Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bukan lagi sekadar kepatuhan terhadap regulasi, melainkan menjadi aspek vital dalam keberlangsungan proyek konstruksi, terutama proyek bangunan gedung tinggi. Indonesia memiliki regulasi yang cukup kuat seperti PP No. 50 Tahun 2012 dan Kepmenaker No. 386 Tahun 2014, namun implementasinya sering kali tidak maksimal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kecelakaan kerja masih menjadi momok utama yang merugikan tidak hanya pekerja, tapi juga produktivitas dan reputasi perusahaan konstruksi.
Artikel yang ditulis oleh Retna Kristiana (Universitas Mercu Buana) dan Slamet (PT. Rekagriya Mitra Buana) ini mencoba membedah penyebab utama kecelakaan kerja di salah satu proyek besar di Jakarta Barat, yaitu pembangunan Taman Anggrek Residence oleh PT. Pulauintan. Penelitian ini tidak hanya mendeteksi penyebab, tetapi juga memberikan rekomendasi mitigasi risiko secara sistematis, menjadikannya relevan baik bagi akademisi, praktisi konstruksi, hingga pengambil kebijakan.
Metodologi: Memotret Realita Lapangan Lewat Skala Likert
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode scoring berdasarkan skala Likert 1–5 terhadap 27 indikator penyebab kecelakaan kerja. Responden terdiri dari empat kelompok utama:
Studi kasus dilakukan pada proyek Taman Anggrek Residence yang berlokasi di Jakarta Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung dan wawancara, memastikan keakuratan serta kedalaman informasi. Skor akhir kemudian dikonversikan ke dalam persentase untuk menentukan dominasi tiap indikator.
Hasil Penelitian: Tingkah Laku Ceroboh Menjadi Biang Keladi
Faktor Utama: Manusia, Alat, dan Kondisi Kerja
Dari total 27 indikator yang diteliti, hasil riset mengungkap bahwa penyebab dominan berasal dari faktor manusia. Indikator paling mencolok adalah A.3 – tingkah laku dan kebiasaan yang ceroboh, dengan skor mencapai:
Hal ini memperkuat teori Mulyadi (2015) bahwa 80% kecelakaan kerja disebabkan oleh faktor manusia.
Faktor Tambahan: Kondisi Alat dan Lingkungan Kerja
Selain itu, faktor alat dan kondisi kerja juga memiliki kontribusi besar. Sebagai contoh:
Studi Kasus: Taman Anggrek Residence, Jakarta Barat
Proyek Taman Anggrek Residence menjadi laboratorium nyata dalam riset ini. Meskipun PP No. 5 Tahun 2012 sudah diberlakukan, ditemukan bahwa dokumentasi K3 belum tersedia dan implementasinya di lapangan masih sangat minim.
Distribusi Skor Responden Kontraktor:
Respon Tim Pengawas/Owner:
Tim Konsultan:
Direct Contractor (DC):
Analisis Kritis: Ketika Budaya Kerja Gagal Ditanamkan
Fakta bahwa tingkah laku ceroboh menjadi penyebab utama mengindikasikan bahwa budaya keselamatan belum tertanam kuat. Pelatihan, SOP, dan poster K3 mungkin sudah ada, namun tidak cukup jika tidak ada pengawasan ketat dan sanksi tegas.
Studi ini membuktikan bahwa faktor manusia bukan sekadar kesalahan individu, tapi kegagalan sistemik: tidak adanya pembinaan, minimnya evaluasi berkala, serta absennya reward and punishment yang efektif.
Rekomendasi Mitigasi: Tindakan Tegas, Evaluasi Ketat
Penulis menawarkan berbagai mitigasi risiko yang konkret, antara lain:
Untuk Faktor Manusia (A.3 dan A.7)
Untuk Alat-Alat Kerja (B.2 dan B.7)
Untuk Kondisi Kerja (C.3)
Implikasi Industri Konstruksi di Indonesia
Riset ini tidak hanya berdampak lokal, tetapi merefleksikan realita nasional. Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, industri konstruksi masih menjadi penyumbang utama angka kecelakaan kerja di Indonesia. Jika penyebabnya adalah faktor manusia, maka intervensi edukatif dan regulatif menjadi keharusan.
