Industri Kontruksi

Mengungkap Akar Masalah Kecelakaan Kerja pada Proyek Konstruksi: Studi Kasus Taman Anggrek Residence

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bukan lagi sekadar kepatuhan terhadap regulasi, melainkan menjadi aspek vital dalam keberlangsungan proyek konstruksi, terutama proyek bangunan gedung tinggi. Indonesia memiliki regulasi yang cukup kuat seperti PP No. 50 Tahun 2012 dan Kepmenaker No. 386 Tahun 2014, namun implementasinya sering kali tidak maksimal. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kecelakaan kerja masih menjadi momok utama yang merugikan tidak hanya pekerja, tapi juga produktivitas dan reputasi perusahaan konstruksi.

Artikel yang ditulis oleh Retna Kristiana (Universitas Mercu Buana) dan Slamet (PT. Rekagriya Mitra Buana) ini mencoba membedah penyebab utama kecelakaan kerja di salah satu proyek besar di Jakarta Barat, yaitu pembangunan Taman Anggrek Residence oleh PT. Pulauintan. Penelitian ini tidak hanya mendeteksi penyebab, tetapi juga memberikan rekomendasi mitigasi risiko secara sistematis, menjadikannya relevan baik bagi akademisi, praktisi konstruksi, hingga pengambil kebijakan.

Metodologi: Memotret Realita Lapangan Lewat Skala Likert

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode scoring berdasarkan skala Likert 1–5 terhadap 27 indikator penyebab kecelakaan kerja. Responden terdiri dari empat kelompok utama:

  • Tim Kontraktor (18 orang)
  • Tim Pengawas/Owner (8 orang)
  • Tim Konsultan (7 orang)
  • Tim Direct Contractor (DC) (10 orang)

Studi kasus dilakukan pada proyek Taman Anggrek Residence yang berlokasi di Jakarta Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi langsung dan wawancara, memastikan keakuratan serta kedalaman informasi. Skor akhir kemudian dikonversikan ke dalam persentase untuk menentukan dominasi tiap indikator.

Hasil Penelitian: Tingkah Laku Ceroboh Menjadi Biang Keladi

Faktor Utama: Manusia, Alat, dan Kondisi Kerja

Dari total 27 indikator yang diteliti, hasil riset mengungkap bahwa penyebab dominan berasal dari faktor manusia. Indikator paling mencolok adalah A.3 – tingkah laku dan kebiasaan yang ceroboh, dengan skor mencapai:

  • 95.56% (Kontraktor)
  • 90.00% (Pengawas/Owner)
  • 94.29% (Konsultan)
  • 90.00% (Direct Contractor)

Hal ini memperkuat teori Mulyadi (2015) bahwa 80% kecelakaan kerja disebabkan oleh faktor manusia.

Faktor Tambahan: Kondisi Alat dan Lingkungan Kerja

Selain itu, faktor alat dan kondisi kerja juga memiliki kontribusi besar. Sebagai contoh:

  • B.2 – Alat tidak laik pakai (94.29% pada konsultan)
  • B.7 – Buruknya inspeksi alat (90.00% pada owner)
  • C.3 – Cara kerja tidak disiplin (94.29% pada konsultan)

Studi Kasus: Taman Anggrek Residence, Jakarta Barat

Proyek Taman Anggrek Residence menjadi laboratorium nyata dalam riset ini. Meskipun PP No. 5 Tahun 2012 sudah diberlakukan, ditemukan bahwa dokumentasi K3 belum tersedia dan implementasinya di lapangan masih sangat minim.

Distribusi Skor Responden Kontraktor:

  • 72% responden menyatakan “setuju” bahwa kebijakan K3 belum terlaksana secara menyeluruh.
  • 67% responden secara umum menyatakan implementasi K3 masih lemah.
  • Indikator A.3 memperoleh skor tertinggi yaitu 95.56%.

Respon Tim Pengawas/Owner:

  • Tingkat persetujuan terhadap lemahnya implementasi K3 mencapai 63%.
  • Indikator A.3 (ceroboh) dan B.7 (alat tidak dicek) masing-masing mencapai 90%.

Tim Konsultan:

  • “Setuju” sebanyak 57%.
  • Dominasi A.3 (94.29%), B.2 (alat rusak) dan C.3 (tidak disiplin).

Direct Contractor (DC):

  • Tingkat kesetujuan 60%.
  • Indikator A.7 (tidak disiplin pakai APD) mendapat 94%.

Analisis Kritis: Ketika Budaya Kerja Gagal Ditanamkan

Fakta bahwa tingkah laku ceroboh menjadi penyebab utama mengindikasikan bahwa budaya keselamatan belum tertanam kuat. Pelatihan, SOP, dan poster K3 mungkin sudah ada, namun tidak cukup jika tidak ada pengawasan ketat dan sanksi tegas.

Studi ini membuktikan bahwa faktor manusia bukan sekadar kesalahan individu, tapi kegagalan sistemik: tidak adanya pembinaan, minimnya evaluasi berkala, serta absennya reward and punishment yang efektif.

Rekomendasi Mitigasi: Tindakan Tegas, Evaluasi Ketat

Penulis menawarkan berbagai mitigasi risiko yang konkret, antara lain:

Untuk Faktor Manusia (A.3 dan A.7)

  • Teguran dan sanksi tertulis
  • Surat peringatan berjenjang
  • Pemutusan kerja bagi pelanggaran berulang
  • Pembinaan rutin dan pengarahan

Untuk Alat-Alat Kerja (B.2 dan B.7)

  • Pengadaan alat laik pakai
  • Pemeriksaan harian dan mingguan
  • Supervisi langsung
  • Penghapusan alat rusak dari lapangan

Untuk Kondisi Kerja (C.3)

  • Safety patrol mingguan
  • Rapat koordinasi rutin antar divisi
  • SOP kerja tertulis dan disosialisasikan
  • Supervisi kerja ketat di lapangan

Implikasi Industri Konstruksi di Indonesia

Riset ini tidak hanya berdampak lokal, tetapi merefleksikan realita nasional. Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, industri konstruksi masih menjadi penyumbang utama angka kecelakaan kerja di Indonesia. Jika penyebabnya adalah faktor manusia, maka intervensi edukatif dan regulatif menjadi keharusan.

