Strategi Kolaboratif Manajemen Risiko Proyek Konstruksi: Studi Empiris dari Swedia yang Relevan untuk Dunia Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

03 Juni 2025, 14.31

pixabay.com

Proyek konstruksi selalu dikelilingi oleh ketidakpastian. Dari perubahan harga material hingga ketidaktepatan waktu pengiriman, berbagai risiko bisa mengganggu tujuan utama proyek—yakni efisiensi waktu, kualitas hasil, dan kendali biaya. Dalam praktiknya, banyak proyek gagal memenuhi target tersebut karena pendekatan manajemen risiko (risk management/RM) yang bersifat parsial, tidak kolaboratif, dan kaku.

Disertasi doktoral Ekaterina Osipova memberikan kontribusi penting dalam menjawab tantangan ini melalui konsep Joint Risk Management (JRM) atau manajemen risiko bersama. Studi empiris terhadap sembilan proyek konstruksi di Swedia memperlihatkan bahwa pendekatan kolaboratif jauh lebih efektif dibanding pendekatan individualistik tradisional dalam mengelola risiko proyek.

Apa Itu Joint Risk Management (JRM)?

Osipova memperluas definisi JRM sebagai proses manajemen risiko yang melibatkan kolaborasi antar aktor proyek—klien, kontraktor, dan konsultan—sepanjang siklus hidup proyek. JRM tidak hanya melibatkan identifikasi, penilaian, dan respon terhadap risiko, tetapi juga pengembangan kepercayaan, komunikasi terbuka, dan tujuan bersama.

Komponen Inti JRM menurut Osipova:

  • Identifikasi Risiko Bersama
  • Penilaian Risiko Terintegrasi
  • Respons Terkoordinasi terhadap Risiko
  • Komitmen pada Tujuan Proyek, bukan Tujuan Individu

Studi Kasus: Tiga Proyek Konstruksi di Swedia

Osipova melakukan studi longitudinal pada tiga proyek konstruksi nyata:

  1. PharmaLab (2007–2009): Pembangunan fasilitas laboratorium farmasi.
  2. HydroPlant (2008–2009): Rekonstruksi pembangkit listrik tenaga air.
  3. BioLab (2010–2013): Proyek lanjutan PharmaLab dengan tim yang sama.

Temuan Menarik:

  • Semua proyek menggunakan kontrak kolaboratif (general contract + perjanjian kolaborasi).
  • Skema pembayaran: kombinasi fixed price, cost reimbursable, dan bonus.
  • JRM secara langsung berdampak pada pengurangan konflik, peningkatan efisiensi biaya, serta kepuasan seluruh pemangku kepentingan.

Temuan Kunci dan Angka-Angka Penting

Berdasarkan survei kuantitatif terhadap 106 organisasi klien konstruksi (dari 140 yang disurvei, response rate 76%), ditemukan bahwa:

  • 40% variasi penggunaan JRM dapat dijelaskan oleh prosedur pengadaan yang kooperatif.
  • Klien sektor publik lebih aktif menggunakan JRM dibanding sektor swasta.
  • Faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan JRM adalah:
    • Adanya sistem manajemen organik (fleksibel).
    • Strategi menyelesaikan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen.

Mengapa Proyek Gagal Tanpa JRM?

Studi ini mengkritisi pendekatan tradisional yang masih didominasi oleh:

  • Pengelolaan risiko secara individual.
  • Pengadaan berdasarkan harga terendah, bukan nilai kolaboratif.
  • Distribusi risiko yang tidak adil, terutama pada kontraktor/sub-kontraktor.

Contohnya, dalam proyek tanpa JRM:

  • Risiko seringkali hanya dipindahkan, bukan dikelola.
  • Kontraktor menyisipkan “contingency cost” dalam harga penawaran, yang bila terlalu besar bisa membuat proyek boros, bila terlalu kecil bisa menimbulkan kerugian.

Teori Organisasi: Mekanistik vs Organik

Osipova menggunakan teori Burns & Stalker untuk menjelaskan bahwa pendekatan manajemen yang organik (fleksibel) lebih cocok dalam proyek berisiko tinggi, seperti konstruksi. Sebaliknya, pendekatan mekanistik (kaku) cenderung gagal menangani perubahan dinamis di lapangan.

Agency Theory: Tantangan dan Solusi

Menggunakan pendekatan teori agensi, Osipova mengidentifikasi masalah seperti:

  • Konflik tujuan antara pemilik proyek dan kontraktor.
  • Perbedaan persepsi risiko.
  • Asimetri informasi.

Solusi yang ditawarkan:

  • Keterlibatan kontraktor sejak awal (pra-kontrak).
  • Pemilihan mitra berdasarkan kualitas kolaborasi, bukan harga terendah.
  • Penetapan target biaya dan sistem insentif.

Relevansi Global dan Aplikasi di Indonesia

Meskipun berbasis proyek di Swedia, hasil studi ini sangat relevan dengan konteks Indonesia. Banyak proyek pemerintah dan swasta di Indonesia menghadapi masalah serupa: konflik, pembengkakan biaya, keterlambatan, dan rendahnya kepuasan pengguna akhir.

Implementasi JRM berbasis kolaborasi bisa menjadi solusi strategis, terutama pada:

  • Proyek infrastruktur publik.
  • Proyek pertambangan atau energi yang melibatkan banyak pihak.
  • Proyek-proyek dengan dana hibah/internasional, di mana akuntabilitas tinggi dibutuhkan.

Kritik dan Kelebihan Penelitian

Kelebihan:

  • Menggabungkan metode kuantitatif (survei) dan kualitatif (studi kasus).
  • Menawarkan model konseptual dan empiris yang bisa direplikasi.
  • Mengaitkan dengan teori manajemen organisasi dan teori agensi.

Kritik:

  • Fokus hanya pada tiga aktor utama (klien, kontraktor, konsultan), tanpa melibatkan sub-kontraktor atau supplier.
  • Studi hanya dilakukan di Swedia; generalisasi global masih perlu kehati-hatian.

Kesimpulan: Mengubah Cara Kita Melihat Risiko

Disertasi ini menyampaikan pesan kuat: risiko bukan musuh yang harus disingkirkan, tapi tantangan yang harus dihadapi bersama. Kolaborasi, komunikasi, dan kepercayaan bukan sekadar nilai tambah—tetapi syarat keberhasilan proyek.

Jika Anda adalah pengambil keputusan di sektor konstruksi, disertasi ini seharusnya menjadi referensi utama untuk merancang ulang strategi manajemen risiko Anda.

Rekomendasi Praktis untuk Implementasi JRM di Indonesia

  1. Buat pedoman resmi JRM di proyek pemerintah.
  2. Latih aktor proyek untuk mengadopsi pendekatan fleksibel dan kolaboratif.
  3. Masukkan indikator kolaborasi dalam evaluasi tender.
  4. Bangun sistem dokumentasi risiko bersama dan transparan.

Referensi Asli (tanpa link):

Osipova, E. (2013). On Enhancing Joint Risk Management Throughout a Project’s Lifecycle: Empirical Studies of Swedish Construction Projects. Doctoral Thesis, Luleå University of Technology.