Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Konteks Industri Konstruksi Skala Kecil di Indonesia
Indonesia mencatat pertumbuhan yang signifikan di sektor konstruksi, menyumbang 10,5% dari produk domestik bruto dan menyerap 5,3% tenaga kerja nasional. Angka-angka ini menandakan peluang besar, khususnya bagi pelaku usaha jasa konstruksi skala kecil yang ingin berkembang. Namun, peluang ini datang dengan tantangan besar: keterbatasan pengalaman dan manajemen sumber daya yang tidak efisien sering kali berujung pada keterlambatan proyek dan sanksi penalti dari pemberi kerja.
Permasalahan Keterlambatan dan Penalti
Keterlambatan penyelesaian proyek merupakan ancaman nyata bagi profitabilitas perusahaan konstruksi. Berdasarkan Peraturan LKPP No. 14 Tahun 2012, keterlambatan dapat dikenai denda sebesar 1/1000 dari nilai kontrak untuk setiap hari keterlambatan. Dalam studi kasus ini, jika proyek senilai Rp 45,78 miliar terlambat 21 hari, maka penyedia jasa konstruksi harus menanggung penalti sebesar Rp 961.422.000.
Strategi Time Cost Trade Off: Opsi Lembur vs. Sistem Shift
Untuk menghindari penalti tersebut, penelitian ini mengusulkan dua strategi peningkatan produktivitas:
Kedua pendekatan ini dievaluasi menggunakan metode Time Cost Trade Off yang bertujuan mengurangi durasi proyek tanpa mengorbankan kualitas kerja.
Studi Kasus dan Temuan Utama
Proyek konstruksi yang dijadikan studi kasus melibatkan berbagai pekerjaan seperti struktur gudang (warehouse), truck scale, car parking shelter, dan instalasi MEP (Mechanical, Electrical, Plumbing). Dengan analisis CPM (Critical Path Method), peneliti berhasil mengidentifikasi lintasan kritis dan menghitung normal duration proyek sebesar 294 hari dengan biaya Rp 45.782.000.000.
Melalui penerapan metode TCTO, hasil menunjukkan:
Sistem shift terbukti lebih hemat dan efisien dibandingkan lembur, yang memerlukan upah tambahan sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP. 102/MEN/VI/2004—upah lembur jam pertama 1,5 kali dan selanjutnya 2 kali lipat upah normal.
Analisis Angka: Efisiensi Biaya
Dengan sistem shift, crash cost pekerjaan seperti pekerjaan warehouse turun dari Rp 1.156.505.283 menjadi Rp 1.369.470.955 (naik Rp 212 juta). Namun, bila menggunakan sistem lembur, crash cost-nya melonjak menjadi Rp 1.826.797.212 (naik Rp 706 juta), menunjukkan efisiensi biaya yang signifikan pada sistem shift.
Lebih jauh, total penghematan yang didapatkan dengan memilih sistem shift dibandingkan tidak melakukan percepatan adalah sebesar Rp 2.525.634.233. Ini mencakup pengurangan denda yang harus ditanggung karena keterlambatan proyek.
Implikasi Praktis dan Relevansi Industri
Studi ini menunjukkan bahwa perusahaan jasa konstruksi skala kecil tidak harus terpaku pada model kerja konvensional. Dengan perencanaan matang dan penerapan metode manajemen proyek modern seperti TCTO, mereka dapat secara signifikan menekan biaya dan risiko.
Penerapan sistem kerja shift memungkinkan fleksibilitas tenaga kerja, efisiensi produktivitas, dan penghematan biaya tanpa menurunkan output. Ini sangat relevan dalam konteks urbanisasi dan permintaan konstruksi yang terus meningkat, di mana penyelesaian tepat waktu menjadi aspek krusial untuk menjaga reputasi dan kesinambungan proyek.
Opini dan Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Dibandingkan dengan studi sebelumnya yang juga menggunakan metode TCTO seperti karya Desi Yasri (2018) pada proyek pembangunan gudang arsip, pendekatan yang digunakan dalam studi ini jauh lebih komprehensif karena tidak hanya memperhitungkan biaya langsung dan waktu, tetapi juga efek sistem kerja terhadap produktivitas aktual tenaga kerja.
Selain itu, studi ini secara cerdas mempertimbangkan faktor-faktor seperti penurunan produktivitas saat lembur, pengaruh regulasi ketenagakerjaan terhadap upah, dan kondisi kerja yang memengaruhi motivasi pekerja. Ini menjadikannya model yang bisa direplikasi oleh banyak kontraktor kecil di Indonesia.
Kritik dan Saran Pengembangan
Meski begitu, paper ini memiliki keterbatasan karena hanya menggunakan satu studi kasus proyek. Generalisasi hasil penelitian mungkin tidak sepenuhnya sesuai jika diterapkan pada proyek dengan skala lebih besar, jenis pekerjaan berbeda, atau lokasi yang memiliki tantangan geografis maupun sosial tertentu.
Penulis bisa mempertimbangkan variabel eksternal lain seperti kondisi cuaca, supply chain material, hingga kompetensi tenaga kerja di area proyek yang memengaruhi produktivitas. Studi lanjutan bisa membandingkan lebih banyak proyek dengan pendekatan kuantitatif berbasis data historis untuk meningkatkan akurasi hasil.