Studi ini seharusnya memicu perubahan struktural:

  • Pemerintah perlu meningkatkan inspeksi K3.
  • Kontraktor wajib memiliki divisi K3 independen.
  • APD dan prosedur keselamatan harus dimonitor bukan hanya saat audit formal.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Jika dibandingkan dengan studi oleh Bayu et al. (2015) yang meneliti proyek PT. Waskita Karya, temuan serupa juga muncul: ketidakdisiplinan dan lemahnya pengawasan menjadi penyebab utama. Namun, penelitian Kristiana dan Slamet memiliki keunggulan dalam mengaitkan hasil riset langsung dengan tindakan mitigasi yang spesifik.

Kesimpulan: Dari Teori ke Aksi Nyata

Penelitian ini menyimpulkan bahwa:

  • Faktor manusia adalah penyebab utama kecelakaan kerja dengan indikator dominan berupa perilaku ceroboh (A.3).
  • Implementasi kebijakan K3 masih lemah, meskipun aturan formal sudah tersedia.
  • Mitigasi harus fokus pada penguatan budaya kerja, pengawasan disiplin, dan sistem evaluasi terukur.

Dengan demikian, untuk menurunkan angka kecelakaan kerja, solusi tidak bisa hanya berhenti pada regulasi. Diperlukan komitmen jangka panjang, pelatihan berkelanjutan, dan sanksi yang tegas agar K3 menjadi budaya, bukan sekadar dokumen formal.

Saran SEO dan Arah Pengembangan Artikel Selanjutnya

Untuk meningkatkan jangkauan artikel ini di mesin pencari:

  • Gunakan kata kunci turunan: “penyebab kecelakaan kerja di proyek konstruksi”, “mitigasi risiko K3”, “contoh studi kasus K3”.
  • Internal linking: arahkan pembaca ke artikel lain terkait APD, manajemen proyek, atau pelatihan keselamatan.
  • Infografik atau visual: ringkasan skor per faktor sangat membantu untuk visualisasi hasil.
  • Studi lanjut: analisis dampak kecelakaan terhadap biaya proyek dan citra perusahaan.

Sumber Artikel Asli

Retna Kristiana & Slamet. 2018. Identifikasi Penyebab Kecelakaan Kerja pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung Tinggi. Jurnal Forum Mekanika, Vol. 7 No. 1. ISSN 2356-1491.

 

Selengkapnya
Mengungkap Akar Masalah Kecelakaan Kerja pada Proyek Konstruksi: Studi Kasus Taman Anggrek Residence

Lean Construction

Mengurai Pemborosan Proyek Konstruksi dengan Lean Construction: Pembelajaran dari Proyek Irigasi Kapuas

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Dalam dunia konstruksi Indonesia, pemborosan atau waste bukanlah hal baru. Mulai dari material yang terbuang, tenaga kerja yang tidak efisien, hingga perencanaan yang buruk, semua berkontribusi pada proyek yang molor, overbudget, bahkan gagal. Berdasarkan data dari Lean Construction Institute, sekitar 57% aktivitas dalam proyek konstruksi masuk dalam kategori waste, sedangkan hanya 10% yang betul-betul menciptakan nilai tambah bagi proyek.

Berangkat dari fakta ini, Oryza Lhara Sari dan Doni Rahman Maulana melakukan penelitian mendalam pada sebuah proyek irigasi di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Mereka mengeksplorasi pendekatan Lean Construction dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab utama terjadinya waste, serta memberikan strategi mitigasi berbasis manajemen risiko yang bisa diterapkan langsung di lapangan.

Lean Construction: Filosofi Efisiensi di Dunia Proyek

Lean Construction merupakan metode manajemen proyek yang diadaptasi dari Lean Manufacturing milik Toyota. Prinsip dasarnya adalah menghilangkan pemborosan yang tidak menambah nilai (non-value added activities) dan mengarahkan semua proses pada efisiensi yang tinggi serta hasil akhir yang maksimal. Dalam praktiknya, ini berarti:

  • Memastikan semua aktivitas menghasilkan nilai.
  • Mengeliminasi proses yang mubazir.
  • Meningkatkan kolaborasi lintas tim.

Pendekatan ini sangat relevan untuk proyek infrastruktur di Indonesia yang kerap mengalami masalah keterlambatan, pembengkakan anggaran, dan rendahnya produktivitas tenaga kerja.

Studi Kasus Proyek X di Kapuas

Penelitian ini menggunakan studi kasus proyek rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi di wilayah kerja Blok A, Kabupaten Kapuas. Peneliti mengidentifikasi sembilan variabel utama dan total 43 indikator penyebab waste. Data dikumpulkan melalui dua tahap kuesioner serta wawancara dengan para ahli konstruksi yang memiliki pengalaman lebih dari lima tahun.

Metode yang digunakan adalah Severity Index (SI), yang mengukur kemungkinan terjadinya risiko (probability) dan dampaknya terhadap proyek (impact). Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar faktor penyebab waste berada pada kategori risiko sedang (moderate).

Faktor-Faktor Utama Penyebab Waste

Di antara puluhan indikator, peneliti menemukan sepuluh faktor yang secara konsisten muncul sebagai penyebab dominan waste di lapangan. Beberapa di antaranya adalah kecelakaan kerja, tidak digunakannya alat keselamatan, ketidaktelitian pekerja, kesalahan dalam pemberian instruksi kerja, serta lokasi proyek yang sulit diakses.

Namun, satu faktor yang menonjol sebagai penyebab utama adalah kesalahan dalam perencanaan proyek. Kesalahan ini menciptakan efek domino yang berdampak pada kualitas pekerjaan, efisiensi waktu, dan besarnya kebutuhan revisi di tengah pelaksanaan proyek.

Respons Risiko: Strategi Transfer yang Realistis

Setelah mengidentifikasi risiko-risiko utama, langkah berikutnya adalah menentukan strategi respons yang paling sesuai. Dalam penelitian ini, hampir seluruh risiko direspons melalui pendekatan transfer, yaitu memindahkan risiko kepada pihak ketiga atau mekanisme eksternal yang lebih mampu menanganinya.

Sebagai contoh, untuk mengatasi risiko kecelakaan kerja dan kelalaian penggunaan alat pelindung diri (APD), para responden menyarankan penguatan sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), termasuk pelatihan rutin, inspeksi lapangan, serta penerapan sistem reward dan punishment.

