durasi diperkirakan hanya ±9 bulan.

  • Potensi efisiensi waktu: 68% lebih singkat.

  • Namun, realisasi sulit karena keterbatasan sistem birokrasi pemerintah.
     

Proyek Apartemen Swasta (Design and Build)

  • Tahap desain dan konstruksi dilakukan bersamaan (overlapping).

  • Total waktu jauh lebih optimal.

  • Tidak ada jeda yang signifikan antara tahap desain dan pelaksanaan.
     

 

Nilai Tambah dan Opini: Apa yang Bisa Dipelajari?

Kelebihan Penelitian

  • Penilaian berbasis parameter konseptual yang kuat (CII, Nima, Trigunarsyah)

  • Studi kasus nyata dengan data primer dari stakeholder proyek

  • Penggunaan kombinasi kualitatif dan kuantitatif menambah kedalaman analisis
     

Kritik dan Keterbatasan

  • Keterbatasan jumlah proyek hanya dua unit—belum representatif untuk kesimpulan nasional

  • Belum mengeksplorasi integrasi teknologi seperti BIM atau digital twin yang kini makin relevan dengan constructability

  • Konteks birokrasi proyek pemerintah belum sepenuhnya dijawab oleh solusi teknis
     

 

Implikasi Praktis dan Rekomendasi

  1. Reformasi Proyek Pemerintah

    • Dorong sistem kontrak design and build berbasis tahun jamak

    • Libatkan kontraktor sejak perencanaan awal
       

  2. Tim Teknis Internal

    • Bentuk tim teknis lintas fase sebagai “penjaga informasi”

    • Bertugas menjaga kontinuitas desain, mengawal pelaksanaan, dan mengevaluasi kesesuaian lapangan
       

  3. Penguatan Peran Perencana

    • Wajib terlibat hingga tahap konstruksi

    • Kewajiban dicantumkan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK)
       

  4. Penggunaan Alat Digital

    • Gunakan BIM untuk meningkatkan koordinasi lintas fase

    • Buat sistem aplikasi baku untuk monitoring constructability
       

 

Kesimpulan

Penerapan constructability terbukti mampu mempercepat waktu pelaksanaan dan meningkatkan kualitas proyek, terutama jika diterapkan sejak tahap awal oleh seluruh stakeholder. Proyek apartemen swasta menjadi contoh keberhasilan sistem design and build, di mana waktu proyek lebih singkat, peran stakeholder lebih solid, dan kualitas desain lebih baik.

Sebaliknya, proyek Universitas Diponegoro mencerminkan keterbatasan pendekatan tradisional design-bid-build. Meski tidak gagal, proyek mengalami pemborosan waktu yang signifikan akibat tidak terintegrasinya perencanaan dan pelaksanaan.

Penelitian ini menjadi pengingat pentingnya kolaborasi lintas fungsi dan keterbukaan desain terhadap masukan konstruksi sejak awal. Dengan penguatan manajemen dan kebijakan yang mendukung, constructability bisa menjadi fondasi utama pengelolaan proyek konstruksi di Indonesia ke depan.

 

Sumber Artikel

Yunianto, D., Hatmoko, J. U. D., & Hidayat, A. (2014). Evaluasi Penerapan Constructability pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung. Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil, Vol. 20, No. 2.
Tersedia di: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mkts/article/view/20877

Selengkapnya
Penerapan Constructability: Solusi Efisiensi Waktu dan Biaya dalam Proyek Gedung

Manajemen Konstruksi

Penerimaan Teknologi Modern dalam Manajemen Biaya Proyek Konstruksi: Tantangan dan Arah Masa Depan

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025


Pendahuluan: Mengapa Teknologi Penting dalam Manajemen Biaya Konstruksi?

Industri konstruksi adalah salah satu sektor dengan tingkat ketidakpastian tertinggi, terutama terkait pengelolaan waktu dan biaya. Dalam konteks ini, peran teknologi menjadi sangat vital untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Artikel yang ditulis oleh Uchenna Sampson Igwe dan rekan-rekannya bertujuan mengevaluasi penerimaan terhadap teknologi kontemporer dalam manajemen biaya proyek konstruksi di Nigeria, dengan menyasar pelaku profesional seperti quantity surveyor, insinyur, arsitek, dan manajer proyek.

 

Tujuan dan Signifikansi Studi

Penelitian ini bertujuan untuk:

  • Menilai tingkat pemahaman para profesional terhadap teknologi konstruksi modern

  • Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan teknologi

  • Menentukan strategi adopsi teknologi yang optimal dalam konteks lokal
     

Dengan pendekatan ini, studi berkontribusi langsung terhadap pengambilan keputusan berbasis data dalam implementasi teknologi di sektor konstruksi—khususnya pada area manajemen biaya.