Kesimpulan
Paper ini memberikan kontribusi penting dalam manajemen proyek konstruksi skala kecil di Indonesia, dengan menyajikan solusi nyata dan terukur dalam menghadapi risiko penalti akibat keterlambatan. Melalui strategi TCTO berbasis sistem kerja shift, perusahaan jasa konstruksi dapat:
Dengan mempertimbangkan tren digitalisasi dan efisiensi proyek di industri konstruksi, penerapan strategi TCTO berbasis data seperti ini dapat menjadi standar baru dalam manajemen proyek konstruksi modern di Indonesia.
Sumber asli artikel:
Felicia T. Nuciferani, Mohamad F.N. Aulady, Putut A. Wibowo. 2019. Pengurangan Risiko Pinalti dengan Time Cost Trade Off pada Proyek Konstruksi. Jurnal Qua Teknika, Vol. 9 No. 2, September 2019, Hal. 1–11. Fakultas Teknik, Universitas Islam Balitar.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Transformasi digital di sektor konstruksi telah menjadi keharusan, terutama pada proyek-proyek kompleks seperti gedung bertingkat tinggi. Artikel karya Daniel Maranatha Silitonga, Stefanus Yobel Hendrawan, dan Oei Fuk Jin dari Universitas Tarumanagara membahas secara mendalam bagaimana teknologi digital mulai mengubah pola kerja konvensional dalam industri konstruksi, khususnya pada proyek high-rise building.
Artikel ini penting dibahas karena menyentuh langsung realitas yang tengah berkembang: meningkatnya kebutuhan akan efisiensi, kecepatan, dan keamanan dalam proses konstruksi di tengah urbanisasi yang pesat. Melalui pendekatan literatur sistematis dan tinjauan aplikasi teknologi di lapangan, artikel ini menyusun peta perkembangan digitalisasi dan bagaimana penerapannya dapat diadaptasi secara strategis.
Pentingnya Digitalisasi untuk Proyek Gedung Bertingkat
Gedung tinggi, menurut definisi Engineering Design Consultant (EDC), merupakan bangunan yang memiliki tinggi minimum 35 meter. Struktur seperti ini memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang presisi karena menyangkut banyak aspek: desain modular, keselamatan kerja, pengendalian waktu dan biaya, serta integrasi sistem MEP (mekanikal, elektrikal, dan pemipaan).
Digitalisasi di sektor ini berperan besar dalam menjawab kebutuhan tersebut. Melalui pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM), Internet of Things (IoT), artificial intelligence (AI), visualisasi realitas virtual, hingga robotika dan otomasi, berbagai tantangan dalam pelaksanaan proyek menjadi lebih terukur dan terkendali.
Tiga Pilar Teknologi Konstruksi Digital
Artikel ini mengelompokkan teknologi digital ke dalam tiga pilar besar:
1. Konstruksi 4.0
BIM adalah salah satu teknologi utama yang banyak digunakan dalam proyek high-rise. Penerapan BIM 4D misalnya, diterapkan di proyek College Road London setinggi 49 lantai untuk memastikan urutan kerja berjalan sesuai jadwal. Sementara itu, BIM 5D pada proyek Central Park di Johor Bahru, Malaysia, digunakan untuk menyatukan informasi biaya secara langsung dalam model visual. Sedangkan BIM 6D dalam proyek Capitol Tower di Houston digunakan untuk analisis efisiensi energi, yang terbukti 25 persen lebih baik dari standar umum.
IoT juga mulai banyak digunakan, contohnya dalam proyek perumahan di Hongkong, di mana RFID dipasang pada alat dan pekerja untuk melacak progres kerja dan logistik secara real time. AI, meskipun masih berkembang, digunakan untuk pengenalan pola kerja dan prediksi potensi keterlambatan. Teknologi awan seperti Autodesk BIM 360 dan Trimble Connect juga semakin umum untuk kolaborasi lintas tim, bahkan dalam proyek lintas negara.
2. Robotisasi Konstruksi
Perkembangan teknologi robotik menawarkan solusi pada pekerjaan-pekerjaan berulang dan berisiko tinggi. Salah satu contoh penggunaannya adalah exoskeleton untuk pekerja konstruksi, yang membantu mengurangi cedera fisik akibat pekerjaan berat, seperti studi yang dilakukan di Jepang dan Hongkong. Drone juga mulai banyak digunakan untuk monitoring proyek dari udara, baik untuk inspeksi visual maupun dokumentasi progres pekerjaan. Di Indonesia, penelitian oleh Tjandra dkk. menunjukkan bahwa drone mulai diadopsi, meskipun masih banyak tantangan dari sisi keahlian pengguna.
3. Otomatisasi Metode Konstruksi
Konsep sistem konstruksi otomatis mulai berkembang, mengadaptasi pendekatan industri manufaktur. Salah satu contohnya adalah Automated Building Construction System (ABCS) oleh Obayashi Corporation di Jepang, yang terbukti mampu memangkas kebutuhan tenaga kerja. Sistem lain seperti SMART dari Shimizu juga berhasil mengurangi waktu kerja hingga 50 persen dan limbah konstruksi hingga 70 persen. Kajima dengan sistem AMURAD-nya bahkan memungkinkan pembangunan dari atas ke bawah, yang lebih efisien dalam lingkungan padat penduduk.