Studi ini seharusnya memicu perubahan struktural:
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Jika dibandingkan dengan studi oleh Bayu et al. (2015) yang meneliti proyek PT. Waskita Karya, temuan serupa juga muncul: ketidakdisiplinan dan lemahnya pengawasan menjadi penyebab utama. Namun, penelitian Kristiana dan Slamet memiliki keunggulan dalam mengaitkan hasil riset langsung dengan tindakan mitigasi yang spesifik.
Kesimpulan: Dari Teori ke Aksi Nyata
Penelitian ini menyimpulkan bahwa:
Dengan demikian, untuk menurunkan angka kecelakaan kerja, solusi tidak bisa hanya berhenti pada regulasi. Diperlukan komitmen jangka panjang, pelatihan berkelanjutan, dan sanksi yang tegas agar K3 menjadi budaya, bukan sekadar dokumen formal.
Saran SEO dan Arah Pengembangan Artikel Selanjutnya
Untuk meningkatkan jangkauan artikel ini di mesin pencari:
Sumber Artikel Asli
Retna Kristiana & Slamet. 2018. Identifikasi Penyebab Kecelakaan Kerja pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung Tinggi. Jurnal Forum Mekanika, Vol. 7 No. 1. ISSN 2356-1491.
Lean Construction
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Dalam dunia konstruksi Indonesia, pemborosan atau waste bukanlah hal baru. Mulai dari material yang terbuang, tenaga kerja yang tidak efisien, hingga perencanaan yang buruk, semua berkontribusi pada proyek yang molor, overbudget, bahkan gagal. Berdasarkan data dari Lean Construction Institute, sekitar 57% aktivitas dalam proyek konstruksi masuk dalam kategori waste, sedangkan hanya 10% yang betul-betul menciptakan nilai tambah bagi proyek.
Berangkat dari fakta ini, Oryza Lhara Sari dan Doni Rahman Maulana melakukan penelitian mendalam pada sebuah proyek irigasi di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Mereka mengeksplorasi pendekatan Lean Construction dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab utama terjadinya waste, serta memberikan strategi mitigasi berbasis manajemen risiko yang bisa diterapkan langsung di lapangan.
Lean Construction: Filosofi Efisiensi di Dunia Proyek
Lean Construction merupakan metode manajemen proyek yang diadaptasi dari Lean Manufacturing milik Toyota. Prinsip dasarnya adalah menghilangkan pemborosan yang tidak menambah nilai (non-value added activities) dan mengarahkan semua proses pada efisiensi yang tinggi serta hasil akhir yang maksimal. Dalam praktiknya, ini berarti:
Pendekatan ini sangat relevan untuk proyek infrastruktur di Indonesia yang kerap mengalami masalah keterlambatan, pembengkakan anggaran, dan rendahnya produktivitas tenaga kerja.
Studi Kasus Proyek X di Kapuas
Penelitian ini menggunakan studi kasus proyek rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi di wilayah kerja Blok A, Kabupaten Kapuas. Peneliti mengidentifikasi sembilan variabel utama dan total 43 indikator penyebab waste. Data dikumpulkan melalui dua tahap kuesioner serta wawancara dengan para ahli konstruksi yang memiliki pengalaman lebih dari lima tahun.
Metode yang digunakan adalah Severity Index (SI), yang mengukur kemungkinan terjadinya risiko (probability) dan dampaknya terhadap proyek (impact). Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar faktor penyebab waste berada pada kategori risiko sedang (moderate).
Faktor-Faktor Utama Penyebab Waste
Di antara puluhan indikator, peneliti menemukan sepuluh faktor yang secara konsisten muncul sebagai penyebab dominan waste di lapangan. Beberapa di antaranya adalah kecelakaan kerja, tidak digunakannya alat keselamatan, ketidaktelitian pekerja, kesalahan dalam pemberian instruksi kerja, serta lokasi proyek yang sulit diakses.
Namun, satu faktor yang menonjol sebagai penyebab utama adalah kesalahan dalam perencanaan proyek. Kesalahan ini menciptakan efek domino yang berdampak pada kualitas pekerjaan, efisiensi waktu, dan besarnya kebutuhan revisi di tengah pelaksanaan proyek.