Sementara itu, untuk risiko pekerja tidak teliti atau tidak efektif, disarankan adanya evaluasi berkala, peningkatan komunikasi antara atasan dan pelaksana, serta penyediaan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi.

Khusus untuk faktor kesalahan perencanaan, yang menjadi akar dari banyak permasalahan, strategi mitigasinya meliputi:

  • Penyesuaian perencanaan dengan kondisi lapangan.
  • Koordinasi teknis yang lebih intensif antara tim perencana dan pelaksana.
  • Perekrutan perencana yang berpengalaman dan ahli di bidangnya.
  • Pemeriksaan ulang (re-check) terhadap hasil perencanaan sebelum masuk tahap eksekusi.

Pendekatan Lean melalui Konsep E-DOWNTIME

Penelitian ini juga relevan dengan konsep pemborosan yang dikenal dengan istilah E-DOWNTIME, yaitu sembilan bentuk waste yang umum terjadi dalam proyek:

  1. Environmental (keselamatan dan dampak lingkungan yang buruk).
  2. Defects (cacat kerja akibat instruksi yang salah).
  3. Overproduction (lembur berlebihan).
  4. Waiting (pekerjaan terhenti akibat cuaca atau ketidaksiapan bahan).
  5. Not utilizing skills (tenaga kerja tidak digunakan sesuai kemampuannya).
  6. Transportation (akses lokasi proyek yang sulit).
  7. Inventory (penumpukan barang yang tidak perlu).
  8. Motion (pergerakan kerja yang tidak efisien).
  9. Excess processing (proses yang terlalu kompleks tanpa nilai tambah).

Hampir semua jenis waste ini muncul di proyek Kapuas, menjadikan pendekatan lean sangat relevan sebagai solusi strategis.

Pendapat Para Ahli Lapangan

Untuk memperkuat analisis, peneliti melakukan wawancara dengan beberapa praktisi. Di antaranya:

  • Daksur Poso Alisahbana, yang menekankan pentingnya toolbox meeting sebelum pekerjaan dimulai, serta perlunya fasilitas kerja yang aman.
  • Ahmad Najib, yang menyarankan sistem kerja bergiliran (shift) untuk menghindari kelelahan dan lembur yang tidak efisien.
  • Ir. Mustakim, yang menekankan evaluasi rutin dan koordinasi antar bagian sebagai kunci efektivitas pelaksanaan.
  • Evan Prihandono, yang menekankan pentingnya penggunaan alat komunikasi di lapangan seperti HT untuk mencegah miskomunikasi.

Masukan-masukan ini menegaskan bahwa risiko tidak cukup hanya diidentifikasi di atas kertas, tapi harus ditangani dengan tindakan nyata dan komunikasi lintas tim yang efektif.

Kritik dan Refleksi Penelitian

Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam memahami dan mengelola pemborosan di proyek konstruksi. Namun ada beberapa hal yang bisa dikembangkan lebih lanjut:

  • Fokus hanya pada satu proyek di satu lokasi menyebabkan generalisasi hasil menjadi terbatas.
  • Tidak dijelaskan secara detail bagaimana strategi transfer risiko diimplementasikan secara kontraktual atau administratif.
  • Belum disertai analisis biaya atau dampak finansial dari masing-masing bentuk waste.

Meski begitu, nilai tambah dari penelitian ini terletak pada kombinasi pendekatan kuantitatif dan wawasan praktis dari para pelaku industri.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi

Hasil penelitian ini sangat aplikatif bagi pengelola proyek konstruksi di Indonesia. Beberapa rekomendasi praktis yang bisa diambil:

  • Terapkan checklist risiko berbasis severity index dalam setiap tahap proyek.
  • Perkuat pelatihan K3 dan evaluasi kerja secara berkala.
  • Gunakan prinsip Lean Construction sebagai landasan SOP proyek.
  • Lakukan toolbox meeting mingguan sebagai forum identifikasi masalah dan solusinya.
  • Bangun sistem komunikasi yang efektif antar bagian dan antar level kerja.

Dengan implementasi yang konsisten, proyek-proyek konstruksi di Indonesia bisa menjadi lebih efisien, aman, dan menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi.

Kesimpulan: Waste Adalah Risiko yang Bisa Dikendalikan

Pemborosan bukan sesuatu yang harus diterima sebagai bagian dari proyek, melainkan risiko nyata yang bisa dikurangi melalui pendekatan manajemen yang tepat. Penelitian ini membuktikan bahwa dengan mengidentifikasi akar penyebab waste, merespon dengan strategi transfer, dan melakukan mitigasi berbasis koordinasi serta kompetensi, proyek konstruksi bisa berjalan lebih efisien dan bernilai tinggi.

Lean Construction, jika diterapkan dengan sungguh-sungguh, bukan hanya mengurangi biaya, tetapi juga meningkatkan budaya kerja dan keselamatan di proyek. Kini saatnya proyek-proyek di Indonesia mulai berinvestasi pada manajemen risiko dan efisiensi operasional demi hasil jangka panjang yang lebih baik.

Sumber Asli

Oryza Lhara Sari, Doni Rahman Maulana. Respon Risiko dan Mitigasi Risiko pada Faktor-Faktor Penyebab Waste Konstruksi dengan Menggunakan Pendekatan Lean Construction (Studi Kasus: Proyek X Kapuas). Jurnal Rab Construction Research, Vol. 8, No. 2, 2023.

 

Selengkapnya
Mengurai Pemborosan Proyek Konstruksi dengan Lean Construction: Pembelajaran dari Proyek Irigasi Kapuas

Manajemen Risiko

Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana: Membangun Ketahanan Fiskal Indonesia dari Ancaman Alam

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Indonesia dijuluki sebagai “supermarket bencana” karena hampir seluruh wilayahnya rawan terhadap sembilan jenis bencana besar seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan letusan gunung api. Akibatnya, negara ini menghadapi ancaman tidak hanya dari segi keselamatan warga, tapi juga dari sisi fiskal. Laporan Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) yang diterbitkan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, pada tahun 2018 (edisi revisi) menyuguhkan strategi konkret untuk menjawab tantangan tersebut.

