Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025
Proyek infrastruktur berskala besar merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi, namun sejarah telah menunjukkan bahwa proyek-proyek ini kerap menghadapi kegagalan akibat manajemen risiko yang buruk. Laporan McKinsey Working Papers on Risk No. 52 berjudul "A Risk-Management Approach to a Successful Infrastructure Project: Initiation, Financing, and Execution" menjadi referensi penting yang menawarkan kerangka kerja sistematis untuk mengidentifikasi, mengelola, dan mengalokasikan risiko sepanjang siklus hidup proyek infrastruktur. Artikel ini memberikan resensi kritis terhadap temuan McKinsey, menyoroti studi kasus kegagalan proyek global, serta mengeksplorasi strategi mitigasi risiko yang dapat mengubah pendekatan pelaksanaan proyek publik dan swasta secara lebih efektif.
Manajemen Risiko: Kebutuhan Mendesak dalam Proyek Infrastruktur Global
Menurut McKinsey, nilai total pipeline proyek infrastruktur global diperkirakan mencapai $9 triliun, di mana sepertiganya berada di Asia. India, misalnya, merencanakan investasi sebesar $550 miliar dalam lima tahun ke depan, terutama untuk sektor energi dan utilitas. Namun, kendati kebutuhan meningkat pesat, mayoritas proyek ini masih diwarnai oleh pembengkakan biaya, keterlambatan, dan kerugian besar akibat kurangnya pengelolaan risiko yang terstruktur.
Contohnya, proyek Eurotunnel antara Inggris dan Prancis mencatat biaya akhir sebesar €15 miliar, lebih dari dua kali lipat anggaran awal €7,5 miliar. Jalur kereta barang Betuwe Line di Belanda awalnya direncanakan sebesar €2,3 miliar, namun realisasi biayanya melebihi €5 miliar. Proyek Bandara Kuala Lumpur Terminal Baru pun mengalami penundaan lebih dari satu tahun dengan biaya yang terus membengkak.
Dampak Ekonomi dari Risiko yang Tidak Dikelola
McKinsey memperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan, nilai kerugian langsung akibat risiko yang tidak dikelola dalam proyek-proyek infrastruktur berskala besar bisa melebihi $1,5 triliun. Ini belum termasuk dampak terhadap pertumbuhan PDB dan efek reputasi yang merugikan negara dan masyarakat. Hal ini terjadi karena manajemen risiko tidak terintegrasi secara menyeluruh dalam siklus proyek, mulai dari tahap perencanaan, desain, pengadaan, pelaksanaan konstruksi, hingga operasi.
Kesalahan Umum: Risiko Tidak Dialokasikan ke Pihak yang Tepat
Salah satu akar masalah paling serius adalah kesalahan dalam mengalokasikan risiko. Dalam proyek-proyek publik, pemerintah seringkali gagal memahami batas kemampuan dan selera risiko dari pihak swasta, terutama dalam struktur kemitraan publik-swasta (PPP). Hasilnya adalah pembiayaan swasta menjadi mahal, berisiko tinggi, atau bahkan tidak tersedia, yang akhirnya dibebankan ke anggaran negara dan masyarakat umum.
Pendekatan Manajemen Risiko Berbasis Siklus Hidup Proyek
McKinsey menawarkan model manajemen risiko yang mencakup seluruh siklus hidup proyek, mulai dari perencanaan hingga operasional. Model ini meliputi:
Studi Kasus: Gagalnya Manajemen Risiko di Proyek Nyata
Laporan ini memuat beberapa studi kasus sebagai bukti nyata dari risiko yang tidak dikelola secara benar:
Transformasi Budaya Risiko: Contoh Penerapan Nyata
Salah satu perusahaan transportasi besar pada tahun 2011 memutuskan untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem manajemen risikonya. Tujuannya adalah mengurangi provision risiko sebesar sepertiga. Permasalahan awal yang mereka hadapi antara lain:
Setelah perubahan dilakukan, perusahaan membentuk struktur tata kelola risiko yang baru, menetapkan KPI risiko yang transparan, dan melakukan pelaporan risiko secara reguler. Hasilnya adalah peningkatan efisiensi, pengurangan keterlambatan, dan pengelolaan portofolio proyek yang lebih efektif.
Relevansi dan Penerapan di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini sangat relevan mengingat banyak proyek besar seperti tol trans-Jawa, MRT Jakarta, dan Ibu Kota Negara (IKN) yang melibatkan investasi multi-miliar dolar dan kompleksitas tinggi. Seringkali proyek tersebut mengalami keterlambatan atau pembengkakan biaya akibat faktor cuaca, perubahan desain, atau ketidakjelasan tanggung jawab antar lembaga. Jika pemerintah dan mitra swasta dapat mengadopsi pendekatan siklus hidup dan mengintegrasikan praktik manajemen risiko sejak tahap perencanaan, maka kualitas dan efisiensi pembangunan bisa meningkat secara signifikan.
Kritik terhadap Praktik Saat Ini dan Rekomendasi Perubahan
Laporan ini memberikan kritik tajam terhadap ketergantungan pada pendekatan ad hoc, administratif, dan sekadar kepatuhan terhadap regulasi. Sebaliknya, McKinsey mendorong transformasi mendalam menuju manajemen risiko yang terintegrasi dan strategis. Untuk mencapai ini, rekomendasi yang dapat diterapkan adalah:
Kesimpulan: Mengelola Risiko, Meningkatkan Kesuksesan Proyek
Pendekatan McKinsey terhadap manajemen risiko proyek infrastruktur adalah seruan untuk bertindak di tengah besarnya nilai proyek global dan seringnya kegagalan pelaksanaan. Tanpa pendekatan risiko yang matang dan menyeluruh, proyek-proyek besar akan terus menghadapi krisis reputasi, pembengkakan biaya, dan pemborosan anggaran. Namun dengan mengadopsi kerangka kerja yang mencakup seluruh siklus hidup, mengalokasikan risiko secara strategis, dan menanamkan budaya risiko dari atas ke bawah, infrastruktur masa depan dapat dibangun lebih cepat, lebih murah, dan lebih andal. Ini adalah perubahan paradigma yang harus diadopsi tidak hanya oleh negara maju, tetapi juga oleh negara berkembang yang tengah melakukan pembangunan besar-besaran seperti Indonesia.