Respons Risiko: Strategi Transfer yang Realistis
Setelah mengidentifikasi risiko-risiko utama, langkah berikutnya adalah menentukan strategi respons yang paling sesuai. Dalam penelitian ini, hampir seluruh risiko direspons melalui pendekatan transfer, yaitu memindahkan risiko kepada pihak ketiga atau mekanisme eksternal yang lebih mampu menanganinya.
Sebagai contoh, untuk mengatasi risiko kecelakaan kerja dan kelalaian penggunaan alat pelindung diri (APD), para responden menyarankan penguatan sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), termasuk pelatihan rutin, inspeksi lapangan, serta penerapan sistem reward dan punishment.
Sementara itu, untuk risiko pekerja tidak teliti atau tidak efektif, disarankan adanya evaluasi berkala, peningkatan komunikasi antara atasan dan pelaksana, serta penyediaan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi.
Khusus untuk faktor kesalahan perencanaan, yang menjadi akar dari banyak permasalahan, strategi mitigasinya meliputi:
Pendekatan Lean melalui Konsep E-DOWNTIME
Penelitian ini juga relevan dengan konsep pemborosan yang dikenal dengan istilah E-DOWNTIME, yaitu sembilan bentuk waste yang umum terjadi dalam proyek:
Hampir semua jenis waste ini muncul di proyek Kapuas, menjadikan pendekatan lean sangat relevan sebagai solusi strategis.
Pendapat Para Ahli Lapangan
Untuk memperkuat analisis, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa praktisi. Di antaranya:
Masukan-masukan ini menegaskan bahwa risiko tidak cukup hanya diidentifikasi di atas kertas, tapi harus ditangani dengan tindakan nyata dan komunikasi lintas tim yang efektif.
Kritik dan Refleksi Penelitian
Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam memahami dan mengelola pemborosan di proyek konstruksi. Namun ada beberapa hal yang bisa dikembangkan lebih lanjut:
Meski begitu, nilai tambah dari penelitian ini terletak pada kombinasi pendekatan kuantitatif dan wawasan praktis dari para pelaku industri.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Hasil penelitian ini sangat aplikatif bagi pengelola proyek konstruksi di Indonesia. Beberapa rekomendasi praktis yang bisa diambil:
Dengan implementasi yang konsisten, proyek-proyek konstruksi di Indonesia bisa menjadi lebih efisien, aman, dan menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi.
Kesimpulan: Waste Adalah Risiko yang Bisa Dikendalikan
Pemborosan bukan sesuatu yang harus diterima sebagai bagian dari proyek, melainkan risiko nyata yang bisa dikurangi melalui pendekatan manajemen yang tepat. Penelitian ini membuktikan bahwa dengan mengidentifikasi akar penyebab waste, merespon dengan strategi transfer, dan melakukan mitigasi berbasis koordinasi serta kompetensi, proyek konstruksi bisa berjalan lebih efisien dan bernilai tinggi.
Lean Construction, jika diterapkan dengan sungguh-sungguh, bukan hanya mengurangi biaya, tetapi juga meningkatkan budaya kerja dan keselamatan di proyek. Kini saatnya proyek-proyek di Indonesia mulai berinvestasi pada manajemen risiko dan efisiensi operasional demi hasil jangka panjang yang lebih baik.
Sumber Asli
Oryza Lhara Sari, Doni Rahman Maulana. Respon Risiko dan Mitigasi Risiko pada Faktor-Faktor Penyebab Waste Konstruksi dengan Menggunakan Pendekatan Lean Construction (Studi Kasus: Proyek X Kapuas). Jurnal Rab Construction Research, Vol. 8, No. 2, 2023.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Indonesia dijuluki sebagai “supermarket bencana” karena hampir seluruh wilayahnya rawan terhadap sembilan jenis bencana besar seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan letusan gunung api. Akibatnya, negara ini menghadapi ancaman tidak hanya dari segi keselamatan warga, tapi juga dari sisi fiskal. Laporan Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) yang diterbitkan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, pada tahun 2018 (edisi revisi) menyuguhkan strategi konkret untuk menjawab tantangan tersebut.
