Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana: Membangun Ketahanan Fiskal Indonesia dari Ancaman Alam

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

03 Juni 2025, 14.37

pixabay.com

Indonesia dijuluki sebagai “supermarket bencana” karena hampir seluruh wilayahnya rawan terhadap sembilan jenis bencana besar seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan letusan gunung api. Akibatnya, negara ini menghadapi ancaman tidak hanya dari segi keselamatan warga, tapi juga dari sisi fiskal. Laporan Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) yang diterbitkan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, pada tahun 2018 (edisi revisi) menyuguhkan strategi konkret untuk menjawab tantangan tersebut.

Dokumen ini tidak hanya menawarkan analisis kebijakan berbasis data historis dan proyeksi, tetapi juga memetakan peta jalan strategis dalam pengelolaan risiko bencana melalui bauran kebijakan fiskal dan instrumen asuransi.

Dampak Ekonomi Bencana di Indonesia: Fakta dan Angka

Selama 2000–2016, rata-rata kerugian ekonomi akibat bencana di Indonesia mencapai Rp22,8 triliun per tahun. Dalam kasus luar biasa seperti gempa dan tsunami Aceh 2004, kerugian melonjak menjadi Rp51,4 triliun. Dalam jangka panjang, kerugian ini akan membesar bila tidak diimbangi oleh kebijakan mitigasi dan pembiayaan risiko yang tepat.

Kerugian fisik dan ekonomi akibat gempa bumi diproyeksikan hingga 2045 bisa mencapai:

  • Rp18,43 triliun di Jawa Barat.
  • Rp13,67 triliun di Aceh.
  • Rp9,26 triliun di Sumatera Barat.

Sementara untuk risiko tsunami, kerugian ekonomi tertinggi berada di Jawa Tengah (hingga Rp3,12 triliun) dan Jawa Timur (hingga Rp3 triliun). Banjir sendiri, sebagai bencana dengan frekuensi paling tinggi, diproyeksikan menyebabkan kerugian lebih dari Rp1 triliun di Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah.

Kesenjangan Pembiayaan: Risiko Tersembunyi yang Mengintai

Pemerintah Indonesia hanya mampu menyediakan dana cadangan rata-rata Rp3,1 triliun per tahun. Padahal kerugian ekonomi tahunan rata-ratanya jauh lebih besar. Bahkan alokasi dana ini hanya mampu menutup sekitar 20% dari total kerugian tahunan. Grafik 6 dalam laporan menunjukkan betapa lebar jurang pembiayaan (financing gap) antara kerugian aktual dan kapasitas fiskal negara.

Jika tidak ada strategi jangka panjang, pembiayaan bencana akan terus bergantung pada APBN, realokasi anggaran, dan bantuan luar negeri, yang berpotensi mengganggu target pembangunan lainnya.

Strategi PARB: Pilar Perlindungan Fiskal dan Sosial

Dokumen PARB merancang strategi dengan lima pendekatan utama:

1. Kombinasi Instrumen Pembiayaan

Pemerintah mengintegrasikan dana APBN/APBD, instrumen kontinjensi, dan asuransi dalam satu kerangka strategi untuk efisiensi maksimal.

2. Penyerapan Risiko oleh Negara

Untuk bencana skala kecil-menengah dan berulang (seperti banjir), pemerintah menggunakan dana dari anggaran nasional dan daerah.

3. Instrumen Kontinjensi

Mekanisme seperti dana siap pakai dan pinjaman siaga dipersiapkan untuk menanggulangi bencana berskala menengah hingga besar.

4. Skema Pooling Fund

Dana kolektif antar pemerintah dan sektor swasta dibentuk untuk memperkuat kesiapan fiskal.

5. Transfer Risiko melalui Asuransi

Asuransi dimanfaatkan untuk melindungi aset-aset penting seperti gedung pemerintah, sekolah, dan rumah sakit dari bencana langka namun berisiko tinggi.

Studi Kasus: Rehabilitasi Aceh dan Java Reconstruction Fund

🔹 BRR Aceh dan Nias (2004–2009)

  • Mobilisasi dana hingga Rp45 triliun dari berbagai sumber.
  • Pembiayaan berasal dari APBN dan hibah internasional.
  • Menjadi model pengelolaan bencana skala besar dengan mekanisme lintas lembaga.

🔹 Java Reconstruction Fund (JRF)

  • Digunakan untuk menangani bencana di Yogyakarta dan letusan Merapi.
  • Mengelola USD94 juta dana hibah.
  • Menerapkan pendekatan berbasis komunitas dalam pembangunan kembali rumah warga (program REKOMPAK).

Dua studi ini memperlihatkan pentingnya kesiapan pembiayaan non-APBN dalam menghadapi bencana besar dan kebutuhan akan fleksibilitas tata kelola fiskal.

Manfaat Strategis PARB: Lebih dari Sekadar Perlindungan

Strategi PARB bukan sekadar mitigasi risiko, tetapi juga:

  • Menjaga keberlanjutan pembangunan nasional.
  • Memperkuat ketahanan fiskal terhadap guncangan besar.
  • Mendorong partisipasi swasta dan daerah dalam perlindungan aset.
  • Mengintegrasikan kebijakan fiskal dengan adaptasi perubahan iklim.

Bahkan strategi ini bisa menjadi motor untuk:

  • Pendalaman pasar asuransi dan keuangan.
  • Reformasi tata kelola APBN agar lebih responsif terhadap kejadian luar biasa.
  • Penguatan kebijakan perlindungan sosial untuk kelompok rentan.

Tantangan dan Peluang Implementasi

Tantangan:

  • Kurangnya regulasi spesifik untuk pembiayaan asuransi bencana.
  • Masih rendahnya kesadaran pemda terhadap strategi transfer risiko.
  • Keterbatasan kapasitas fiskal APBN yang semakin terbebani belanja wajib.

Peluang:

  • Inisiatif pemerintah daerah seperti Padang dan Semarang dalam mengasuransikan BMD (barang milik daerah).
  • Peningkatan teknologi prediksi dan pemetaan risiko.
  • Dukungan internasional dari World Bank dan ADB dalam pengembangan strategi DRFI (Disaster Risk Financing & Insurance).

Kritik Konstruktif dan Rekomendasi

🔎 Kritik:

  • Strategi PARB masih bersifat makro dan membutuhkan roadmap implementatif per sektor.
  • Keterlibatan masyarakat belum diuraikan secara mendalam dalam strategi pembiayaan.
  • Belum tersedia mekanisme evaluasi dan transparansi kinerja dari skema pooling fund dan asuransi publik.

Rekomendasi:

  • Buat indikator keberhasilan jangka pendek dan menengah.
  • Sosialisasikan PARB secara nasional dan lintas sektor.
  • Tingkatkan peran pemerintah daerah dan swasta dalam pendanaan.

Kesimpulan: Saatnya Berinvestasi pada Ketahanan Risiko

Strategi PARB adalah langkah progresif dalam mengurangi risiko fiskal dan membangun bangsa yang lebih tangguh. Ketahanan terhadap bencana tidak hanya membutuhkan alat berat dan bangunan kuat, tetapi juga visi fiskal jangka panjang yang adaptif dan kolaboratif.

Penerapan strategi ini harus menjadi bagian dari mainstream kebijakan fiskal nasional dan tidak terjebak pada respons ad-hoc. Indonesia yang rawan bencana perlu lebih siap—tidak hanya dari sisi logistik, tetapi juga dalam kesiapan fiskal dan institusional.

Sumber Asli :Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana, 2018 (Edisi Revisi).
Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.