Studi Kasus dan Aplikasi Nyata
Berbagai studi kasus disoroti dalam artikel ini untuk menunjukkan penerapan nyata teknologi digital di proyek high-rise. Di antaranya:
Studi-studi ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi tidak hanya mempercepat proses, tetapi juga meningkatkan akurasi, keamanan, dan bahkan keberlanjutan proyek.
Tantangan Implementasi
Meski potensi keuntungannya besar, artikel ini juga menggarisbawahi sejumlah hambatan implementasi. Di antaranya adalah infrastruktur internet yang belum merata, tingginya biaya lisensi perangkat lunak, kurangnya tenaga kerja yang mampu mengoperasikan teknologi canggih, dan kesenjangan dalam interoperabilitas antar sistem.
Di Indonesia, misalnya, riset Khasani (2018) mencatat bahwa adopsi BIM masih berada di angka 67,46 persen. Masalah terbesar adalah belum adanya standar nasional dan keterbatasan SDM yang paham implementasinya.
Strategi untuk Masa Depan
Untuk menjawab tantangan tersebut, penulis menyarankan strategi transformasi digital melalui pendekatan bertahap. Dimulai dari pengenalan teknologi secara sederhana, kemudian diikuti dengan akomodasi pada praktik kerja eksisting, amplifikasi hasil positif, hingga penguatan melalui kebijakan dan pelatihan berkelanjutan.
Model ini menekankan pentingnya dukungan dari seluruh stakeholder proyek, baik di level manajemen maupun pelaksana di lapangan. Pemerintah, asosiasi profesional, dan institusi pendidikan juga perlu terlibat aktif dalam membangun ekosistem digital konstruksi yang kuat.
Kesimpulan
Digitalisasi metode konstruksi pada proyek gedung bertingkat tinggi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan strategis untuk menjawab tantangan efisiensi, produktivitas, dan keselamatan kerja. Artikel ini memberi gambaran yang komprehensif dan aplikatif tentang bagaimana teknologi-teknologi seperti BIM, IoT, AI, drone, hingga sistem konstruksi otomatis mulai digunakan secara nyata di berbagai proyek besar.
Bagi Indonesia, peluang adopsi teknologi ini sangat besar, terutama mengingat pertumbuhan kota-kota besar dan banyaknya proyek high-rise yang sedang dibangun. Tantangannya tinggal pada kesiapan infrastruktur, pengembangan SDM, dan penyusunan kebijakan strategis jangka panjang.
Sumber asli artikel:
Silitonga, D. M., Hendrawan, S. Y., & Jin, O. F. (2024). Digitalisasi Metode Konstruksi pada Proyek High-Rise Building. JMTS: Jurnal Mitra Teknik Sipil, Vol. 7, No. 3, Agustus 2024, hlm. 795–806.
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Dalam dunia konstruksi modern yang semakin kompetitif, adopsi teknologi digital bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan. Salah satu teknologi yang menonjol dalam dekade terakhir adalah Building Information Modelling (BIM), terutama BIM 5D yang mengintegrasikan model tiga dimensi dengan elemen waktu dan biaya. Artikel karya Destiar Ultimaswari A.K, Buan Anshari, dan Suryawan Murtiadi ini menjadi penting karena mengevaluasi peran konkret BIM 5D dalam proyek besar: Pembangunan Dermaga Cruise dan Peti Kemas Terminal Gili Mas Lembar di Lombok Barat.
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Dengan meningkatnya skala dan kompleksitas proyek infrastruktur, akurasi dalam estimasi biaya dan efisiensi pelaksanaan menjadi kunci keberhasilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efektivitas penggunaan BIM 5D serta perannya dalam mendukung perencanaan, desain, hingga implementasi konstruksi Dermaga Gilimas, yang dikerjakan antara 2018–2020 oleh PT PP (Persero) Tbk sebagai kontraktor utama dan PT Virama Karya sebagai konsultan pengawas.
Apa Itu BIM 5D dan Mengapa Relevan?
BIM adalah representasi digital dari karakteristik fisik dan fungsional suatu bangunan. Dalam bentuk 5D, BIM tidak hanya menyajikan model tiga dimensi (3D) dari struktur proyek, tetapi juga menyisipkan informasi terkait waktu (4D) dan biaya (5D), memungkinkan simulasi, perencanaan jadwal, serta estimasi biaya yang terintegrasi dan real-time. Keunggulan utama BIM 5D adalah kemampuannya dalam meminimalkan konflik desain, mengefisienkan penggunaan material, dan mengoptimalkan waktu pelaksanaan proyek.
Studi Kasus: Pembangunan Dermaga Gilimas
Dermaga Gilimas dibangun untuk melayani kapal cruise dan peti kemas, memperkuat peran pelabuhan Lembar sebagai simpul logistik dan pariwisata di kawasan timur Indonesia. Penelitian ini mengumpulkan data dari 20 responden melalui kuisioner dan wawancara, lalu dianalisis menggunakan statistik deskriptif, termasuk perhitungan nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi, untuk menilai seberapa efektif BIM digunakan dalam proyek ini.