Sumber asli:
Frank Beckers, Nicola Chiara, Adam Flesch, Jiri Maly, Eber Silva, Uwe Stegemann. A Risk-Management Approach to a Successful Infrastructure Project: Initiation, Financing, and Execution. McKinsey Working Papers on Risk, No. 52, November 2013.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025
Pembangunan infrastruktur jalan di wilayah pesisir dan perbukitan seperti proyek Jalan Lintas Selatan (JLS) Lumajang–Jember merupakan tantangan besar dalam dunia konstruksi. Tesis karya Kardian Susilo S dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya memberikan kontribusi penting dalam memahami risiko-risiko utama pada proyek jalan berskala regional. Melalui pendekatan berbasis studi kasus dan analisis risiko kualitatif, penelitian ini mengkaji tiga dimensi krusial: biaya, waktu, dan mutu. Artikel ini menyajikan resensi mendalam terhadap temuan dan relevansi penelitian tersebut dalam konteks konstruksi jalan nasional dan manajemen risiko modern.
Mengapa Risiko Jalan Perlu Dievaluasi?
Risiko dalam proyek konstruksi tidak hanya menyangkut faktor teknis, tapi juga sosial, politik, dan lingkungan. Dalam kasus proyek JLS ini, panjang total trase Lumajang–Jember mencapai 149,5 km dengan konstruksi melalui medan yang rumit: hutan, sawah, area pantai, dan perbukitan. Ini menjadikannya rentan terhadap banjir, longsor, abrasi pantai, dan gangguan sosial-politik seperti konflik tambang pasir. Evaluasi ini sangat penting mengingat proyek merupakan bagian dari Regional Road Development Project (RRDP) yang didanai pemerintah.
Metodologi yang Kuat Berbasis Data Historis dan Responden Profesional
Penelitian ini menggunakan data primer melalui wawancara dan kuesioner kepada sepuluh responden ahli—mulai dari Kasatker JLS, PPK, kepala proyek, hingga staf PU Jember. Sebagian besar dari mereka memiliki pengalaman kerja lebih dari 15 tahun, dan mayoritas berlatar pendidikan teknik sipil S2, menunjukkan bahwa penilaian terhadap risiko dilakukan oleh profesional berpengalaman.
Selain itu, data sekunder dikumpulkan dari studi literatur, laporan proyek sebelumnya, serta dokumen resmi dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V. Peneliti juga menggunakan Matriks Probabilitas dan Dampak (skala 1–5) untuk menghitung level risiko (R = P x I).
Temuan Kunci: Delapan Risiko Utama
Dari total 16 variabel risiko yang teridentifikasi, delapan di antaranya dikategorikan sebagai risiko dengan tingkat keparahan tertinggi:
Efektivitas Mitigasi: Studi Empiris yang Bernilai Tinggi
Studi ini tidak berhenti pada identifikasi risiko, tetapi melangkah lebih jauh dengan mengevaluasi efektivitas langkah mitigasi yang telah diterapkan. Misalnya, untuk mengatasi banjir dan abrasi, pembangunan saluran drainase dan dinding penahan gelombang dilakukan. Setelah mitigasi, kejadian banjir yang sebelumnya terjadi sebanyak 6 kali berhasil ditekan menjadi nol, menunjukkan intervensi tersebut efektif.
Untuk masalah harga material dan inflasi, peneliti merekomendasikan sistem kontrak payung yang menjamin stok dan harga tetap melalui kerjasama dengan pemasok lokal. Di sisi teknis, rework dicegah dengan peningkatan koordinasi antara mandor, pengawas, dan pekerja serta pengecekan progres secara rutin.
Nilai Tambah: Integrasi Evaluasi Historis dengan Risiko Masa Depan
Salah satu keunggulan tesis ini adalah penggunaan data historis (2007–2015) untuk mengevaluasi risiko pada masa depan (2017–2019). Sebagai contoh, berdasarkan kejadian sebelumnya, proyek telah menghadapi 16 jenis gangguan besar dengan frekuensi yang beragam. Dengan mengetahui jenis dan frekuensi kejadian masa lalu, seperti hujan deras (lebih dari 20x), tanah longsor (4x), dan abrasi pantai (4x), maka risiko pembangunan tahap lanjutan dapat diantisipasi lebih matang.
Kekuatan Analisis: Matriks Risiko dan Penilaian Dampak
Penilaian risiko dilakukan dengan metode semi-kuantitatif yang melibatkan scoring probabilitas dan dampak. Dalam skala risiko 1–5, dampak terhadap mutu paling tinggi terjadi pada risiko pekerjaan ulang dan gangguan perkerasan jalan, dengan nilai tertinggi mencapai 5 (sangat besar). Dampak terhadap waktu dominan pada hujan deras, longsor, dan keterlambatan peralatan, sedangkan biaya paling terdampak oleh kenaikan harga material dan inflasi. Risiko-risiko ini kemudian dipetakan dalam matriks risiko, yang memberikan gambaran prioritas tindakan. Risiko dengan nilai 20–25 (skala maksimal) dikategorikan sebagai ekstrem dan harus ditangani segera.