Dokumen ini tidak hanya menawarkan analisis kebijakan berbasis data historis dan proyeksi, tetapi juga memetakan peta jalan strategis dalam pengelolaan risiko bencana melalui bauran kebijakan fiskal dan instrumen asuransi.
Dampak Ekonomi Bencana di Indonesia: Fakta dan Angka
Selama 2000–2016, rata-rata kerugian ekonomi akibat bencana di Indonesia mencapai Rp22,8 triliun per tahun. Dalam kasus luar biasa seperti gempa dan tsunami Aceh 2004, kerugian melonjak menjadi Rp51,4 triliun. Dalam jangka panjang, kerugian ini akan membesar bila tidak diimbangi oleh kebijakan mitigasi dan pembiayaan risiko yang tepat.
Kerugian fisik dan ekonomi akibat gempa bumi diproyeksikan hingga 2045 bisa mencapai:
Sementara untuk risiko tsunami, kerugian ekonomi tertinggi berada di Jawa Tengah (hingga Rp3,12 triliun) dan Jawa Timur (hingga Rp3 triliun). Banjir sendiri, sebagai bencana dengan frekuensi paling tinggi, diproyeksikan menyebabkan kerugian lebih dari Rp1 triliun di Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah.
Kesenjangan Pembiayaan: Risiko Tersembunyi yang Mengintai
Pemerintah Indonesia hanya mampu menyediakan dana cadangan rata-rata Rp3,1 triliun per tahun. Padahal kerugian ekonomi tahunan rata-ratanya jauh lebih besar. Bahkan alokasi dana ini hanya mampu menutup sekitar 20% dari total kerugian tahunan. Grafik 6 dalam laporan menunjukkan betapa lebar jurang pembiayaan (financing gap) antara kerugian aktual dan kapasitas fiskal negara.
Jika tidak ada strategi jangka panjang, pembiayaan bencana akan terus bergantung pada APBN, realokasi anggaran, dan bantuan luar negeri, yang berpotensi mengganggu target pembangunan lainnya.
Strategi PARB: Pilar Perlindungan Fiskal dan Sosial
Dokumen PARB merancang strategi dengan lima pendekatan utama:
1. Kombinasi Instrumen Pembiayaan
Pemerintah mengintegrasikan dana APBN/APBD, instrumen kontinjensi, dan asuransi dalam satu kerangka strategi untuk efisiensi maksimal.
2. Penyerapan Risiko oleh Negara
Untuk bencana skala kecil-menengah dan berulang (seperti banjir), pemerintah menggunakan dana dari anggaran nasional dan daerah.
3. Instrumen Kontinjensi
Mekanisme seperti dana siap pakai dan pinjaman siaga dipersiapkan untuk menanggulangi bencana berskala menengah hingga besar.
4. Skema Pooling Fund
Dana kolektif antar pemerintah dan sektor swasta dibentuk untuk memperkuat kesiapan fiskal.
5. Transfer Risiko melalui Asuransi
Asuransi dimanfaatkan untuk melindungi aset-aset penting seperti gedung pemerintah, sekolah, dan rumah sakit dari bencana langka namun berisiko tinggi.
Studi Kasus: Rehabilitasi Aceh dan Java Reconstruction Fund
🔹 BRR Aceh dan Nias (2004–2009)
🔹 Java Reconstruction Fund (JRF)
Dua studi ini memperlihatkan pentingnya kesiapan pembiayaan non-APBN dalam menghadapi bencana besar dan kebutuhan akan fleksibilitas tata kelola fiskal.
Manfaat Strategis PARB: Lebih dari Sekadar Perlindungan
Strategi PARB bukan sekadar mitigasi risiko, tetapi juga:
Bahkan strategi ini bisa menjadi motor untuk:
Tantangan dan Peluang Implementasi
Tantangan:
Peluang:
Kritik Konstruktif dan Rekomendasi
🔎 Kritik:
✅ Rekomendasi:
Kesimpulan: Saatnya Berinvestasi pada Ketahanan Risiko
Strategi PARB adalah langkah progresif dalam mengurangi risiko fiskal dan membangun bangsa yang lebih tangguh. Ketahanan terhadap bencana tidak hanya membutuhkan alat berat dan bangunan kuat, tetapi juga visi fiskal jangka panjang yang adaptif dan kolaboratif.