 

Metode Penelitian: Kuantitatif dan Statistis

Responden

Penelitian dilakukan dengan menyebarkan 450 kuesioner ke berbagai profesional di industri konstruksi di Nigeria, dengan tingkat respons sebesar 86,7% (390 responden).

Alat Analisis

  • Deskriptif Statistik: untuk menilai pengetahuan dan pengalaman

  • Exploratory Factor Analysis (EFA): untuk mengidentifikasi klaster faktor yang memengaruhi penerimaan teknologi

  • SPSS 22.0: sebagai alat bantu analisis data
     

 

Hasil Utama: Tingkat Pemahaman dan Penggunaan Teknologi

Pengetahuan Umum

Mayoritas responden menunjukkan pemahaman tinggi terhadap berbagai teknologi modern seperti:

  • BIM (Building Information Modeling)

  • CostX

  • Microsoft Project

  • Primavera Namun hanya 42% dari responden yang menggunakan teknologi ini secara rutin dalam pekerjaan sehari-hari.
     

Tingkat Penerimaan (Acceptance Level)

Hasil EFA menunjukkan 5 faktor utama yang membentuk dimensi penerimaan teknologi:

  1. Technological Competence

  2. Organizational Readiness

  3. External Influence

  4. Economic Viability

  5. Behavioral Intention
     

Analisis tambahan: Dari kelima faktor tersebut, kompetensi teknis individu memiliki bobot tertinggi (0,781), mengindikasikan bahwa kemampuan personel lebih berpengaruh daripada aspek biaya atau dorongan eksternal.

 

Hambatan Implementasi Teknologi

Faktor Internal

  • Kurangnya pelatihan reguler dan pendidikan berbasis teknologi

  • Keterbatasan dalam integrasi software

  • Resistensi terhadap perubahan, terutama dari staf senior
     

Faktor Eksternal

  • Infrastruktur internet yang buruk

  • Biaya lisensi software yang tinggi

  • Kurangnya dukungan kebijakan dari regulator lokal
     

Studi pembanding: Kondisi ini mirip dengan hasil penelitian di Ghana (Owusu-Manu, 2018), di mana profesional konstruksi mengalami hambatan besar dalam adopsi BIM karena kekurangan infrastruktur dan pelatihan.

 

Rekomendasi Penelitian: Jalan Menuju Transformasi

Penulis merekomendasikan strategi berikut untuk mendorong adopsi teknologi:

  • In-house training dan sertifikasi profesional untuk BIM, CostX, dsb.

  • Investasi dalam infrastruktur digital dan cloud computing

  • Insentif pemerintah atau lembaga proyek bagi kontraktor yang menerapkan teknologi manajemen biaya

  • Kolaborasi antara industri dan institusi pendidikan tinggi dalam kurikulum berbasis teknologi
     

Opini tambahan: Pemerintah dapat mempertimbangkan pemberian subsidi software atau kebijakan pajak progresif untuk mendorong adopsi teknologi bagi perusahaan kecil dan menengah.

 

Dampak Praktis terhadap Industri Konstruksi

Dengan adopsi teknologi yang baik:

  • Proyek bisa mengurangi deviasi anggaran hingga 30% (berdasarkan simulasi dari proyek BIM di Afrika Selatan)

  • Durasi perencanaan proyek dipangkas 20–25%

  • Risiko keterlambatan dan konflik kontrak bisa ditekan melalui visualisasi biaya dan progres waktu secara simultan
     

 

Kritik Terhadap Penelitian

  • Keterbatasan Lokasi: Penelitian hanya fokus pada wilayah Nigeria, sehingga hasilnya mungkin tidak dapat digeneralisasi secara global.

  • Tidak menguji korelasi langsung antar variabel: Seperti antara pengalaman kerja dengan tingkat adopsi teknologi.

  • Aspek gender dan generasi tidak dieksplorasi, padahal perbedaan adopsi antara profesional muda dan senior bisa sangat signifikan.
     

 

Kesimpulan: Teknologi Bukan Pilihan, Tapi Kebutuhan

Penelitian ini secara gamblang menunjukkan bahwa penerimaan terhadap teknologi dalam manajemen biaya proyek konstruksi tidak hanya ditentukan oleh biaya atau tekanan eksternal, melainkan juga kesiapan teknis internal dan niat perilaku. Dalam era digital, kemampuan adaptasi terhadap perangkat lunak dan sistem berbasis data bukanlah nilai tambah, melainkan keharusan.

Untuk negara berkembang, termasuk Indonesia, temuan ini menguatkan pentingnya pembangunan ekosistem teknologi yang mendukung efisiensi biaya proyek, transparansi, serta daya saing sektor konstruksi di masa depan.

