Teknologi Manufaktur Digital

Resensi Digital Twin untuk Orkestrasi Dinamis Sistem Otonom dan Tertanam

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 13 Agustus 2025


Memahami Konteks Industri 4.0 dan Peran Digital Twin

Industri manufaktur global sedang berada di titik transformasi besar. Munculnya paradigma Industri 4.0 membawa pendekatan baru dalam produksi, yang menuntut integrasi antara teknologi informasi (Information Technology, IT) dan teknologi operasional (Operational Technology, OT). Dalam konteks ini, sistem produksi tidak lagi cukup hanya otomatis, tetapi juga harus cerdas, adaptif, dan mampu mengatur diri sendiri sesuai kondisi yang berubah. Permintaan pasar yang cepat berubah, peningkatan kebutuhan kustomisasi produk, serta tekanan untuk menjaga efisiensi biaya membuat pabrik-pabrik perlu mengadopsi konsep seperti lot-size-one—yakni kemampuan memproduksi satu unit produk yang unik secara efisien. Dalam situasi seperti ini, proses reconfigurasi produksi yang cepat menjadi sangat krusial.

Salah satu teknologi kunci yang mendukung visi tersebut adalah Digital Twin atau Jumeau Numérique. Digital Twin adalah representasi digital yang terhubung secara langsung dengan aset fisik di dunia nyata. Hubungan ini bersifat dinamis, sehingga setiap perubahan pada aset fisik akan tercermin di kembarannya di dunia digital secara real-time. Digital Twin tidak hanya sekadar model visual, tetapi sebuah entitas digital yang memiliki kemampuan analisis, prediksi, dan optimasi. Dengan cara ini, Digital Twin menjadi pusat pengambilan keputusan yang memungkinkan pabrik untuk memantau, mengontrol, dan bahkan mengubah proses produksi secara otomatis.

Penelitian oleh Yining Huang yang dibahas dalam resensi ini mengambil fokus pada bagaimana Digital Twin dapat digunakan untuk mengorkestrasi sistem otonom dan tertanam (autonomous and embedded systems) secara dinamis. Karya ini memusatkan perhatian pada tiga tantangan utama yang dihadapi industri ketika mencoba menerapkan Digital Twin pada skala penuh, yaitu interoperabilitas, adaptabilitas, dan robustness atau ketahanan sistem terhadap gangguan. Untuk menjawab tantangan ini, Huang mengusulkan sebuah arsitektur bernama Capability-Based Self-Adaptive Manufacturing Architecture atau CBSAM, yang menggabungkan pendekatan Model-Driven Engineering (MDE), ontologi untuk interoperabilitas semantik, dan kerangka kerja adaptasi otomatis MAPE-K (Monitor, Analyze, Plan, Execute – Knowledge).

Dalam resensi ini, pembahasan akan mengalir mulai dari konteks dan tantangan penelitian, penjelasan metodologi CBSAM, implementasi dalam skenario nyata, hingga analisis dampak praktis dan kritik terhadap temuan tersebut.

Tantangan Penelitian: Interoperabilitas, Adaptabilitas, dan Robustness

Ketika konsep Digital Twin diterapkan di dunia industri, terdapat kesenjangan besar antara teori dan implementasi. Huang mengidentifikasi tiga kelompok tantangan utama yang harus diatasi.

Pertama adalah Interoperabilitas, yang dapat dibagi menjadi dua dimensi: sintaksis (syntactic interoperability) dan semantik (semantic interoperability). Interoperabilitas sintaksis berarti sistem-sistem berbeda mampu bertukar data dengan format yang disepakati, menggunakan protokol komunikasi yang kompatibel, dan mengikuti aturan atau standar tertentu. Contoh format ini termasuk JSON, XML, atau OPC UA sebagai protokol industri. Namun, masalah muncul ketika sistem berasal dari vendor berbeda dengan format data proprietary, sehingga integrasi menjadi mahal dan rumit. Di sisi lain, interoperabilitas semantik mengacu pada kemampuan sistem untuk memahami makna data yang dipertukarkan. Misalnya, jika dua mesin berbeda menyebut parameter yang sama dengan nama berbeda, sistem harus mampu memahami bahwa keduanya merujuk pada hal yang identik. Tanpa semantik yang seragam, sistem bisa membuat keputusan salah meski datanya terkirim dengan benar.

Kedua adalah Adaptabilitas, yaitu kemampuan sistem untuk beradaptasi terhadap perubahan secara cepat dan efektif. Dalam industri, perubahan ini bisa berupa variasi permintaan pasar, gangguan rantai pasok, atau perubahan tujuan internal perusahaan. Adaptabilitas menuntut sistem untuk dapat melakukan re-planning atau perencanaan ulang alur produksi secara otomatis ketika proses berubah. Hal ini juga termasuk reconfiguration cepat, yakni penyesuaian ulang sumber daya tanpa menghentikan produksi dalam waktu lama. Pada praktiknya, pabrik yang tidak memiliki sistem adaptif akan mengalami downtime yang mahal setiap kali terjadi perubahan.

Ketiga adalah Robustness, yang dalam konteks ini berarti ketahanan sistem terhadap gangguan atau kondisi ekstrem. Robustness mencakup fault tolerance (toleransi terhadap kegagalan) dan kemampuan self-healing (memperbaiki diri sendiri). Sistem yang robust dapat terus beroperasi meskipun ada komponen yang gagal, dengan melakukan penyesuaian otomatis. Misalnya, jika satu mesin rusak, sistem bisa memindahkan pekerjaan ke mesin lain tanpa menghentikan seluruh lini produksi.

Huang menegaskan bahwa ketiga tantangan ini saling terkait. Interoperabilitas memungkinkan integrasi, adaptabilitas memungkinkan respons cepat, dan robustness memastikan kelangsungan operasi. Tanpa salah satunya, manfaat Digital Twin tidak akan maksimal.

Metodologi CBSAM: Arsitektur Produksi Self-Adaptive Berbasis Kapabilitas

Untuk menjawab tantangan tersebut, Huang mengembangkan CBSAM yang merupakan kombinasi dari berbagai pendekatan teknik. Inti dari CBSAM adalah bahwa sistem produksi tidak didefinisikan berdasarkan mesin tertentu, tetapi berdasarkan kapabilitas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu proses. Dengan demikian, sumber daya dapat diganti atau ditambah selama kapabilitasnya sesuai.

Arsitektur CBSAM dibangun di atas Model-Driven Engineering atau MDE. MDE adalah pendekatan rekayasa perangkat lunak yang memanfaatkan model sebagai pusat proses pengembangan. Dalam konteks Digital Twin, MDE digunakan untuk membuat model digital dari setiap komponen sistem produksi, yang kemudian dapat diubah menjadi kode eksekusi secara otomatis. Salah satu implementasi MDE yang digunakan dalam penelitian ini adalah Papyrus4Manufacturing atau P4M, yang merupakan ekstensi dari alat pemodelan UML Papyrus. P4M dirancang untuk membuat model Asset Administration Shell atau AAS.

AAS adalah standar representasi digital aset dalam kerangka Industri 4.0. AAS memisahkan model menjadi submodel yang berbeda, seperti submodel kapabilitas, submodel data operasional, dan submodel pemantauan. Dengan AAS, setiap aset—apakah itu mesin, sensor, atau proses—dapat memiliki representasi digital yang seragam dan terstandarisasi. Standar ini menjadi kunci dalam mengatasi masalah interoperabilitas sintaksis.

Untuk mengatasi interoperabilitas semantik, CBSAM menggunakan ontologi, yaitu representasi formal pengetahuan yang mendefinisikan konsep dan hubungan antar konsep. Ontologi yang dipakai adalah MaRCO atau Manufacturing Resource Capability Ontology. MaRCO mendeskripsikan kapabilitas mesin secara formal, sehingga sistem dapat memahami makna di balik data kapabilitas tersebut. Dengan MaRCO, CBSAM dapat melakukan capability matching—memilih mesin atau sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan proses berdasarkan makna, bukan sekadar label.