Dari aspek efektivitas pada tahap proyek, tiga indikator teratas adalah:
Sedangkan dari sisi aktivitas proyek, BIM paling efektif dalam:
Dari sisi efisiensi kerja, tiga manfaat utama BIM adalah:
Dan dari aspek keberhasilan proyek, manfaat terbesar BIM adalah:
Pemanfaatan Software dalam Proyek
Proyek ini menjadi menarik karena penggunaan BIM tidak hanya sebatas konsep, tetapi benar-benar diterapkan melalui beragam perangkat lunak pendukung:
Implementasi software tersebut memungkinkan tim proyek membuat Bill of Quantity (BOQ) secara otomatis, menghasilkan visualisasi pekerjaan yang lebih mudah dipahami, dan mendeteksi potensi konflik desain lebih awal.
Analisis Statistik dan Temuan Kuantitatif
Peneliti menggunakan nilai rata-rata dan standar deviasi untuk mengukur stabilitas persepsi responden terhadap manfaat BIM. Salah satu hasilnya menunjukkan bahwa BIM pada indikator studi kelayakan menghasilkan mean sebesar 3,70 dan standar deviasi 1,22, menandakan bahwa persepsi responden cukup konsisten. Indikator dengan standar deviasi di bawah 1 dianggap sebagai yang paling stabil, dan dengan demikian paling representatif sebagai kekuatan BIM dalam proyek ini.
Kelebihan dan Kekurangan BIM
Berdasarkan hasil kuantitatif, kelebihan BIM dalam proyek ini antara lain:
Namun, terdapat pula kekurangan yang diidentifikasi:
Hal ini menjadi catatan penting, terutama bagi perusahaan konstruksi menengah atau kecil yang ingin mengadopsi teknologi ini.
Implikasi Praktis dan Relevansi
Studi ini menunjukkan bahwa penerapan BIM 5D secara penuh tidak hanya berdampak pada efisiensi teknis, tetapi juga meningkatkan kualitas komunikasi antara pemilik proyek, kontraktor, dan konsultan. Dalam konteks Indonesia yang sedang gencar membangun infrastruktur, termasuk pelabuhan dan kawasan industri maritim, pendekatan seperti ini sangat relevan.
BIM berperan penting dalam menjawab kebutuhan akan proyek yang rampung tepat waktu, dalam anggaran, dan sesuai kualitas. Tak heran jika pemerintah Indonesia mulai mendorong penerapan BIM pada proyek-proyek strategis nasional. Namun, kesiapan SDM, dukungan perangkat teknologi, serta harmonisasi antar stakeholder masih menjadi tantangan yang perlu diatasi secara bertahap.
Opini dan Rekomendasi
Artikel ini sangat bermanfaat, tidak hanya untuk praktisi dan akademisi, tetapi juga untuk pembuat kebijakan. Salah satu kekuatan utamanya adalah pemanfaatan data nyata dan studi kasus yang relevan, bukan sekadar teori. Meski pendekatan statistiknya sederhana, namun cukup efektif untuk menggambarkan persepsi pengguna BIM di lapangan.
Ke depan, disarankan untuk melakukan studi lanjutan dengan cakupan proyek yang lebih luas serta menggunakan metode statistik inferensial untuk menguji hubungan antar variabel. Pemerintah daerah dan asosiasi konstruksi juga perlu memberikan insentif bagi perusahaan yang ingin beralih ke sistem digital.
Selain itu, integrasi BIM dengan teknologi lain seperti Internet of Things (IoT), artificial intelligence (AI), dan cloud-based project management akan menjadi arah berikutnya dalam transformasi digital konstruksi.
Kesimpulan
Penelitian ini membuktikan bahwa penerapan BIM 5D pada proyek Dermaga Cruise dan Peti Kemas Terminal Gilimas memberikan dampak signifikan dalam berbagai aspek pelaksanaan proyek, mulai dari efisiensi waktu dan biaya hingga peningkatan kualitas desain dan koordinasi tim.
Meski investasi awal untuk perangkat keras dan lisensi cukup tinggi, manfaat jangka panjangnya jauh lebih besar. Oleh karena itu, penerapan BIM seharusnya tidak lagi menjadi pertimbangan, tetapi keharusan bagi industri konstruksi yang ingin bersaing secara global.
Sumber asli artikel:
Destiar Ultimaswari A.K, Buan Anshari, dan Suryawan Murtiadi. Kajian Peranan Building Information Modelling (BIM) 5D pada Perusahaan Jasa Konstruksi (Studi Kasus: Pembangunan Dermaga Cruise dan Peti Kemas Terminal Gili Mas Lembar). Jurnal Mitra Teknik Sipil (MBI), Vol.16 No.4, November 2021.
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Dalam satu dekade terakhir, transformasi digital di sektor konstruksi telah menunjukkan akselerasi yang signifikan. Salah satu teknologi utama yang memegang peran sentral dalam proses tersebut adalah Building Information Modeling (BIM). Artikel yang ditulis oleh Bahriye Ilhan Jones, berjudul A study of Building Information Modeling (BIM) uptake and proposed evaluation framework, memberikan pandangan menyeluruh tentang bagaimana industri arsitektur di Inggris mengadopsi dan mengembangkan penggunaan BIM dari tahun 2011 hingga 2018.