Relevansi Industri: Mengaitkan Temuan dengan Tren Nasional
Dalam konteks nasional, proyek-proyek jalan strategis seperti JLS merupakan tulang punggung konektivitas antarwilayah. Studi ini sangat relevan dengan pergeseran pendekatan manajemen risiko ke arah yang lebih prediktif dan berbasis data historis. Banyak proyek jalan di Indonesia yang menghadapi risiko serupa, mulai dari gangguan cuaca ekstrem hingga konflik sosial. Oleh karena itu, pendekatan komprehensif seperti ini bisa direplikasi di wilayah lain. Selain itu, temuan penelitian ini juga selaras dengan standar manajemen risiko global seperti ISO 31000 dan pedoman PMBOK (Project Management Body of Knowledge), memperkuat validitas akademik dan aplikatifnya.
Kritik dan Ruang untuk Pengembangan
Meski tesis ini menyajikan data yang sangat kaya dan mendalam, ruang pengembangan tetap terbuka. Pertama, aspek risiko lingkungan seperti gangguan pada flora-fauna atau polusi udara tidak dibahas secara mendalam, padahal ini krusial dalam konteks keberlanjutan. Kedua, keterlibatan komunitas lokal dan analisis risiko sosial seperti protes masyarakat bisa diperdalam agar aspek sosial-politik lebih terwakili. Penggunaan metode Monte Carlo Simulation atau analisis sensitivitas juga bisa ditambahkan untuk memperkuat dimensi kuantitatif dari analisis risiko.
Kesimpulan: Sebuah Model Evaluasi Risiko yang Layak Direplikasi
Tesis ini memberikan gambaran utuh dan realistis mengenai risiko pada proyek konstruksi jalan di Indonesia, khususnya di kawasan dengan topografi dan kondisi sosial-politik yang menantang. Melalui kombinasi data historis, wawasan lapangan, dan metode analisis yang komprehensif, studi ini berhasil menyusun model evaluasi dan respons risiko yang dapat diadopsi pada proyek sejenis di seluruh Indonesia. Kunci keberhasilannya terletak pada keberanian mengevaluasi proyek masa lalu secara jujur, kejelasan dalam penentuan risiko dominan, serta saran mitigasi yang dapat diimplementasikan secara langsung.
Sebagai penutup, studi ini layak menjadi referensi wajib bagi pemangku kepentingan proyek jalan—baik dari pemerintah, konsultan, maupun kontraktor. Jika dikelola dengan baik, risiko bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperbaiki sistem dan membangun infrastruktur yang lebih tangguh.
Sumber asli:
Kardian Susilo S. (2017). Evaluasi dan Analisis Risiko Terhadap Biaya, Waktu dan Mutu Konstruksi JLS Kabupaten Lumajang-Kabupaten Jember. Tesis. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025
Musim penghujan merupakan bagian tak terhindarkan dari siklus iklim Indonesia. Namun dalam dunia konstruksi, fenomena ini tidak hanya menjadi tantangan cuaca, tetapi juga dapat menjadi penyebab gangguan serius terhadap durasi, biaya, bahkan kualitas proyek. Dalam konteks ini, penelitian Rahmadian Ade mencoba mengurai kompleksitas risiko yang dihadapi proyek pembangunan gedung di Yogyakarta saat musim hujan dan menyajikan pendekatan mitigasi yang aplikatif serta relevan bagi kontraktor dan konsultan pengawas.
Risiko Konstruksi di Tengah Hujan: Sebuah Tantangan Nyata
Sebagaimana dijelaskan dalam studi ini, proyek konstruksi di Indonesiayang mayoritas dilakukan di ruang terbuka sangat rentan terhadap gangguan akibat curah hujan. Dengan iklim Yogyakarta yang memiliki bulan basah selama 5–6 bulan per tahun, intensitas curah hujan mencapai 1500–2000 mm, dan waktu pengerjaan proyek selama 8–10 bulan, maka hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar proyek di kota ini akan bersinggungan langsung dengan cuaca ekstrem tersebut.
Genangan air di lubang galian dan area kerja. Kenaikan muka air tanah yang menyulitkan pengerjaan fondasi. Penurunan produktivitas tenaga kerja akibat hujan atau sakit. Keterlambatan pengiriman material. Kerusakan alat berat dan material yang belum terpakai. Ketidaksesuaian kualitas pekerjaan akibat curah hujan tinggi saat proses pengecoran atau pengeringan. Hal ini menimbulkan efek domino terhadap anggaran dan jadwal, dua aspek vital dalam kesuksesan sebuah proyek.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei dan wawancara terhadap 30 responden dari kalangan kontraktor dan konsultan pengawas yang pernah terlibat dalam proyek pembangunan gedung di wilayah DIY antara 2022–2023. Selain itu, penulis mengembangkan 13 variabel risiko teknis utama berdasarkan studi literatur dan validasi lapangan.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode Severity Index untuk mengukur probabilitas dan dampak risiko berdasarkan persepsi responden. Hasil SI tersebut kemudian dipetakan ke dalam Probability Impact Matrix untuk menentukan tingkat keparahan risiko (low, medium, atau high).
Hasil Penelitian: Risiko yang Paling Mencolok
Dari hasil analisis, ditemukan bahwa risiko yang paling dominan (kategori high) adalah penurunan produktivitas tenaga kerja, dengan dampak yang signifikan terhadap keterlambatan jadwal proyek antara 7–30 hari. Hujan yang terus menerus membuat pekerja tidak bisa melakukan aktivitas di lapangan atau bekerja dalam kondisi tidak optimal.