Dokumen ini tidak hanya menawarkan analisis kebijakan berbasis data historis dan proyeksi, tetapi juga memetakan peta jalan strategis dalam pengelolaan risiko bencana melalui bauran kebijakan fiskal dan instrumen asuransi.

Dampak Ekonomi Bencana di Indonesia: Fakta dan Angka

Selama 2000–2016, rata-rata kerugian ekonomi akibat bencana di Indonesia mencapai Rp22,8 triliun per tahun. Dalam kasus luar biasa seperti gempa dan tsunami Aceh 2004, kerugian melonjak menjadi Rp51,4 triliun. Dalam jangka panjang, kerugian ini akan membesar bila tidak diimbangi oleh kebijakan mitigasi dan pembiayaan risiko yang tepat.

Kerugian fisik dan ekonomi akibat gempa bumi diproyeksikan hingga 2045 bisa mencapai:

  • Rp18,43 triliun di Jawa Barat.
  • Rp13,67 triliun di Aceh.
  • Rp9,26 triliun di Sumatera Barat.

Sementara untuk risiko tsunami, kerugian ekonomi tertinggi berada di Jawa Tengah (hingga Rp3,12 triliun) dan Jawa Timur (hingga Rp3 triliun). Banjir sendiri, sebagai bencana dengan frekuensi paling tinggi, diproyeksikan menyebabkan kerugian lebih dari Rp1 triliun di Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah.

Kesenjangan Pembiayaan: Risiko Tersembunyi yang Mengintai

Pemerintah Indonesia hanya mampu menyediakan dana cadangan rata-rata Rp3,1 triliun per tahun. Padahal kerugian ekonomi tahunan rata-ratanya jauh lebih besar. Bahkan alokasi dana ini hanya mampu menutup sekitar 20% dari total kerugian tahunan. Grafik 6 dalam laporan menunjukkan betapa lebar jurang pembiayaan (financing gap) antara kerugian aktual dan kapasitas fiskal negara.

Jika tidak ada strategi jangka panjang, pembiayaan bencana akan terus bergantung pada APBN, realokasi anggaran, dan bantuan luar negeri, yang berpotensi mengganggu target pembangunan lainnya.

Strategi PARB: Pilar Perlindungan Fiskal dan Sosial

Dokumen PARB merancang strategi dengan lima pendekatan utama:

1. Kombinasi Instrumen Pembiayaan

Pemerintah mengintegrasikan dana APBN/APBD, instrumen kontinjensi, dan asuransi dalam satu kerangka strategi untuk efisiensi maksimal.

2. Penyerapan Risiko oleh Negara

Untuk bencana skala kecil-menengah dan berulang (seperti banjir), pemerintah menggunakan dana dari anggaran nasional dan daerah.

3. Instrumen Kontinjensi

Mekanisme seperti dana siap pakai dan pinjaman siaga dipersiapkan untuk menanggulangi bencana berskala menengah hingga besar.

4. Skema Pooling Fund

Dana kolektif antar pemerintah dan sektor swasta dibentuk untuk memperkuat kesiapan fiskal.

5. Transfer Risiko melalui Asuransi

Asuransi dimanfaatkan untuk melindungi aset-aset penting seperti gedung pemerintah, sekolah, dan rumah sakit dari bencana langka namun berisiko tinggi.

Studi Kasus: Rehabilitasi Aceh dan Java Reconstruction Fund

🔹 BRR Aceh dan Nias (2004–2009)

  • Mobilisasi dana hingga Rp45 triliun dari berbagai sumber.
  • Pembiayaan berasal dari APBN dan hibah internasional.
  • Menjadi model pengelolaan bencana skala besar dengan mekanisme lintas lembaga.

🔹 Java Reconstruction Fund (JRF)

  • Digunakan untuk menangani bencana di Yogyakarta dan letusan Merapi.
  • Mengelola USD94 juta dana hibah.
  • Menerapkan pendekatan berbasis komunitas dalam pembangunan kembali rumah warga (program REKOMPAK).

Dua studi ini memperlihatkan pentingnya kesiapan pembiayaan non-APBN dalam menghadapi bencana besar dan kebutuhan akan fleksibilitas tata kelola fiskal.

Manfaat Strategis PARB: Lebih dari Sekadar Perlindungan

Strategi PARB bukan sekadar mitigasi risiko, tetapi juga:

  • Menjaga keberlanjutan pembangunan nasional.
  • Memperkuat ketahanan fiskal terhadap guncangan besar.
  • Mendorong partisipasi swasta dan daerah dalam perlindungan aset.
  • Mengintegrasikan kebijakan fiskal dengan adaptasi perubahan iklim.

Bahkan strategi ini bisa menjadi motor untuk:

  • Pendalaman pasar asuransi dan keuangan.
  • Reformasi tata kelola APBN agar lebih responsif terhadap kejadian luar biasa.
  • Penguatan kebijakan perlindungan sosial untuk kelompok rentan.

Tantangan dan Peluang Implementasi

Tantangan:

  • Kurangnya regulasi spesifik untuk pembiayaan asuransi bencana.
  • Masih rendahnya kesadaran pemda terhadap strategi transfer risiko.
  • Keterbatasan kapasitas fiskal APBN yang semakin terbebani belanja wajib.

Peluang:

  • Inisiatif pemerintah daerah seperti Padang dan Semarang dalam mengasuransikan BMD (barang milik daerah).
  • Peningkatan teknologi prediksi dan pemetaan risiko.
  • Dukungan internasional dari World Bank dan ADB dalam pengembangan strategi DRFI (Disaster Risk Financing & Insurance).

Kritik Konstruktif dan Rekomendasi

🔎 Kritik:

  • Strategi PARB masih bersifat makro dan membutuhkan roadmap implementatif per sektor.
  • Keterlibatan masyarakat belum diuraikan secara mendalam dalam strategi pembiayaan.
  • Belum tersedia mekanisme evaluasi dan transparansi kinerja dari skema pooling fund dan asuransi publik.

Rekomendasi:

  • Buat indikator keberhasilan jangka pendek dan menengah.
  • Sosialisasikan PARB secara nasional dan lintas sektor.
  • Tingkatkan peran pemerintah daerah dan swasta dalam pendanaan.