Penelitian ini tidak hanya memotret tren penggunaan BIM, tetapi juga memperkenalkan sebuah kerangka evaluasi untuk menilai efektivitas adopsi BIM di tingkat organisasi, menjadikannya relevan bagi akademisi, praktisi, hingga pembuat kebijakan.
Latar belakang dan konteks kebijakan
Inggris dikenal sebagai negara pelopor dalam penerapan BIM. Sejak pemerintah mengeluarkan mandat pada tahun 2016 yang mewajibkan penggunaan BIM Level 2 untuk semua proyek publik, banyak perusahaan arsitektur di Inggris mulai mengintegrasikan BIM ke dalam proses kerja mereka. Namun demikian, adopsi teknologi ini tidak terjadi secara seragam di semua skala perusahaan.
Studi ini mencoba menjawab pertanyaan: bagaimana tingkat penggunaan BIM berubah dari waktu ke waktu, apa saja motivasi dan hambatan yang dihadapi perusahaan, serta bagaimana pengaruh kebijakan publik dan tekanan pasar terhadap keputusan adopsi teknologi ini.
Metodologi dan pendekatan penelitian
Penulis menggunakan pendekatan survei longitudinal, yaitu pengumpulan data pada tiga waktu berbeda: tahun 2011, 2014, dan 2018. Total responden yang terlibat berjumlah 125 perusahaan arsitektur anggota Royal Institute of British Architects (RIBA), yang mewakili berbagai skala usaha.
Data dianalisis menggunakan metode statistik seperti ANOVA dan regresi linier. Penelitian ini juga mengembangkan framework evaluasi BIM berdasarkan tiga dimensi utama: tahap formasi, proses implementasi, dan hasil yang dicapai.
Hasil temuan utama
Pertumbuhan adopsi BIM
Tingkat adopsi BIM meningkat dari hanya 20 persen pada tahun 2011 menjadi lebih dari 60 persen pada 2018. Namun, adopsi ini tidak merata. Perusahaan besar yang menangani proyek pemerintah menunjukkan tingkat adopsi yang lebih tinggi dibandingkan usaha kecil yang bergerak di pasar privat.
Perusahaan kecil mulai menunjukkan ketertarikan terhadap BIM, tetapi masih menghadapi kendala seperti biaya awal yang tinggi dan kurangnya tenaga kerja yang terlatih.
Alasan penggunaan BIM
Motivasi utama perusahaan dalam mengadopsi BIM antara lain:
Menariknya, efisiensi biaya dan waktu bukanlah motivasi dominan, yang menunjukkan bahwa nilai BIM lebih dipandang sebagai alat strategis daripada sekadar alat teknis.
Fungsi BIM yang paling banyak digunakan
Di antara berbagai fitur BIM, yang paling banyak digunakan adalah visualisasi 3D, clash detection, dan pertukaran data antar software. Fungsi yang lebih kompleks seperti estimasi biaya otomatis atau analisis energi bangunan masih jarang digunakan, bahkan hingga 2018.
Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan BIM masih berada di level dasar, dan belum sepenuhnya memanfaatkan potensi penuh yang ditawarkan teknologi ini.
Hambatan penggunaan
Beberapa hambatan yang terus berulang dari tahun ke tahun antara lain:
Namun di sisi lain, hambatan seperti kurangnya dukungan manajerial mulai berkurang, menunjukkan adanya peningkatan kesadaran di level pimpinan perusahaan.
Studi kasus perusahaan kecil
Artikel ini juga mengangkat contoh perusahaan arsitektur kecil yang berhasil mengadopsi BIM meskipun hanya memiliki kurang dari sepuluh staf. Dengan dukungan pelatihan dan kolaborasi dengan konsultan eksternal, perusahaan ini mampu mempercepat proses desain, mengurangi revisi gambar, dan meningkatkan akurasi informasi proyek.
Namun mereka juga menghadapi kenyataan bahwa klien-klien di sektor perumahan tidak selalu memahami nilai tambah BIM, sehingga edukasi kepada pihak luar menjadi tantangan tambahan.
Framework evaluasi BIM
Salah satu kontribusi penting dari penelitian ini adalah usulan framework evaluasi BIM, yang terdiri dari:
Framework ini dapat digunakan tidak hanya di Inggris, tetapi juga diadopsi oleh organisasi konstruksi di negara-negara lain untuk mengukur kemajuan transformasi digital mereka.
Relevansi dan implikasi global
Temuan dari artikel ini memiliki implikasi yang luas. Negara-negara berkembang seperti Indonesia yang sedang mendorong digitalisasi sektor konstruksi dapat mengambil pelajaran penting dari pengalaman Inggris, terutama dalam hal:
Adopsi BIM bukan hanya soal membeli software, tetapi perubahan budaya kerja dan paradigma kolaborasi antar stakeholder. Untuk itu, kebijakan publik dan kerja sama antar sektor sangat dibutuhkan.