 

Sumber Artikel

Igwe, U. S., Okolie, K. C., & Ngwu, C. A. (2023). Acceptance of Contemporary Technologies for Cost Management of Construction Projects. Journal of Engineering, Project, and Production Management, 13(1), 51–63.
Tersedia di: https://www.ppml.url.tw/EPPM_Journal/volumns/13_01_January_2023/ID_9255_13_1_51_63.pdf

Selengkapnya
Penerimaan Teknologi Modern dalam Manajemen Biaya Proyek Konstruksi: Tantangan dan Arah Masa Depan

Teknologi Informasi

Mengurai Hambatan Penerapan Teknologi Informasi di Industri Konstruksi: Studi Kasus Perusahaan di Nevada

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025


Pendahuluan: Ketika Inovasi Tertahan oleh Realita Industri

Di era digital, adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) seharusnya menjadi hal yang niscaya di berbagai sektor, termasuk konstruksi. Namun, realitanya, sektor ini justru menjadi salah satu yang paling lambat dalam menerima inovasi. Penelitian yang dilakukan oleh Thejasvi Andipakula di sebuah perusahaan konstruksi di Nevada, AS, mengupas tuntas apa saja penghambat utama adopsi ICT dan bagaimana strategi mengatasinya.

 

Latar Belakang Penelitian: Manfaat ICT vs Realita Lapangan

ICT dalam industri konstruksi mampu meningkatkan efisiensi biaya, mempercepat proses pembangunan, dan memperkuat koordinasi antar pemangku kepentingan. Namun, proses implementasinya tidak sesederhana itu. Beragam studi telah mencatat adanya tantangan, mulai dari keterbatasan anggaran, budaya organisasi yang konvensional, hingga resistensi individu terhadap teknologi.

Studi ini memfokuskan pada:

  • Alat ICT yang umum digunakan

  • Hambatan utama dalam adopsi ICT

  • Strategi yang digunakan perusahaan untuk mengatasinya
     

 

Metodologi: Studi Kasus dan Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis studi kasus. Data dikumpulkan melalui 9 wawancara mendalam dengan karyawan dari tiga divisi (perumahan, komersial, industri) dan dianalisis menggunakan pendekatan tematik melalui perangkat lunak NVivo.

Model Innovation Diffusion Theory (Rogers, 1983) digunakan untuk mengkategorikan sikap individu terhadap adopsi teknologi (innovator, early adopter, late majority, dll.).

 

Hasil dan Temuan Utama: Penerimaan Tinggi, Implementasi Tertahan

1. Karyawan sadar pentingnya ICT, namun belum semua siap menggunakannya secara aktif.

Contoh: Seorang manajer proyek menyatakan “Saya tahu BIM sangat membantu, tapi saya belum punya waktu cukup untuk mempelajarinya.”

2. Hambatan utama adopsi ICT dikategorikan menjadi tiga level:

A. Organisasi

  • Kurangnya waktu untuk pelatihan

  • Ketidakcocokan antara proses bisnis lama dan teknologi baru

  • Rendahnya dukungan kebijakan jangka panjang
     

B. Individu

  • Minimnya keahlian komputer dasar

  • Ketidaknyamanan menghadapi teknologi baru

  • Waktu kerja yang padat membuat belajar ICT terasa “tidak realistis”
     

C. Kelompok

  • Jarak geografis antartim menyulitkan proses learning by observation

  • Minimnya diskusi antar anggota tim seputar teknologi
     

3. Faktor Finansial ternyata bukan hambatan utama

 

Menariknya, perusahaan studi kasus memiliki dana cukup dan bahkan dukungan dari top manajemen. Namun, kendala muncul di level implementasi dan budaya kerja.

 

Strategi Mengatasi Hambatan: Belajar dari Lapangan

1. Pelatihan Terstruktur

Perusahaan menyediakan pelatihan in-house rutin. Namun pelatihan teknis saja tidak cukup—harus dikaitkan langsung dengan tugas harian.

2. Pemberdayaan “Champion” Teknologi

Seorang anggota tim dijadikan pionir yang menjadi jembatan antara teknologi dan pengguna awam.

3. Budaya Observasional

Tim didorong untuk saling memperlihatkan manfaat ICT dalam pekerjaan mereka—strategi ini terbukti efektif pada karyawan yang enggan belajar formal.

4. Dukungan Manajemen

Pimpinan proyek mendorong penggunaan ICT meskipun produktivitas sempat menurun di awal. Ini menunjukkan adanya toleransi adaptasi sebagai bagian dari transisi.

 

Analisis dan Perbandingan

Dibandingkan Studi Serupa

Penelitian ini selaras dengan temuan Peansupap & Walker (2005) bahwa faktor manusia dan budaya organisasi lebih dominan menghambat ICT daripada teknologi itu sendiri. Studi juga menegaskan temuan Wong & Lam (2010) bahwa resistensi kultural adalah batu sandungan utama.