Kesimpulan: Saatnya Berinvestasi pada Ketahanan Risiko

Strategi PARB adalah langkah progresif dalam mengurangi risiko fiskal dan membangun bangsa yang lebih tangguh. Ketahanan terhadap bencana tidak hanya membutuhkan alat berat dan bangunan kuat, tetapi juga visi fiskal jangka panjang yang adaptif dan kolaboratif.

Penerapan strategi ini harus menjadi bagian dari mainstream kebijakan fiskal nasional dan tidak terjebak pada respons ad-hoc. Indonesia yang rawan bencana perlu lebih siap—tidak hanya dari sisi logistik, tetapi juga dalam kesiapan fiskal dan institusional.

Sumber Asli :Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana, 2018 (Edisi Revisi).
Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Selengkapnya
Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana: Membangun Ketahanan Fiskal Indonesia dari Ancaman Alam

Manajemen Risiko

Strategi Kolaboratif Manajemen Risiko Proyek Konstruksi: Studi Empiris dari Swedia yang Relevan untuk Dunia Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Proyek konstruksi selalu dikelilingi oleh ketidakpastian. Dari perubahan harga material hingga ketidaktepatan waktu pengiriman, berbagai risiko bisa mengganggu tujuan utama proyek—yakni efisiensi waktu, kualitas hasil, dan kendali biaya. Dalam praktiknya, banyak proyek gagal memenuhi target tersebut karena pendekatan manajemen risiko (risk management/RM) yang bersifat parsial, tidak kolaboratif, dan kaku.

Disertasi doktoral Ekaterina Osipova memberikan kontribusi penting dalam menjawab tantangan ini melalui konsep Joint Risk Management (JRM) atau manajemen risiko bersama. Studi empiris terhadap sembilan proyek konstruksi di Swedia memperlihatkan bahwa pendekatan kolaboratif jauh lebih efektif dibanding pendekatan individualistik tradisional dalam mengelola risiko proyek.

Apa Itu Joint Risk Management (JRM)?

Osipova memperluas definisi JRM sebagai proses manajemen risiko yang melibatkan kolaborasi antar aktor proyek—klien, kontraktor, dan konsultan—sepanjang siklus hidup proyek. JRM tidak hanya melibatkan identifikasi, penilaian, dan respon terhadap risiko, tetapi juga pengembangan kepercayaan, komunikasi terbuka, dan tujuan bersama.

Komponen Inti JRM menurut Osipova:

  • Identifikasi Risiko Bersama
  • Penilaian Risiko Terintegrasi
  • Respons Terkoordinasi terhadap Risiko
  • Komitmen pada Tujuan Proyek, bukan Tujuan Individu

Studi Kasus: Tiga Proyek Konstruksi di Swedia

Osipova melakukan studi longitudinal pada tiga proyek konstruksi nyata:

  1. PharmaLab (2007–2009): Pembangunan fasilitas laboratorium farmasi.
  2. HydroPlant (2008–2009): Rekonstruksi pembangkit listrik tenaga air.
  3. BioLab (2010–2013): Proyek lanjutan PharmaLab dengan tim yang sama.

Temuan Menarik:

  • Semua proyek menggunakan kontrak kolaboratif (general contract + perjanjian kolaborasi).
  • Skema pembayaran: kombinasi fixed price, cost reimbursable, dan bonus.
  • JRM secara langsung berdampak pada pengurangan konflik, peningkatan efisiensi biaya, serta kepuasan seluruh pemangku kepentingan.

Temuan Kunci dan Angka-Angka Penting

Berdasarkan survei kuantitatif terhadap 106 organisasi klien konstruksi (dari 140 yang disurvei, response rate 76%), ditemukan bahwa:

  • 40% variasi penggunaan JRM dapat dijelaskan oleh prosedur pengadaan yang kooperatif.
  • Klien sektor publik lebih aktif menggunakan JRM dibanding sektor swasta.
  • Faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan JRM adalah:
    • Adanya sistem manajemen organik (fleksibel).
    • Strategi menyelesaikan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen.

Mengapa Proyek Gagal Tanpa JRM?

Studi ini mengkritisi pendekatan tradisional yang masih didominasi oleh:

  • Pengelolaan risiko secara individual.
  • Pengadaan berdasarkan harga terendah, bukan nilai kolaboratif.
  • Distribusi risiko yang tidak adil, terutama pada kontraktor/sub-kontraktor.

Contohnya, dalam proyek tanpa JRM:

  • Risiko seringkali hanya dipindahkan, bukan dikelola.
  • Kontraktor menyisipkan “contingency cost” dalam harga penawaran, yang bila terlalu besar bisa membuat proyek boros, bila terlalu kecil bisa menimbulkan kerugian.

Teori Organisasi: Mekanistik vs Organik

Osipova menggunakan teori Burns & Stalker untuk menjelaskan bahwa pendekatan manajemen yang organik (fleksibel) lebih cocok dalam proyek berisiko tinggi, seperti konstruksi. Sebaliknya, pendekatan mekanistik (kaku) cenderung gagal menangani perubahan dinamis di lapangan.

Agency Theory: Tantangan dan Solusi

Menggunakan pendekatan teori agensi, Osipova mengidentifikasi masalah seperti:

  • Konflik tujuan antara pemilik proyek dan kontraktor.
  • Perbedaan persepsi risiko.
  • Asimetri informasi.

Solusi yang ditawarkan:

  • Keterlibatan kontraktor sejak awal (pra-kontrak).
  • Pemilihan mitra berdasarkan kualitas kolaborasi, bukan harga terendah.
  • Penetapan target biaya dan sistem insentif.

Relevansi Global dan Aplikasi di Indonesia

Meskipun berbasis proyek di Swedia, hasil studi ini sangat relevan dengan konteks Indonesia. Banyak proyek pemerintah dan swasta di Indonesia menghadapi masalah serupa: konflik, pembengkakan biaya, keterlambatan, dan rendahnya kepuasan pengguna akhir.

Implementasi JRM berbasis kolaborasi bisa menjadi solusi strategis, terutama pada:

  • Proyek infrastruktur publik.
  • Proyek pertambangan atau energi yang melibatkan banyak pihak.
  • Proyek-proyek dengan dana hibah/internasional, di mana akuntabilitas tinggi dibutuhkan.