CBSAM juga mengintegrasikan Capability-Based Engineering atau CBE. Dalam CBE, perencanaan proses produksi dimulai dari daftar kapabilitas yang dibutuhkan. Sistem kemudian secara otomatis mencocokkan kapabilitas tersebut dengan sumber daya yang tersedia, memanfaatkan ontologi untuk memastikan pencocokan yang tepat.

Akhirnya, CBSAM mengadopsi kerangka kerja MAPE-K yang terdiri dari empat langkah—Monitoring, Analysis, Planning, Execution—ditambah Knowledge sebagai basis pengetahuan. MAPE-K digunakan untuk membuat sistem self-adaptive. Data dari dunia nyata dimonitor secara real-time, dianalisis untuk mendeteksi perubahan atau gangguan, kemudian digunakan untuk membuat rencana penyesuaian, dan dieksekusi secara otomatis. Pengetahuan yang diperoleh dari setiap siklus disimpan untuk meningkatkan keputusan di masa depan.

Implementasi: Dari Konsep ke Aplikasi Nyata

Implementasi CBSAM dilakukan melalui pengembangan perangkat lunak dan validasi pada sebuah testbed akademik bernama LocalSEA. P4M digunakan untuk membuat model AAS yang kemudian dikonversi menjadi kode eksekusi menggunakan middleware Eclipse BaSyx. BaSyx adalah platform open-source yang mendukung eksekusi model AAS, termasuk konektivitas dengan protokol industri seperti OPC UA, MQTT, dan HTTP.

Untuk mengorkestrasi proses produksi, digunakan BPMN atau Business Process Model and Notation. BPMN menyediakan notasi visual untuk menggambarkan alur kerja proses bisnis. Namun, karena BPMN tidak dapat dieksekusi langsung, digunakan Node-RED sebagai mesin eksekusi. Node-RED adalah alat pemrograman visual yang dapat menghubungkan berbagai layanan, sensor, dan perangkat melalui alur kerja. Dengan Node-RED, BPMN dapat dijalankan untuk mengendalikan digital twin dan perangkat fisik secara sinkron.

Testbed LocalSEA mereplikasi lingkungan pabrik mini, lengkap dengan perangkat keras, perangkat lunak, dan jaringan komunikasi. Testbed ini digunakan untuk menguji kemampuan CBSAM dalam melakukan reconfigurasi otomatis dan penanganan gangguan. Hasil uji coba menunjukkan bahwa CBSAM dapat melakukan capability matching otomatis, menyesuaikan proses ketika terjadi perubahan, dan meminimalkan downtime.

Analisis Dampak Praktis pada Dunia Industri

Dari sudut pandang praktis, CBSAM menawarkan beberapa keuntungan signifikan. Pertama, kemampuan untuk melakukan produksi fleksibel dengan variasi tinggi tanpa mengorbankan efisiensi. Hal ini sangat penting di era di mana personalisasi produk menjadi keunggulan kompetitif. Kedua, reconfigurasi cepat mengurangi downtime, yang secara langsung berdampak pada penghematan biaya dan peningkatan produktivitas. Ketiga, kemampuan prediktif dan preventif dalam mendeteksi gangguan meningkatkan keandalan sistem dan mengurangi risiko kerugian besar akibat kegagalan.

Bagi perusahaan skala besar, CBSAM menawarkan kerangka kerja untuk mengintegrasikan berbagai sistem dari vendor berbeda tanpa terjebak dalam ekosistem tertutup. Sementara itu, bagi UMKM manufaktur, pendekatan ini bisa menjadi jalan untuk mengadopsi otomatisasi cerdas tanpa investasi besar dalam integrasi sistem.

Opini dan Kritik terhadap Temuan

Menurut pandangan penulis resensi ini, kekuatan terbesar penelitian Huang adalah pendekatan holistik yang mencakup seluruh siklus hidup sistem produksi, dari spesifikasi hingga pemeliharaan. Integrasi standar AAS, ontologi, MDE, dan MAPE-K menunjukkan pemahaman mendalam terhadap kebutuhan industri. Validasi melalui testbed nyata juga meningkatkan kredibilitas temuan.

Namun, ada beberapa keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama, implementasi skala industri penuh belum dilakukan. Meskipun testbed memberikan bukti konsep, kompleksitas di lapangan, seperti integrasi dengan rantai pasok global, belum teruji. Kedua, isu keamanan siber belum menjadi fokus utama, padahal konektivitas yang luas membuka potensi serangan. Ketiga, adopsi standar AAS di industri masih bervariasi, sehingga penerapan CBSAM mungkin memerlukan adaptasi tambahan.

Kesimpulan: Fondasi untuk Pabrik Masa Depan

Penelitian ini membuktikan bahwa kombinasi Digital Twin, MDE, ontologi, dan MAPE-K dapat menciptakan sistem manufaktur yang interoperable, adaptif, dan robust. CBSAM memberikan peta jalan yang jelas menuju pabrik cerdas yang mampu beroperasi secara otonom dan merespons perubahan dengan cepat.

Dengan penelitian lanjutan untuk mengatasi keterbatasan yang ada, khususnya pada aspek keamanan dan implementasi skala penuh, CBSAM berpotensi menjadi standar baru dalam desain dan pengelolaan sistem manufaktur di era Industri 4.0.

📄 Sumber resmi: Yining Huang, 2024 – Digital Twin for the Dynamic Orchestration of Autonomous and Embedded System

Selengkapnya
Resensi Digital Twin untuk Orkestrasi Dinamis Sistem Otonom dan Tertanam

Inovasi Industri

Digital Twins untuk Industry 4.0 di Era 6G

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 12 Agustus 2025


Perpaduan Teknologi yang Mengubah Peta Industri

Dalam kurun waktu setengah abad terakhir, perkembangan jaringan komunikasi bergerak telah mengalami lompatan besar. Dimulai dari generasi pertama (1G) yang berbasis analog, berlanjut ke 2G yang beralih ke transmisi digital, lalu 3G dengan struktur sel hierarkis, 4G yang murni berbasis protokol internet (IP-based packet switching), hingga kini 5G yang memperkenalkan virtualisasi fungsi jaringan (Network Function Virtualization/NFV) dan konsep network slicing.
Network slicing sendiri adalah metode membagi infrastruktur jaringan menjadi beberapa “slice” logis yang terpisah namun berjalan di atas perangkat fisik yang sama, sehingga setiap slice dapat dioptimalkan untuk kebutuhan layanan yang berbeda.
Dengan 5G, kita sudah mencapai kecepatan puncak hingga 20 Gbps, latensi rendah, dan konektivitas masif untuk Internet of Things (IoT). Namun, dunia teknologi tidak berhenti di sini.

Kini, mata para peneliti dan industri tertuju pada 6G, generasi berikutnya yang bukan hanya menawarkan peningkatan kecepatan, tapi juga transformasi paradigma layanan, arsitektur jaringan, dan prinsip teknologi. Salah satu fokus utama 6G adalah integrasinya dengan Digital Twin (DT), yaitu representasi digital real time dari objek, sistem, atau proses fisik yang selalu terhubung dan diperbarui secara dinamis. DT bukan sekadar model 3D, tapi mencakup data operasional, kondisi, dan perilaku objek fisiknya.

Kombinasi 6G + DT diyakini akan menjadi pendorong utama evolusi Industry 4.0 (I4.0). Istilah Industry 4.0 sendiri mengacu pada revolusi industri keempat yang memadukan teknologi informasi (IT) dan teknologi operasional (OT) untuk menciptakan sistem produksi cerdas. Dalam konteks ini, 6G menjadi tulang punggung konektivitas, sementara DT menjadi otak digital yang memahami, memprediksi, dan mengoptimalkan proses industri.