Kritik dan saran
Artikel ini sangat kuat dari segi metodologi dan kontribusi praktis. Namun, sebagian besar data bersifat perseptual dan berasal dari industri arsitektur saja. Akan lebih komprehensif jika studi serupa dilakukan di sektor konstruksi sipil, MEP, atau manajemen fasilitas, untuk mendapatkan pandangan yang lebih holistik.
Penulis juga bisa menggali lebih dalam soal bagaimana BIM berinteraksi dengan teknologi lain seperti cloud, Internet of Things, atau AI dalam pengelolaan proyek.
Kesimpulan
Artikel ini memberikan gambaran yang tajam dan informatif tentang evolusi penggunaan BIM di Inggris selama tujuh tahun. Dengan pendekatan longitudinal dan analisis mendalam, artikel ini tidak hanya menjadi catatan historis, tetapi juga panduan strategis bagi perusahaan dan pembuat kebijakan yang ingin mengadopsi BIM secara efektif.
BIM bukan sekadar alat gambar digital, melainkan sistem kolaboratif yang dapat meningkatkan kualitas desain, efisiensi proyek, dan daya saing industri konstruksi secara keseluruhan. Dengan kerangka evaluasi yang ditawarkan, proses transformasi digital dapat dipantau dan ditingkatkan secara berkelanjutan.
Sumber artikel:
Bahriye Ilhan Jones (2020). A study of Building Information Modeling (BIM) uptake and proposed evaluation framework. Journal of Information Technology in Construction (ITcon), Vol. 25, pp. 452–468.
Building Information Modeling
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Di tengah tekanan global untuk meningkatkan efisiensi dan kolaborasi dalam industri arsitektur, rekayasa, konstruksi, dan manajemen fasilitas (AEC/FM), teknologi Building Information Modeling (BIM) hadir sebagai solusi strategis. Namun, adopsi BIM secara luas masih menemui banyak kendala. Paper berjudul “A Study of Building Information Modeling (BIM) Uptake and Proposed Evaluation Framework” oleh Bahriye Ilhan Jones dari Istanbul Technical University menganalisis adopsi BIM di kantor arsitektur Inggris selama tiga periode waktu (2011, 2014, dan 2018), serta mengusulkan sebuah kerangka evaluasi komprehensif.
Mengapa BIM Penting dan Mengapa Belum Menjadi Standar?
Walau pemerintah Inggris telah mewajibkan penerapan BIM Level 2 pada proyek publik sejak 2016, hasil studi menunjukkan bahwa penerapan BIM tidak semudah membalik telapak tangan. Beberapa faktor pendorong seperti efisiensi proyek, kolaborasi tim yang lebih baik, dan tuntutan kontrak berhasil memotivasi adopsi. Namun, berbagai hambatan—mulai dari kebutuhan pelatihan, biaya implementasi, hingga resistensi terhadap perubahan—masih kuat dirasakan oleh banyak perusahaan.
Metodologi: Survei Online dan Analisis Statistik
Penelitian ini menggunakan metode survei online kepada seluruh anggota Royal Institute of British Architects (RIBA). Survei dilaksanakan dalam tiga gelombang: 2011 (43 responden), 2014 (37 responden), dan 2018 (45 responden), dengan total 125 responden tanpa tumpang tindih antar tahun. Data dianalisis menggunakan ANOVA, regresi, dan statistik deskriptif untuk menggali hubungan antara variabel tahun, adopsi BIM, motivasi, kendala, dan kepuasan pengguna.
Temuan Kunci: Perjalanan Adopsi BIM dari Tahun ke Tahun
Peningkatan Penggunaan BIM
Penggunaan BIM meningkat signifikan dari 2011 ke 2018. Di tahun 2011, hanya 19,5% responden menggunakan BIM, sementara pada 2018, angka tersebut meningkat tajam. Namun, lonjakan ini tidak merata di semua jenis perusahaan—organisasi besar lebih cepat mengadopsi BIM dibandingkan perusahaan kecil.
Yang menarik, meskipun pada awalnya BIM hanya digunakan untuk proyek-proyek besar, mulai 2014, perusahaan mulai menerapkannya juga pada proyek kecil. Penggunaan BIM juga meningkat pada perusahaan kecil dengan kurang dari 10 karyawan, menunjukkan bahwa adopsi teknologi tidak lagi menjadi hak istimewa perusahaan besar.
Alasan Mengadopsi BIM
Motivasi utama menggunakan BIM antara lain:
Namun, motivasi eksternal ini bergeser menjadi motivasi internal seperti kebutuhan untuk kolaborasi dan efisiensi tim, terutama di tahun 2018. Hal ini menunjukkan evolusi pemahaman perusahaan tentang nilai jangka panjang BIM.
Fungsi yang Digunakan
Fungsi BIM yang paling umum digunakan:
Namun, fungsi tingkat lanjut seperti estimasi biaya, analisis performa bangunan, dan Bill of Quantities (BoQ) masih kurang dimanfaatkan, terutama oleh pengguna pemula.
Keuntungan dan Kepuasan
Keuntungan utama dari penggunaan BIM antara lain:
Meskipun BIM memberikan berbagai keuntungan, tingkat kepuasan tidak selalu sebanding dengan lama pengalaman. Usia penggunaan BIM (BIM age) berkontribusi terhadap kepuasan, namun tidak signifikan secara statistik dalam model regresi.