Kritik dan Kelebihan Penelitian

Kelebihan:

  • Menggabungkan metode kuantitatif (survei) dan kualitatif (studi kasus).
  • Menawarkan model konseptual dan empiris yang bisa direplikasi.
  • Mengaitkan dengan teori manajemen organisasi dan teori agensi.

Kritik:

  • Fokus hanya pada tiga aktor utama (klien, kontraktor, konsultan), tanpa melibatkan sub-kontraktor atau supplier.
  • Studi hanya dilakukan di Swedia; generalisasi global masih perlu kehati-hatian.

Kesimpulan: Mengubah Cara Kita Melihat Risiko

Disertasi ini menyampaikan pesan kuat: risiko bukan musuh yang harus disingkirkan, tapi tantangan yang harus dihadapi bersama. Kolaborasi, komunikasi, dan kepercayaan bukan sekadar nilai tambah—tetapi syarat keberhasilan proyek.

Jika Anda adalah pengambil keputusan di sektor konstruksi, disertasi ini seharusnya menjadi referensi utama untuk merancang ulang strategi manajemen risiko Anda.

Rekomendasi Praktis untuk Implementasi JRM di Indonesia

  1. Buat pedoman resmi JRM di proyek pemerintah.
  2. Latih aktor proyek untuk mengadopsi pendekatan fleksibel dan kolaboratif.
  3. Masukkan indikator kolaborasi dalam evaluasi tender.
  4. Bangun sistem dokumentasi risiko bersama dan transparan.

Referensi Asli (tanpa link):

Osipova, E. (2013). On Enhancing Joint Risk Management Throughout a Project’s Lifecycle: Empirical Studies of Swedish Construction Projects. Doctoral Thesis, Luleå University of Technology.

Selengkapnya
Strategi Kolaboratif Manajemen Risiko Proyek Konstruksi: Studi Empiris dari Swedia yang Relevan untuk Dunia Global

Manajemen Risiko

Inovasi Kuantifikasi Risiko Non-Probabilistik: Solusi untuk Ketidakpastian dalam Proyek Rekayasa Skala Besar

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Proyek teknik modern—terutama yang berskala besar seperti proyek infrastruktur energi, sistem transportasi, hingga eksplorasi minyak dan gas—sering kali gagal memenuhi tenggat waktu, anggaran, atau spesifikasi teknis. Data dari Project Management Institute menunjukkan bahwa lebih dari 40% proyek gagal mencapai tujuannya, dengan kerugian mencapai USD 122 juta dari setiap USD 1 miliar yang diinvestasikan (PMI, 2016).

Masalah utama adalah lemahnya sistem manajemen risiko saat ini dalam menangani ketidakpastian epistemik—yaitu ketidakpastian yang muncul akibat keterbatasan pengetahuan. Sementara metode probabilistik konvensional efektif untuk ketidakpastian aleatorik (acak), mereka sering gagal menggambarkan informasi yang tidak pasti atau ambigu secara memadai.

Disertasi Tegeltija menjawab kebutuhan mendesak akan pendekatan yang lebih canggih, dengan fokus pada integrasi metode non-probabilistik dalam proses desain sistem rekayasa.

Rangkuman Tujuan dan Struktur Penelitian

Penelitian ini dibangun atas empat pertanyaan utama:

  1. Apa saja tantangan dalam manajemen risiko desain sistem teknik saat ini?
  2. Metode kuantifikasi risiko canggih apa yang tersedia dan belum digunakan secara luas?
  3. Bagaimana metode ini dapat ditransfer ke dalam alat yang aplikatif?
  4. Bagaimana metode tersebut dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam proses manajemen risiko secara keseluruhan?

Untuk menjawabnya, disertasi ini mengkaji dan menguji tiga kelompok metode non-probabilistik:

  • Probabilitas tak tepat (imprecise probabilities)
  • Pendekatan semi-kuantitatif seperti NUSAP
  • Pendekatan berbasis eksplorasi model seperti Robust Decision Making

Studi Kasus: Industri Minyak dan Gas

Salah satu studi kasus paling menarik adalah aplikasi metode imprecise probability pada eksplorasi ladang minyak dan gas. Di sini, data probabilitas mengenai keberadaan cadangan minyak sangat terbatas, sehingga penggunaan probabilitas pasti tidak memadai.

Format Data yang Diuji:

  • Rentang nilai atas dan bawah dari estimasi probabilitas
  • Agregasi penilaian dari banyak ahli (expert elicitation)
  • Kombinasi grafik, radar chart, dan histogram

Hasil menunjukkan bahwa metode non-probabilistik mampu:

  • Menyediakan representasi ketidakpastian yang lebih kredibel
  • Memungkinkan diskusi yang lebih kaya antar pemangku kepentingan
  • Mengurangi bias kognitif dalam pengambilan keputusan teknis

NUSAP dan Representasi Kualitas Informasi

Dalam studi lain, NUSAP (Number, Unit, Spread, Assessment, and Pedigree) digunakan untuk menilai kualitas data geologi yang digunakan dalam estimasi risiko pengeboran.

Temuan Penting:

  • Data Paleocene dan Triassic dianalisis menggunakan skor pedigree.
  • Tabel skor mengungkap bahwa beberapa input kunci memiliki ketidakpastian tinggi akibat asumsi asal data dan kurangnya verifikasi lapangan.
  • Visualisasi seperti risk imaging dan evidence space digunakan untuk menampilkan bias dalam penilaian ahli.

Hal ini menegaskan bahwa pengambilan keputusan berbasis informasi lemah tidak hanya berisiko secara teknis, tetapi juga dapat memengaruhi investasi hingga ratusan juta dolar.

Eksplorasi Uncertainty Mendalam dan Robust Decision Making

Pada tingkat perencanaan jangka panjang, Tegeltija mengintegrasikan pendekatan Robust Decision Making (RDM) untuk menghadapi skenario dengan "deep uncertainty".

Prinsip Kunci RDM:

  • Eksplorasi multi-skenario
  • Fleksibilitas dalam keputusan awal
  • Pemantauan kontinu terhadap parameter eksternal
  • Kemampuan untuk merespons perubahan kondisi dengan cepat

Aplikasi RDM diuji melalui model sintetik yang mensimulasikan berbagai kemungkinan geologis dan permintaan energi, menunjukkan bahwa desain sistem dengan RDM cenderung lebih tahan terhadap perubahan pasar dan kondisi lapangan.