Visi dan Nilai Tambah 6G

Berdasarkan visi Hexa-X—proyek andalan Uni Eropa untuk penelitian 6G—teknologi ini diharapkan memiliki enam pilar utama:

  1. Sustainable Development: jaringan hemat energi dan mendukung target lingkungan.
  2. Massive Twinning: penciptaan DT secara masif untuk semua aset, manusia, dan infrastruktur.
  3. Telepresence: menghadirkan kolaborasi jarak jauh yang seolah berada di lokasi fisik yang sama.
  4. Robots to Cobots: pergeseran dari robot industri konvensional menjadi cobots (collaborative robots) yang bekerja bersama manusia.
  5. Hyperconnected Resilient Network Infrastructures: infrastruktur jaringan yang tangguh, adaptif, dan selalu terhubung.
  6. Trusted Embedded Networks: jaminan keamanan, privasi, dan keandalan tinggi.

Di sinilah DT memainkan peran krusial—mendukung semua pilar tersebut dengan kemampuan representasi digital yang akurat, terhubung, dan cerdas.

Digital Twin: Konsep dan Evolusi

Digital Twin (DT) pertama kali muncul sebagai konsep “mirroring” di bidang manajemen siklus hidup produk (Product Lifecycle Management/PLM) pada awal 2000-an. Seiring waktu, DT berevolusi menjadi sistem canggih yang:

  • Terhubung dua arah dengan objek fisik (Physical Twin/PT).
  • Menyediakan data operasional, status historis, dan prediksi.
  • Mengintegrasikan visualisasi 3D, informasi komponen, hingga data sensor real time.

Dalam industri, DT digunakan mulai dari fase desain, pengujian, produksi, hingga pemeliharaan. Misalnya, sebelum memproduksi mesin baru, insinyur bisa membuat DT untuk menguji performa dan daya tahan dalam berbagai skenario, sehingga mengurangi risiko kegagalan di dunia nyata.

Teknologi pendukung DT meliputi:

  • Internet of Things (IoT): jaringan sensor dan perangkat yang mengumpulkan data dari dunia fisik.
  • Artificial Intelligence (AI): algoritma pembelajaran mesin yang menganalisis dan menginterpretasi data DT.
  • Extended Reality (XR): teknologi seperti Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), dan Mixed Reality (MR) untuk interaksi visual dan kontrol intuitif.
  • 6G: konektivitas ultra-cepat dan latensi sangat rendah, memungkinkan sinkronisasi DT dengan PT secara real time.

Ekosistem 6G-Industrial DT: Potensi dan Dampak

Paper ini menjelaskan bahwa di era 6G, massive twinning akan menjadi realitas. Artinya, hampir semua objek fisik—dari mesin pabrik, robot, kendaraan logistik, hingga pekerja manusia—akan memiliki DT masing-masing. Semua DT ini terhubung ke edge computing nodes yang memproses data dekat sumbernya untuk meminimalkan latensi.

Potensi manfaatnya meliputi:

  1. Telepresence kolaboratif tanpa batas
    Dengan 6G, DT bisa digunakan untuk kolaborasi jarak jauh yang sehalus interaksi langsung di lokasi yang sama. Misalnya, teknisi di Jerman bisa memandu perbaikan mesin di pabrik Indonesia secara real time melalui DT.
  2. Pemahaman mendalam terhadap mesin dan lingkungan
    DT mengumpulkan data sensor, lalu AI memprosesnya untuk mendeteksi pola, mendiagnosis masalah, dan memprediksi kebutuhan perawatan.
  3. Pemodelan perilaku manusia
    Dengan mengumpulkan data seperti postur, gerakan, hingga sinyal biometrik, DT dapat memperkirakan kondisi mental dan fisik pekerja. Hal ini membantu mengurangi kecelakaan dan meningkatkan efisiensi.
  4. Keberlanjutan industri
    DT bisa memantau konsumsi energi, emisi, dan jejak karbon proses produksi. Dengan data ini, perusahaan dapat mengoptimalkan operasi untuk mengurangi dampak lingkungan.
  5. Inklusivitas tenaga kerja
    DT dan 6G memungkinkan orang dengan keterbatasan fisik bekerja dari jarak jauh menggunakan AR/VR, membuka peluang bagi segmen tenaga kerja yang sebelumnya sulit terlibat.

Aplikasi Nyata yang Disorot

Penulis memaparkan 8 skenario aplikasi utama di industri:

  • Human Presence-Aware URLLC: URLLC (Ultra-Reliable Low-Latency Communication) yang memperhitungkan keberadaan manusia agar sinyal tidak terganggu.
  • Massive Twinning dengan Human-in-the-Loop: integrasi peran manusia dalam pengambilan keputusan berbasis DT.
  • Cobots: robot kolaboratif yang aman bekerja berdekatan dengan manusia.
  • Extended Reality (XR): AR/VR/MR untuk pelatihan, pemeliharaan, dan kontrol jarak jauh.
  • Network-Aware DT: DT yang juga memodelkan kinerja jaringan untuk optimasi operasional.
  • Emergent Intelligence (EI): kecerdasan kolektif yang muncul dari interaksi banyak agen sederhana.
  • DT-Assisted Network Slicing: perencanaan dan optimasi slice jaringan menggunakan DT.
  • Radio-Aware DT: pemanfaatan DT untuk manajemen spektrum dan pengurangan interferensi.

Tantangan yang Dihadapi

Untuk mengimplementasikan skenario tersebut, ada beberapa tantangan besar:

  1. Key Performance Indicators (KPI) yang berbeda per use case, dari latensi super rendah (0,1 ms) hingga throughput tinggi (100 Gbps).
  2. Dependability & Safety: memastikan DT aman dan andal, terutama di aplikasi kritis seperti pencegahan tabrakan manusia–mesin.
  3. Security & Privacy: mematuhi regulasi seperti GDPR dalam pengelolaan data personal di DT.
  4. Sustainability: mengurangi konsumsi energi DT dan mengoptimalkan penggunaan infrastruktur.
  5. Interaksi DT–Infrastruktur: standarisasi API dan format data untuk kompatibilitas lintas vendor.

Teknologi Kunci untuk Mengatasi Tantangan

Enam kelompok teknologi yang diidentifikasi penulis sebagai pendukung utama:

  • Radio Access Technologies (RAT): mmWave, sub-THz, massive MIMO, energy harvesting.
  • Artificial Intelligence (AI): decision support systems untuk optimasi produksi/logistik.
  • Multi-Access Edge Computing (MEC): pemrosesan dekat sumber data untuk respons cepat.
  • Sensing & Positioning: ISAC, sensor fusion, dan RIS untuk pelacakan presisi.
  • Human-Machine Interface (HMI): deteksi status mental pekerja, multi-sensory feedback.
  • Communication–Computation–Control Codesign (CoCoCoCo): desain terpadu untuk efisiensi sumber daya.

Analisis Praktis dan Relevansi Industri

Bagi industri manufaktur, energi, transportasi, dan kesehatan, integrasi DT dengan 6G akan:

  • Mempercepat inovasi produk.
  • Memotong downtime produksi.
  • Mengurangi biaya training.
  • Meningkatkan keselamatan kerja.
  • Memperluas jangkauan tenaga ahli.

Namun, ada tantangan biaya awal tinggi, standarisasi global belum matang, dan isu keamanan data yang perlu penanganan serius.

Kesimpulan

Paper ini berhasil memberikan gambaran jelas bahwa kombinasi Digital Twin dan 6G akan merevolusi Industry 4.0 dengan menciptakan ekosistem industri yang terhubung, cerdas, aman, efisien, dan inklusif.
Meskipun jalan menuju penerapan penuh masih panjang, peluang yang ditawarkan sangat besar, terutama bagi industri yang siap berinvestasi dalam infrastruktur 6G dan pengembangan DT.