Kelebihan Penelitian

  • Menggunakan pendekatan tematik dan teori adopsi inovasi Rogers

  • Data primer dari wawancara nyata

  • Fokus pada persepsi dan pengalaman nyata karyawan
     

Kritik

  • Hanya menggunakan satu perusahaan sebagai sampel

  • Tidak membandingkan efektivitas ICT secara kuantitatif

  • Belum menyentuh isu keberlanjutan atau pengaruh eksternal seperti kebijakan pemerintah
     

 

Implikasi Praktis

Untuk Perusahaan Konstruksi:

  • Jangan hanya beli software—bangun budaya dan pelatihan internal

  • Evaluasi kesiapan organisasi, bukan sekadar kesiapan teknologi

  • Identifikasi siapa champion teknologi Anda di setiap proyek
     

Untuk Dunia Pendidikan:

  • Perlu integrasi kurikulum ICT dalam pendidikan teknik sipil dan manajemen konstruksi
     

Untuk Regulator:

  • Perlunya standardisasi digital readiness bagi perusahaan konstruksi
     

 

Kesimpulan

Studi ini membuktikan bahwa adopsi ICT dalam konstruksi bukan soal teknologi, tapi soal manusia, budaya, dan waktu. Bahkan ketika dana dan teknologi tersedia, tantangan sejati ada pada resistensi budaya, kurangnya waktu belajar, serta miskomunikasi antar tim. Untuk mengatasi hal ini, pendekatan multidimensi yang mencakup pelatihan, champion teknologi, dukungan manajerial, dan pembelajaran antar rekan kerja menjadi solusi yang paling efektif.

 

Sumber Artikel

Andipakula, T. (2017). A Case Study of Barriers Inhibiting the Growth of Information and Communication Technology (ICT) in a Construction Firm. Colorado State University.
Tersedia di: https://mountainscholar.org/handle/10217/185805

Selengkapnya
Mengurai Hambatan Penerapan Teknologi Informasi di Industri Konstruksi: Studi Kasus Perusahaan di Nevada

Manajemen Konstruksi

Meningkatkan Keberhasilan Proyek Konstruksi melalui Implementasi Manajemen: Studi Kasus Superflat Floor Karawang

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025


Pendahuluan

Pembangunan kawasan industri seperti Karawang memerlukan kualitas infrastruktur yang tinggi, termasuk dalam konstruksi lantai beton. Salah satu inovasi terbaru adalah metode superflat floor, yang dirancang untuk memenuhi standar tinggi dalam hal kerataan dan elevasi lantai. Artikel ini mengulas secara kritis implementasi manajemen konstruksi terhadap keberhasilan proyek superflat floor berdasarkan penelitian oleh Imam Muhammad Fikri, Darmawan Pontan, dan Dhanu Setyo Bhekti.

Apa Itu Superflat Floor dan Mengapa Penting?

Superflat floor adalah sistem pelat lantai beton dengan standar deviasi elevasi maksimum 3 mm dalam jarak 3 meter, sesuai spesifikasi American Concrete Institute (ACI). Lantai jenis ini digunakan di pabrik dan gudang yang menggunakan kendaraan otomatis (AGV) atau rak penyimpanan berkapasitas tinggi, sehingga kerataan sangat krusial.

Tujuan Penelitian dan Metode

Penelitian bertujuan mengukur dampak implementasi manajemen konstruksi terhadap kesuksesan proyek superflat floor di kawasan industri Karawang. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif berbasis kuesioner pada 30 responden dari kalangan kontraktor, pemilik proyek, dan perencana. Analisis data dilakukan dengan PLS-SEM menggunakan SmartPLS 3.0.

Variabel Penelitian

Penelitian menguji lima variabel utama:

  • Administrasi: mencakup kemampuan teknis, manajerial, dan K3.

  • Manajemen Teknologi: efisiensi dan pengembangan teknologi konstruksi.

  • Total Quality Management (TQM): leadership, komunikasi, dan perencanaan kualitas.

  • Manajemen Pengetahuan: budaya organisasi dan knowledge sharing.

  • Keberhasilan Proyek: kriteria seperti ketepatan waktu, minim limbah, dan kepuasan stakeholder.

Hasil Penelitian

Dari hasil analisis statistik, tiga variabel memiliki pengaruh signifikan terhadap keberhasilan proyek:

  1. Manajemen Pengetahuan (T-statistik: 2,111; P-value: 0.035)

  2. Total Quality Management (T-statistik: 1,546; P-value: 0.122)

  3. Administrasi (T-statistik: 1,594; P-value: 0.111)

Sementara itu, manajemen teknologi tidak memberikan dampak signifikan (T-statistik: 0.276; P-value: 0.783).