Kerangka Tailoring Manajemen Risiko: Dari Matang ke Terintegrasi

Sebagai kontribusi praktis, Tegeltija mengembangkan kerangka tailoring manajemen risiko berdasarkan tingkat kematangan organisasi (Risk Management Maturity Model, PMI 2002).

Kerangka ini dikaitkan langsung dengan standar ISO 31000 dan diuji pada 6 perusahaan teknik besar, seperti:

  • Perusahaan rekayasa skala besar (Company 1)
  • Perusahaan eksplorasi minyak dan gas (Company 2)
  • Konsultan desain konstruksi (Company 3–5)
  • Perancang sistem energi lepas pantai dan darat (Company 6)

Hasil Evaluasi:

  • Organisasi dengan tingkat kematangan rendah menunjukkan perbaikan signifikan saat menerapkan pendekatan semi-kuantitatif dan imprecise.
  • Perusahaan dengan manajemen risiko matang membutuhkan dukungan eksplorasi model untuk pengambilan keputusan strategis.

Kritik dan Refleksi: Potensi dan Tantangan

Nilai Tambah:

  • Pendekatan non-probabilistik memperkaya model analisis risiko konvensional.
  • Visualisasi dan komunikasi risiko lebih intuitif bagi pemangku kepentingan non-teknis.
  • Dapat diterapkan lintas sektor: energi, konstruksi, transportasi.

Tantangan:

  • Butuh pelatihan teknis untuk menerapkan metode baru.
  • Masih terbatasnya perangkat lunak yang mendukung analisis NUSAP dan exploratory modeling.
  • Resistensi organisasi terhadap perubahan metode kuantifikasi risiko.

Implikasi Industri dan Penelitian Lanjutan

Disertasi ini menyarankan agar setiap perusahaan yang terlibat dalam sistem teknik skala besar mempertimbangkan:

  • Integrasi metode non-probabilistik sejak awal fase desain
  • Penguatan kemampuan representasi epistemic uncertainty
  • Kustomisasi metode berdasarkan maturitas organisasi

Untuk riset selanjutnya, Tegeltija merekomendasikan:

  • Pengembangan perangkat lunak berbasis non-probabilistik
  • Studi longitudinal integrasi metode ini pada proyek real-time
  • Kolaborasi multidisipliner antara matematikawan, insinyur, dan manajer risiko

Kesimpulan: Menuju Manajemen Risiko yang Lebih Adaptif

Penelitian ini memberikan kontribusi mendalam terhadap pergeseran paradigma dari pendekatan probabilistik tunggal ke kerangka kuantifikasi risiko yang lebih fleksibel dan canggih. Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, strategi ini tidak hanya relevan tetapi juga krusial untuk meningkatkan keberhasilan proyek teknik masa depan.

Sumber Asli (tanpa tautan):

Tegeltija, Miroslava. Assessing the Capabilities of Advanced Risk Quantification Methods for Engineering Systems Management. PhD Thesis, Technical University of Denmark, May 2018.

Selengkapnya
Inovasi Kuantifikasi Risiko Non-Probabilistik: Solusi untuk Ketidakpastian dalam Proyek Rekayasa Skala Besar

Industri Kontruksi

Strategi Mitigasi Keterlambatan Proyek Konstruksi Drainase dengan Metode House of Risk

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Proyek konstruksi kerap kali menghadapi tantangan berupa keterlambatan waktu pelaksanaan, yang berdampak langsung pada peningkatan biaya, rusaknya reputasi, hingga penurunan kepercayaan dari pemangku kepentingan. Dalam artikel ilmiah berjudul “Analisis HOR dalam Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Waktu Konstruksi PT. SERTIMA pada Proyek Drainase”, Bagas Pratama dan rekan-rekannya dari Universitas Primagraha mengangkat sebuah studi kasus konkret tentang proyek drainase di Kp. Simenjangan RW 04, Desa Tamiang, Kecamatan Gunung Sari, dan menggunakan pendekatan House of Risk (HOR) untuk mengidentifikasi serta mengurangi risiko keterlambatan yang terjadi dalam proyek tersebut.

Artikel ini tidak hanya menyoroti akar permasalahan dalam proyek tersebut, tetapi juga memetakan risiko secara sistematis, memberikan bobot prioritas terhadap penyebab keterlambatan, serta menawarkan strategi mitigasi yang bisa diterapkan dalam konteks nyata.

Tantangan Umum dalam Proyek Konstruksi Drainase

Proyek drainase sering kali menghadapi kendala teknis dan non-teknis yang kompleks. Dalam kasus PT Serang Timur Abhinaya (PT SERTIMA), peneliti menemukan bahwa berbagai faktor menjadi penyebab keterlambatan, termasuk ketidaksesuaian dokumen awal seperti RAB, cuaca buruk, keterlambatan pengadaan material, kekurangan tenaga kerja, dan komunikasi yang tidak efektif antar tim proyek. Ini mencerminkan bahwa manajemen risiko tidak bisa hanya berfokus pada satu aspek teknis, tetapi juga harus mempertimbangkan faktor-faktor manajerial dan operasional secara menyeluruh.

Penerapan Metode House of Risk (HOR)

Pendekatan House of Risk yang digunakan dalam studi ini terdiri dari dua tahap: HOR-1 untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan agen risiko, serta HOR-2 untuk menentukan strategi mitigasi yang paling efektif berdasarkan analisis risiko sebelumnya. Melalui wawancara mendalam, observasi lapangan, diskusi kelompok terfokus (FGD), serta tinjauan pustaka, penulis berhasil mengumpulkan data kualitatif yang relevan.

HOR-1 digunakan untuk mengukur Aggregate Risk Potential (ARP) dari setiap agen risiko. Proses ini dilakukan dengan menilai tingkat keparahan (severity) dan probabilitas kejadian (occurrence) dari masing-masing risiko serta hubungan korelatifnya. Berdasarkan hasil analisis, faktor-faktor seperti cuaca buruk (A3), kesulitan pengadaan material (A5), kesalahan penjadwalan pekerjaan utama (A13), dan kurangnya kompetensi kontraktor (A15) menjadi agen risiko dengan nilai ARP tertinggi.

