Resensi Digital Twin untuk Orkestrasi Dinamis Sistem Otonom dan Tertanam

Dipublikasikan oleh Anjas Mifta Huda

13 Agustus 2025, 15.08

sumber: pexels.com

Memahami Konteks Industri 4.0 dan Peran Digital Twin

Industri manufaktur global sedang berada di titik transformasi besar. Munculnya paradigma Industri 4.0 membawa pendekatan baru dalam produksi, yang menuntut integrasi antara teknologi informasi (Information Technology, IT) dan teknologi operasional (Operational Technology, OT). Dalam konteks ini, sistem produksi tidak lagi cukup hanya otomatis, tetapi juga harus cerdas, adaptif, dan mampu mengatur diri sendiri sesuai kondisi yang berubah. Permintaan pasar yang cepat berubah, peningkatan kebutuhan kustomisasi produk, serta tekanan untuk menjaga efisiensi biaya membuat pabrik-pabrik perlu mengadopsi konsep seperti lot-size-one—yakni kemampuan memproduksi satu unit produk yang unik secara efisien. Dalam situasi seperti ini, proses reconfigurasi produksi yang cepat menjadi sangat krusial.

Salah satu teknologi kunci yang mendukung visi tersebut adalah Digital Twin atau Jumeau Numérique. Digital Twin adalah representasi digital yang terhubung secara langsung dengan aset fisik di dunia nyata. Hubungan ini bersifat dinamis, sehingga setiap perubahan pada aset fisik akan tercermin di kembarannya di dunia digital secara real-time. Digital Twin tidak hanya sekadar model visual, tetapi sebuah entitas digital yang memiliki kemampuan analisis, prediksi, dan optimasi. Dengan cara ini, Digital Twin menjadi pusat pengambilan keputusan yang memungkinkan pabrik untuk memantau, mengontrol, dan bahkan mengubah proses produksi secara otomatis.

Penelitian oleh Yining Huang yang dibahas dalam resensi ini mengambil fokus pada bagaimana Digital Twin dapat digunakan untuk mengorkestrasi sistem otonom dan tertanam (autonomous and embedded systems) secara dinamis. Karya ini memusatkan perhatian pada tiga tantangan utama yang dihadapi industri ketika mencoba menerapkan Digital Twin pada skala penuh, yaitu interoperabilitas, adaptabilitas, dan robustness atau ketahanan sistem terhadap gangguan. Untuk menjawab tantangan ini, Huang mengusulkan sebuah arsitektur bernama Capability-Based Self-Adaptive Manufacturing Architecture atau CBSAM, yang menggabungkan pendekatan Model-Driven Engineering (MDE), ontologi untuk interoperabilitas semantik, dan kerangka kerja adaptasi otomatis MAPE-K (Monitor, Analyze, Plan, Execute – Knowledge).

Dalam resensi ini, pembahasan akan mengalir mulai dari konteks dan tantangan penelitian, penjelasan metodologi CBSAM, implementasi dalam skenario nyata, hingga analisis dampak praktis dan kritik terhadap temuan tersebut.

Tantangan Penelitian: Interoperabilitas, Adaptabilitas, dan Robustness

Ketika konsep Digital Twin diterapkan di dunia industri, terdapat kesenjangan besar antara teori dan implementasi. Huang mengidentifikasi tiga kelompok tantangan utama yang harus diatasi.

Pertama adalah Interoperabilitas, yang dapat dibagi menjadi dua dimensi: sintaksis (syntactic interoperability) dan semantik (semantic interoperability). Interoperabilitas sintaksis berarti sistem-sistem berbeda mampu bertukar data dengan format yang disepakati, menggunakan protokol komunikasi yang kompatibel, dan mengikuti aturan atau standar tertentu. Contoh format ini termasuk JSON, XML, atau OPC UA sebagai protokol industri. Namun, masalah muncul ketika sistem berasal dari vendor berbeda dengan format data proprietary, sehingga integrasi menjadi mahal dan rumit. Di sisi lain, interoperabilitas semantik mengacu pada kemampuan sistem untuk memahami makna data yang dipertukarkan. Misalnya, jika dua mesin berbeda menyebut parameter yang sama dengan nama berbeda, sistem harus mampu memahami bahwa keduanya merujuk pada hal yang identik. Tanpa semantik yang seragam, sistem bisa membuat keputusan salah meski datanya terkirim dengan benar.

Kedua adalah Adaptabilitas, yaitu kemampuan sistem untuk beradaptasi terhadap perubahan secara cepat dan efektif. Dalam industri, perubahan ini bisa berupa variasi permintaan pasar, gangguan rantai pasok, atau perubahan tujuan internal perusahaan. Adaptabilitas menuntut sistem untuk dapat melakukan re-planning atau perencanaan ulang alur produksi secara otomatis ketika proses berubah. Hal ini juga termasuk reconfiguration cepat, yakni penyesuaian ulang sumber daya tanpa menghentikan produksi dalam waktu lama. Pada praktiknya, pabrik yang tidak memiliki sistem adaptif akan mengalami downtime yang mahal setiap kali terjadi perubahan.

Ketiga adalah Robustness, yang dalam konteks ini berarti ketahanan sistem terhadap gangguan atau kondisi ekstrem. Robustness mencakup fault tolerance (toleransi terhadap kegagalan) dan kemampuan self-healing (memperbaiki diri sendiri). Sistem yang robust dapat terus beroperasi meskipun ada komponen yang gagal, dengan melakukan penyesuaian otomatis. Misalnya, jika satu mesin rusak, sistem bisa memindahkan pekerjaan ke mesin lain tanpa menghentikan seluruh lini produksi.

Huang menegaskan bahwa ketiga tantangan ini saling terkait. Interoperabilitas memungkinkan integrasi, adaptabilitas memungkinkan respons cepat, dan robustness memastikan kelangsungan operasi. Tanpa salah satunya, manfaat Digital Twin tidak akan maksimal.

Metodologi CBSAM: Arsitektur Produksi Self-Adaptive Berbasis Kapabilitas

Untuk menjawab tantangan tersebut, Huang mengembangkan CBSAM yang merupakan kombinasi dari berbagai pendekatan teknik. Inti dari CBSAM adalah bahwa sistem produksi tidak didefinisikan berdasarkan mesin tertentu, tetapi berdasarkan kapabilitas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu proses. Dengan demikian, sumber daya dapat diganti atau ditambah selama kapabilitasnya sesuai.

Arsitektur CBSAM dibangun di atas Model-Driven Engineering atau MDE. MDE adalah pendekatan rekayasa perangkat lunak yang memanfaatkan model sebagai pusat proses pengembangan. Dalam konteks Digital Twin, MDE digunakan untuk membuat model digital dari setiap komponen sistem produksi, yang kemudian dapat diubah menjadi kode eksekusi secara otomatis. Salah satu implementasi MDE yang digunakan dalam penelitian ini adalah Papyrus4Manufacturing atau P4M, yang merupakan ekstensi dari alat pemodelan UML Papyrus. P4M dirancang untuk membuat model Asset Administration Shell atau AAS.

AAS adalah standar representasi digital aset dalam kerangka Industri 4.0. AAS memisahkan model menjadi submodel yang berbeda, seperti submodel kapabilitas, submodel data operasional, dan submodel pemantauan. Dengan AAS, setiap aset—apakah itu mesin, sensor, atau proses—dapat memiliki representasi digital yang seragam dan terstandarisasi. Standar ini menjadi kunci dalam mengatasi masalah interoperabilitas sintaksis.

Untuk mengatasi interoperabilitas semantik, CBSAM menggunakan ontologi, yaitu representasi formal pengetahuan yang mendefinisikan konsep dan hubungan antar konsep. Ontologi yang dipakai adalah MaRCO atau Manufacturing Resource Capability Ontology. MaRCO mendeskripsikan kapabilitas mesin secara formal, sehingga sistem dapat memahami makna di balik data kapabilitas tersebut. Dengan MaRCO, CBSAM dapat melakukan capability matching—memilih mesin atau sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan proses berdasarkan makna, bukan sekadar label.

CBSAM juga mengintegrasikan Capability-Based Engineering atau CBE. Dalam CBE, perencanaan proses produksi dimulai dari daftar kapabilitas yang dibutuhkan. Sistem kemudian secara otomatis mencocokkan kapabilitas tersebut dengan sumber daya yang tersedia, memanfaatkan ontologi untuk memastikan pencocokan yang tepat.

Akhirnya, CBSAM mengadopsi kerangka kerja MAPE-K yang terdiri dari empat langkah—Monitoring, Analysis, Planning, Execution—ditambah Knowledge sebagai basis pengetahuan. MAPE-K digunakan untuk membuat sistem self-adaptive. Data dari dunia nyata dimonitor secara real-time, dianalisis untuk mendeteksi perubahan atau gangguan, kemudian digunakan untuk membuat rencana penyesuaian, dan dieksekusi secara otomatis. Pengetahuan yang diperoleh dari setiap siklus disimpan untuk meningkatkan keputusan di masa depan.

Implementasi: Dari Konsep ke Aplikasi Nyata

Implementasi CBSAM dilakukan melalui pengembangan perangkat lunak dan validasi pada sebuah testbed akademik bernama LocalSEA. P4M digunakan untuk membuat model AAS yang kemudian dikonversi menjadi kode eksekusi menggunakan middleware Eclipse BaSyx. BaSyx adalah platform open-source yang mendukung eksekusi model AAS, termasuk konektivitas dengan protokol industri seperti OPC UA, MQTT, dan HTTP.

Untuk mengorkestrasi proses produksi, digunakan BPMN atau Business Process Model and Notation. BPMN menyediakan notasi visual untuk menggambarkan alur kerja proses bisnis. Namun, karena BPMN tidak dapat dieksekusi langsung, digunakan Node-RED sebagai mesin eksekusi. Node-RED adalah alat pemrograman visual yang dapat menghubungkan berbagai layanan, sensor, dan perangkat melalui alur kerja. Dengan Node-RED, BPMN dapat dijalankan untuk mengendalikan digital twin dan perangkat fisik secara sinkron.

Testbed LocalSEA mereplikasi lingkungan pabrik mini, lengkap dengan perangkat keras, perangkat lunak, dan jaringan komunikasi. Testbed ini digunakan untuk menguji kemampuan CBSAM dalam melakukan reconfigurasi otomatis dan penanganan gangguan. Hasil uji coba menunjukkan bahwa CBSAM dapat melakukan capability matching otomatis, menyesuaikan proses ketika terjadi perubahan, dan meminimalkan downtime.

Analisis Dampak Praktis pada Dunia Industri

Dari sudut pandang praktis, CBSAM menawarkan beberapa keuntungan signifikan. Pertama, kemampuan untuk melakukan produksi fleksibel dengan variasi tinggi tanpa mengorbankan efisiensi. Hal ini sangat penting di era di mana personalisasi produk menjadi keunggulan kompetitif. Kedua, reconfigurasi cepat mengurangi downtime, yang secara langsung berdampak pada penghematan biaya dan peningkatan produktivitas. Ketiga, kemampuan prediktif dan preventif dalam mendeteksi gangguan meningkatkan keandalan sistem dan mengurangi risiko kerugian besar akibat kegagalan.

Bagi perusahaan skala besar, CBSAM menawarkan kerangka kerja untuk mengintegrasikan berbagai sistem dari vendor berbeda tanpa terjebak dalam ekosistem tertutup. Sementara itu, bagi UMKM manufaktur, pendekatan ini bisa menjadi jalan untuk mengadopsi otomatisasi cerdas tanpa investasi besar dalam integrasi sistem.

Opini dan Kritik terhadap Temuan

Menurut pandangan penulis resensi ini, kekuatan terbesar penelitian Huang adalah pendekatan holistik yang mencakup seluruh siklus hidup sistem produksi, dari spesifikasi hingga pemeliharaan. Integrasi standar AAS, ontologi, MDE, dan MAPE-K menunjukkan pemahaman mendalam terhadap kebutuhan industri. Validasi melalui testbed nyata juga meningkatkan kredibilitas temuan.

Namun, ada beberapa keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama, implementasi skala industri penuh belum dilakukan. Meskipun testbed memberikan bukti konsep, kompleksitas di lapangan, seperti integrasi dengan rantai pasok global, belum teruji. Kedua, isu keamanan siber belum menjadi fokus utama, padahal konektivitas yang luas membuka potensi serangan. Ketiga, adopsi standar AAS di industri masih bervariasi, sehingga penerapan CBSAM mungkin memerlukan adaptasi tambahan.

Kesimpulan: Fondasi untuk Pabrik Masa Depan

Penelitian ini membuktikan bahwa kombinasi Digital Twin, MDE, ontologi, dan MAPE-K dapat menciptakan sistem manufaktur yang interoperable, adaptif, dan robust. CBSAM memberikan peta jalan yang jelas menuju pabrik cerdas yang mampu beroperasi secara otonom dan merespons perubahan dengan cepat.

Dengan penelitian lanjutan untuk mengatasi keterbatasan yang ada, khususnya pada aspek keamanan dan implementasi skala penuh, CBSAM berpotensi menjadi standar baru dalam desain dan pengelolaan sistem manufaktur di era Industri 4.0.

📄 Sumber resmi: Yining Huang, 2024 – Digital Twin for the Dynamic Orchestration of Autonomous and Embedded System