Penerapan strategi ini harus menjadi bagian dari mainstream kebijakan fiskal nasional dan tidak terjebak pada respons ad-hoc. Indonesia yang rawan bencana perlu lebih siap—tidak hanya dari sisi logistik, tetapi juga dalam kesiapan fiskal dan institusional.
Sumber Asli :Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana, 2018 (Edisi Revisi).
Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Proyek konstruksi selalu dikelilingi oleh ketidakpastian. Dari perubahan harga material hingga ketidaktepatan waktu pengiriman, berbagai risiko bisa mengganggu tujuan utama proyek—yakni efisiensi waktu, kualitas hasil, dan kendali biaya. Dalam praktiknya, banyak proyek gagal memenuhi target tersebut karena pendekatan manajemen risiko (risk management/RM) yang bersifat parsial, tidak kolaboratif, dan kaku.
Disertasi doktoral Ekaterina Osipova memberikan kontribusi penting dalam menjawab tantangan ini melalui konsep Joint Risk Management (JRM) atau manajemen risiko bersama. Studi empiris terhadap sembilan proyek konstruksi di Swedia memperlihatkan bahwa pendekatan kolaboratif jauh lebih efektif dibanding pendekatan individualistik tradisional dalam mengelola risiko proyek.
Apa Itu Joint Risk Management (JRM)?
Osipova memperluas definisi JRM sebagai proses manajemen risiko yang melibatkan kolaborasi antar aktor proyek—klien, kontraktor, dan konsultan—sepanjang siklus hidup proyek. JRM tidak hanya melibatkan identifikasi, penilaian, dan respon terhadap risiko, tetapi juga pengembangan kepercayaan, komunikasi terbuka, dan tujuan bersama.
Komponen Inti JRM menurut Osipova:
Studi Kasus: Tiga Proyek Konstruksi di Swedia
Osipova melakukan studi longitudinal pada tiga proyek konstruksi nyata:
Temuan Menarik:
Temuan Kunci dan Angka-Angka Penting
Berdasarkan survei kuantitatif terhadap 106 organisasi klien konstruksi (dari 140 yang disurvei, response rate 76%), ditemukan bahwa:
Mengapa Proyek Gagal Tanpa JRM?
Studi ini mengkritisi pendekatan tradisional yang masih didominasi oleh:
Contohnya, dalam proyek tanpa JRM:
Teori Organisasi: Mekanistik vs Organik
Osipova menggunakan teori Burns & Stalker untuk menjelaskan bahwa pendekatan manajemen yang organik (fleksibel) lebih cocok dalam proyek berisiko tinggi, seperti konstruksi. Sebaliknya, pendekatan mekanistik (kaku) cenderung gagal menangani perubahan dinamis di lapangan.
Agency Theory: Tantangan dan Solusi
Menggunakan pendekatan teori agensi, Osipova mengidentifikasi masalah seperti:
Solusi yang ditawarkan:
Relevansi Global dan Aplikasi di Indonesia
Meskipun berbasis proyek di Swedia, hasil studi ini sangat relevan dengan konteks Indonesia. Banyak proyek pemerintah dan swasta di Indonesia menghadapi masalah serupa: konflik, pembengkakan biaya, keterlambatan, dan rendahnya kepuasan pengguna akhir.
Implementasi JRM berbasis kolaborasi bisa menjadi solusi strategis, terutama pada:
Kritik dan Kelebihan Penelitian
Kelebihan:
Kritik:
Kesimpulan: Mengubah Cara Kita Melihat Risiko
Disertasi ini menyampaikan pesan kuat: risiko bukan musuh yang harus disingkirkan, tapi tantangan yang harus dihadapi bersama. Kolaborasi, komunikasi, dan kepercayaan bukan sekadar nilai tambah—tetapi syarat keberhasilan proyek.
Jika Anda adalah pengambil keputusan di sektor konstruksi, disertasi ini seharusnya menjadi referensi utama untuk merancang ulang strategi manajemen risiko Anda.