Hambatan Utama
Hambatan utama yang dihadapi pengguna BIM antara lain:
Menariknya, dukungan manajemen dan pemasaran tidak dianggap sebagai kendala utama. Sebaliknya, masalah prosedural dan pertukaran data menjadi tantangan yang semakin menonjol.
Perspektif Non-Pengguna: Mengapa Tidak Mengadopsi BIM?
Survei juga melibatkan responden yang belum menggunakan BIM dan tidak berniat menggunakannya. Alasan utama mereka:
Alasan untuk mulai mempertimbangkan BIM antara lain:
Namun, kebanyakan perusahaan menyatakan mereka tidak memiliki sumber daya fisik atau keuangan yang cukup untuk memulai implementasi.
Kerangka Evaluasi BIM: Panduan Strategis untuk Organisasi
Berdasarkan temuan survei, penulis merancang kerangka evaluasi untuk memandu perusahaan dalam mengevaluasi kesiapan dan efektivitas penggunaan BIM. Kerangka ini mencakup:
Model ini tidak hanya bersifat statis tetapi fleksibel, dapat dikustomisasi sesuai kebutuhan organisasi.
Studi Kasus: Transformasi BIM di Inggris sebagai Cerminan Global
Dengan mandat pemerintah Inggris sebagai titik tolak, adopsi BIM di sektor publik menjadi tolok ukur keberhasilan transformasi digital. Survei NBS tahun 2019 menunjukkan bahwa 4% responden merasa mandat BIM sangat berhasil, dan 37% menyebutnya cukup berhasil. Ini menunjukkan pentingnya peran kebijakan dalam mendorong perubahan industri.
Kegagalan perusahaan untuk mengadopsi BIM dengan cepat dapat berarti kehilangan peluang kolaborasi, efisiensi, dan daya saing. Oleh karena itu, studi ini tidak hanya relevan untuk Inggris, tetapi juga menjadi cermin bagi negara-negara lain—termasuk Indonesia—yang tengah mempersiapkan digitalisasi sektor konstruksi.
Opini dan Implikasi untuk Indonesia
Bagi Indonesia, adopsi BIM masih dalam tahap awal. Studi ini bisa dijadikan referensi penting karena menyajikan analisis longitudinal dari negara maju dengan pendekatan praktis dan strategis. Tantangan seperti kurangnya tenaga ahli BIM, resistensi terhadap perubahan, dan tingginya biaya awal, juga ditemukan di Indonesia.
Penerapan kerangka evaluasi yang diusulkan dalam studi ini bisa diadaptasi oleh asosiasi profesional seperti IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) atau LPJK. Pemerintah pun bisa belajar dari model kebijakan Inggris untuk mendorong transformasi industri konstruksi dalam negeri.
Kesimpulan: BIM adalah Keniscayaan, Bukan Pilihan
Transformasi digital di industri konstruksi tidak bisa dihindari. BIM bukan sekadar alat, melainkan katalis perubahan. Studi ini menunjukkan bahwa kesuksesan adopsi BIM bergantung pada kesiapan organisasi secara teknis, struktural, dan kultural. Kerangka evaluasi yang ditawarkan membuka jalan bagi pendekatan lebih strategis, terukur, dan realistis dalam mengadopsi teknologi ini. Di masa depan, BIM tidak hanya akan menjadi standar, tapi fondasi utama menuju kota cerdas dan pembangunan berkelanjutan.
Sumber asli artikel:
Bahriye Ilhan Jones (2020). A study of Building Information Modeling (BIM) uptake and proposed evaluation framework. Journal of Information Technology in Construction (ITcon), Vol. 25, pp. 452–468.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025
Dalam industri konstruksi jalan yang sarat risiko dan kompleksitas, pengelolaan rantai pasokan bukan sekadar soal logistik. Salah satu pendekatan kunci untuk meningkatkan kinerja proyek adalah melalui Supplier Relationship Management (SRM), yang tidak hanya memfasilitasi aliran barang dan jasa, tetapi juga menciptakan ekosistem kolaboratif yang saling menguntungkan. Artikel “Supplier Relationship Management and Performance of Road Construction Projects” karya Ibrahim D.Y. dan Mutuku M.K. membedah secara mendalam bagaimana praktik SRM memengaruhi efektivitas proyek konstruksi jalan di Wajir County, Kenya.
Latar Belakang dan Relevansi Penelitian
Penelitian ini berangkat dari tantangan nyata yang dihadapi sektor publik Kenya dalam proyek pembangunan jalan, khususnya di wilayah terpencil seperti Wajir County. Dengan menggunakan pendekatan teori stewardship sebagai landasan teoritis—yang menekankan pentingnya pengelolaan organisasi berbasis tanggung jawab kolektif—studi ini menyoroti bagaimana kolaborasi dengan pemasok berdampak langsung terhadap output proyek.
Pengumpulan data dilakukan melalui survei semi-terstruktur yang menyasar 50 responden, terdiri dari 5 manajer proyek dan 45 anggota tim proyek dari Departemen Jalan dan Transportasi Wajir County.