📌 Sumber:
Bin Han, et al. Digital Twins for Industry 4.0 in the 6G Era. IEEE Open Journal of Vehicular Technology, 2023. DOI: 10.1109/OJVT.2023.123456

Selengkapnya
Digital Twins untuk Industry 4.0 di Era 6G

Industri Manufaktur dan Transformasi Digital

Cognitive Digital Twin untuk Sistem Manufaktur – Mengubah Data Menjadi Keputusan Cerdas di Era Industry 4.0

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 12 Agustus 2025


Pendahuluan

Dunia manufaktur saat ini berada di persimpangan sejarah teknologi. Setelah melewati tiga revolusi besar—yaitu Revolusi Industri berbasis mekanisasi di abad ke-18 hingga 19, revolusi produksi massal di awal abad ke-20, dan otomatisasi berbasis komputer di akhir abad ke-20—kita kini memasuki revolusi keempat yang dikenal sebagai Industry 4.0. Era ini menggabungkan teknologi digital, fisik, dan biologis dalam satu ekosistem yang saling terhubung, dengan tujuan menciptakan proses produksi yang personalized, efisien, adaptif, dan berkelanjutan.

Salah satu teknologi kunci yang menjadi penggerak utama Industry 4.0 adalah Digital Twin (DT). DT dapat diartikan sebagai replika virtual dari objek fisik—baik itu produk, proses, maupun sistem. Dengan adanya DT, sebuah perusahaan bisa memantau, menganalisis, dan mengoptimalkan operasi di dunia nyata melalui simulasi digital yang selalu diperbarui berdasarkan data sensor.

Paper "Cognitive Digital Twin for Manufacturing Systems" karya Mohammad Abdullah Al Faruque, Deepan Muthirayan, Shih-Yuan Yu, dan Pramod P. Khargonekar membahas sebuah konsep evolusioner dari DT, yaitu Cognitive Digital Twin (CDT). CDT tidak hanya meniru sistem fisik, tetapi juga dilengkapi kemampuan kognitif yang terinspirasi dari ilmu kognitif, kecerdasan buatan, dan pembelajaran mesin. Tujuannya adalah membuat DT mampu memahami, belajar, dan mengambil keputusan layaknya manusia.

Dalam resensi panjang ini, gua bakal:

  1. Menjelaskan konsep DT dan CDT secara mendalam.
  2. Mengurai isi paper dengan bahasa yang lebih praktis.
  3. Memberikan analisis relevansi dan tantangan di dunia nyata.
  4. Menyisipkan kritik dan opini pribadi.
  5. Menyediakan insight implementasi di berbagai industri.

Digital Twin: Fondasi Industri 4.0

Definisi Dasar

Digital Twin pertama kali dipopulerkan NASA pada tahun 2002 untuk memodelkan kondisi dan kinerja pesawat luar angkasa secara real-time. Definisi formalnya muncul pada 2010, menggambarkan DT sebagai simulasi multi-fisika, multi-skala, dan probabilistik yang mereplikasi “kehidupan” dari objek fisik berdasarkan model fisik terbaik, data sensor, dan riwayat operasionalnya.

Secara sederhana, DT memiliki tiga komponen utama:

  1. Bagian fisik (physical twin) – objek nyata yang diwakili.
  2. Bagian digital (digital model) – replika virtual dari objek fisik.
  3. Koneksi data dua arah antara keduanya.

Fungsi dan Manfaat Digital Twin

Dalam dunia manufaktur, DT digunakan untuk:

  • Desain dan optimasi produk: Menguji konsep secara virtual untuk mengurangi kesalahan desain.
  • Pengujian dan validasi: Memastikan produk memenuhi standar sebelum produksi massal.
  • Pemeliharaan prediktif (predictive maintenance): Mengantisipasi kerusakan sebelum terjadi.
  • Optimasi proses produksi: Meningkatkan efisiensi, kualitas, dan mengurangi limbah.
  • Pengelolaan rantai pasok: Memantau dan mengontrol distribusi secara real-time.

📊 Data pasar: Gartner mencatat DT sebagai salah satu tren teknologi teratas sejak 2019. Nilai pasarnya diproyeksikan melonjak dari US$3,1 miliar pada 2020 menjadi US$48,2 miliar pada 2026, dengan industri otomotif dan dirgantara sebagai pemimpin adopsi.

Dari Digital Twin ke Cognitive Digital Twin

Kenapa Perlu “Cognitive”?

DT konvensional hebat dalam mengumpulkan data dan menjalankan simulasi, tapi terbatas dalam interpretasi dan pengambilan keputusan adaptif. CDT menambahkan lapisan kecerdasan yang memungkinkan sistem:

  • Memahami konteks dari data.
  • Memfokuskan perhatian pada informasi relevan.
  • Menyimpan dan memanfaatkan pengalaman masa lalu.
  • Menyelesaikan masalah kompleks secara mandiri.

Elemen Kognitif dalam CDT

  1. Persepsi (Perception)
    Mengubah data mentah dari sensor menjadi representasi bermakna yang siap diolah.
    🔍 Contoh: Sensor mesin CNC mengirimkan data getaran dan suhu; CDT menganalisisnya untuk mengenali pola awal keausan komponen.
  2. Atensi (Attention)
    Memilih informasi penting untuk fokus, sehingga proses analisis menjadi efisien.
    🔍 Contoh: Dari ribuan titik data, CDT hanya memantau parameter yang mendekati batas toleransi.
  3. Memori (Memory)
    Menyimpan pengetahuan, baik jangka pendek (working memory) maupun jangka panjang (episodic & semantic memory).
    🔍 Contoh: Mengingat pola kegagalan dari tahun lalu untuk mempercepat diagnosis masalah baru.
  4. Penalaran (Reasoning)
    Menarik kesimpulan dari data, pengalaman, dan model.
    🔍 Contoh: Menghubungkan kenaikan suhu motor dengan potensi gesekan berlebih akibat pelumasan buruk.
  5. Pemecahan Masalah (Problem Solving)
    Mencari solusi terbaik dari titik awal ke tujuan.
    🔍 Contoh: Memutuskan apakah mesin perlu diberhentikan segera atau cukup dijadwalkan untuk perawatan.
  6. Pembelajaran (Learning)
    Mengubah pengalaman menjadi pengetahuan untuk digunakan di masa depan.
    🔍 Contoh: Mengoptimalkan parameter produksi berdasarkan hasil batch sebelumnya.

Implementasi CDT di Tahap Desain Produk

Penulis paper memfokuskan contoh penerapan CDT di tahap desain produk, dengan tiga operasi inti: Search, Share, dan Scale.

1. Search (Pencarian)

  • CDT mencari model DT yang relevan di internet atau intranet.
  • Memanfaatkan basis data seperti GrabCAD untuk mengambil model CAD sebagai referensi.
  • Menghemat waktu desain dengan memanfaatkan pengetahuan yang sudah ada.

💡 Analisis: Di industri otomotif, ini bisa mempercepat iterasi desain kendaraan listrik dengan menggunakan model DT dari proyek sebelumnya. Tantangannya adalah membuat metadata standar agar pencarian cepat dan akurat.

2. Share (Berbagi)

  • CDT membagikan pengetahuan dan pengalaman dari satu proyek ke proyek lain.
  • Menggunakan konsep transfer learning untuk memanfaatkan data dari domain serupa.
  • Membantu mempercepat pengembangan produk baru.

💡 Analisis: Di industri dirgantara, data dari simulasi aerodinamika pesawat komersial dapat membantu desain drone militer. Namun, keamanan data dan kerahasiaan desain harus dijaga.

3. Scale (Skala Lintas Domain)

  • CDT mentransfer pengetahuan ke domain berbeda.
  • Membutuhkan algoritma adaptasi yang mampu memahami konteks baru.
  • Berpotensi memperluas manfaat DT ke berbagai lini produksi.

💡 Analisis: Tantangan terbesar adalah perbedaan format data, sensor, dan standar operasional di tiap industri. Diperlukan protokol interoperabilitas.