 

Analisis Tambahan:

  • Knowledge Management terbukti menjadi variabel paling dominan. Dalam industri konstruksi modern, praktik berbagi pengetahuan dan pengembangan budaya organisasi mendukung produktivitas dan adaptasi teknologi.

  • Administrasi seperti kemampuan teknis dan pengalaman juga sangat penting, terutama dalam proses tender dan pengawasan proyek.

 

Studi Kasus: Proyek Superflat Floor di Karawang

Proyek ini dilaksanakan di kawasan industri pabrik tisu. Tantangan utamanya adalah menjaga konsistensi elevasi dan menghindari retakan. Berkat perencanaan yang matang dan manajemen kualitas yang baik, proyek mampu menyelesaikan konstruksi sesuai spesifikasi standar ACI Superflat.

 

Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi

Penelitian ini memberikan wawasan bagi para profesional konstruksi untuk lebih fokus pada:

  • Peningkatan pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia.

  • Penguatan sistem dokumentasi dan evaluasi proyek.

  • Penerapan sistem manajemen mutu secara menyeluruh.

 

Kritik dan Saran

Meskipun metodologi penelitian cukup solid, jumlah responden yang terbatas (30 orang) bisa jadi kurang representatif. Akan lebih baik jika penelitian lanjutan mencakup proyek dari berbagai sektor konstruksi dan melibatkan lebih banyak stakeholder.

Selain itu, variabel manajemen teknologi yang tidak signifikan sebaiknya dikaji ulang—bisa jadi ini akibat rendahnya penetrasi teknologi mutakhir seperti BIM (Building Information Modeling) di proyek tersebut.

 

Kesimpulan

Implementasi manajemen konstruksi, khususnya dalam aspek pengetahuan, kualitas, dan administrasi, berperan krusial dalam keberhasilan proyek superflat floor. Industri konstruksi di Indonesia harus mulai mengadopsi pendekatan berbasis pengetahuan dan kualitas secara lebih menyeluruh agar mampu bersaing secara global.

 

Referensi

Penelitian ini dapat diakses melalui jurnal Syntax Idea Vol. 6, No. 1 (2024), dengan judul: "Analisis Implementasi Manajemen Konstruksi Terhadap Keberhasilan Proyek Lantai Beton Superflat" oleh Imam Muhammad Fikri, Darmawan Pontan, dan Dhanu Setyo Bhekti. DOI: https://doi.org/10.46799/syntax-idea.v6i1.2840

 

Selengkapnya
Meningkatkan Keberhasilan Proyek Konstruksi melalui Implementasi Manajemen: Studi Kasus Superflat Floor Karawang

Konstruksi

Efektivitas Teknologi Konstruksi Cerdas dalam Meningkatkan Kinerja Keselamatan Proyek: Analisis Mendalam dengan Model Persamaan Struktural

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025


Pendahuluan

Keselamatan kerja dalam proyek konstruksi telah lama menjadi isu utama. Tingginya tingkat kecelakaan di sektor ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti mobilitas tenaga kerja yang tinggi, kondisi kerja yang berat, dan lemahnya pengawasan keselamatan. Seiring dengan berkembangnya teknologi digital dan Internet of Things (IoT), muncul pendekatan baru bernama smart construction atau konstruksi cerdas, yang diyakini mampu meningkatkan kinerja keselamatan proyek secara signifikan.

Paper berjudul "Effect of Smart Construction Technology Characteristics on the Safety Performance of Construction Projects: An Empirical Analysis Based on Structural Equation Modeling" karya Hongjie Liu, Shuyuan Li, dan Haizhen Wen yang diterbitkan di jurnal Buildings (2024) mencoba mengisi celah penelitian dengan menganalisis pengaruh karakteristik teknologi konstruksi cerdas terhadap performa keselamatan proyek melalui pendekatan kuantitatif berbasis Structural Equation Modeling (SEM).

Karakteristik Teknologi Konstruksi Cerdas

Penelitian ini mengidentifikasi lima karakteristik utama teknologi konstruksi cerdas yang memengaruhi keselamatan proyek:

  1. Integrasi: kemampuan untuk menggabungkan berbagai sistem informasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan.

  2. Automasi: penggunaan perangkat pintar dan sistem otomatis untuk meminimalkan pekerjaan manual.

  3. Inisiatif: kemampuan sistem untuk memberikan informasi terkini dan memperkirakan risiko masa depan.

  4. Shareability: kemudahan dalam berbagi data antar departemen dan tim proyek.

  5. Sustainability: keberlanjutan teknologi dalam seluruh siklus hidup proyek. 

 

Tinjauan Literatur Pendukung

Berbagai studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa teknologi seperti BIM (Building Information Modeling), sensor IoT, dan perangkat wearable dapat meningkatkan visibilitas bahaya, mendukung komunikasi antar tim, dan memungkinkan tindakan preventif secara real-time.