Risiko-risiko lain yang dikategorikan sebagai risiko sedang (medium) meliputi:
Terganggunya ketersediaan material akibat pengiriman yang tertunda. Kenaikan harga material akibat gangguan pasokan. Kerusakan alat berat seperti tower crane dan genset. Tenaga kerja yang jatuh sakit akibat kondisi kerja basah. Kecelakaan kerja akibat kondisi licin atau penglihatan yang terbatas. Kekurangan tenaga kerja karena ketidakhadiran. Timbulnya kemacetan di sekitar lokasi proyek. Genangan air di lubang galian fondasi dan basement. Kenaikan muka air tanah. Kualitas pekerjaan yang tidak sesuai akibat pengecoran saat hujan. Terkendalanya pekerjaan leveling akibat genangan. Dengan dominasi risiko-risiko teknis tersebut, peneliti menegaskan bahwa proyek yang dilakukan pada musim hujan di wilayah tropis seperti Yogyakarta harus memiliki strategi manajemen risiko yang matang.
Strategi Mitigasi Risiko: Bukan Hanya Prediksi, Tapi Solusi
Setelah memetakan risiko, penelitian ini memberikan respons strategis untuk mengurangi dampak risiko. Beberapa pendekatan yang disarankan meliputi:
Menghindari Risiko (Avoidance): Menjadwalkan ulang pekerjaan fondasi dan pengecoran ke bulan yang lebih kering jika memungkinkan. Mengurangi Risiko (Reduction): Melakukan pelindungan area kerja dengan terpal atau kanopi, meningkatkan sistem drainase di area proyek untuk mencegah genangan. Memindahkan Risiko (Transfer): Menyertakan klausul risiko cuaca dalam kontrak kerja, sehingga kerugian akibat penundaan dapat dibagi dengan pihak ketiga seperti asuransi atau subkontraktor. Menerima Risiko (Acceptance): Jika hujan ringan tidak bisa dihindari, perlu dilakukan penyesuaian jam kerja atau metode kerja untuk tetap menjaga produktivitas. Risk Sharing: Bekerja sama dengan pemasok lokal untuk memastikan fleksibilitas pengiriman material dalam situasi darurat. Dalam wawancara dengan beberapa kontraktor, terungkap bahwa penggunaan sistem kerja shift dan intensifikasi kegiatan internal saat hujan adalah praktik mitigasi umum. Beberapa juga menyarankan penggunaan rapid setting concrete untuk proses pengecoran saat cuaca tidak menentu.
Kontribusi Penelitian: Praktis dan Relevan
Keunggulan utama dari studi ini adalah kombinasi antara pendekatan teoretis yang komprehensif dan relevansi praktis terhadap kebutuhan lapangan. Pendekatan Severity Index yang digunakan memberikan pengukuran yang akurat berdasarkan pengalaman langsung pelaku proyek. Di sisi lain, respons risiko yang diberikan bukan sekadar teori, tapi berdasarkan wawancara dengan para pelaku konstruksi yang sudah berhadapan langsung dengan tantangan cuaca ekstrem.
Selain itu, penelitian ini juga membandingkan temuannya dengan studi sebelumnya, seperti penelitian oleh Labomang (2011), Dewi (2012), dan Handoko (2015). Dibandingkan dengan studi-studi tersebut yang fokus pada risiko secara umum atau aspek kontraktual, tesis ini unggul dalam mengelaborasi dampak musiman dengan pendekatan studi kasus konkret dan lokasi spesifik.
Implikasi Bagi Industri Konstruksi dan Pemerintah
Dari sisi praktis, temuan studi ini sangat relevan bagi: Kontraktor: Dapat digunakan sebagai panduan dalam menyusun strategi pelaksanaan proyek terutama dalam merencanakan pekerjaan kritis pada musim penghujan. Konsultan pengawas: Menjadi dasar dalam menetapkan metode kerja dan kontrol kualitas selama musim hujan. Pemerintah daerah: Dapat dijadikan acuan dalam menetapkan kebijakan penjadwalan pembangunan gedung pemerintah agar tidak menabrak bulan-bulan dengan curah hujan tinggi. Penelitian ini juga membuka ruang diskusi tentang pentingnya perencanaan berbasis iklim (climate-based planning) dalam proyek-proyek pembangunan nasional. Mengingat tren perubahan iklim yang semakin ekstrem, manajemen risiko cuaca seharusnya menjadi bagian integral dari kontrak dan perencanaan konstruksi.
Kritik dan Saran Pengembangan Penelitian
Meskipun sangat bermanfaat, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Peneliti tidak membahas secara mendalam tentang estimasi kerugian biaya yang ditimbulkan akibat risiko-risiko tersebut. Estimasi biaya tambahan akibat keterlambatan dan perbaikan kualitas akan memperkaya hasil kajian. Selain itu, pembahasan belum menyentuh potensi pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) atau sistem peringatan cuaca sebagai alat bantu mitigasi.
Ke depan, penelitian lanjutan dapat memperluas skala geografis, melibatkan kota-kota lain di Indonesia dengan kondisi iklim berbeda, atau menambahkan pendekatan pemodelan dinamis untuk memprediksi dampak hujan secara real-time pada jadwal proyek.
Kesimpulan
Tesis ini menyajikan kontribusi penting dalam bidang manajemen risiko konstruksi, khususnya dalam konteks iklim tropis basah seperti Yogyakarta. Melalui pendekatan empiris yang kuat dan pemetaan risiko yang terstruktur, penelitian ini menegaskan bahwa pengaruh musim penghujan terhadap proyek konstruksi bukanlah hal sepele, melainkan faktor kritis yang harus diantisipasi secara sistematis. Dengan manajemen risiko yang tepat, proyek tidak hanya bisa menyelesaikan target waktu dan biaya, tetapi juga mempertahankan kualitas di tengah tantangan cuaca yang tak terelakkan.