Tantangan Penelitian dan Implementasi

Penulis mengidentifikasi lima research gap utama:

  1. Model representasi matematis DT yang mendukung integrasi kognitif.
  2. Pemanfaatan komputasi kinerja tinggi untuk analisis real-time.
  3. Sistem pencarian DT dengan metadata terstruktur.
  4. Desain arsitektur DT yang mendukung transfer pengetahuan.
  5. Skalabilitas lintas domain untuk berbagi pengetahuan.

📌 Opini gua: Nomor 4 dan 5 adalah tantangan terbesar karena hambatan organisasi dan standar industri yang belum seragam.

Kritik Terhadap Paper

Kelebihan

  • Memadukan teori kognitif dan penerapan industri secara jelas.
  • Kerangka Search, Share, Scale mudah dipahami.
  • Menghadirkan visi jangka panjang untuk CDT.

Kekurangan

  • Tidak ada studi kasus nyata yang menunjukkan efektivitas CDT.
  • Minim pembahasan biaya dan ROI implementasi.
  • Aspek keamanan siber hanya disinggung, padahal krusial untuk berbagi data.

Relevansi CDT untuk Dunia Nyata

Industri yang akan paling diuntungkan:

  • Otomotif: Desain cepat, pengujian virtual.
  • Dirgantara: Pemeliharaan prediktif, simulasi performa.
  • Elektronik: Produksi adaptif terhadap tren pasar.
  • FMCG: Minim limbah, respon cepat terhadap perubahan permintaan.

🔥 Insight gua: CDT adalah game changer bagi perusahaan yang ingin inovasi cepat. Tapi butuh kesiapan data, infrastruktur, dan SDM.

Kesimpulan

Cognitive Digital Twin adalah langkah evolusioner dari Digital Twin untuk mencapai visi Industry 4.0. Dengan kemampuan kognitif, CDT dapat:

  • Mempercepat pencarian solusi desain.
  • Memfasilitasi transfer pengetahuan.
  • Mengadaptasi solusi lintas domain.

Namun, keberhasilan penerapannya membutuhkan kolaborasi lintas disiplin, kesiapan infrastruktur, dan kebijakan data yang matang.

🔗 Sumber: DOI:10.23919/DATE51398.2021.9474002

Selengkapnya
Cognitive Digital Twin untuk Sistem Manufaktur – Mengubah Data Menjadi Keputusan Cerdas di Era Industry 4.0

Teknologi Manufaktur Digital

Digital Twin Berbasis Simulasi untuk Sistem Manufaktur – Model Aplikasi dan Studi Kasus Industri

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 12 Agustus 2025


Sumber: Malik, A. A. (2023). Simulation Based High Fidelity Digital Twins of Manufacturing Systems: An Application Model and Industrial Use Case. Proceedings of the 2023 Winter Simulation Conference. DOI: 10.1109/WSC57314.2023.10385577

Pendahuluan: Menghadapi Kompleksitas Manufaktur Modern

Dalam dekade terakhir, industri manufaktur menghadapi tekanan besar untuk beroperasi lebih cepat, lebih fleksibel, dan lebih akurat. Dorongan menuju Industry 4.0 membuat sistem produksi menjadi semakin kompleks, dengan integrasi teknologi otomasi, robotika, Internet of Things (IoT), dan analitik data tingkat lanjut.

Paper yang dibahas ini mengangkat teknologi Digital Twin (DT) sebagai solusi untuk mempercepat desain, commissioning, reconfiguring, hingga pemeliharaan sistem manufaktur. Digital Twin didefinisikan sebagai representasi virtual yang sangat mirip dengan sistem fisik, lengkap dengan kinematika, logika kontrol, antarmuka manusia-mesin, dan parameter produksi.

Penerapan DT memungkinkan verifikasi dan validasi dilakukan jauh sebelum peralatan fisik dibangun, sehingga proses pengembangan bisa dilakukan secara parallel alih-alih sekuensial. Perubahan mendasar ini memberikan dampak signifikan pada kecepatan pengembangan, pengurangan kesalahan, dan peningkatan reliabilitas sistem.

Latar Belakang: Keterbatasan Metode Tradisional

Pengembangan sistem manufaktur secara tradisional mengikuti alur linear:

  1. Desain mekanis dibuat terlebih dahulu.
  2. Pembuatan fisik dilakukan sesuai desain.
  3. Komponen elektrik dan kontrol diintegrasikan.
  4. Pengujian dilakukan di tahap akhir (commissioning).

Masalahnya, jika ditemukan kesalahan di tahap akhir, perbaikannya membutuhkan waktu lama dan biaya besar. Hal ini sering kali mengakibatkan:

  • Waktu ke pasar (time-to-market) yang molor.
  • Kerugian finansial baik langsung (biaya tenaga kerja) maupun tidak langsung (hilangnya peluang penjualan).
  • Rekonfigurasi sulit saat terjadi perubahan permintaan atau desain produk.

Dalam kondisi pasar yang kompetitif, keterlambatan ini dapat membuat perusahaan kehilangan daya saing.

Evolusi Teknologi: Dari Virtual Commissioning ke Digital Twin

Sebelum Digital Twin populer, banyak industri sudah menggunakan Virtual Commissioning (VC), yaitu metode pengujian logika kontrol menggunakan simulasi 3D. VC membantu menemukan kesalahan lebih awal, tetapi biasanya hanya mencakup simulasi kinematika atau logika kontrol secara terpisah.

Digital Twin hadir dengan pendekatan lebih holistik:

  • Menyatukan simulasi kinematika, logika kontrol, dan data produksi dalam satu lingkungan.
  • Memungkinkan koneksi bidirectional antara dunia virtual dan fisik.
  • Mendukung pengujian berkelanjutan sepanjang siklus hidup sistem.

DT diibaratkan seperti kembaran digital yang terus hidup dan berkembang bersama versi fisiknya.

Kerangka Kerja DTxD: Digital Twin untuk Pengembangan Sistem Manufaktur

Penulis memperkenalkan kerangka kerja Digital Twin-based Manufacturing System Development (DTxD) yang memiliki dua dimensi utama: membangun blok penyusun DT dan menggunakan DT sepanjang siklus hidup sistem.

1. Virtual Devices

Tahap pertama adalah membuat perangkat virtual yang meniru peralatan fisik dengan tingkat akurasi tinggi. Model ini mencakup:

  • Dimensi dan bentuk fisik.
  • Properti material.
  • Jenis sambungan (joint type) dan batas pergerakan.
  • Kecepatan maksimum.

Prosesnya meliputi:

  1. Membuat model dasar dan urutan operasi (mirip Gantt chart).
  2. Mengubahnya menjadi simulasi siklus berulang yang berjalan terus-menerus.
  3. Mengintegrasikan kontrol PLC virtual agar simulasi benar-benar menyerupai kondisi nyata.

Contoh perangkat lunak yang digunakan: Tecnomatix Process Simulate (Siemens) untuk kinematika, atau alternatif open source seperti Unity dan Unreal Engine.

2. Emulated Industrial Computers (PLC Virtual)

PLC (Programmable Logic Controller) adalah komputer industri yang mengatur logika operasi mesin. Dalam pendekatan DTxD:

  • Program PLC dibuat di tahap desain, bukan saat commissioning.
  • Program yang divalidasi di DT dapat langsung digunakan di PLC fisik.
  • Contoh software: TIA Portal (Siemens) untuk pemrograman PLC virtual.

3. Human-Machine Interface (HMI)

HMI adalah antarmuka yang digunakan operator untuk mengendalikan mesin. Dengan DT:

  • HMI dibuat versi virtualnya.
  • Operator bisa berlatih tanpa risiko kerusakan fisik.
  • Teknologi HMI bisa berupa layar sentuh, AR (Augmented Reality), atau perangkat mobile.

4. Virtual Controller

Ini adalah “jembatan” antara simulasi mekanis dan logika kontrol. Virtual Controller:

  • Menggunakan protokol komunikasi seperti OPC UA atau MQTT.
  • Menghubungkan PLC virtual dengan model kinematika.
  • Memungkinkan pengujian sistem tanpa perangkat fisik.