Integrasi TAM dan TTF sebagai Kerangka Teoritis

Peneliti menggabungkan dua model teori populer—Technology Acceptance Model (TAM) dan Task-Technology Fit (TTF)—untuk membentuk jalur teoretis:

Karakteristik Teknologi → Persepsi (kemudahan & manfaat) → Niat penggunaan → Perilaku penggunaan → Kinerja Keselamatan.

Variabel antara seperti perceived ease of use, perceived usefulness, dan intention to use digunakan untuk menjembatani hubungan antara karakteristik teknologi dan hasil akhirnya.

 

Metodologi: Survei Empiris dan SEM

Sampel

  • Jumlah responden: 742 dari total 856 kuesioner yang disebar di 7 provinsi di Tiongkok.

  • Responden mayoritas berasal dari kontraktor umum (78%) dengan pengalaman konstruksi rata-rata lebih dari 5 tahun.

Teknik Analisis

  • Penggunaan software AMOS 24.0 untuk membangun dan menguji model SEM.

  • Pengukuran variabel dilakukan dengan skala Likert 7 poin dan diuji reliabilitasnya dengan Cronbach’s Alpha (>0,9).

Hasil Statistik Utama

  • Koefisien jalur langsung dari karakteristik teknologi ke performa keselamatan: 0.61.

  • Total efek (langsung + tidak langsung): 0.652.

  • Jalur paling signifikan: usage behavior → safety performance (koefisien: 0.90).

 

Analisis dan Opini Tambahan

Interpretasi

Hasil menunjukkan bahwa persepsi positif terhadap teknologi (mudah digunakan dan bermanfaat) sangat berkontribusi pada niat penggunaan, yang pada akhirnya berdampak pada implementasi aktual dan kinerja keselamatan. Artinya, adopsi teknologi saja tidak cukup; persepsi dan pelatihan pengguna adalah kunci.

 

Studi Kasus Global Relevan

  • Di Jepang dan Korea Selatan, penggunaan BIM terintegrasi dengan sensor dan AI telah mengurangi angka kecelakaan kerja hingga 35% dalam proyek skala besar (JICA, 2022).

  • Di Eropa, proyek konstruksi dengan penggunaan IoT berbasis predictive maintenance melaporkan waktu tanggap terhadap potensi bahaya turun dari rata-rata 6 jam menjadi 30 menit.

 

Kritik Terhadap Penelitian

  • Generalisasi Terbatas: Data hanya berasal dari Tiongkok, sehingga temuan mungkin tidak mencerminkan kondisi global.

  • Tidak Mengkaji Hambatan Implementasi: Tidak dijelaskan secara rinci tantangan seperti biaya tinggi, pelatihan teknis, atau resistensi budaya dalam mengadopsi teknologi cerdas.

 

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian Azhar et al. (2015) menyatakan bahwa efektivitas BIM dalam keselamatan proyek hanya maksimal bila ada dukungan budaya organisasi. Penelitian Liu et al. ini melengkapi pemahaman tersebut dengan jalur kuantitatif yang menunjukkan bahwa persepsi dan perilaku pengguna memediasi dampak teknologi.

 

Implikasi Praktis bagi Industri Konstruksi

  • Pelatihan Teknis Harus Diutamakan: Agar persepsi usefulness dan ease of use meningkat.

  • Pengembangan Platform Kolaboratif: Mengedepankan shareability dan integrasi lintas sistem.

  • Regulasi Pemerintah Perlu Mendorong Adopsi: Misalnya, dengan memberikan insentif bagi proyek yang menerapkan sistem sensor pintar atau BIM.

Kesimpulan

Penelitian ini memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman hubungan antara karakteristik teknologi konstruksi cerdas dan performa keselamatan proyek. Dengan menggabungkan teori TAM dan TTF, serta menguji hubungan melalui SEM, ditemukan bahwa teknologi seperti automasi, integrasi, dan sustainabilitas bukan hanya berdampak langsung, tetapi juga melalui persepsi pengguna dan niat penggunaan.

Smart construction bukan hanya tentang inovasi perangkat keras, tetapi juga bagaimana manusia—manajer, insinyur, dan pekerja—menerima dan menggunakannya. Ke depan, pendekatan holistik yang mempertimbangkan aspek teknologi dan manusia akan menjadi kunci untuk mencapai zero accident di proyek konstruksi.