Sumber asli artikel: Rahmadian Ade. (2022). Analisis Risiko Pengaruh Musim Penghujan Terhadap Penyelesaian Proyek Konstruksi (Studi Kasus Proyek Bangunan Gedung di Yogyakarta). Program Magister Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025
Pekerjaan konstruksi selalu melibatkan risiko, tetapi ketika proyek tersebut menyangkut infrastruktur vital seperti irigasi, tingkat kompleksitas dan konsekuensi kegagalan meningkat drastis. Dalam tesis yang dikaji kali ini, Achmad Zulfikar Armandoko menggambarkan secara mendalam bagaimana kontraktor konstruksi menghadapi, mengidentifikasi, dan memitigasi risiko dalam proyek rehabilitasi jaringan irigasi, mengambil dua lokasi utama sebagai studi kasus: Daerah Irigasi Progomanggis dan Saluran Sekunder Daerah Irigasi Sedadi di Provinsi Jawa Tengah.
Penelitian ini bukan hanya mendeskripsikan risiko secara teoritis, melainkan membuktikannya secara nyata melalui dua proyek rehabilitasi irigasi yang sangat penting bagi pertanian dan ekonomi lokal. Melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan kombinasi metode wawancara, survei, serta pemetaan risiko, penulis menyusun pemetaan risiko yang rinci dan menyarankan strategi mitigasi yang berbasis praktik lapangan.
Daerah Irigasi Progomanggis merupakan warisan kolonial yang dibangun antara tahun 1891 hingga 1905. Dengan luas potensi 3.633 hektar dan sistem saluran sepanjang lebih dari 65 kilometer, irigasi ini menjadi penopang utama pertanian padi dengan estimasi produksi tahunan sebesar 45.412,5 ton, senilai sekitar Rp204,36 miliar. Namun, nilai ekonomi ini dapat terganggu oleh risiko teknis seperti ketidaksesuaian gambar kerja dengan kondisi lapangan, keterlambatan pengadaan material, hingga produktivitas pekerja yang rendah. Selain itu, kondisi cuaca dan jadwal buka-tutup air yang tidak sinkron dengan pola tanam menambah tantangan dalam pelaksanaan proyek ini.
Tak kalah penting, proyek kedua yang menjadi fokus kajian adalah Rehabilitasi Saluran Sekunder D.I. Sedadi. Proyek ini mencakup area irigasi yang lebih luas dengan total cakupan lebih dari 55.000 hektar melalui beberapa skema saluran, termasuk Lanang, Sedadi, Klambu Kanan, Wilarung, dan Klambu Kiri. Sumber air dari Sungai Tuntang ini menjadi kunci irigasi terutama pada musim kemarau. Kompleksitas proyek ini diperparah oleh risiko seperti keterbatasan suplai air, kebutuhan koordinasi lintas wilayah, dan kemungkinan dampak lingkungan seperti sedimentasi dan kerusakan saluran.
Penulis mengelompokkan risiko ke dalam empat kategori utama: teknis, finansial, sosial, dan politik. Di antara risiko teknis yang paling mencolok adalah keterlambatan pengiriman material, kualitas material yang tidak memenuhi standar, dan akses menuju lokasi kerja yang sulit dijangkau. Sementara dari sisi finansial, risiko utama adalah fluktuasi harga material serta keterlambatan pembayaran dari pihak pemberi kerja. Risiko sosial mencakup tantangan komunikasi antara tim proyek dan masyarakat, serta gangguan non-teknis di lapangan seperti acara adat atau konflik lokal. Risiko politik meliputi perubahan kebijakan pemerintah dan gangguan eksternal seperti pemilihan kepala daerah yang berdampak pada stabilitas proyek.
Untuk mengukur dan memetakan risiko, Armandoko menggunakan pendekatan Risk Breakdown Structure (RBS), yang diikuti oleh evaluasi risiko dengan mempertimbangkan probabilitas kejadian dan dampaknya terhadap biaya, waktu, dan kualitas. Penilaian dilakukan melalui kuesioner kepada responden ahli yang terlibat langsung dalam proyek, dengan menggunakan skala lima poin baik untuk probabilitas maupun konsekuensi dampak.
Hasil pemetaan risiko menunjukkan bahwa pada proyek Progomanggis, risiko seperti cuaca ekstrem, kerusakan alat, dan keterlambatan material tergolong ke dalam kategori risiko tinggi. Sementara pada proyek Sedadi, risiko utama justru berasal dari aspek pengelolaan dan konektivitas jaringan irigasi antar wilayah yang saling tergantung satu sama lain.
Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah bagaimana faktor cuaca menjadi elemen yang paling tak terkontrol namun berdampak besar pada semua fase konstruksi. Penjadwalan kerja yang bersinggungan dengan musim tanam serta jadwal buka-tutup air irigasi menyebabkan tumpang tindih pekerjaan dan mengharuskan adanya penyesuaian mendadak di lapangan. Hal ini menunjukkan pentingnya fleksibilitas dalam manajemen proyek irigasi, yang belum tentu sebesar itu pada proyek konstruksi gedung atau infrastruktur kering lainnya.
Untuk mitigasi risiko, strategi yang disarankan mencakup penggunaan metode kerja alternatif, penyusunan ulang jadwal proyek, pengadaan material yang terencana dengan kontrak harga tetap, serta pendekatan komunikasi aktif antara kontraktor, pemilik proyek, dan masyarakat lokal. Selain itu, pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) meski belum dibahas secara eksplisit dalam tesis ini, dapat menjadi peluang pengembangan lebih lanjut agar simulasi risiko dapat dilakukan sejak tahap perencanaan.