Rekomendasi Praktis untuk Implementasi JRM di Indonesia
Referensi Asli (tanpa link):
Osipova, E. (2013). On Enhancing Joint Risk Management Throughout a Project’s Lifecycle: Empirical Studies of Swedish Construction Projects. Doctoral Thesis, Luleå University of Technology.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Proyek teknik modern—terutama yang berskala besar seperti proyek infrastruktur energi, sistem transportasi, hingga eksplorasi minyak dan gas—sering kali gagal memenuhi tenggat waktu, anggaran, atau spesifikasi teknis. Data dari Project Management Institute menunjukkan bahwa lebih dari 40% proyek gagal mencapai tujuannya, dengan kerugian mencapai USD 122 juta dari setiap USD 1 miliar yang diinvestasikan (PMI, 2016).
Masalah utama adalah lemahnya sistem manajemen risiko saat ini dalam menangani ketidakpastian epistemik—yaitu ketidakpastian yang muncul akibat keterbatasan pengetahuan. Sementara metode probabilistik konvensional efektif untuk ketidakpastian aleatorik (acak), mereka sering gagal menggambarkan informasi yang tidak pasti atau ambigu secara memadai.
Disertasi Tegeltija menjawab kebutuhan mendesak akan pendekatan yang lebih canggih, dengan fokus pada integrasi metode non-probabilistik dalam proses desain sistem rekayasa.
Rangkuman Tujuan dan Struktur Penelitian
Penelitian ini dibangun atas empat pertanyaan utama:
Untuk menjawabnya, disertasi ini mengkaji dan menguji tiga kelompok metode non-probabilistik:
Studi Kasus: Industri Minyak dan Gas
Salah satu studi kasus paling menarik adalah aplikasi metode imprecise probability pada eksplorasi ladang minyak dan gas. Di sini, data probabilitas mengenai keberadaan cadangan minyak sangat terbatas, sehingga penggunaan probabilitas pasti tidak memadai.
Format Data yang Diuji:
Hasil menunjukkan bahwa metode non-probabilistik mampu:
NUSAP dan Representasi Kualitas Informasi
Dalam studi lain, NUSAP (Number, Unit, Spread, Assessment, and Pedigree) digunakan untuk menilai kualitas data geologi yang digunakan dalam estimasi risiko pengeboran.
Temuan Penting:
Hal ini menegaskan bahwa pengambilan keputusan berbasis informasi lemah tidak hanya berisiko secara teknis, tetapi juga dapat memengaruhi investasi hingga ratusan juta dolar.
Eksplorasi Uncertainty Mendalam dan Robust Decision Making
Pada tingkat perencanaan jangka panjang, Tegeltija mengintegrasikan pendekatan Robust Decision Making (RDM) untuk menghadapi skenario dengan "deep uncertainty".
Prinsip Kunci RDM:
Aplikasi RDM diuji melalui model sintetik yang mensimulasikan berbagai kemungkinan geologis dan permintaan energi, menunjukkan bahwa desain sistem dengan RDM cenderung lebih tahan terhadap perubahan pasar dan kondisi lapangan.
Kerangka Tailoring Manajemen Risiko: Dari Matang ke Terintegrasi
Sebagai kontribusi praktis, Tegeltija mengembangkan kerangka tailoring manajemen risiko berdasarkan tingkat kematangan organisasi (Risk Management Maturity Model, PMI 2002).
Kerangka ini dikaitkan langsung dengan standar ISO 31000 dan diuji pada 6 perusahaan teknik besar, seperti:
Hasil Evaluasi:
Kritik dan Refleksi: Potensi dan Tantangan
Nilai Tambah:
Tantangan:
Implikasi Industri dan Penelitian Lanjutan
Disertasi ini menyarankan agar setiap perusahaan yang terlibat dalam sistem teknik skala besar mempertimbangkan:
Untuk riset selanjutnya, Tegeltija merekomendasikan:
Kesimpulan: Menuju Manajemen Risiko yang Lebih Adaptif
Penelitian ini memberikan kontribusi mendalam terhadap pergeseran paradigma dari pendekatan probabilistik tunggal ke kerangka kuantifikasi risiko yang lebih fleksibel dan canggih. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, strategi ini tidak hanya relevan tetapi juga krusial untuk meningkatkan keberhasilan proyek teknik masa depan.