Misalnya, risiko cuaca buruk (A3) memiliki nilai severity sebesar 5 dan occurrence sebesar 5, menjadikannya sebagai risiko tertinggi dengan ARP sebesar 225. Ini berarti bahwa cuaca buruk memberikan dampak signifikan terhadap keterlambatan proyek dan membutuhkan perhatian khusus dalam strategi mitigasi.

Studi Kasus: Proyek Drainase Kp. Simenjangan

Dalam proyek drainase yang diteliti, para peneliti mengidentifikasi tujuh kejadian risiko utama yang menyumbang lebih dari 80% potensi keterlambatan proyek berdasarkan analisis diagram Pareto. Risiko-risiko tersebut meliputi:

  1. Cuaca buruk (A3)
  2. Kesulitan pengadaan material (A5)
  3. Kesalahan penjadwalan (A13)
  4. Kompetensi kontraktor/konsultan yang rendah (A15)
  5. Dokumen perencanaan tidak lengkap (A1)
  6. Tenaga kerja keluar di tengah proyek (A8)
  7. Komunikasi yang tidak efektif antara pihak proyek (A11)

Faktor-faktor ini menjadi prioritas utama dalam penyusunan strategi mitigasi di tahap HOR-2.

Strategi Mitigasi Berbasis HOR-2

Setelah agen risiko diprioritaskan berdasarkan ARP, peneliti kemudian merancang tujuh tindakan mitigasi yang diuji efektivitasnya (TEk) berdasarkan total ARP dan kesulitan pelaksanaannya (Dk). Strategi yang terbukti paling efektif berdasarkan nilai TEk tertinggi adalah:

  • PA1: Pengawasan rutin terhadap cuaca, dengan TEk = 675. Strategi ini penting mengingat cuaca buruk menjadi faktor eksternal utama yang tidak dapat dikendalikan namun bisa diantisipasi.
  • PA5: Revisi dokumen perencanaan, TEk = 486. Ini menjawab masalah ketidaksesuaian dokumen yang dapat memperlambat pekerjaan di lapangan.
  • PA2: Persiapan material lebih awal, TEk = 405. Strategi ini menanggapi kesulitan dalam pengadaan dan kehilangan material selama proyek.

Strategi lain seperti pelatihan untuk meningkatkan kompetensi, pelatihan komunikasi tim, penjadwalan ulang pekerjaan, dan perbaikan sistem rekrutmen pekerja juga termasuk dalam daftar mitigasi, meski memiliki nilai efektivitas yang lebih rendah.

Kontribusi Akademik dan Praktis

Salah satu kekuatan dari artikel ini adalah penggunaan metodologi HOR yang sistematis dan berbasis data nyata. Penulis tidak hanya menyajikan teori, tetapi juga menerapkannya langsung pada kasus aktual yang mencerminkan kondisi umum proyek konstruksi di Indonesia. Dengan merangkum dan menyederhanakan pemetaan risiko melalui HOR-1 dan menyusun langkah mitigasi pada HOR-2, artikel ini memberikan panduan yang aplikatif untuk manajer proyek dan pihak-pihak yang terlibat dalam sektor konstruksi.

Selain itu, pendekatan berbasis data dengan memperhitungkan severity, occurrence, dan korelasi risiko membuat hasil analisis menjadi lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Integrasi diagram Pareto dalam menganalisis ARP juga membantu dalam visualisasi dan prioritisasi risiko secara lebih jelas.

Kritik dan Saran Pengembangan

Walaupun artikel ini sangat bermanfaat, terdapat beberapa hal yang bisa menjadi bahan pengembangan lebih lanjut. Pertama, pendekatan HOR yang digunakan terbatas pada satu proyek saja. Akan sangat menarik jika pendekatan ini diuji pada berbagai jenis proyek konstruksi lain—seperti proyek gedung bertingkat, jembatan, atau jalan raya—untuk melihat apakah pola risikonya berbeda. Kedua, integrasi teknologi seperti BIM (Building Information Modeling) dalam proses mitigasi belum dibahas. Menggabungkan manajemen risiko dengan teknologi digital bisa menjadi langkah signifikan dalam efisiensi proyek modern.

Selanjutnya, aspek keberlanjutan juga belum terlalu banyak disorot. Risiko-risiko seperti limbah konstruksi atau dampak lingkungan lain yang sering kali muncul dalam proyek drainase bisa menjadi tambahan penting dalam kajian risiko proyek ke depan.

Relevansi Terhadap Tren Industri Konstruksi

Industri konstruksi saat ini tengah didorong untuk semakin adaptif dan responsif terhadap risiko, terutama dalam kondisi pasca-pandemi dan menghadapi ketidakpastian iklim. Oleh karena itu, pendekatan manajemen risiko berbasis HOR sangat relevan untuk memastikan keberlangsungan proyek tanpa mengalami pembengkakan biaya atau ketidakefisienan.

Peningkatan adopsi metode proaktif dalam identifikasi risiko seperti HOR juga dapat menjadi acuan dalam sertifikasi proyek dan audit kinerja kontraktor di masa depan. Ini sekaligus menjadikan artikel ini sebagai referensi strategis bagi pengambil kebijakan, pelaku industri, dan akademisi.

Secara keseluruhan, artikel ini merupakan kontribusi yang berarti dalam literatur manajemen proyek, khususnya di bidang konstruksi infrastruktur. Dengan pendekatan HOR, tim peneliti berhasil mengidentifikasi risiko utama dalam proyek drainase PT SERTIMA dan mengembangkan strategi mitigasi yang realistis, aplikatif, dan berbasis data. Studi ini tidak hanya menjelaskan permasalahan, tetapi juga menawarkan solusi terstruktur yang bisa direplikasi pada proyek-proyek lain di masa mendatang. Hal ini tentu menjadi langkah maju dalam penguatan praktik manajemen risiko di sektor konstruksi nasional.

Sumber artikel asli:
Bagas Pratama, Ilham Maulana, Muhamad Hilal Maulana, Zacky Irchamny. “Analisis HOR dalam Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Waktu Konstruksi PT. SERTIMA pada Proyek Drainase.” Jurnal Manuhara, Vol. 3 No. 1, Tahun 2025, Hal. 343–354.

 

Selengkapnya
Strategi Mitigasi Keterlambatan Proyek Konstruksi Drainase dengan Metode House of Risk
« First Previous page 359 of 1.345 Next Last »