 

Referensi

Penelitian ini dapat diakses di jurnal Buildings, 2024, Vol. 14, No. 1894 dengan judul: "Effect of Smart Construction Technology Characteristics on the Safety Performance of Construction Projects: An Empirical Analysis Based on Structural Equation Modeling" oleh Hongjie Liu, Shuyuan Li, dan Haizhen Wen. DOI: https://doi.org/10.3390/buildings14071894

Selengkapnya
Efektivitas Teknologi Konstruksi Cerdas dalam Meningkatkan Kinerja Keselamatan Proyek: Analisis Mendalam dengan Model Persamaan Struktural

Industrialized Building System

Transformasi Konstruksi di Malaysia: Kunci Sukses dan Tantangan Penerapan Industrialized Building System (IBS)

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025


Pendahuluan: Industri Konstruksi Malaysia di Persimpangan Jalan

 

Industri konstruksi merupakan pilar penting dalam pembangunan ekonomi nasional, termasuk di Malaysia. Menyumbang sekitar 4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2016 dan diproyeksikan meningkat hingga 5,5% pada 2020, sektor ini mempekerjakan lebih dari 1,2 juta orang. Namun, di balik kontribusinya yang besar, industri ini menghadapi tantangan klasik seperti rendahnya produktivitas, ketergantungan pada tenaga kerja asing, dan proses pembangunan yang lambat.

 

Dalam konteks inilah muncul kebutuhan mendesak untuk mentransformasi industri konstruksi melalui pendekatan yang lebih modern dan efisien: Industrialized Building System (IBS).

 

Apa Itu IBS? Evolusi Terminologi dan Definisi Global

 

IBS atau Industrialized Building System adalah sistem konstruksi yang menekankan produksi komponen bangunan secara massal dalam lingkungan terkendali, baik off-site maupun on-site, sebelum dirakit di lokasi pembangunan. Konsep ini berakar dari filosofi manufaktur, di mana efisiensi, kontrol mutu, dan produktivitas menjadi fokus utama.

 

Berbagai istilah global seperti prefabrication, off-site manufacturing (OSM), modular construction, hingga modern methods of construction (MMC) sering digunakan untuk menggambarkan praktik serupa. Namun, Malaysia mengadaptasi konsep IBS secara lokal sejak akhir 1990-an dan mengintegrasikannya dalam berbagai inisiatif nasional seperti IBS Roadmap dan Construction Industry Transformation Programme (CITP) 2016–2020.

 

Penulis paper, Rashidi dan Ibrahim, mengusulkan definisi IBS yang komprehensif: "Sebuah sistem desain, manufaktur, dan konstruksi terintegrasi komputer, menggunakan teknik produksi massal dalam lingkungan terkendali, dengan perencanaan yang terkoordinasi dan minim pekerjaan di lapangan."

 

Klasifikasi IBS: Sistem, Material, dan Tingkat Industrialisasi

 

IBS tidak bersifat satu dimensi. Ada berbagai klasifikasi yang dapat digunakan untuk memahami spektrum penerapannya:

 

Berdasarkan Material dan Sistem:

  • Panel & Box System: Menggunakan beton pracetak untuk dinding, lantai, dan struktur bangunan.
  • Steel Framing System: Cocok untuk bangunan bertingkat tinggi, menggunakan baja ringan atau baja berat.
  • Formwork System: Sistem bekisting seperti tunnel form yang tetap dilakukan di lapangan, namun lebih efisien.
  • Timber System: Struktur berbasis kayu yang cocok untuk bangunan kecil atau resort.
  • Blockwork System: Menggunakan blok beton ringan atau interlocking untuk mempercepat konstruksi.

 

Berdasarkan Level Industrialisasi:

  • Simple Machinery: Menggunakan alat dasar untuk produksi.
  • Mechanization: Mengurangi ketergantungan tenaga kerja dengan alat khusus.
  • Automation & Robotization: Menggantikan sebagian besar pekerjaan manual.
  • Reproduction: Integrasi penuh manufaktur otomatis dari desain hingga produksi komponen.

 

 

Studi Kasus: Implementasi IBS di Malaysia

 

Sejak 1999, pemerintah Malaysia telah meluncurkan beberapa roadmap IBS, termasuk target adopsi 100% pada proyek sektor publik dengan skor IBS minimal 70. Namun realitanya, hingga 2015 hanya 24% proyek publik bernilai >RM10 juta yang mencapai target ini. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan.

 

Kegagalan ini disebabkan oleh berbagai hambatan:

  • Kurangnya tenaga kerja terlatih, terutama dalam teknik perakitan dan instalasi komponen IBS.
  • Fragmentasi industri, di mana proses desain dan konstruksi berjalan secara terpisah, menghambat integrasi sistem.
  • Kurangnya pemahaman dan dukungan dari pemangku kepentingan, termasuk arsitek, insinyur, dan kontraktor tradisional.
  • Investasi awal yang tinggi pada teknologi dan fasilitas manufaktur.