Sumber Asli (tanpa tautan):
Tegeltija, Miroslava. Assessing the Capabilities of Advanced Risk Quantification Methods for Engineering Systems Management. PhD Thesis, Technical University of Denmark, May 2018.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Proyek konstruksi kerap kali menghadapi tantangan berupa keterlambatan waktu pelaksanaan, yang berdampak langsung pada peningkatan biaya, rusaknya reputasi, hingga penurunan kepercayaan dari pemangku kepentingan. Dalam artikel ilmiah berjudul “Analisis HOR dalam Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Waktu Konstruksi PT. SERTIMA pada Proyek Drainase”, Bagas Pratama dan rekan-rekannya dari Universitas Primagraha mengangkat sebuah studi kasus konkret tentang proyek drainase di Kp. Simenjangan RW 04, Desa Tamiang, Kecamatan Gunung Sari, dan menggunakan pendekatan House of Risk (HOR) untuk mengidentifikasi serta mengurangi risiko keterlambatan yang terjadi dalam proyek tersebut.
Artikel ini tidak hanya menyoroti akar permasalahan dalam proyek tersebut, tetapi juga memetakan risiko secara sistematis, memberikan bobot prioritas terhadap penyebab keterlambatan, serta menawarkan strategi mitigasi yang bisa diterapkan dalam konteks nyata.
Tantangan Umum dalam Proyek Konstruksi Drainase
Proyek drainase sering kali menghadapi kendala teknis dan non-teknis yang kompleks. Dalam kasus PT Serang Timur Abhinaya (PT SERTIMA), peneliti menemukan bahwa berbagai faktor menjadi penyebab keterlambatan, termasuk ketidaksesuaian dokumen awal seperti RAB, cuaca buruk, keterlambatan pengadaan material, kekurangan tenaga kerja, dan komunikasi yang tidak efektif antar tim proyek. Ini mencerminkan bahwa manajemen risiko tidak bisa hanya berfokus pada satu aspek teknis, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor manajerial dan operasional secara menyeluruh.
Penerapan Metode House of Risk (HOR)
Pendekatan House of Risk yang digunakan dalam studi ini terdiri dari dua tahap: HOR-1 untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan agen risiko, serta HOR-2 untuk menentukan strategi mitigasi yang paling efektif berdasarkan analisis risiko sebelumnya. Melalui wawancara mendalam, observasi lapangan, diskusi kelompok terfokus (FGD), serta tinjauan pustaka, penulis berhasil mengumpulkan data kualitatif yang relevan.
HOR-1 digunakan untuk mengukur Aggregate Risk Potential (ARP) dari setiap agen risiko. Proses ini dilakukan dengan menilai tingkat keparahan (severity) dan probabilitas kejadian (occurrence) dari masing-masing risiko serta hubungan korelatifnya. Berdasarkan hasil analisis, faktor-faktor seperti cuaca buruk (A3), kesulitan pengadaan material (A5), kesalahan penjadwalan pekerjaan utama (A13), dan kurangnya kompetensi kontraktor (A15) menjadi agen risiko dengan nilai ARP tertinggi.
Misalnya, risiko cuaca buruk (A3) memiliki nilai severity sebesar 5 dan occurrence sebesar 5, menjadikannya sebagai risiko tertinggi dengan ARP sebesar 225. Ini berarti bahwa cuaca buruk memberikan dampak signifikan terhadap keterlambatan proyek dan membutuhkan perhatian khusus dalam strategi mitigasi.
Studi Kasus: Proyek Drainase Kp. Simenjangan
Dalam proyek drainase yang diteliti, para peneliti mengidentifikasi tujuh kejadian risiko utama yang menyumbang lebih dari 80% potensi keterlambatan proyek berdasarkan analisis diagram Pareto. Risiko-risiko tersebut meliputi:
Faktor-faktor ini menjadi prioritas utama dalam penyusunan strategi mitigasi di tahap HOR-2.