Penelitian ini sangat relevan dalam konteks pembangunan berkelanjutan di sektor konstruksi Indonesia. Ketika proyek-proyek rehabilitasi menjadi semakin sering dilakukan untuk mempertahankan infrastruktur lama, pemahaman mendalam tentang manajemen risiko sangat dibutuhkan oleh kontraktor maupun pihak pemberi kerja. Selain itu, kajian ini berkontribusi dalam menjembatani kesenjangan antara teori manajemen risiko dan implementasinya di lapangan.
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Ali (2020) dan Aripandi et al. (2020), pendekatan dalam tesis ini lebih menyeluruh karena tidak hanya mengidentifikasi risiko, tetapi juga memetakan dampaknya dan memberikan strategi konkret pengendalian berdasarkan data lapangan. Penulis tidak berhenti pada identifikasi tetapi sampai pada langkah mitigasi dan evaluasi, yang jarang dilakukan dalam riset-riset lain.
Namun, satu kritik yang bisa diajukan adalah keterbatasan pengaplikasian digital tools dalam proses evaluasi dan simulasi risiko. Di era industri konstruksi 4.0, pemanfaatan software manajemen risiko atau pemodelan risiko berbasis BIM akan menjadi nilai tambah signifikan untuk analisis yang lebih presisi dan prediktif.
Secara keseluruhan, tesis ini memberikan sumbangan penting dalam pengembangan ilmu manajemen risiko konstruksi, khususnya pada proyek irigasi yang memiliki karakteristik unik dan tantangan tersendiri. Relevansi terhadap kebutuhan nasional dalam menjaga ketahanan pangan melalui infrastruktur pertanian semakin menegaskan pentingnya penelitian ini untuk dijadikan acuan dalam proyek-proyek sejenis di masa depan.
Dengan menghadirkan studi kasus nyata, lengkap dengan data produksi pertanian, luas area proyek, nilai ekonomis proyek, dan skema risiko yang terstruktur, tulisan ini juga memiliki nilai aplikatif yang tinggi. Para profesional di bidang konstruksi, manajer proyek, dan pembuat kebijakan dapat mengambil banyak pelajaran dari strategi identifikasi dan mitigasi risiko yang diuraikan dengan baik dalam penelitian ini.
Sumber asli artikel:
Achmad Zulfikar Armandoko. (2023). Analisis Identifikasi dan Mitigasi Risiko pada Kontraktor Pekerjaan Irigasi. Tesis Magister Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Geospasial & Kemiskinan
Dipublikasikan oleh pada 27 Mei 2025
Pendahuluan: Kemiskinan Tak Lagi Sekadar Angka
Kemiskinan di Indonesia selama ini diukur lewat pendekatan ekonomi—berapa pengeluaran rumah tangga dibanding garis kemiskinan. Namun, pendekatan ini mengabaikan dimensi spasial, seperti keterpencilan geografis, akses infrastruktur, dan kualitas lingkungan. Paper ini menantang status quo dengan memperkenalkan metode baru: Relative Spatial Poverty Index (RSPI), yaitu indeks kemiskinan berbasis penginderaan jauh dan data besar geospasial.
Latar Belakang: Mengapa Perlu Indeks Kemiskinan Spasial?
Data kemiskinan Indonesia yang dikumpulkan melalui SUSENAS cenderung mahal, lambat, dan kurang rinci. Sebagai contoh, pada Maret 2021, 10,14% atau sekitar 27,5 juta penduduk Indonesia tergolong miskin. Namun, angka ini belum mencerminkan variasi spasial secara detail—padahal kebijakan yang efektif harus diarahkan secara lokal.
Studi Kasus: Jawa Timur sebagai Provinsi Paling Miskin
Pada 2020, Jawa Timur mencatat jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia: 4,4 juta jiwa (11,09%). Kemiskinan paling parah ditemukan di Pulau Madura:
Sampang: 22,78%
Bangkalan: 20,56%
Sumenep: 20,18%
Sebaliknya, daerah seperti Kota Batu (3,89%) dan Kota Malang (4,44%) memiliki tingkat kemiskinan rendah. Lalu, bagaimana kita bisa memahami pola-pola ini dari sudut pandang geospasial?
Metodologi: RSPI dan Integrasi Data Multi-Sumber
Jenis Data yang Digunakan:
Citra Satelit:
NTL (Night-Time Light) – proxy untuk aktivitas ekonomi
BUI (Built-Up Index) – indikator urbanisasi
NDVI, NDWI – tutupan vegetasi dan air
SO₂, CO, NO₂ – indikator polusi udara
LST (Land Surface Temperature) – suhu permukaan lahan
Big Data Geospasial:
POI Density – kepadatan titik-titik penting (sekolah, rumah sakit, dll.)
POI Distance – jarak ke fasilitas terdekat
Ukuran Grid:
Data dipetakan dalam bentuk grid resolusi tinggi: 1,5 km × 1,5 km
Teknik Analisis:
Transformasi data menggunakan Yeo-Johnson
Pembobotan melalui:
Korelasi statistik (W1)
Principal Component Analysis (W2)
Validasi menggunakan:
Pearson dan Spearman
RMSE dan R²
Hasil Utama: Lima Variabel Kunci Pembentuk RSPI
Dari 10 variabel, lima yang terbukti signifikan dalam merepresentasikan kemiskinan di Jawa Timur adalah:
VariabelKorelasi dengan KemiskinanArah HubunganSignifikanNTL-0,5Negatif✔️BUI-0,45Negatif✔️SO₂-0,6Negatif✔️POI Density-0,64Negatif✔️POI Distance+0,73Positif✔️
📌 Semakin jauh akses ke fasilitas umum (POI distance), semakin tinggi kemungkinan kemiskinan spasial.