Implementasi di Sepanjang Siklus Hidup Sistem

DT tidak hanya digunakan saat desain atau commissioning, tapi juga selama operasional dan rekonstruksi sistem.

DT-Design

  • Digunakan untuk menguji desain dan perilaku mesin sebelum ada perangkat fisik.
  • Mendukung eksperimen what-if untuk optimasi awal.

DT-Commissioning

  • Perangkat fisik diuji bersama DT.
  • Potensi tabrakan, kesalahan logika, dan masalah koordinasi dapat diidentifikasi lebih awal.
  • Integrasi antara perangkat nyata dan virtual dilakukan melalui protokol seperti TCP/IP.

DT-Operations & Reconfiguration

  • Memungkinkan pelatihan operator dalam lingkungan virtual.
  • Mendukung predictive maintenance.
  • Memfasilitasi perubahan desain atau produk baru dengan cepat.

Studi Kasus: Produksi Valve Assembly di Jerman

Studi kasus berasal dari produsen otomasi industri di Jerman yang memproduksi valve assembly. Sistem ini:

  • Terdiri dari 6 stasiun: robot kartesian, ring pressing, leakage test, robot pengiriman, dll.
  • Waktu siklus: 90 detik per komponen.
  • Produksi harian: ~280 unit per shift.

Proses pengembangan menggunakan:

  • Tecnomatix Process Simulate untuk model kinematika.
  • TIA Portal untuk pemrograman PLC.
  • SIMIT untuk pemodelan perilaku elektronik.

Hasil utama:

  • Pengurangan jam kerja pengembangan dan commissioning sebesar 20–25%.
  • Program otomatisasi yang divalidasi di DT bisa langsung digunakan di mesin nyata.
  • Deteksi dini kesalahan logika.

Dampak Ekonomi

Menurut data penulis:

  • 70–90% waktu commissioning sering hilang karena keterlambatan.
  • Kesalahan di program kontrol adalah penyebab utama.
  • DT mampu menghemat waktu, mengurangi biaya tenaga kerja, dan mempercepat time-to-market.

Penulis bahkan membuat aplikasi perhitungan manfaat ekonomi berbasis Microsoft Power Apps untuk menghitung penghematan waktu dan biaya.

Analisis dan Opini

Kelebihan

  1. Pengembangan paralel mengurangi waktu total proyek.
  2. Integrasi penuh antara mekanis, elektrik, dan logika kontrol.
  3. Pelatihan aman untuk operator baru.

Kekurangan & Tantangan

  1. Investasi awal tinggi (software, hardware, pelatihan).
  2. Kebutuhan data akurat untuk model DT.
  3. Skill lintas disiplin yang tidak selalu tersedia di semua perusahaan.

Kritik terhadap Temuan

Menurut gua, penelitian ini sangat solid, tapi ada catatan:

  • Studi kasus hanya dari perusahaan besar di Jerman, belum membahas adaptasi di UMKM atau industri negara berkembang.
  • Ketergantungan pada ekosistem Siemens membuat interoperabilitas dengan sistem lain kurang dibahas.
  • Keamanan siber pada koneksi real-time DT belum dijelaskan detail.

Relevansi Industri

DT relevan untuk industri:

  • Otomotif (peluncuran model baru).
  • Elektronik konsumen (perakitan cepat).
  • Energi terbarukan (optimasi pabrik panel surya).
  • Makanan & minuman (penyesuaian lini produksi sesuai permintaan).

Kesimpulan

Paper ini menunjukkan bahwa Digital Twin mampu memangkas waktu pengembangan hingga 35%, meningkatkan reliabilitas, dan mendukung fleksibilitas sepanjang siklus hidup sistem. Hambatan awal berupa biaya dan kebutuhan SDM dapat diimbangi oleh manfaat jangka panjang, terutama di industri padat modal dan waktu.

Integrasi DT dengan AI, VR/AR, dan analitik prediktif berpotensi membawa revolusi berikutnya di dunia manufaktur.

Selengkapnya
Digital Twin Berbasis Simulasi untuk Sistem Manufaktur – Model Aplikasi dan Studi Kasus Industri

Industri Manufaktur Digital

Potensi Digital Twin Technology untuk Mendorong Keberlanjutan di Industri Manufaktur

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 12 Agustus 2025


Berdasarkan Paper:
Usman, Z., Imran, M., & Pervaiz, S. (2024). Reviewing Potential of Digital Twin Technology to Facilitate Sustainability in Manufacturing. Proceedings of the 7th European Conference on Industrial Engineering and Operations Management. DOI: 10.46254/EU07.20240102

Pendahuluan: Mengapa Digital Twin Jadi Topik Panas di Industri 4.0?

Revolusi industri keempat telah melahirkan gelombang teknologi yang mengubah cara pabrik beroperasi. Salah satu inovasi yang terus mencuri perhatian adalah Digital Twin (DT) — replika digital dari sistem fisik yang mampu merekam data secara real-time, melakukan simulasi, dan memprediksi kinerja di dunia nyata.

Kalau dulu simulasi terbatas pada CAD atau model statis, kini DT memungkinkan interaksi dua arah antara dunia fisik dan virtual. Dampaknya? Pengambilan keputusan menjadi lebih cepat, tepat, dan berbasis data aktual. Tidak heran kalau Gartner menempatkan DT dalam Top 10 Strategic Technology Trends selama tiga tahun berturut-turut.

Paper ini mengulas bagaimana DT tidak hanya menjadi alat optimasi produksi, tetapi juga sebagai pendorong utama keberlanjutan (sustainability) di sektor manufaktur, mulai dari efisiensi energi hingga pengelolaan rantai pasok.

1. Evolusi dan Standar Digital Twin dalam Manufaktur

Perjalanan DT dimulai dari era 1960-an, saat komunitas sains dan teknik mulai memakai model matematis untuk simulasi fenomena fisik. Kemudian berkembang menjadi Product Lifecycle Management (PLM), yang mengintegrasikan data sepanjang siklus hidup produk. DT adalah “versi hidup” dari konsep ini — data terus diperbarui dan dianalisis secara dinamis.

Implementasi DT di manufaktur kini didukung oleh ISO 23247, yang membagi framework menjadi empat lapisan:

  1. Manufacturing Elements – Komponen fisik yang dipantau.
  2. Communication Entities – Sistem yang menangkap perubahan dan mengirim sinyal kontrol.
  3. Digital Twin Entity – Model digital yang memproses data dari lapisan komunikasi.
  4. User Entities – Aplikasi untuk meningkatkan efisiensi produksi.

💡 Interpretasi praktis: Standar ini membuat implementasi DT lebih terstruktur, sehingga perusahaan bisa membangun solusi yang sesuai kebutuhan tanpa harus mendesain ulang semua sistem.

2. Digital Twin untuk Manajemen Energi

Energi adalah komponen biaya terbesar dalam banyak proses manufaktur, terutama di industri berat seperti baja dan kimia. Beberapa studi yang diulas paper ini menunjukkan:

  • Optimalisasi konsumsi energi melalui monitoring real-time dan prediksi kebutuhan.
  • Pengurangan pemborosan energi lewat otomatisasi dan perencanaan proses.
  • Simulasi skenario hemat energi sebelum penerapan di lapangan.

📌 Contoh nyata:

  • Santos et al. (2022) memodelkan proses pengeboran robotik menggunakan Siemens Tecnomatix dan memverifikasi hasilnya secara eksperimental. Hasilnya, konsumsi energi bisa diprediksi dan dioptimalkan sebelum produksi massal.
  • Wu et al. (2021) memanfaatkan AI dalam DT untuk pabrik pintar, mencapai akurasi pengenalan fitur hingga 89,23%, yang berdampak langsung pada penghematan energi.