Strategi Mitigasi Berbasis HOR-2
Setelah agen risiko diprioritaskan berdasarkan ARP, peneliti kemudian merancang tujuh tindakan mitigasi yang diuji efektivitasnya (TEk) berdasarkan total ARP dan kesulitan pelaksanaannya (Dk). Strategi yang terbukti paling efektif berdasarkan nilai TEk tertinggi adalah:
Strategi lain seperti pelatihan untuk meningkatkan kompetensi, pelatihan komunikasi tim, penjadwalan ulang pekerjaan, dan perbaikan sistem rekrutmen pekerja juga termasuk dalam daftar mitigasi, meski memiliki nilai efektivitas yang lebih rendah.
Kontribusi Akademik dan Praktis
Salah satu kekuatan dari artikel ini adalah penggunaan metodologi HOR yang sistematis dan berbasis data nyata. Penulis tidak hanya menyajikan teori, tetapi juga menerapkannya langsung pada kasus aktual yang mencerminkan kondisi umum proyek konstruksi di Indonesia. Dengan merangkum dan menyederhanakan pemetaan risiko melalui HOR-1 dan menyusun langkah mitigasi pada HOR-2, artikel ini memberikan panduan yang aplikatif untuk manajer proyek dan pihak-pihak yang terlibat dalam sektor konstruksi.
Selain itu, pendekatan berbasis data dengan memperhitungkan severity, occurrence, dan korelasi risiko membuat hasil analisis menjadi lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Integrasi diagram Pareto dalam menganalisis ARP juga membantu dalam visualisasi dan prioritisasi risiko secara lebih jelas.
Kritik dan Saran Pengembangan
Walaupun artikel ini sangat bermanfaat, terdapat beberapa hal yang bisa menjadi bahan pengembangan lebih lanjut. Pertama, pendekatan HOR yang digunakan terbatas pada satu proyek saja. Akan sangat menarik jika pendekatan ini diuji pada berbagai jenis proyek konstruksi lain—seperti proyek gedung bertingkat, jembatan, atau jalan raya—untuk melihat apakah pola risikonya berbeda. Kedua, integrasi teknologi seperti BIM (Building Information Modeling) dalam proses mitigasi belum dibahas. Menggabungkan manajemen risiko dengan teknologi digital bisa menjadi langkah signifikan dalam efisiensi proyek modern.
Selanjutnya, aspek keberlanjutan juga belum terlalu banyak disorot. Risiko-risiko seperti limbah konstruksi atau dampak lingkungan lain yang sering kali muncul dalam proyek drainase bisa menjadi tambahan penting dalam kajian risiko proyek ke depan.
Relevansi Terhadap Tren Industri Konstruksi
Industri konstruksi saat ini tengah didorong untuk semakin adaptif dan responsif terhadap risiko, terutama dalam kondisi pasca-pandemi dan menghadapi ketidakpastian iklim. Oleh karena itu, pendekatan manajemen risiko berbasis HOR sangat relevan untuk memastikan keberlangsungan proyek tanpa mengalami pembengkakan biaya atau ketidakefisienan.
Peningkatan adopsi metode proaktif dalam identifikasi risiko seperti HOR juga dapat menjadi acuan dalam sertifikasi proyek dan audit kinerja kontraktor di masa depan. Ini sekaligus menjadikan artikel ini sebagai referensi strategis bagi pengambil kebijakan, pelaku industri, dan akademisi.
Secara keseluruhan, artikel ini merupakan kontribusi yang berarti dalam literatur manajemen proyek, khususnya di bidang konstruksi infrastruktur. Dengan pendekatan HOR, tim peneliti berhasil mengidentifikasi risiko utama dalam proyek drainase PT SERTIMA dan mengembangkan strategi mitigasi yang realistis, aplikatif, dan berbasis data. Studi ini tidak hanya menjelaskan permasalahan, tetapi juga menawarkan solusi terstruktur yang bisa direplikasi pada proyek-proyek lain di masa mendatang. Hal ini tentu menjadi langkah maju dalam penguatan praktik manajemen risiko di sektor konstruksi nasional.
Sumber artikel asli:
Bagas Pratama, Ilham Maulana, Muhamad Hilal Maulana, Zacky Irchamny. “Analisis HOR dalam Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Waktu Konstruksi PT. SERTIMA pada Proyek Drainase.” Jurnal Manuhara, Vol. 3 No. 1, Tahun 2025, Hal. 343–354.