Temuan Kunci: SRM dan Performa Proyek Konstruksi
a. Pertukaran Ide dan Umpan Balik yang Meningkatkan Operasional
Sebanyak 40,9% responden setuju bahwa hubungan yang positif dengan pemasok memungkinkan terjadinya pertukaran ide dan feedback secara berkala, yang pada gilirannya meningkatkan efisiensi operasional. Nilai rata-rata dari tanggapan ini adalah 3.7 (dari skala 5), dengan standar deviasi yang rendah (0.98), menunjukkan konsistensi jawaban.
b. Efisiensi Biaya
36,4% responden menyatakan bahwa hubungan yang baik dengan pemasok berdampak pada pengurangan biaya. Hal ini menunjukkan adanya penghematan operasional yang nyata, yang diperkuat oleh rata-rata skor 3.66.
c. Identifikasi dan Eliminasi Limbah
SRM juga memungkinkan pemerintah daerah mengidentifikasi akar penyebab limbah dan merancang solusi untuk mengeliminasinya. Hal ini terbukti dari 31,8% responden yang sangat setuju dengan pernyataan ini, dengan skor rata-rata 3.73.
d. Komunikasi yang Lebih Baik
Peningkatan komunikasi internal dan eksternal dalam proyek adalah dampak positif lainnya. Meski hanya 15,9% yang sangat setuju, skor rata-rata 3.34 menandakan adanya pengaruh sedang dari SRM terhadap komunikasi yang lebih efektif antara pihak internal dan pemasok.
e. Penguatan Rantai Pasokan
Sebanyak 34,1% responden mengamini bahwa strategi SRM memperkuat rantai pasokan proyek, ditandai oleh skor rata-rata 3.75. Ini menunjukkan bahwa SRM tidak hanya bermanfaat secara mikro tetapi juga berdampak sistemik terhadap kesinambungan proyek.
Analisis Regresi: SRM sebagai Prediktor Signifikan Kinerja Proyek
Studi ini menggunakan analisis regresi linier untuk mengukur pengaruh SRM terhadap kinerja proyek. Hasilnya menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0.432—indikator hubungan positif yang cukup kuat antara SRM dan performa proyek. R-squared sebesar 0.187 berarti 18,7% variasi dalam performa proyek dapat dijelaskan oleh variabel SRM.
Dengan nilai F-statistik 9.647 dan p-value 0.003, model ini secara statistik signifikan. Regresi menunjukkan koefisien SRM sebesar 0.635 (p = 0.003), menandakan bahwa setiap peningkatan satu unit dalam SRM akan menaikkan skor performa proyek sebesar 0.635 poin, ceteris paribus.
Studi Kasus: Wajir County sebagai Laboratorium Implementasi SRM
Wajir County menjadi contoh menarik untuk mengamati dinamika SRM di kawasan dengan tantangan geografis dan logistik tinggi. Pemerintah daerah berhasil menciptakan hubungan jangka panjang dengan pemasok, yang kemudian berdampak pada pengurangan konflik kontraktual, penyediaan material tepat waktu, serta peningkatan transparansi dalam pengadaan barang.
Di wilayah yang sering diabaikan dalam prioritas nasional, pencapaian ini menjadi bukti bahwa pendekatan manajemen relasi dapat menjadi instrumen kebijakan pembangunan daerah yang efektif.
Pembelajaran bagi Indonesia: Apa yang Bisa Diadopsi?
Meski konteks geografis dan sosial berbeda, Indonesia memiliki kemiripan dalam karakteristik proyek konstruksi jalan—sering kali tersebar di daerah terpencil dengan keterbatasan infrastruktur logistik. Beberapa poin kunci dari studi ini yang dapat diadopsi antara lain:
Kritik dan Saran terhadap Studi
Studi ini memberikan kontribusi signifikan dalam pemahaman peran SRM dalam proyek konstruksi. Namun, terdapat beberapa catatan:
Akan sangat menarik jika studi lanjutan memasukkan metode kualitatif seperti studi etnografis proyek, atau perbandingan antar-county, untuk memperkuat validitas ekternal temuan.
Penutup: Hubungan yang Baik Bukan Sekadar Nilai Tambah, Melainkan Keputusan Strategis
Artikel ini menunjukkan dengan jelas bahwa SRM bukan sekadar strategi relasional, tetapi merupakan pilar dari keberhasilan proyek konstruksi. Dengan membangun hubungan yang saling percaya dan terbuka antara pemilik proyek dan pemasok, efisiensi, akurasi, dan keberlanjutan proyek dapat ditingkatkan secara signifikan.
Untuk organisasi pemerintah maupun swasta, terutama di sektor konstruksi yang kompleks dan penuh tantangan, praktik SRM layak dijadikan investasi jangka panjang. Ia bukan hanya menjanjikan efisiensi teknis, tetapi juga menciptakan lingkungan kolaboratif yang mendukung pertumbuhan ekonomi lokal, meningkatkan kualitas proyek, serta memperkuat integritas sistem pengadaan.
Sumber asli artikel:
Ibrahim, D. Y., & Mutuku, M. K. (2022). Supplier relationship management and performance of road construction projects. The Strategic Journal of Business & Change Management, 9(4), 1515–1523.