Validasi Model: Seberapa Akurat RSPI?
Korelasi dengan Data Kemiskinan Resmi:
RSPI1 (berbasis korelasi):
Pearson: 0,71
Spearman: 0,77
RMSE: 3,18%
RSPI2 (berbasis PCA):
Pearson: 0,69
Spearman: 0,72
RMSE: 3,25%
✅ Hasil ini menunjukkan RSPI sangat kuat dalam memetakan kemiskinan secara geografis.
Studi Kasus: Ketimpangan Kota dan Desa
Urban Area (Contoh: Surabaya, Malang):
RSPI rendah, artinya akses dan infrastruktur bagus.
Rural Area (Contoh: Sampang, Sumenep):
RSPI tinggi, meskipun secara pengeluaran belum tentu miskin.
Ini menunjukkan bahwa kemiskinan geografis bisa terjadi meskipun masyarakat memiliki pengeluaran di atas garis kemiskinan.
Analisis Tambahan: Menangkap "Kemiskinan yang Tak Terlihat"
Satu kekuatan RSPI adalah kemampuannya melihat apa yang tidak tercakup dalam data pengeluaran:
Pendidikan dan layanan kesehatan jauh → tidak terdeteksi dalam survei pengeluaran
Polusi tinggi di daerah padat → berdampak pada kualitas hidup, tapi tidak tercatat sebagai "kemiskinan"
Infrastruktur buruk meski pengeluaran cukup → RSPI bisa mengungkap itu
Kritik dan Keterbatasan
Kelebihan:
Granularitas tinggi (1,5 km)
Sumber data gratis dan dapat diperbarui cepat
Integrasi pendekatan spasial dan statistik
Kelemahan:
Tidak menangkap kemiskinan multidimensi non-spasial (misalnya, pendidikan, gender)
Tidak ada validasi lapangan langsung per piksel
Hanya satu tahun data (2020), belum ada tren historis
Opini dan Arah Masa Depan
Penelitian ini membuka peluang baru dalam sistem pemantauan kemiskinan Indonesia. RSPI bisa:
Digunakan pemerintah daerah untuk targeting bansos lebih tepat
Menjadi dasar pengembangan dashboard kemiskinan spasial nasional
Diintegrasikan dengan data pengeluaran untuk membangun Kemiskinan Multidimensi Spasial
💡 Potensi RSPI di masa depan: integrasi dengan AI & machine learning untuk prediksi dinamis!
Kesimpulan: Dari Angka Menuju Peta—Era Baru Kebijakan Kemiskinan
Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan geospasial dan big data, kita bisa mendeteksi kemiskinan tidak hanya dari sisi pengeluaran, tapi juga dari ruang tempat orang hidup. RSPI membawa paradigma baru: peta kemiskinan yang lebih adil, akurat, dan cepat diperbarui.
Jika pemerintah benar-benar serius mengatasi kemiskinan, RSPI harus menjadi bagian integral dari perencanaan pembangunan daerah.
Sumber:
Putri, S.R., Wijayanto, A.W., & Sakti, A.D. (2022). Developing Relative Spatial Poverty Index Using Integrated Remote Sensing and Geospatial Big Data Approach: A Case Study of East Java, Indonesia. ISPRS International Journal of Geo-Information, 11(275).
👉 Tautan resmi jurnal (DOI)
Riset Ekonomi
Dipublikasikan oleh pada 27 Mei 2025
Pendahuluan: Di Balik Pertumbuhan Ekonomi, Siapa yang Benar-Benar Berperan?
Pertumbuhan ekonomi bukan sekadar angka dalam laporan pemerintah. Ia mencerminkan dinamika riil masyarakat—apakah lapangan kerja bertambah? Apakah harga tetap stabil? Apakah industri lokal tumbuh?
Studi menarik yang dilakukan oleh Kusumawardani & Nuraini (2020) berfokus pada tiga variabel utama dalam membentuk pertumbuhan ekonomi Jawa Timur selama hampir empat dekade: industri pengolahan, tenaga kerja, dan inflasi. Penelitian ini membuka ruang diskusi yang lebih luas: apakah pemerintah selama ini benar-benar memahami motor penggerak ekonomi regional?
Jawa Timur: Kekuatan Ekonomi Kedua setelah DKI Jakarta
Berdasarkan data BPS, Jawa Timur konsisten menjadi provinsi dengan kontribusi ekonomi terbesar kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta. Namun, kontribusi ini tidak selalu stabil. Dari 1981 hingga 2018, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur fluktuatif—mulai dari puncak 8,32% pada 1995 hingga terjun bebas ke -16,12% pada 1998 akibat krisis moneter.
📊 Pertumbuhan tertinggi: 8,32% (1995); terendah: -16,12% (1998)
Dalam kurun waktu tersebut, peran industri pengolahan dan angkatan kerja mengalami kenaikan signifikan, namun inflasi juga menjadi faktor penghambat yang tidak bisa diabaikan.
Metodologi Penelitian: Regresi Linier Berganda dan 38 Tahun Data
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif dengan pendekatan regresi linier berganda, memanfaatkan data time-series dari tahun 1981 hingga 2018. Data dianalisis dengan software Eviews 9.0, mencakup uji klasik seperti:
Uji normalitas
Uji multikolinearitas
Uji heteroskedastisitas
Uji autokorelasi
Uji F dan uji t
Model yang digunakan:
Y = β₀ + β₁Log(X₁) + β₂Log(X₂) + β₃X₃ + μ
Keterangan:
Y = Pertumbuhan ekonomi
X₁ = Industri pengolahan
X₂ = Tenaga kerja
X₃ = Inflasi
Hasil Utama: Siapa yang Paling Mempengaruhi Ekonomi Jawa Timur?