 

Faktor Kunci Keberhasilan (Critical Success Factors - CSFs) Implementasi IBS

 

Untuk menjembatani celah antara potensi dan realisasi IBS, para peneliti mengidentifikasi sejumlah faktor kunci kesuksesan yang dapat dijadikan pedoman:

1. Kolaborasi dan Komunikasi Efektif

Koordinasi sejak tahap awal antara desainer, pabrikator, dan kontraktor sangat penting. Desain sebaiknya tidak dibuat dalam silo, melainkan secara kolaboratif dengan mempertimbangkan aspek produksi dan logistik.

 

2. Standarisasi dan Repetisi Desain

Proyek IBS idealnya menggunakan desain berulang dan modular untuk mengefisienkan produksi dan perakitan. Ini menurunkan biaya dan mempercepat proses.

 

3. Manajemen Rantai Pasok dan Logistik

Pengiriman tepat waktu dan dalam urutan yang benar sangat menentukan kelancaran konstruksi. Kegagalan pada satu titik logistik bisa mengganggu seluruh jadwal proyek.

 

4. Investasi pada Teknologi Informasi

Integrasi teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) menjadi penopang penting untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi miskomunikasi.

 

5. Pelatihan dan Pengembangan SDM

Salah satu kelemahan utama di Malaysia adalah kurangnya tenaga kerja lokal yang terlatih dalam IBS. Solusinya adalah pelatihan vokasional berbasis teknologi dan realitas campuran (mixed reality) sebagai sarana pembelajaran interaktif.

 

Integrasi Teknologi: BIM dan Realitas Campuran sebagai Masa Depan Pelatihan IBS

 

Penelitian ini secara inovatif mengusulkan integrasi objek BIM dengan teknologi pelatihan berbasis mixed reality seperti simulasi 3D dan serious games. Tujuannya adalah melatih tenaga kerja untuk merakit komponen IBS secara realistis namun hemat biaya dan waktu.

 

Dengan adanya platform pelatihan semacam itu, keterampilan pekerja dapat ditingkatkan tanpa harus langsung ke lokasi proyek, sekaligus memperkecil risiko kesalahan dalam tahap konstruksi.

 

Kritik dan Perbandingan: Apa yang Bisa Dipelajari dari Negara Lain?

 

Beberapa negara seperti Jepang, Singapura, dan Swedia telah lebih dulu sukses dalam industrialisasi konstruksi. Kuncinya terletak pada:

  • Standarisasi nasional yang tegas.
  • Insentif fiskal untuk pengguna IBS.
  • Pendidikan teknik berbasis industri.
  • Integrasi vertikal antara desain, manufaktur, dan konstruksi.

Malaysia dapat belajar dari model ini, sambil tetap menyesuaikan dengan konteks lokal. Upaya yang telah dilakukan seperti CITP 2016–2020 dan berbagai roadmap IBS memang sudah berada di jalur yang benar, namun implementasi masih perlu diperkuat melalui regulasi, edukasi, dan insentif pasar.

 

Dampak Praktis: Menuju Industri Konstruksi yang Tangguh dan Berkelanjutan

 

Jika diterapkan secara menyeluruh, IBS menawarkan berbagai manfaat:

  • Produktivitas meningkat hingga 30% dibanding metode konvensional.
  • Limbah konstruksi berkurang drastis, mendukung agenda pembangunan berkelanjutan.
  • Keselamatan kerja meningkat, karena sebagian besar pekerjaan dilakukan di pabrik.
  • Ketergantungan terhadap tenaga kerja asing menurun, membuka peluang bagi tenaga kerja lokal.

Namun tanpa strategi implementasi yang menyentuh akar masalah—yakni fragmentasi industri dan kekurangan SDM terlatih—potensi ini akan sulit tercapai.

 

Kesimpulan: IBS sebagai Masa Depan Industri Konstruksi Malaysia

 

IBS bukan sekadar metode konstruksi baru, tetapi transformasi menyeluruh dalam cara berpikir, merancang, dan membangun. Untuk mewujudkan industri konstruksi yang tangguh dan berkelanjutan, Malaysia perlu mengadopsi pendekatan menyeluruh: mulai dari pendidikan dan pelatihan, hingga reformasi regulasi dan sistem kerja kolaboratif.

 

Keberhasilan IBS tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi pada kemampuan manusia untuk beradaptasi dan berinovasi. Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan, IBS bisa menjadi motor penggerak industri konstruksi Malaysia menuju era baru yang lebih efisien, hijau, dan kompetitif.

 

Sumber artikel:

 

Rashidi, A., & Ibrahim, R. (2017). Industrialized Construction Chronology: The Disputes and Success Factors for a Resilient Construction Industry in Malaysia. The Open Construction and Building Technology Journal, 11, 286–300. https://doi.org/10.2174/1874836801711010286

Selengkapnya
Transformasi Konstruksi di Malaysia: Kunci Sukses dan Tantangan Penerapan Industrialized Building System (IBS)
« First Previous page 509 of 1.352 Next Last »