💡 Analisis aplikatif: Di industri otomotif, DT bisa mengatur jadwal operasi mesin agar tidak berjalan idle, sementara di industri makanan, DT bisa membantu mengatur suhu dan waktu proses pemanasan secara optimal.

3. Digital Twin dalam Pengelolaan Limbah

Efisiensi energi memang penting, tapi keberlanjutan juga menuntut pengurangan limbah. DT berperan di sini dengan:

  • Mengidentifikasi bottleneck produksi yang memicu cacat produk.
  • Mengoptimalkan proses daur ulang melalui simulasi plant pengolahan limbah.
  • Memadukan sensor & machine learning untuk pengelolaan limbah real-time.

📌 Contoh nyata:

  • Zhang et al. (2023) mengembangkan DT untuk industri kertas yang mampu memantau parameter kritis dan mengurangi limbah serta kebutuhan perawatan.
  • Kroell et al. (2024) membuat DT untuk plant pemilahan limbah dengan pemantauan berbasis NIR (Near-Infrared) dan pembelajaran mesin, sehingga proses sortir lebih cepat dan akurat.

💡 Dampak praktis: Perusahaan bisa memangkas biaya pembuangan limbah sekaligus memenuhi regulasi lingkungan yang semakin ketat.

4. Digital Twin dalam Supply Chain Management (SCM)

Rantai pasok jauh lebih kompleks dari sekadar proses manufaktur. Tantangan yang dihadapi meliputi ketidakpastian permintaan, gangguan logistik, hingga bencana alam. DT menawarkan solusi berupa:

  • Simulasi skenario risiko untuk meminimalkan dampak gangguan.
  • Peningkatan visibilitas rantai pasok dari pemasok hingga konsumen.
  • Pengelolaan persediaan yang lebih akurat.

📌 Studi penting:

  • Mosheed et al. (2021) menunjukkan korelasi positif antara DT dan visibilitas logistik.
  • Badakhshan & Ball (2022) membuktikan DT bisa memperbaiki siklus konversi kas melalui manajemen inventori yang lebih efisien.

💡 Opini: Potensi DT di SCM besar, tapi adopsinya lambat karena kurangnya tenaga ahli, minimnya kesadaran, dan tingginya biaya implementasi awal.

5. Digital Twin dalam Design for Sustainability (DFS)

DFS adalah pendekatan desain holistik yang mempertimbangkan:

  • Fungsi
  • Kemudahan manufaktur
  • Efisiensi sumber daya
  • Dampak lingkungan
  • Kemampuan daur ulang
  • Dampak sosial

Meski belum banyak studi yang menggabungkan semua aspek DFS dengan DT, ada potensi besar untuk:

  • Menangkap data siklus hidup produk untuk evaluasi berkelanjutan.
  • Memodelkan dampak desain terhadap lingkungan sebelum produksi.

💡 Manfaat praktis: Produsen elektronik bisa memprediksi dampak penggunaan material tertentu terhadap kemudahan daur ulang, sementara produsen otomotif bisa menguji desain bodi untuk mengurangi bobot tanpa mengorbankan keselamatan.

6. Digital Twin dalam Pemeliharaan (Maintenance)

Downtime mesin adalah mimpi buruk manufaktur. DT membantu dengan:

  • Predictive maintenance – memprediksi kerusakan sebelum terjadi.
  • Optimasi jadwal perawatan berdasarkan data kondisi real-time.
  • Pengurangan downtime & perpanjangan umur alat.

📌 Fakta penting:

  • You et al. (2022) mengusulkan model generik DT untuk predictive maintenance.
  • Schleich et al. (2017) menyarankan model ontologis agar DT lebih fleksibel di berbagai konteks industri.

💡 Relevansi industri: Bagi UKM yang sering enggan investasi perawatan canggih, DT bisa menjadi game-changer karena mengubah pendekatan dari “perbaiki setelah rusak” menjadi “mencegah sebelum rusak.”

Kritik & Catatan Penulis

Paper ini memberikan tinjauan komprehensif, tapi ada beberapa catatan:

  1. Minim studi implementasi nyata – Banyak penelitian masih berbentuk konsep atau simulasi. Industri butuh lebih banyak case study nyata untuk mengukur ROI DT.
  2. Fokus belum merata – Energi dan pemeliharaan cukup banyak dibahas, tapi DFS dan SCM masih minim eksplorasi.
  3. Hambatan adopsi – Biaya, kurangnya SDM terampil, dan resistensi terhadap perubahan menjadi faktor penghambat yang perlu strategi penanganan.

Kesimpulan Praktis

Dari berbagai studi yang dibahas, jelas bahwa DT punya potensi luar biasa untuk:

  • Menurunkan konsumsi energi dan biaya operasional.
  • Mengurangi limbah produksi.
  • Memperkuat ketahanan rantai pasok.
  • Mendukung desain berkelanjutan.
  • Mengoptimalkan pemeliharaan.

💡 Rekomendasi industri:

  • Mulai dari proyek kecil (pilot project) untuk mengukur manfaat sebelum skala besar.
  • Investasi dalam pelatihan SDM.
  • Integrasikan DT dengan teknologi lain seperti AI dan IoT untuk hasil maksimal.

Sumber:
Usman, Z., Imran, M., & Pervaiz, S. (2024). Reviewing Potential of Digital Twin Technology to Facilitate Sustainability in Manufacturing. Proceedings of the 7th European Conference on Industrial Engineering and Operations Management. DOI: 10.46254/EU07.2024010

Selengkapnya
Potensi Digital Twin Technology untuk Mendorong Keberlanjutan di Industri Manufaktur

Teknologi Industri 4.0

Digital Twin Technology — Awareness, Implementation Problems and Benefits

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda pada 12 Agustus 2025


Memahami Digital Twin di Era Industri 4.0

Pada tahun 2010, pemerintah Jerman memperkenalkan sebuah konsep revolusioner bernama Industri 4.0 (Industry 4.0), yang merupakan tonggak baru dalam evolusi industri. Konsep ini dengan cepat diadopsi oleh berbagai negara karena menjanjikan transformasi besar dalam cara pabrik beroperasi. Industri 4.0 memanfaatkan otomatisasi dan digitalisasi yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun untuk mengubah pabrik konvensional menjadi Smart Factory — pabrik yang mampu mengatur dan menyesuaikan diri secara mandiri dengan kondisi yang selalu berubah. Di dalam konsep ini, Internet of Things (IoT), sistem siber-fisik (cyber-physical systems), big data, dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjadi pilar penting.

Salah satu teknologi yang lahir dari semangat Industri 4.0 adalah Digital Twin. Secara sederhana, digital twin adalah representasi digital dari objek atau sistem fisik di dunia nyata. Replika digital ini dibuat berdasarkan data yang dikumpulkan dari sensor dan model matematis yang merepresentasikan perilaku serta karakteristik objek fisik tersebut. Dengan digital twin, perusahaan bisa melakukan simulasi, pengujian kinerja, atau perubahan konfigurasi pada versi digital sebelum diterapkan ke versi fisik, sehingga risiko, biaya, dan waktu yang terbuang dapat ditekan secara signifikan.

Penelitian yang dilakukan Małgorzata Gulewicz memiliki dua tujuan besar:

  1. Mengukur sejauh mana kesadaran industri terhadap teknologi digital twin.
  2. Mengidentifikasi hambatan utama yang menghalangi implementasi teknologi ini di perusahaan.

Kerangka Penelitian dan Metodologi

Studi ini menggunakan dua pendekatan utama: studi literatur dan survei lapangan.

  • Studi literatur dilakukan untuk memetakan tren penelitian terkait digital twin dalam beberapa tahun terakhir. Sumber data diambil dari database internasional seperti Scopus dan Web of Science.
  • Survei dilakukan pada 50 responden yang berasal dari sektor industri manufaktur dan teknologi informasi (IT). Menariknya, 94% responden berasal dari Podlaskie Voivodeship di Polandia, yang artinya wilayah penelitian sangat terfokus pada satu daerah.

Profil demografis responden:

  • 76% tinggal di kota dengan populasi lebih dari 250.000 orang.
  • 66% laki-laki, sisanya perempuan.
  • Usia bervariasi, tapi dominan pada kelompok 25–35 tahun (40%) dan 36–45 tahun (26%).
  • Tingkat pendidikan cukup tinggi, dengan 88% memiliki gelar pendidikan tinggi.

Kuesioner penelitian dibagi menjadi lima bagian: potensi penggunaan teknologi, upaya peningkatan efisiensi proses, faktor yang memengaruhi implementasi, penilaian teknologi, dan profil responden. Survei menggunakan skala Likert (5 poin dan 7 poin) untuk mengukur tingkat persetujuan dan persepsi responden.

Tren Riset Digital Twin

Analisis bibliometrik menunjukkan tren peningkatan drastis minat pada topik digital twin sejak 2016. Data dari Scopus mencatat:

  • 2016: 24 publikasi
  • 2017: 114 publikasi
  • 2018: 340 publikasi
  • 2019: 984 publikasi
  • 2020: 1.347 publikasi

Hasil serupa terlihat di Web of Science, meskipun jumlah total publikasi lebih rendah. Lonjakan ini membuktikan bahwa digital twin bukan lagi konsep eksperimental, melainkan menjadi area penelitian yang sangat aktif.

Kata kunci yang sering muncul bersama “digital twin” membentuk enam kluster besar:

  1. Data Management – mencakup pembelajaran mesin (machine learning), prediksi, pengambilan keputusan, dan pemeliharaan prediktif (predictive maintenance).
  2. Modeling and Design – mencakup visualisasi data, desain produk, dan manajemen siklus hidup produk (product lifecycle management).
  3. Industry – fokus pada manufaktur, proses produksi, dan smart manufacturing.
  4. Architecture and Data Storage – fokus pada penyimpanan dan manajemen data industri.
  5. Processes and Automation – mencakup kontrol proses, optimisasi, dan robotika.
  6. Systems and Devices – mencakup IoT, perangkat digital, dan sistem real-time.

Analisis praktis: Tren ini menunjukkan bahwa pengembangan digital twin saat ini masih terfokus pada bidang teknik dan komputer, sehingga peluang penerapan di sektor lain seperti kesehatan, konstruksi, atau energi masih sangat terbuka.

Manfaat Implementasi Digital Twin

Berdasarkan studi literatur dan analisis kasus, manfaat digital twin dapat dibagi menjadi dua kategori besar:

Manfaat Organisasi

  • Mengurangi biaya operasional dan biaya pemeliharaan.
  • Meminimalkan downtime atau waktu henti produksi.
  • Meningkatkan kualitas pengambilan keputusan melalui data yang akurat.
  • Meningkatkan koordinasi antar divisi dalam perusahaan.

Manfaat Teknis

  • Optimisasi proses produksi melalui simulasi dan pengujian virtual.
  • Mempercepat proses desain dan prototyping dengan mengurangi jumlah iterasi fisik.
  • Memantau kondisi peralatan secara real-time melalui sensor.
  • Menerapkan pemeliharaan prediktif untuk mencegah kerusakan yang tidak terduga.

Contoh konkret penerapan predictive maintenance menggunakan digital twin adalah perhitungan Remaining Useful Life (RUL) dari suatu mesin. Dengan informasi ini, perusahaan dapat memesan suku cadang lebih awal, menjadwalkan perawatan preventif, dan menghindari kerugian besar akibat kerusakan mendadak.

Hasil Survei Kesadaran Digital Twin

Dari 50 responden:

  • 50% sudah pernah mendengar istilah digital twin.
  • 64% percaya teknologi ini perlu dikembangkan lebih lanjut.
  • 46% yakin teknologi ini mampu mengoptimalkan proses bisnis di perusahaan mereka.
  • 32% menyatakan siap menggunakan teknologi ini, sementara 46% “mungkin” akan menggunakannya.

Dalam skala global, 50% responden memprediksi teknologi ini akan diadopsi secara luas dalam lima tahun ke depan. Namun, untuk Polandia, mayoritas menilai adopsi penuh akan memakan waktu lebih lama.

Hambatan Utama Implementasi

Responden mengidentifikasi beberapa hambatan besar:

  1. Biaya Tinggi (30%) – mencakup biaya pembelian perangkat keras, pengembangan model digital, adaptasi infrastruktur, serta biaya tenaga kerja baru.
  2. Kurangnya Pengetahuan (24%) – baik di tingkat manajemen maupun staf operasional.
  3. Risiko Teknologi (20%) – seperti akurasi model digital, keamanan data, dan keandalan sistem.
  4. Infrastruktur Terbatas (6%) – kurangnya sensor dan platform standar.
  5. Isu SDM (4%) – kekhawatiran pengurangan tenaga kerja akibat otomatisasi.

Analisis praktis: Hambatan ini selaras dengan tantangan yang dihadapi banyak industri di negara berkembang, termasuk Indonesia. Masalah biaya dan pengetahuan menjadi faktor dominan, sehingga strategi implementasi bertahap sangat diperlukan.

Faktor yang Mendukung Implementasi

Menurut responden, faktor paling berpengaruh untuk mendorong adopsi adalah:

  • Investasi mesin dan alat modern (36%)
  • Implementasi sistem IT (38%)
  • Pelatihan karyawan (38% untuk peningkatan efisiensi proses)

Menariknya, hampir separuh responden (44%) menyatakan perusahaan mereka secara aktif mempertimbangkan usulan karyawan untuk peningkatan proses, yang artinya ada budaya kerja yang cukup terbuka terhadap inovasi.

Diskusi dan Interpretasi Hasil

Penulis menemukan bahwa meskipun digital twin masih tergolong teknologi baru, tingkat kesadaran di kalangan industri cukup tinggi. Sayangnya, kesadaran ini belum diiringi dengan kesiapan implementasi karena faktor biaya, infrastruktur, dan pengetahuan teknis.

Penulis juga menggarisbawahi bahwa definisi digital twin masih bervariasi di berbagai literatur. Ada versi yang sangat umum, dan ada pula yang spesifik untuk aplikasi tertentu, seperti di robotika pertanian, kendaraan otonom, hingga unmanned aerial vehicles (UAV).

Kritik gua:

  • Penelitian ini terlalu terfokus pada satu wilayah, sehingga tidak mencerminkan kondisi nasional atau global.
  • Tidak ada analisis kuantitatif tentang return on investment yang bisa membantu manajer meyakinkan pemegang saham.
  • Fokus pada manufaktur terlalu sempit, padahal teknologi ini relevan di banyak sektor.

Relevansi untuk Dunia Industri

Digital twin sangat relevan untuk:

  • Manufaktur – optimisasi lini produksi, pengurangan downtime.
  • Konstruksi – simulasi desain dan manajemen aset bangunan.
  • Kesehatan – perencanaan operasi melalui model organ digital.
  • Transportasi – pengujian kendaraan otonom dan manajemen lalu lintas.

Di Indonesia, digital twin akan sangat berguna untuk industri dengan aset bernilai tinggi seperti pertambangan, migas, dan pabrik manufaktur besar.

Kesimpulan

Teknologi digital twin menawarkan potensi besar untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya, dan mempercepat inovasi. Namun, keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, pengetahuan SDM, dan kemauan manajemen untuk berinvestasi.

Jika hambatan-hambatan ini dapat diatasi, digital twin bisa menjadi salah satu pendorong utama transformasi industri dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang — baik di Polandia seperti yang diteliti Gulewicz, maupun di negara berkembang seperti Indonesia.

Berdasarkan karya: Małgorzata Gulewicz
DOI: 10.2478/emj-2022-0006

Selengkapnya
Digital Twin Technology — Awareness, Implementation Problems and Benefits
« First Previous page 244 of 1.350 Next Last »