1. Industri Pengolahan: Pengaruh Positif dan Signifikan
Koefisien: 24,74
Probabilitas (p-value): 0,0117
Interpretasi: Setiap peningkatan 1% pada sektor industri pengolahan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 24,74 poin.
📈 Contoh riil: Industri pengolahan meningkat dari 373.553 (1981) menjadi 816.804 (2018)—naik 118,7%.
✅ Industri pengolahan terbukti sebagai motor utama ekonomi regional, sejalan dengan teori industrialisasi modern.
2. Tenaga Kerja: Dampak Terbesar Secara Parsial
Koefisien: 45,17
Probabilitas: 0,0229
Makna: Setiap pertambahan jumlah tenaga kerja sebesar 1% mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 45 poin.
👷 Jumlah tenaga kerja meningkat dari 13 juta (1981) menjadi 21 juta (2018)—naik 61%.
Namun, peningkatan ini menyisakan pertanyaan: apakah kualitas tenaga kerja juga ikut meningkat, atau hanya kuantitasnya?
🔍 Catatan kritis: Masih perlu evaluasi terkait keterampilan dan produktivitas tenaga kerja agar output benar-benar optimal.
3. Inflasi: Efek Negatif namun Signifikan
Koefisien: -0,25
Probabilitas: 0,0043
Setiap kenaikan inflasi 1% berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,25 poin.
🔥 Tingkat inflasi tertinggi terjadi pada 2005 sebesar 15,19%, sementara terendah pada 2016 sebesar 2,74%.
Inflasi yang terlalu tinggi akan menekan daya beli masyarakat dan meredam konsumsi domestik, yang seharusnya menjadi penggerak ekonomi.
Studi Kasus: Dampak Krisis 1998
Tahun 1998 menjadi titik balik penting. Saat krisis moneter menerjang, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur terjun bebas ke angka negatif: -16,12%. Namun, anomali menarik terjadi: jumlah industri justru naik menjadi 588.638 unit (dari 560.811 tahun sebelumnya). Ini menandakan bahwa bukan kuantitas industri yang bermasalah, tapi daya beli masyarakat dan stabilitas harga yang runtuh.
Pelajaran penting di sini adalah: inflasi tidak boleh diremehkan meski sektor industri berkembang pesat. Tanpa stabilitas makroekonomi, pertumbuhan tidak akan berkelanjutan.
Analisis Tambahan: Bagaimana dengan Kualitas Industri dan Pekerja?
Meski jumlah industri pengolahan meningkat, belum tentu produktivitas per unit industri naik. Kita perlu bertanya:
Apakah industri yang tumbuh bersifat padat karya atau padat modal?
Apakah pekerja di Jawa Timur dibekali keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri?
Menurut data BPS terbaru, mayoritas pekerja industri di Jawa Timur masih lulusan SMA ke bawah. Ini menunjukkan adanya mismatch antara pendidikan dan kebutuhan dunia kerja.
💡 Saran kebijakan: Perlu integrasi antara pendidikan vokasi dan kebutuhan industri lokal.
Kritik & Komparasi dengan Studi Lain
Penelitian ini unggul karena mengintegrasikan data panjang 38 tahun—sesuatu yang jarang dilakukan. Namun, ada beberapa kelemahan:
Kelemahan:
Tidak menganalisis faktor lain seperti pengeluaran pemerintah, investasi asing, atau ekspor.
Tidak memasukkan variabel struktural seperti kualitas pendidikan, teknologi, atau infrastruktur.
Komparasi:
Penelitian Rustiono (2008) di Jawa Tengah menemukan bahwa selain tenaga kerja, investasi dan pengeluaran pemerintah juga signifikan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, studi Shodiqin (2018) di Bandar Lampung menunjukkan bahwa industri pengolahan sangat krusial untuk pertumbuhan, selaras dengan hasil studi ini.
Implikasi Kebijakan: Apa yang Harus Dilakukan Jawa Timur?
Berdasarkan hasil penelitian ini, beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat diambil:
Dorong industrialisasi berbasis lokal – Fokus pada industri pengolahan yang menyerap tenaga kerja besar seperti makanan-minuman, tekstil, dan manufaktur ringan.
Tingkatkan keterampilan tenaga kerja – Revitalisasi pendidikan vokasi dan BLK berbasis industri lokal.
Kendalikan inflasi regional – Pemerintah daerah harus memiliki strategi stabilisasi harga bahan pokok yang proaktif.
Diversifikasi sektor ekonomi – Jangan hanya bergantung pada industri; sektor jasa, pariwisata, dan digital harus dikembangkan.
Kesimpulan: Tiga Pilar Pembangunan Ekonomi Jatim
Selama hampir empat dekade, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur sangat dipengaruhi oleh tiga variabel utama:
Industri pengolahan sebagai mesin pertumbuhan
Tenaga kerja sebagai motor penggerak
Inflasi sebagai faktor penyeimbang yang dapat merusak jika tidak dikontrol
Kombinasi kebijakan industrialisasi yang inklusif, pelatihan tenaga kerja, dan pengendalian inflasi akan menjadi fondasi kokoh bagi pertumbuhan berkelanjutan Jawa Timur ke depan.
Sumber:
Kusumawardani, M. W., & Nuraini, I. (2020). Pengaruh Industri Pengolahan, Tenaga Kerja, dan Inflasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Timur Tahun 1981–2018. Jurnal Ilmu Ekonomi (JIE), Vol. 4, No. 4, 732–746.
Tersedia di: Jurnal Ilmu Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang