Sustainable Practices
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Industri konstruksi telah lama dikenal boros energi, menghasilkan emisi karbon tinggi, dan kerap menunjukkan performa yang tidak efisien dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, penting bagi pelaku industri untuk menerapkan prinsip lean guna memangkas limbah (waste), meningkatkan nilai proyek, dan mendorong kolaborasi antar pemangku kepentingan. Penelitian ini kemudian memperluas gagasan tersebut dengan menempatkan LC sebagai strategi utama dalam merespons tuntutan keberlanjutan (sustainability), yang mencakup dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Salah satu kontribusi utama artikel ini adalah identifikasi tujuh tren utama CSCM yang diprediksi akan memainkan peran penting dalam beberapa tahun mendatang: integrasi rantai pasok, desain berkelanjutan, transformasi digital, pengadaan berkelanjutan, logistik offsite yang lebih bersih, pelaksanaan onsite yang lebih bersih, serta keselamatan dan keberlanjutan sosial. Dari ketujuh tren ini, integrasi rantai pasok muncul sebagai tren paling vital dengan bobot tertinggi dalam hasil evaluasi para ahli. Hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi lintas organisasi dan komunikasi yang intensif akan menjadi fondasi utama untuk mencapai keberlanjutan proyek secara sistemik.
Dari sisi alat-alat lean yang dinilai, penelitian ini mengevaluasi 30 teknik LC yang dikelompokkan ke dalam empat kategori: desain & rekayasa, perencanaan & kontrol proyek, manajemen pelaksanaan konstruksi di lapangan, serta manajemen keselamatan & kesehatan. Di antara semuanya, alat seperti Virtual Design Construction (VDC), Integrated Project Delivery (IPD), Concurrent Engineering (CE), Last Planner System (LPS), Daily Huddle Meetings (DC/HM), dan Teamwork & Partnering dinilai sangat penting karena berkontribusi besar dalam mendukung berbagai tren CSCM.
Sebagai contoh konkret, VDC (yang biasanya terwujud dalam bentuk Building Information Modeling atau BIM) mampu memfasilitasi simulasi desain, meminimalkan kesalahan perencanaan, serta mengintegrasikan masukan dari berbagai pemangku kepentingan secara digital. Ini sangat bermanfaat dalam mendukung desain berkelanjutan serta transformasi digital proyek. Selain itu, IPD memungkinkan penyatuan tujuan antara pemilik proyek, kontraktor, dan desainer sejak tahap awal. Alat ini tidak hanya memperkuat kolaborasi, tetapi juga meningkatkan efisiensi dengan mengurangi waktu pengerjaan ulang serta konflik desain yang sering terjadi di lapangan.
Data empiris dalam studi ini diperoleh dari 28 pakar industri (20 praktisi dan 8 akademisi) di Kanada yang memiliki pengalaman lebih dari empat tahun di bidang LC dan CSCM. Para partisipan melalui lima putaran diskusi yang difasilitasi dengan pendekatan Delphi, dan selanjutnya, dilakukan pemodelan fuzzy AHP untuk memberikan bobot serta peringkat pada masing-masing alat LC terhadap tujuh tren utama yang telah diidentifikasi. Proses ini sangat penting untuk mengurangi bias subjektif dan meningkatkan akurasi hasil keputusan kolektif.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa LPS adalah alat yang paling berpengaruh dalam hampir seluruh tren, karena kemampuannya mengintegrasikan perencanaan jangka panjang, menengah, hingga mingguan. DC/HM juga mendapatkan posisi penting karena kemampuannya meningkatkan komunikasi dan pemecahan masalah secara kolaboratif antar tim proyek. Dalam konteks pelaksanaan konstruksi onsite, metode seperti 5S, Gemba Walk, dan First-Run Study (FRS) diakui sangat efektif dalam menciptakan lingkungan kerja yang bersih, aman, dan produktif. Alat-alat ini juga terbukti mampu mendukung upaya keberlanjutan sosial seperti kesehatan pekerja dan keselamatan kerja.
Studi kasus yang ditampilkan tidak secara eksplisit berupa satu proyek, melainkan agregasi dari persepsi kolektif para ahli yang memberikan penilaian terhadap efektivitas alat-alat LC dalam berbagai tren keberlanjutan. Namun, dari analisis sensitivitas yang dilakukan peneliti, ditemukan bahwa perubahan bobot signifikan terhadap tren tertentu (misalnya tren digitalisasi atau tren keselamatan sosial) tidak banyak mengubah peringkat alat-alat LC yang dinilai penting. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa alat memiliki kekuatan yang stabil dan dapat diandalkan meskipun arah strategis perusahaan berubah.
Salah satu hasil penting dari analisis sensitivitas adalah konfirmasi terhadap konsistensi dan ketahanan (robustness) dari 21 alat LC yang tetap berada di atas ambang batas relevansi dalam semua skenario perubahan bobot. Ini menunjukkan bahwa alat-alat tersebut merupakan pilar penting dalam implementasi LC yang mendukung keberlanjutan, dan layak dijadikan standar praktik dalam industri konstruksi yang ingin bertransformasi menuju keberlanjutan.
Dari sisi kontribusi teoretis, artikel ini memperkaya literatur dengan menyediakan kerangka kerja konseptual yang mengintegrasikan alat LC dalam kerangka CSCM berkelanjutan. Kerangka ini tidak hanya menampilkan daftar alat, tetapi juga mengaitkannya secara sistematis dengan tren-tren strategis yang telah teridentifikasi. Kerangka ini berpotensi menjadi panduan implementatif bagi pelaku industri yang ingin memetakan penggunaan alat LC berdasarkan prioritas keberlanjutan dalam proyek mereka.
Secara kritis, meskipun artikel ini berhasil membangun pendekatan kuantitatif yang kuat dalam mengevaluasi alat-alat LC, ia masih menyisakan ruang untuk eksplorasi lebih lanjut, terutama dalam penerapan studi kasus nyata yang lebih mendalam. Sebuah perbandingan antara proyek yang menggunakan kombinasi alat-alat LC dengan proyek yang tidak menggunakan pendekatan lean akan memperkuat validitas hasil dan menawarkan dimensi praktis yang lebih konkret. Selain itu, karena studi ini berfokus pada konteks Kanada, akan sangat menarik jika pendekatan serupa diuji di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan serupa dalam keberlanjutan konstruksi namun dengan konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda.
Dalam perspektif industri global, penelitian ini menegaskan bahwa integrasi LC dan CSCM merupakan kebutuhan mendesak bagi sektor konstruksi yang ingin tetap kompetitif dan bertanggung jawab secara lingkungan. Tren digitalisasi, pengadaan hijau, dan pentingnya manajemen keselamatan kerja bukan hanya relevan di Kanada, tetapi juga menjadi bagian dari diskursus internasional yang lebih luas tentang pembangunan berkelanjutan. Maka dari itu, artikel ini patut dibaca tidak hanya oleh akademisi, tetapi juga oleh manajer proyek, konsultan, dan pembuat kebijakan yang tertarik mendorong transformasi industri konstruksi.
Sebagai penutup, artikel ini adalah contoh terbaik dari penelitian interdisipliner yang menggabungkan teknik pengambilan keputusan multi-kriteria, partisipasi pakar, dan visi strategis dalam mendorong keberlanjutan industri. Integrasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam menilai kontribusi alat LC menjadikan artikel ini relevan, aplikatif, dan bernilai tinggi dalam literatur manajemen konstruksi. Ia menyodorkan peta jalan strategis untuk industri konstruksi yang ingin tidak hanya membangun lebih cepat dan efisien, tetapi juga lebih bijak, lebih hijau, dan lebih manusiawi.
Sumber asli artikel:
Le, Phuoc-Luong & Nguyen, Duy-Tan. “Exploring lean practices’ importance in sustainable supply chain management trends: An empirical study in Canadian construction industry.”
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan bendungan menjadi salah satu proyek infrastruktur paling strategis dan kompleks di Indonesia. Bendungan tidak hanya berfungsi sebagai penopang irigasi dan penyedia air baku, tetapi juga penting untuk pengendalian banjir, pembangkit listrik, hingga pelestarian ekosistem. Namun, kompleksitas teknis yang tinggi, lamanya waktu konstruksi, serta tingginya biaya investasi menjadikan proyek-proyek bendungan penuh tantangan. Melalui studi literatur berjudul “Building Information Modeling (BIM) for Dams—Literature Review and Future Needs” oleh Catur Ayu Wahyuningrum dan rekan-rekan, kita diajak menelusuri sejauh mana BIM dapat menjawab tantangan tersebut dan menjadi solusi kunci dalam manajemen proyek bendungan masa depan di Indonesia.
Kompleksitas Proyek Bendungan dan Kebutuhan Teknologi
Pembangunan bendungan tidak hanya melibatkan elemen arsitektur, teknik sipil, dan konstruksi (AEC), tetapi juga sangat bergantung pada faktor geoteknik dan topografi. Di fase perencanaan, tantangan muncul dari analisis hidrologi dan struktur. Pada tahap konstruksi, kesulitan datang dari pelaksanaan pekerjaan tanah, pekerjaan beton besar, serta integrasi sistem mekanikal dan elektrikal. Bahkan setelah bendungan beroperasi, proses pemeliharaan dan pengawasan membutuhkan akurasi data dan ketepatan manajemen aset. BIM menjadi teknologi yang menjanjikan untuk mengatasi tantangan ini karena mampu menyatukan seluruh data dan informasi proyek dalam satu model digital tiga dimensi yang dapat diperbarui secara real time.
Posisi BIM dalam Proyek Infrastruktur dan Regulasi Nasional
Meskipun BIM sudah diterapkan secara luas di proyek gedung di Indonesia, adopsinya di proyek infrastruktur seperti bendungan masih tergolong baru dan belum diwajibkan secara nasional. Dalam Permen PUPR No. 22 Tahun 2018, BIM baru diwajibkan untuk bangunan negara non-sederhana dengan luas lebih dari 2.000 m2 dan lebih dari dua lantai. Namun demikian, beberapa inisiatif telah muncul. Direktorat Jenderal Cipta Karya dan Direktorat Jenderal Bina Marga telah menerapkan BIM di proyek-proyek tertentu dan bahkan tengah mempersiapkan kebijakan wajib BIM untuk infrastruktur sejak 2020.
Implementasi Global dan Pembelajaran dari Negara Lain
Negara-negara seperti Korea Selatan telah menggunakan BIM secara aktif dalam desain bendungan, simulasi pembangunan, serta manajemen informasi proyek. Contohnya, BIM diterapkan untuk perencanaan proses, visualisasi kerja lapangan, hingga publikasi informasi kepada publik. Hal ini menunjukkan bahwa potensi BIM dalam mendukung keberhasilan proyek bendungan bukan sekadar teori, tetapi telah terbukti secara praktis.
Dimensi BIM dalam Proyek Bendungan
BIM dalam proyek infrastruktur memiliki banyak dimensi. Dimensi 3D (visualisasi), 4D (penjadwalan), 5D (biaya), 6D (efisiensi energi dan keberlanjutan), hingga 7D (manajemen fasilitas dan aset) semuanya relevan untuk diterapkan dalam proyek bendungan. Studi ini menunjukkan bahwa BIM dapat membantu perencanaan waktu konstruksi lebih baik, mengidentifikasi potensi perubahan desain, serta memperkirakan biaya secara lebih akurat.
Data dari McGraw Hill Construction (2014) menunjukkan bahwa 90% perencana proyek dan 70% kontraktor di Inggris telah menggunakan BIM tanpa permintaan dari pemilik proyek. Bahkan, 55% pemilik proyek infrastruktur di tahun 2016 secara aktif menggunakan jasa konsultan BIM. Sementara itu, di Indonesia, hasil survei Eadie dkk. menunjukkan bahwa penerapan BIM baru 55% pada tahap desain dan hanya 9% pada tahap operasi dan pemeliharaan.
Studi Kasus dan Simulasi Kelayakan
Meskipun studi ini tidak mengambil satu proyek bendungan tertentu sebagai studi kasus, ia mengompilasi berbagai literatur dan studi empiris yang mencerminkan bagaimana BIM dapat diterapkan pada seluruh siklus hidup bendungan. Salah satu data yang diangkat berasal dari World Commission on Dams (2001), yang mencatat bahwa biaya pembangunan tiga bendungan besar bisa mencapai USD 6 miliar dengan waktu konstruksi 4–6 tahun. Mengingat tingginya biaya dan lamanya durasi proyek, penerapan BIM dapat memberikan nilai tambah berupa koordinasi antar pemangku kepentingan dan kontrol biaya secara terintegrasi.
Studi Hidayah dkk. (2018) menunjukkan bahwa struktur pekerjaan utama bendungan mencakup pekerjaan dewatering, urugan tanah, pelindung, pengeboran dan grouting, elevasi puncak bendungan, drainase, dan sistem instrumen. Setiap tahapan ini memiliki potensi besar terhadap perubahan kondisi lapangan, sehingga BIM dapat membantu mengelola risiko tersebut.
Manfaat dan Hambatan Implementasi
Secara teknis, BIM memiliki banyak keunggulan. Di antaranya adalah peningkatan kualitas desain, pengurangan kesalahan konstruksi, efisiensi jadwal pelaksanaan, hingga pengelolaan aset setelah proyek selesai. Teknologi ini juga memungkinkan visualisasi 3D secara akurat yang membantu pemangku kepentingan memahami desain dengan lebih baik. Selain itu, BIM memfasilitasi kolaborasi antar tim lintas disiplin dan mempermudah proses audit dan pelaporan.
Namun, implementasi BIM dalam proyek bendungan di Indonesia masih menghadapi sejumlah hambatan utama. Pertama, kurangnya SDM yang memiliki kompetensi dalam menggunakan BIM, terutama di tingkat perencana dan pengawas proyek pemerintah. Kedua, belum adanya regulasi yang mewajibkan penggunaan BIM secara menyeluruh untuk proyek bendungan. Ketiga, investasi awal yang tinggi untuk perangkat lunak dan pelatihan masih menjadi tantangan bagi banyak instansi dan kontraktor.
Rekomendasi dan Kebutuhan Masa Depan
Penelitian ini menyarankan agar penerapan BIM dimulai dari tahap perencanaan oleh konsultan perencana dan diikuti oleh kontraktor pelaksana pada tahap konstruksi. Dalam proses lelang, dokumen DED berbasis BIM dapat menjadi acuan utama. Setelah proyek selesai, shop drawing dalam format as-built BIM dapat diserahkan kembali kepada pemilik sebagai basis manajemen aset jangka panjang. Pada fase operasi dan pemeliharaan, BIM akan berfungsi sebagai sistem manajemen aset yang memuat seluruh riwayat perawatan, lokasi komponen penting, serta estimasi anggaran rehabilitasi. Dengan demikian, efisiensi biaya dan keberlanjutan proyek dapat ditingkatkan.
Lebih jauh, untuk mendukung implementasi BIM secara menyeluruh, pemerintah perlu menyusun regulasi yang mengatur penggunaan BIM pada proyek-proyek strategis seperti bendungan. Selain itu, investasi dalam pelatihan SDM dan penyediaan perangkat lunak harus dilakukan secara sistematis. Kolaborasi antara kementerian, universitas, dan industri konstruksi juga perlu ditingkatkan untuk mengembangkan kurikulum dan riset berbasis BIM khusus untuk proyek infrastruktur.
Kesimpulan
Artikel ini memberikan gambaran komprehensif mengenai pentingnya penerapan Building Information Modeling (BIM) dalam proyek bendungan di Indonesia. Dengan segala kompleksitas teknis, biaya tinggi, dan risiko besar yang melekat pada proyek jenis ini, BIM menawarkan solusi digital yang memungkinkan koordinasi lintas disiplin, efisiensi perencanaan dan pelaksanaan, serta pengelolaan aset yang lebih baik. Meskipun implementasinya di Indonesia masih terbatas, peluang untuk memperluas penggunaan BIM sangat besar, terlebih jika didukung oleh regulasi, sumber daya manusia, dan investasi yang memadai.
Sumber Asli
Wahyuningrum, C. A., Sari, Y. C., & Kresnanto, N. C. (2020). Building Information Modeling (BIM) for Dams—Literature Review and Future Needs. Journal of Civil Engineering Forum, 6(1), 61–68.
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Industri konstruksi di Indonesia sedang mengalami perubahan signifikan, dipicu oleh era Industri 4.0. Digitalisasi di sektor ini bukan hanya sekadar tren, melainkan kebutuhan untuk menghadapi tantangan seperti kompleksitas struktur, efisiensi material, hingga keterbatasan lahan.
Building Information Modeling (BIM) hadir sebagai jawaban. Dengan pendekatan berbasis model digital 3D, 4D (waktu), dan 5D (biaya), BIM memungkinkan seluruh stakeholder proyek berkolaborasi secara real-time, mempercepat pengambilan keputusan, dan mengurangi kesalahan desain maupun konstruksi.
Penelitian ini berfokus pada penerapan BIM 5D, yang mencakup:
Metodologi: Empat Tahap Transformasi Digital
Penelitian ini menggunakan empat metode utama, yang semuanya bermuara pada integrasi penuh dalam lingkungan BIM:
1. Konversi Gambar 2D ke Model 3D
2. Integrasi Model 3D dengan Analisis Struktur
3. Pendetailan Elemen Struktur
4. Perhitungan Volume, Estimasi Biaya, dan Penjadwalan
Studi Kasus: Integrasi BIM pada Proyek Beton Bertulang 2020
Sebagai studi kasus, digunakan proyek tugas besar Beton 2020. Data dari perencanaan 2D diubah menjadi 3D, dianalisis, lalu diproses hingga menghasilkan:
Hasil Utama:
1. Model 3D Terintegrasi
Gambar 2D yang sebelumnya terpisah berhasil dikonversi ke model 3D lengkap, termasuk detailing struktur dan informasi teknis internal.
2. Perhitungan Volume dan Biaya
Dari Tabel 1 dan Tabel 2 hasil penelitian, beberapa data penting adalah:
3. Jadwal Proyek
Konstruksi dimulai November 2021 dan diperkirakan selesai Februari 2022. Penjadwalan divisualisasikan melalui kurva S, memperlihatkan kemajuan proyek terhadap waktu dan biaya.
Analisis Kritis: Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan:
Kekurangan:
Saran Peneliti:
Relevansi dengan Tren Industri Konstruksi
Penelitian ini sangat relevan dengan tren global di sektor konstruksi. Implementasi BIM, khususnya 5D BIM, kini menjadi standar dalam banyak mega proyek, baik di Indonesia maupun internasional. Contohnya:
Menurut laporan McKinsey (2017), adopsi penuh BIM dapat meningkatkan efisiensi proyek konstruksi sebesar 15-25%. Dengan tren ini, riset seperti yang dilakukan Fadhilah dkk. menjadi referensi penting bagi kontraktor, developer, maupun pemerintah yang ingin mempercepat adopsi teknologi di sektor konstruksi.
Kesimpulan: BIM 5D Adalah Masa Depan Konstruksi
Riset ini dengan jelas membuktikan bahwa implementasi Building Information Modeling (BIM) 5D memberikan dampak nyata dalam meningkatkan produktivitas, mengoptimalkan biaya, serta mempercepat jadwal proyek.
Adopsi BIM tidak hanya soal mengganti metode kerja dari manual ke digital, tetapi juga tentang menciptakan ekosistem baru yang lebih terintegrasi, transparan, dan adaptif terhadap perubahan.
Ringkasan Keunggulan Aplikasi BIM 5D dalam Studi Ini:
Jika industri konstruksi Indonesia ingin bersaing di tingkat global, implementasi BIM—khususnya BIM 5D—bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.
Sumber Artikel Asli: Anjas Fadhilah, Edy Purwanto, Achmad Basuki. (2022). Aplikasi Building Information Modeling (BIM) Dalam Perancangan Bangunan Gedung. Jurnal Matriks Teknik Sipil, Vol. 10, No. 3. DOI: https://doi.org/10.20961/mateksi.v10i3.55999
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
BIM bukan sekadar teknologi modeling tiga dimensi. Ia mengubah seluruh pendekatan konstruksi dengan menambahkan dimensi:
Negara-negara seperti Inggris, Australia, dan Singapura sudah menjadikan BIM sebagai standar pada proyek infrastruktur nasional. Di Indonesia, Kementerian PUPR juga telah meluncurkan Roadmap Konstruksi Digital 2017–2024, menargetkan empat tahap: Adopsi, Digitalisasi, Kolaborasi, dan Integrasi.
Namun di Bali, penelitian menunjukkan bahwa implementasinya masih pada tahap awal.
Studi Kasus: Realita Implementasi BIM di Bali
Penelitian ini melibatkan 115 ahli konstruksi di Bali, dengan dominasi responden yang bekerja di proyek swasta, berpendidikan sarjana, dan berusia antara 31–40 tahun. Mayoritas proyek yang dikerjakan adalah bangunan gedung.
Dari hasil survei, tingkat adopsi BIM hanya mencapai 19%. Ini berarti dari lima profesional konstruksi, hanya satu yang menggunakan BIM dalam pekerjaannya.
Lebih rinci, di antara mereka yang mengadopsi BIM:
Dalam hal kolaborasi dan pertukaran data, sebanyak 89% responden masih berada di BIM Level 1, yaitu berbagi file berbasis DWG atau PDF, sementara hanya 11% yang sudah menggunakan format pertukaran data standar seperti IFC dan COBie di Level 2. Belum ada yang mencapai kolaborasi penuh di Level 3.
Temuan ini menunjukkan bahwa adopsi BIM di Bali belum matang dan masih sangat bergantung pada metode tradisional.
Hambatan Utama dalam Mengadopsi BIM di Bali
Melalui analisis mendalam menggunakan metode Relative Importance Index (RII), penelitian ini mengidentifikasi lima hambatan utama:
Pertama, biaya adopsi BIM dianggap terlalu mahal. Mulai dari harga perangkat lunak, kebutuhan perangkat keras tambahan, hingga biaya pelatihan, semua menjadi beban berat terutama bagi penyedia jasa konstruksi kecil dan menengah.
Kedua, kekurangan tenaga ahli BIM. Kurangnya tenaga kerja terlatih, baik untuk penggunaan maupun pelatihan, membuat perusahaan kesulitan membangun tim berbasis BIM.
Ketiga, lemahnya peran pemerintah dalam mendorong adopsi. Tidak adanya regulasi wajib penggunaan BIM pada semua proyek, terutama proyek pemerintah daerah, membuat insentif beralih ke BIM menjadi sangat rendah.
Keempat, kesulitan dalam mengubah proses kerja. Banyak pelaku proyek sudah nyaman menggunakan software seperti AutoCAD dan enggan beralih ke sistem yang lebih kompleks.
Kelima, belum adanya standar dan protokol nasional yang mendetail mengenai penerapan BIM dalam proyek konstruksi.
Fakta menarik lainnya adalah bahwa bahkan responden yang sudah menggunakan BIM mengaku kesulitan berkolaborasi dengan tim lain karena rekan kerja mereka belum mengadopsi BIM.
Mengapa Ini Menjadi Masalah Serius?
Jika tidak segera diatasi, lambatnya adopsi BIM bisa membuat industri konstruksi Indonesia, khususnya di Bali, tertinggal dari negara lain. Padahal, penelitian global menunjukkan bahwa penggunaan penuh BIM bisa menghemat biaya proyek hingga 20% dan mempercepat penyelesaian hingga 30%.
Tanpa BIM, potensi:
Di sisi lain, pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa adopsi BIM tidak akan berkembang pesat hanya dengan faktor teknologi. Dukungan kebijakan pemerintah, insentif ekonomi, dan perubahan budaya organisasi juga sangat krusial.
Solusi yang Direkomendasikan
Penulis penelitian ini memberikan sejumlah rekomendasi strategis:
Pertama, perlu ada model pembiayaan baru untuk perangkat lunak BIM. Misalnya, lisensi berbasis langganan tahunan yang lebih terjangkau bagi pelaku usaha kecil.
Kedua, mengintegrasikan kurikulum BIM di universitas teknik, arsitektur, dan manajemen konstruksi agar tenaga ahli baru siap pakai.
Ketiga, pemerintah harus menerbitkan standar nasional (SNI BIM) dan mewajibkan penggunaan BIM pada proyek pemerintah tertentu sebagai langkah awal.
Keempat, asosiasi konstruksi harus aktif mengadakan pelatihan, workshop, dan sertifikasi kompetensi BIM.
Kelima, pelaku proyek harus mulai mengubah pola pikir bahwa investasi pada BIM bukan sekadar beban biaya, melainkan upaya peningkatan efisiensi dan daya saing di masa depan.
Opini dan Catatan Kritis
Penelitian ini sudah cukup kuat dalam pendekatan kuantitatif dan analisis data. Namun, untuk memperkaya pemahaman, studi lanjutan sebaiknya melibatkan wawancara mendalam untuk menangkap hambatan kultural yang mungkin lebih besar daripada hambatan teknis.
Selain itu, penelitian lanjutan juga bisa memperluas cakupan ke wilayah lain di Indonesia untuk membandingkan kesiapan adopsi BIM antarprovinsi.
Dalam konteks global, tren smart construction dan smart cities menjadikan BIM sebagai pondasi utama. Bali, sebagai destinasi internasional, seharusnya lebih cepat beradaptasi dengan perubahan ini untuk menjaga daya saingnya di pasar global.
Kesimpulan: Arah Masa Depan BIM di Bali
Adopsi Building Information Modeling di Bali baru berada pada titik awal. Tingkat adopsi baru mencapai 19%, dengan mayoritas masih di level implementasi dasar.
Hambatan biaya, tenaga ahli, regulasi, dan budaya kerja lama harus segera diatasi jika Bali ingin mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Langkah cepat dan kolaboratif antara pemerintah, akademisi, dan industri menjadi kunci untuk mempercepat transformasi ini.
Jika tidak, bukan hanya efisiensi proyek yang dipertaruhkan, tetapi juga reputasi Bali di mata dunia konstruksi internasional.
Sumber Artikel Asli: I Made Agoes Megapathi, I Gusti Agung Adnyana Putera, Nyoman Martha Jaya. (2021). Tingkat Implementasi dan Hambatan Adopsi Building Information Modeling Pada Pelaku Proyek Konstruksi di Bali. Jurnal Spektran, Vol. 9, No. 1.
Lean Construction
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Indonesia tengah giat membangun. Namun di balik geliatnya, proyek konstruksi kerap menghadapi masalah pembengkakan biaya dan keterlambatan waktu, yang sebagian besar disebabkan oleh waste aktivitas yang menghabiskan biaya tanpa memberikan nilai tambah. Di sinilah Lean Construction mengambil peran penting. Dengan prinsip meminimalkan waste dan memaksimalkan value, Lean Construction berusaha menciptakan proyek yang lebih efisien, lebih cepat, dan lebih hemat biaya.
Namun, mengimplementasikan Lean Construction tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan di proyek yang sudah mengadopsinya, seperti Proyek Pembangunan Tower X, masih ditemukan berbagai bentuk waste yang menghambat produktivitas.
Studi Kasus: Penerapan Lean Construction di Proyek Tower X
Penelitian yang dilakukan berfokus pada mengidentifikasi jenis waste paling dominan yang terjadi dalam proyek pembangunan Tower X. Untuk itu, tim peneliti menggunakan dua metode utama:
Variabel Waste yang Diteliti
Penelitian ini mengkategorikan waste menjadi tujuh jenis utama:
Hasil Penelitian: Tiga Waste Paling Dominan
1. Defect (Kecacatan)
2. Inappropriate Processing (Proses Tidak Sesuai)
3. Waiting (Waktu Menunggu)
Waste Lainnya
Waste lain seperti Unnecessary Inventory, Unnecessary Motion, Over Production, dan Transportation juga ditemukan, namun dengan skor yang lebih rendah.
Analisis Mendalam: Mengapa Waste Tetap Terjadi?
Faktor Internal Proyek:
Faktor Eksternal:
Studi Kasus Angka: Memahami Skala Permasalahannya
Beberapa angka penting dari studi ini:
Dengan waste sebesar ini, proyek bisa mengalami:
Rekomendasi Strategis untuk Mengurangi Waste
1. Menetapkan Urutan Pekerjaan yang Tepat SOP (Standard Operating Procedure) tentang urutan kerja harus diterapkan dan diawasi secara ketat di lapangan.
2. Peningkatan Disiplin Subkontraktor Sistem reward dan punishment yang adil perlu diterapkan untuk mengontrol kinerja subkontraktor.
3. Perbaikan Proses Approval Desain Penerapan batas waktu approval shop drawing secara resmi dan ketat, sehingga perubahan desain bisa diminimalkan saat proyek sudah berjalan.
4. Training Lean Construction untuk Tim Lapangan Semua supervisor dan mandor harus dibekali pelatihan tentang prinsip Lean Construction, bukan hanya manajer proyek.
5. Visual Management dan Daily Meetings Menggunakan papan visual proyek dan rapat harian singkat dapat meningkatkan transparansi dan mempercepat penyelesaian masalah di lapangan.
Hubungan dengan Tren Industri: Digitalisasi Konstruksi
Menariknya, di tengah perkembangan teknologi seperti BIM 5D dan Construction Management Software, penerapan Lean Construction tetap menjadi dasar penting. Digitalisasi memang membantu monitoring proyek, namun tanpa prinsip lean yang kuat, penggunaan teknologi hanya akan mempercepat kekacauan.
Sebagai contoh:
Artinya, Lean Construction adalah fondasi, sedangkan digitalisasi adalah akselerator.
Kesimpulan: Lean Construction, Masihkah Relevan?
Penelitian ini membuktikan bahwa:
Lean Construction tetap relevan, bahkan menjadi semakin penting di era modernisasi konstruksi berbasis teknologi.
Jika Indonesia ingin meningkatkan produktivitas sektor konstruksi dan bersaing di era smart cities dan mega infrastructure project, penerapan Lean Construction secara konsisten adalah keharusan, bukan lagi pilihan.
Sumber Artikel Asli: Setiono, Muji Rifai, Lintang Anggana Wibawa. (2023). Identifikasi Waste dalam Penerapan Lean Construction (Studi Kasus: Proyek Pembangunan Tower X, Jakarta Pusat). Jurnal Matriks Teknik Sipil, Vol 11, No 3.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Industri konstruksi modern dituntut untuk lebih efisien, cepat, dan responsif terhadap perubahan kebutuhan klien. Namun faktanya:
Di sinilah pentingnya membangun hubungan kuat antara kontraktor dan pemasok. Studi ini menekankan bahwa pengelolaan hubungan berbasis high-involvement bukan hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga menekan pemborosan biaya proyek.
Studi Kasus: Woody Angered dan Serneke di Gothenburg, Swedia
Studi dilakukan pada proyek renovasi apartemen di Näverlursgatan, Gothenburg. Dua perusahaan terlibat:
Dalam proyek ini, Woody memasok sekitar 80% kebutuhan material Serneke di Gothenburg, namun tanpa kontrak jangka panjang formal—sebuah hubungan yang disebut "frequent but traditional."
Data Survei:
Hasil Temuan: Dimensi-Dimensi Hubungan Contractor-Supplier
Penelitian ini menganalisis hubungan Woody-Serneke melalui enam dimensi HIR, berikut rangkumannya:
1. Longevity (Durasi Hubungan)
Hubungan telah terjalin selama bertahun-tahun, meski tanpa formalisasi perjanjian jangka panjang. Hubungan lebih didasarkan pada kepercayaan pribadi daripada kontrak hukum.
2. Adaptations (Penyesuaian)
Woody sering melakukan penyesuaian logistik untuk memenuhi kebutuhan proyek Serneke, namun belum ada investasi sistem bersama (seperti integrasi IT).
3. Dependence (Ketergantungan)
Serneke cukup bergantung pada Woody untuk kecepatan pengiriman dan fleksibilitas layanan. Namun, ketergantungan formal minim karena tidak ada kontrak eksklusif.
4. Interactions (Interaksi)
Interaksi intens terjadi secara informal, dengan banyak komunikasi personal antar individu. Namun, koordinasi formal antar organisasi masih lemah.
5. Relationship Atmosphere (Suasana Hubungan)
Hubungan didominasi kepercayaan personal, namun rentan terhadap konflik kecil akibat kurangnya struktur formal.
6. Mutual Orientation (Orientasi Bersama)
Kedua belah pihak menunjukkan kesadaran akan kebutuhan satu sama lain, tetapi belum maksimal dalam menyelaraskan tujuan jangka panjang.
Studi Kasus Angka: Mengapa Ini Penting?
Artinya, hanya dengan meningkatkan kualitas hubungan contractor-supplier, potensi penghematan waktu dan biaya bisa sangat signifikan.
Analisis Kritis: Kelebihan dan Kekurangan Hubungan Woody-Serneke
Kelebihan:
Kekurangan:
Rekomendasi Strategis: Membangun Hubungan Contractor-Supplier yang Lebih Efektif
Berdasarkan analisis studi ini, penulis merekomendasikan langkah-langkah berikut:
1. Membuat Perjanjian Jangka Panjang Bertahap
2. Menambahkan Nilai Tambah dari Pemasok
3. Mengintegrasikan Teknologi Supply Chain
4. Meningkatkan Transfer Pengetahuan
Hubungan dengan Tren Global: Mengapa Ini Semakin Relevan?
Dengan meningkatnya tren Digital Construction dan Lean Construction, dunia konstruksi kini bergerak ke arah:
Negara seperti Inggris telah memulai penerapan "Supply Chain Collaboration Charters" untuk semua proyek pemerintah, mewajibkan prinsip high-involvement partnership.
Artinya, temuan studi ini tidak hanya relevan untuk Swedia, tapi juga menjadi pelajaran penting untuk industri konstruksi Indonesia yang ingin meningkatkan daya saingnya di tingkat global.
Kesimpulan: Contractor-Supplier Relationship Bukan Lagi Sekadar Urusan Harga
Studi ini membuktikan bahwa membangun hubungan yang kuat dan terstruktur antara kontraktor dan pemasok dapat memberikan:
Namun, keberhasilan hubungan ini membutuhkan:
Meningkatkan hubungan contractor-supplier adalah langkah fundamental bagi industri konstruksi untuk memasuki era baru: konstruksi yang lebih ramping, cepat, dan cerdas.
Sumber Artikel Asli: Roham Nikinosheri, Filip Staxäng. (2016). Contractor-supplier relationships in the construction industry: A case study. Chalmers University of Technology, Department of Technology Management and Economics, Division of Service Management and Logistics.